Chapter 1 - Dead of Two


Langit malam mulai merangkak semakin larut. Kilat yang terus bersuara dan cahayanya yang sangat mengerikan melewati setiap dataran di wilayah Southest Earth.

Tapi awan mendung yang paling kelam, kini berhenti di daerah Kerajaan Sinanese. Tepatnya di atas Istana Kerajaan tersebut, dimana semua petinggi Kerajaan, mulai dari Menteri sampai Jenderal berkumpul di sebuah titik di Istana Utama.

"Di mana Yang Mulia?" tanya Rudolf—Perdana Menteri setia Raja Arthur dengan wajah pucat dan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.

"Beliau d dalam lokang nomor empat!" jawab salah satu pengawal.

"Lokang nomor empat?" Rudolf terlihat terkejut. "Kenapa Yang Mulia di tempatkan di sana?"

Pengawal yang sadar kalau Rudolf tengah marah langsung menundukkan kepalanya dan memberikan jawaban.

"Ampun Tuan. Tapi Pangeran Mahkota yang membawa Yang Mulia ke tempat itu. Dan menurut Pangeran Mahkota, Yang Mulia sendiri yang ingin dibawa ke lokang nomor empat."

Rudolf lantas berdecak. Berurusan dengan seorang Pangeran Mahkota super aneh seperti Harvey memang sangat melelahkan. Dia sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala dan langsung beranjak pergi untuk menuju lokang nomor empat.

Bukan tanpa alasan juga jika Rudolf keberatan Raja Arthur dibawa ke lokang tersebut. Sebab di antara lima lokang di dalam ruangan utama sang Raja, hanya lokang nomr empat yang lokasinya paling sempit dan tidak memiliki ventilasi cukup. Sehingga terasa lebih lembab juga dingin dibanding lokang lainnya.

Rudolf mempercepat langkahnya. Dia melihat sosok Jenderal Cedric yang kini sudah berdiri di depan lokang nomor empat dengan ekspresi sangat tegang.

"Perdana Menteri!" seru Cedric yang diikuti beberapa Jenderal lain.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Rudolf kemudian.

"Buruk. Sangat buruk!" jawab Cedric. "Aku khawatir juga, kalau keadaan Yang Mulia diketahui oleh Kerajaan lain, maka bisa membuat mereka merencanakan penyerangan pada kita!" ucap Cedric dengan napas memburu.

"Kau siapkan dulu pasukan dan minta mereka semua berjaga di setiap perbatasan. Minta pada Jenderal Hans, Jenderal Burgon dan Jenderal Klerif untuk segera mengamankan Istana juga. Minta gerbang Istana ditutup dan tidak ada satu pun yang boleh masuk atau keluar dari sini!" perintah Rudolf kemudian.

Perintah itu pun segera dijalankan oleh Jenderal Cedric selaku Panglima Perang Utama Kerajaan Sinanese. Sementara Rudolf kini mulai mengambil napas dalam, sebelum masuk ke dalam lokang dan melihat langsung keadaan Sang Raja.

Kamar itu sangat sempit.

Hanya berukuran 5x6 meter dengan satu lubang ventilasi di bagian atas. Di dalam ruangan tersebut, terdapat satu ranjang berukuran besar dengan satu meja dan satu kursi belajar yang terbuat dari kayu.

Begitu Rudolf masuk, aroma lembab pun sontak memenuhi indera penciumannya.

Dia juga segera menemukan kalau kondisi Raja Arthur kini tengah berbaring dengan keringat yang sudah membanjiri sekujur tubuh hingga ke sprei tempat tidurnya.

"Yang Mulia!" Rudolf segera mendekat.

Dia menatap tajam ke arah Harvey yang terlihat duduk tenang di sisi sang Ayah, tanpa peduli tentang kedatangannya.

"Pangeran Harvey! Kenapa Pangeran membiarkan Yang Mulia dalam kondisi seperti ini?" tegur Rudolf. "Kondisi Yang Mulia sangat menderita. Keringat ini ..." Dia melihat ke ranjang Raja Arthur sekali lagi. "Cepat kita pindahkan Yang Mulia kembali ke lokang nomor lima! Saya akan segera memanggil penjaga untuk membantu--"

"Tidak perlu!" Harvey yang sejak tadi diam kemudian mulai bersuara. "Kau tidak lihat ... kalau Ayah baru bisa tidur dengan nyenyak?" ucapnya lagi.

Rudolf memperhatikan kembali dan mulai sadar.

Harvey memang benar. Meski dibanjiri keringat dan terlihat tidak nyaman. Nyatanya Raja Arthur justru bisa tidur lebih nyenyak sampai tak sadar kalau Rudolf berteriak di sampingnya.

Napas Raja Arthur juga tampak tenang. Tidak seperti orang yang sesak napas.

Hingga Rudolf pun kemudian memilih menyingkir. Menjauh dari tempat tidur Raja Arthur dan berdiri menatapnya saja.

"Kondisi Yang Mulia bertambah parah. Saya yakin ... Kerajaan di luar sana akan memanfaatkan keadaan ini untuk balik menyerang kita." Rudolf berkata sambil berbisik kepada Harvey.

"Maka biarkan saja mereka menyerang," jawab Harvey.

Dia membalas tatapan Rudolf dengan kedua matanya yang tajam dan langsung menutup kelambu tempat tidur Raja Arthur agar meredam suara obrolan mereka dari telinga Ayahnya.

"Jika mereka ingin menyerang ... maka biarkan mereka menyerang. Mereka punya hak untuk mengambil kembali wilayah mereka," ucap Harvey kembali.

"Tapi Pangeran ...!"

"Apa menurutmu, sikap Ayah yang mengambil semua wilayah mereka adalah benar?"

Rudolf tertunduk. Dia tak bisa memberikan jawaban.

"Tugas kita hanya mendampingi Ayah dan menjaga agar seluruh Istana tetap aman. Lagipula ... waktunya sudah tak lama lagi," tegas Harvey yang mengejutkan Rudolf.

"Lalu bagaimana dengan rakyat?" tanya Rudolf. "Jika peperangan sampai terjadi, rakyat yang menjadi korban paling banyak, Pangeran!"

"Mereka sudah menikmati banyak keuntungan dari keputusan Ayah. Jadi kalau mereka juga akan menerima akibat dari perbuatan Ayah, itu sudah sewajarnya." Harvey melemparkan pandangannya pada sosok Ayahnya. "Kau juga sudah menyiapkan perlindungan untuk mereka, kan?" tanya Harvey lagi.

Kembali, Rudolf yang ingin menampar Harvey dengan kata-katanya, kini justru tertampar balik.

Harvey sendiri kembali pada posisinya, dia duduk di sisi ranjang Raja Arthur dan memeprhatikan wajah sang Ayah yang semakin membiru.

Meski tak menunjukkan ekspresi apapun. Tapi sorot mata Harvey terlihat sangat kosong.

**

Duaaarrr ...!

Petir menyambar sangat kuat di atas rumah gubuk yang letaknya berada di pinggiran hutan.

Rumah dengan dinding terbuat dari kayu dan beratap daun kering tersebut, menjadi riuh dengan suara tangis dan teriakan dari seorang wanita yang terlihat menderita dengan luka yang cukup parah di sekujur tubuhnya.

Luka sayatan itu mengeluarkan darah hitam yang berbau sangat busuk, hingga beberapa tumbuhan di sekitar rumah yang terkena cipratan darahnya jadi mati.

"Ibu ...!" Teriakan seorang pria yang datang dengan keadaan basah kuyup terdengar lebih nyaring lagi.

Matanya membelalak dan dia segera menghambur ke dalam pelukan sang Ibu yang kini sudah tergeletak di lantai dengan mata terbuka lebar dan mulut hingga hidung juga mengeluarkan darah hitam.

Asap pekat juga terus membumbung, keluar dari cerobong asap rumah mereka.

"Ibu ...! Apa yang terjadi, Bu? Kenapa Ibu bisa seperti ini?" tanya Nicholas memangku separuh tubuh Ibunya dan memeluknya juga.

"Lepaskan Nich!" teriak seorang pria yang baru saja masuk dengan keadaan basah kuyup juga.

Dia langsung menarik Nicholas menjauh dari sang Ibu—Martha yang masih sekarat dan melindungi Nicholas di balik punggungnya.

"Jangan sentuh Ibumu. Dia diserang oleh pengendara hitam! Darahnya bisa membuatmu terbunuh!" tukas Gregory—nama pria itu.

Tenggorokan Gregory pun rasanya tercekat. Hatinya berteriak untuk tetap berada di dekat Ibunya, tapi tubuhnya kaku hingga mematung sedemikian rupa di belakang Gregory. Kini tangannya pun mencengkeram kuat lengan Gregory yang memberikan satu botol kecil ramuan berwarna pekat kepada Nicholas.

"Cepat minum ramuan ini!" teriak Gregory.

"T-Tapi Ibu ...?" Nicholas bicara dengan suara yang tercekat.

"Cepat minum, Nicholas! Ibumu ... tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuknya!"

Nicholas menatap wajah Ibunya yang sudah penuh dengan darah dan air mata. Juga menatap botol ramuan kecil yang diberikan Gregory padanya. Hatinya berkecamuk dan dia masuk dalam dilema besar. Hingga Gregory berbalik badan dan membuka paksa tutup botol tersebut untuk diminumkan paksa juga pada Nicholas.

"Paman ...!" Tenggorokan Nicholas seketika merasa terbakar dan dia memegangi lehernya cukup kuat, seperti ingin mencekik dirinya sendiri.

"Bertahanlah! Kau pasti akan baik-baik saja!" ucap Gregory.

Tak sampai di sana, Nicholas lantas ditarik keluar dari rumah kecilnya itu keluar dengan paksa. Dia tak bisa mengelak karena masih merasakan tenggorokannya yang sakit. Sampai akhirnya, tanpa disadari oleh Nicholas, Gregory membakar rumahnya dengan mantra dalam keadaan Ibunya yang masih ada di dalam sana.

Hanya mata Nicholas yang membelalak sedemikian rupa, dan teriakannya yang tertahan dengan kondisi tenggorokannya sekarang saat rumah itu terbakar habis dengan cepat, hingga menyisakan abu yang kemudian lenyap diguyur air hujan.

Tangis Nicholas pecah.

Dia merasa bersalah karena tak bisa membawa Ibunya ikut keluar dari sana.

Dia juga mengamuk. Marah pada Gregory yang membuat Ibunya ikut terbakar.

Mereka kemudian larut dalam pikiran dan sikapnya masing-masing.

Hingga cukup lama setelah kejadian mengerikan itu. Hujan ikut berhenti turun meski langit masih tetap berwarna hitam.

Malam yang langka pun, dimulai saat ini.

"Gerhana Bulan!" seru Gregory menunjuk ke arah langit.

Untuk ke sekian kalinya, pria itu kembali menarik Nicholas untuk pergi dari tempat mereka berada. Dan bersembunyi di antara pepohonan besar, juga bebatuan yang ada di antara lereng bukit. Nicholas awalnya menolak. Tapi Gregory memaksanya dan wajah pria itu tampak sangat ketakutan dengan rasa khawatir yang begitu kentara.

Membuat Nicholas akhirnya mengikuti arahannya sambil ingin melihat apa sebenarnya yang akan terjadi lagi kepada mereka.

Gerhana bulan yang akhirnya terjadi secara penuh, membuat hutan dan seluruh isinya ditelan kegelapan. Nicholas yang baru pertama kali merasakan gerhana ini bahkan hampir merasa panik, karena tak bisa melihat apapun dalam gelap dan merasakan hawa yang sangat dingin menusuk kulit. Andai tak ada Gregory yang memegangi kuat tangannya dan meyakinkan Nicholas untuk tetap diam. Mungkin Nicholas akan memilih pergi dan bersembunyi di tempat lain.

Namun, dia sontak terpaku dan terdiam, ketika mendengar suara ringkikan kuda dan tapaknya yang terasa cukup dekat.

Tidak hanya satu. Tapi ada beberapa suara tapak kuda yang terdengar.

"Paman Greg!"

"Ssstt ...!" Gregory menutup mulut Nicholas sangat kuat.

Hampir membuat Nicholas tak mampu bernapas.

Tapi perasaan sesak yang dirasa oleh Nicholas pun teralihkan saat telinganya kembali mendengar tapak kaki kuda yang sama dengan yang dia dengar tadi. Hanya saja, kini makin dekat. Ringkikannya juga berubah menjadi suara napas kuda yang seperti baru dipacu dengan kecepatan tinggi dalam waktu yang lama.

Gregory menutup sebentar mata Nicholas dengan tangannya dan begitu dibuka, secara ajaib Nicholas mampu melihat dalam kegelapan.

Dia hampir berteriak karena melihat ada sosok mengerikan yang mengenakan jubah serba hitam serta mengendarai kuda di atas lereng tempatnya bersembunyi.

Sontak Nicholas dipegang makin kuat oleh Gregory dan dibuat tubuhnya makin menempel pada bebatuan.

Sementara sosok mengerikan itu terlihat bergerak makin dekat dengan posisi mereka.

Seolah bisa merasakan keberadaan sosok lain di sana, salah satu di antara mereka turun dan mulai menapakkan kakinya ke bebatuan. Jubahnya yang panjang menjuntai dan mengusap wajah Nicholas tanpa sengaja. Aroma amis yang sama dengan yang dicuum oleh Nicholas pada diri Ibunya pun tercium.

Hingga mata Nicholas membelalak dan dia menyadari kalau sosok itulah, yang mungkin terlibat dalam kematian sang Ibu.

Klaakk!

Gregory sengaja melemparkan kerikil kecil ke lokasi yang sangat jauh dengan cepat. Dan berhasil, perhatian sosok mengerikan itu pun teralihkan, hingga dia segera menyingkir dengan cepat dari sana.

"Paman!" Nicholas akhirnya bicara lagi.

"Mereka pengendara hitam! Mereka yang sudah membnnuh Ibumu!" ucap Gregory yang napasnya terdengar terengah-engah.

Mendengar nama itu, Nicholas sontak berdiri dan berniat mengejar pengendara hitam. Tapi gerhana bulan yang belum juga selesai, membuat Gregory pun menghalangi niat Nicholas. Dia menahan Nicholas untuk tetap dalam persembunyian.

"Kenapa Paman menghalangiku!" teriaknya tak terima.

"Gerhana bulan masih terjadi. Dalam keadaan semacam ini ... mereka akan berada dalam puncak kekuatannya. Bahkan kekuatanmu tak sampai seperempat dari kekuatan mereka disaat terlemahnya." Gregory memberikan peringatannya.

"Tapi mereka yang membunuh Ibuku! Aku tak bisa tinggal diam, Paman!"

Di tengah perdebatan mereka, gerhana bulan pun selesai. Cahaya bulan yang awalnya tertutup dan membuat seluruh hutan diselimuti kegelapan pun kini perlahan dibuat kembali bercahaya. Kedua mata Nicholas yang awalnya peka dengan kegelapan, kini juga kembali menjadi normal.

"Gerhana bulan sudah selesai!" Nicholas memandang ke arah langit.

Gregory tahu kalau Nicholas tak bisa lagi ia hentikan. Tatapan mata nyalang pemuda itu, bahkan membuat seorang Gregory merasa ngeri kalau harus menghalanginya lagi.

Maka dari itu, Gregory kemudian memberikan kain jubahnya untuk dipakai oleh Nicholas.

"Pakailah ini!" perintahnya. "Ini akan melindungimu dari pandangan mereka. Dan kau bisa mengikuti jejak kuda hitam mereka dengan penglihatan yang aku berikan."

Setelah berkata demikian, barulah Nicholas pergi.

Dan benar apa yang dikatakan Gregory. Dia bisa menemukan bekas tapak kuda yang sedikit meninggalkan bercak darah di tanah untuk diikuti.

Nicholas segera mengerudungkan jubah yang dipakainya dan mulai berjalan menyusuri hutan. Hingga tanpa sadar, dirinya tiba di tengah kota Sinanese yang kini sunyi.

Penduduk Sinanese seluruhnya berdiam di dalam rumah dengan kain putih yang berkibar di depan setiap rumahnya. Tidak ada tanda kehidupan di sana, sampai Nicholas mengira kalau pengendara hitam juga telah menghabisi para penduduk juga.

Namun tiba-tiba, suara ringkikan kuda yang tadi dia dengar, kembali terdengar dengan tapak kudanya juga. Sosok bayangan pengendara hitam terlihat. Membuat Nicholas bergerak cepat dan berlari mengejar mereka.

Pemuda itu bahkan tak peduli jika ia harus mati malam ini.

Tapi langkahnya terhenti, setelah dia melihat kalau seluruh pengendara hitam kini masuk ke dalam istana, melalui gerbang bagian timur.

Dimana Istana Kegelapan, milik Pangeran Harvey ada di sana.

"Mereka ..." Nicholas ternganga. "Kenapa mereka masuk ke sana?" gumamnya pada diri sendiri.

Sementara dia mematung dan hanya bisa menatap gerbang timur yang kembali menutup.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top