9 || Cadmea
❃❃❃
EOS baru saja merentangkan jari lentiknya yang kemerah-merahan. Menyingkap malam dan membukakan gerbang langit agar Matahari dapat terbit di ufuk timur untuk melingkupi Yunani dengan kehangatan sinarnya. Sementara hari yang baru sudah siap menemani, Leora pun sudah sibuk memilah satu di antara belasan chiton yang akan dipakainya hari ini.
"Helota, bisakah kau membantuku ?"
"Anda ingin memakai yang mana?" tanya Helota mengambilkan beberapa pilihan warna untuknya.
Leora berpikir sejenak, kira-kira warna apa yang dia sukai? Setelah menimbang cukup lama, akhirnya pilihannya jatuh kepada kepada chiton merah muda berlengan panjang itu. "Yang ini saja."
Helota langsung membantunya berganti pakaian. Kemudian mengepang rambutnya dan menghiasinya dengan jepit rambut kecil. Selanjutnya, dia memakaikan anting-anting dan kalung yang senada untuk menyempurnakan penampilan Leora.
"Anda mau ke mana pagi-pagi sekali?" tanya Helota.
Matahari belum meninggi dan ayam baru berhenti berkokok sekitar 3 jam yang lalu. Dia penasaran ke mana tuan putrinya akan pergi di hari yang sepagi ini. Apakah dia akan mengunjungi tempat yang jauh?
"Aku ingin jalan-jalan," ungkapnya dengan tersenyum kecil.
"Dengan siapa?" tanya Helota berjaga-jaga.
"Seorang kenalan," jawabnya seraya membalikkan tubuhnya agar berhadapan dengan dayang yang masih memandanginya dengan penuh tanda tanya. "Aku akan pergi bersama Tuan Aetius."
"Bagaimana kalau ada yang bertanya tentang kepergian Anda?"
"Katakan saja aku sedang mengantar tamu berkeliling Cadmea," jawab Leora sembari memakai perona pipinya.
"Baik, Putri." Dayang itu tidak bisa berkomentar lagi, selain menuruti perintahnya. Dia harus memutar otaknya untuk memberikan alasan yang meyakinkan jika ada yang bertanya lebih lanjut mengenai keberadaan tuan putrinya.
Setelah selesai memoleskan pemerah bibir, Leora langsung mengenakan jubah bepergiannya. Dia melangkah keluar dari kediamannya dan bergegas menuju tempat perjanjian mereka. Langkah riangnya pun perlahan-lahan melambat ketika ia menangkap Aetius yang sudah menunggu di kejauhan. Laki-laki itu mengenakan jubah merah yang senada dengan chitonnya, berdiri di bawah pohon sambil memejamkan matanya untuk merasakan kehangatan mentari yang menerpa wajahnya.
"Aetius!"
Panggilan Leora membuatnya seketika menoleh. Namun, Aetius masih bergeming saat gadis itu berlari kecil ke arahnya dengan tangan yang terlambai. Pikirannya seolah terbang karena terkunci oleh pemandangan menawan yang penuh manis orris di depannya.
"Apa kau sudah lama menungguku?"
Aetius sontak menggeleng kecil. "Belum lama." Dia kemudian memperhatikannya sekali lagi dengan tatapan yang lembut. "Hari ini kau tampak bersinar, Leora."
"Terima kasih," balasnya malu-malu. "Mau berangkat sekarang?"
"Boleh."
Mereka melangkah berdampingan, mengelilingi satu per satu bagian dalam istana terlebih dahulu. Leora menunjukkan di mana letak balai agung, kompleks kuil, dan akropolis Thebes yang berdiri di atas bukit. Menyusuri semua bangunan-bangunan penting di sana dengan berjalan kaki santai.
"Ini area istana timur," ujar Leora sambil menunjukkan lahan seluas beberapa stremma di depan mereka, "dan taman pribadiku."
Rumputnya yang hijau dipotong pendek. Ubin batu alam menyusun jalan setapak yang berada di tengahnya. Kemudian di sisi kanan dan kirinya dipagari oleh tanaman perdu yang dipangkas setinggi dada, bersilangan dengan pohon cemara yang menjulang.
"Jaraknya hanya beberapa stadia dari istana selatan, tetapi di sini terasa lebih pribadi dan tenang," papar Leora.
"Ternyata tempat ini tidak terlalu jauh dari penginapanku," gumam Aetius sambil mengamati sekitarnya. Hampir tidak ada orang yang lewat, kecuali mereka berdua.
"Jadi kau yang menanam bunga-bunga di sini?" tanya laki-lkai itu ketika menangkap beraneka ragam warna yang mencolok.
"Tukang kebun istana banyak membantuku."
Mawar merah dan peony yang lembut saling berpelukan di tengah-tengah anyelir jingga dan lantana. Daun thyme dan lakspur biru mengelilingi bagian luarnya, membentuk lingkaran besar dengan dominasi garis nila dari bunga iris yang baru saja merekah.
"Kau membuat pelangi," decak kagum Aetius sambil merasakan aroma yang memenuhi atmosfer. Wangi lembut yang sedikit berbedak itu bercampur dengan bau tanah musim semi yang basah, tercium candu dan menenangkan.
"Terima kasih, perlu usaha agar mereka bisa tumbuh dengan baik di sini."
"Iris memang kesukaanmu," gumam Aetius lirih.
Leora yang tidak terlalu mendengar ucapannya pun mengernyit tipis. "Ya?"
"Lalu bagaimana dengan yang ini?" tunjuk Aetius kepada bunga putih berbentuk lonceng yang berada di petak kecil, terpisah dari warna-warni yang terang.
"Aku belum lama menanamnya, jadinya belum ada tempat yang cocok untuk mereka." Leora lalu sedikit membungkuk untuk menyentuh ujung kelopaknya. "Bukankah mereka sangat cantik? Jarang sekali menemukan lily lembah di sekitar sini."
"Sangat menawan. Itulah kenapa aku menyukainya," balas Aetius sehingga Leora menoleh padanya.
Senyum kecil terulas di bibirnya sebelum dia melanjutkan jalannya untuk memandu Aetius ke tempat berikutnya. "Ayo, masih banyak yang harus aku tunjukkan!"
Mereka melintasi xystus yang teduh. Berjalan di antara pilar-pilar tinggi yang beratapkan bunga bugenvil. Saat Leora masih mengagumi bunga-bunga yang bermekaran di atas mereka, Aetius menyergapnya dengan sebuah pertanyaan.
"Jika aku ke sini maka kita akan lebih sering bertemu, kan?"
Leora mengerjapkan matanya cepat. Kemudian menyematkan sedikit rambut untuk menyamarkan telinganya yang memerah. Tiba-tiba saja ia menjadi kikuk karena tidak terpikirkan oleh hal yang Aetius tanyakan.
"Mungkin saja," dehamnya lirih. "Kau bisa bebas datang ke sini jika mau."
Mereka melintasi jembatan untuk menyebrangi kolam taman. Permukaannya yang tenang ditutupi oleh lebarnya daun teratai dan taburan duckweed. Menjadikannya sebagai tempat berteduh bagi ikan-ikan berwarna oranye yang sedang berenang riang di dalam sana.
Kemudian di ujung selasar, terdapat semacam gapura besar setinggi beberapa kaki. Sebuah pintu yang menyambung ke jalan menuju Gerbang Homoloides. Bagian akhir dari tamannya sebelum mereka berpindah ke tempat selanjutnya.
Gimnasium Herakles adalah area yang populer dikalangan laki-laki dan prajurit Thebes. Biasanya mereka ramai mengunjungi tempat itu untuk berolahraga maupun berlatih ketangkasan. Namun, suasana hari ini lumayan sepi sehingga Leora memutuskan untuk mengajak Aetius ke sayap timur gimnasium.
Lapangan rumput yang luas itu memiliki papan-papan yang tertancap di tengahnya. Tiang perunggunya disusun dalam jarak yang bervariasi untuk menopang target bidikan. Setiap permukaan lingkaran targetnya, terdiri dari empat cincin luar berwarna hitam dan satu titik kuning dengan lebar yang sama. Lalu patok berwarna dipasang pada jarak tertentu sebagai penanda titik posisi awal menembak.
"Apa kau sering datang ke sini?" tanya Aetius sambil mengamati arena panahan yang lumayan luas tersebut.
"Saat waktu luang saja."
Aetius tersenyum menggodanya. "Cukup langka melihat putri yang terhormat lebih mahir memegang senjata berdawai daripada instrumen berdawai."
Tawa Leora mengudara. "Aku memang tidak mahir memetik dawai, tapi aku lebih ahli dalam merangkai benang," selorohnya sambil mengedipkan sebelah mata. "Kau harus menjaga rahasia ini."
Para gadis memang ditekankan untuk menggiati kegiatan rumah tangga dan berlaku lemah lembut. Menenun, memasak, dan mencuci, mereka harus menguasai semua keahlian itu jika ingin dinikahi oleh seseorang. Budaya patriarki mereka yang kental, cukup menghambat potensi lain mereka.
"Menyulam sudah biasa, tapi kau terlihat lebih istimewa dengan hobimu yang tidak biasa ini."
"Kau terlalu menyanjungku."
Leora kemudian beralih untuk mengambil salah satu busur lalu menalikan senarnya secara mandiri. "Sebagai seorang pemburu, kau pasti sangat mahir menggunakan panah."
"Aku mengakuinya, tapi kemampuanku dalam memegang busur masih belum sebaik Dewi Artemis."
Leora mengambil sebuah anak panah dari tabungnya lalu memasangkan ujungnya ke senar. "Apa kau mau bermain?"
Aetius menyeringai kecil. "Itu terdengar menarik. Apa yang menjadi pertaruhannya?"
Leora menarik senar tegangnya ke belakang, menahannya beberapa saat sebelum melontarkan anak panahnya. Hanya dengan sekali tembakan, dia dapat mengenai targetnya dengan tepat. "Yang kalah harus menuruti keinginan yang menang."
Di saat yang bersamaan, mata Aetius membulat cerah. Bidikannya yang sempurna kembali membuatnya bergelora. Lonjakan adrenalin itu mengalir deras ke seluruh tubuhnya.
"Aku terima tantangannya!" serunya lantas mengambil busur dan anak panah yang disediakan.
"Baik! Kau lihat di sana ada sekitar 15 target ...," tunjuknya kepada Aetius, "siapa yang bisa mencetak skor paling banyak dan cepat adalah pemenangnya."
Aetius tersenyum nakal. "Aku tidak akan mengalah padamu."
"Kau tidak perlu mengalah padaku, tapi cobalah kalahkan aku."
Aetius merasa tertantang. Dia sangat suka dengan sikap Leora yang semacam itu, penuh percaya diri dan memesona. Kapan lagi dia akan mendapatkan kesempatan seperti ini?
"Ayo mulai," ujar Aetius yang sudah bersiap di posisinya.
"Aku akan menghitung mundur."
Keseriusan tercetak jelas ketika mereka mulai fokus kepada target. Tali sudah terpasang dan anak panah sudah siap untuk ditembakkan dari busur masing-masing. Leora mengembuskan satu napas dalam sebelum memulai aba-abanya.
"1 ... 2 ... 3!"
Saat hitungan berakhir, tali tegang mereka bergetar nyaring. Panah mereka terlepas dan meluncur ke sasaran dengan cepat. Tidak ada jeda yang mereka berikan dalam pertandingan ini, bahkan hanya untuk melirik hasil lawan.
Leora mendesis pelan ketika pergerakannya sedikit terhambat oleh lengan panjang chitonnya. Beberapa target memang berhasil ia kenai dengan pas. Namun, tembakannya yang melenceng jauh juga cukup banyak jumlahnya.
Wajah Leora sedikit mengeras ketika ia kembali memfokuskan perhatiannya. Dia tidak akan membiarkan Aetius menang dengan mudah meskipun dirinya adalah perempuan. Setidaknya, dia harus membuktikan bahwa dirinya juga dapat memanah sebaik laki-laki itu.
Tangan Leora bergerak cepat, sama sekali tidak bergetar saat ia berkali-kali melepaskan anak panahnya. Semua isi tabungnya sudah hampir melayang, menancap di papan target untuk yang kesekian kalinya. Namun, Aetius yang gerakannya lebih sigap ternyata berhasil membabat habis target panah yang berada di jarak jauh, seakan semua panahnya melayang dengan ringan di udara tanpa satupun hambatan.
"Selesai!"
Leora bertepuk tangan meriah atas skor akhir mereka. Tawa gembiranya pecah, merasakan keasyikan yang sangat memuaskan. "Kau pemenangnya, Aetius! Apa hadiah yang kau inginkan?"
"Sepertinya aku tidak ingin hadiah. Tapi bolehkah aku meminta sesuatu yang lain?"
"Katakan saja padaku."
"Aku ingin melihat festival mendatang bersamamu," ungkapnya.
Leora menelengkan sedikit kepalanya. "Melihat Daphnephoria bersamaku?" tanyanya lagi untuk mengonfirmasi permintaannya.
"Apa permintaanku sulit untuk dikabulkan?"
Leora menggeleng cepat. "Sama sekali tidak," jawabnya dengan kupu-kupu yang menggelitiki pipinya. "Kesepakatan tetaplah kesepakatan."
Aetius mendekatinya lalu mematri senyum manisnya. "Terima kasih, Leora. Aku akan menantikannya."
❃❃❃
❃Terminologi:
1. Stremma : satuan luas tanah Yunani yang setara dengan 1.000 meter persegi atau kira-kira ¼ hektar.
2. Stadia : satuan panjang Yunani kuno, terdiri dari 600 kaki Yunani Kuno (podes). Panjang pastinya tidak diketahui saat ini, sejarawan memperkirakannya antara 150 m dan 210 m.
3. Xystus : arsitektur Yunani di mana bentuknya menyerupai lorong dengan pilar-pilar sebagai penyangganya dan beratapkan tanaman merambat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top