7 || Pertemuan Kembali

❃❃❃

PERAYAAN Dionysus sudah selesai dengan lancar. Sekarang giliran waktunya untuk memfokuskan persiapan Daphnephoria. Kira-kira siapa yang akan menjadi Daphnephoros—pembawa laurel— tahun ini? Setelah Herakles yang pernah menjadi pembawa laurel terdahulu, belum ada satu pun orang yang dapat melampaui ketenaran putra Zeus itu sebagai seorang Daphnephoros di Thebes.

"Evander," ungkap Arsen yang sedang duduk di kereta kuda bersama Leora.

"Tentu saja dia, siapa lagi?"

Setiap keluarga terpandang di Thebes akan mengirimkan putranya untuk diseleksi sebagai Daphnephoros. Seperti yang diketahui oleh orang Thebes, pembawa laurel yang terpilih akan mencermin sosok dewanya. Maka dari itu, mereka haruslah pemuda yang pandai dan berbakat jika ingin mengabdikan dirinya di Kuil Apollo Ismenus.

Sepupu mereka, Evander, adalah salah satu kandidatnya. Dia berhasil melewati berbagai tes yang diselenggarakan dengan mencetak skor yang sempurna. Mulai dari pengetahuan umum hingga olahraga, tidak ada yang gagal dari hasil ujiannya.

Arsen terkekeh sembari berseloroh. "Ya, dia harus menetap di kuil itu selama 9 tahun."

"Itu tidak buruk, setidaknya dia akan berada di bawah bimbingan Apollo," balas Leora.

Suara tapal kuda yang bersinggungan dengan tanah berderap nyaring. Mereka sedang menuju ke Bukit Ismenion di dekat Gerbang Elektrai. Salah satu daerah yang disucikan untuk Dewa Ramalan dan tempat di mana kuil tertuanya berdiri di Boeotia.

Di sebelah timur, Sungai Ismenus tampak mengalir dari hulu menuju ke bawah kaki bukit. Melintasi kanal-kanal tengah kota lalu mengalir jauh hingga ke bermuara ke Danau Hylika. Kota mereka memang di kelilingi sungai yang melimpah, menjadikan airnya sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat Thebes. Jika musim panas menerjang, mereka sudah punya cukup banyak simpanan air untuk mencegah kekeringan.

Setelah melakukan perjalanan selama beberapa menit, aroma rumput segar yang bercampur myrrh akhirnya menyambut mereka. Kuil itu masih tampak kokoh meskipun sudah berdiri selama beberapa abad. Pilar marmernya yang besar sama sekali tidak lapuk dimakan usia dan justru tampak semakin agung di setiap tahunnya.

Leora dan Arsen langsung menuruni kereta kudanya. Mereka memberikan hormat kepada pendeta yang berjaga sebelum menuju salah satu bangunan kecil di sebrang sana. Tepat ketika mereka sampai di halamannya, seorang pemuda yang setahun lebih tua dari Leora itu langsung menyambut mereka dengan tangan yang terbuka.

"Selamat datang, Putri dan Pangeran."

Arsen langsung merentangkan tangannya. "Senang sekali bertemu denganmu, Evander," balasnya sambil menepuk punggung sepupunya.

"Pukulanmu cukup keras, Arsen," desah Evander pasrah.

Pangeran Thebes itu terkekeh lalu melepaskan pelukannya. "Aku tidak menyangka kau akan menjadi orang suci secepat ini."

"Suatu kehormatan bagiku karena terpilih sebagai Daphnephoros," jawab Evander tersenyum lebar lalu menoleh kepada Leora yang berdiri di belakang Arsen. "Aku juga senang melihat kalian. Bagaimana kabarmu, Putri?"

"Sangat baik, Pendeta Evander," jawab Leora menggodanya.

"Jangan memanggilku begitu, aku belum dilantik secara resmi," kekeh Evander yang tersipu. "Mari masuk ke dalam. Aku harus menjamu kalian dulu."

Tempat tinggal pendeta muda itu tampak sederhana dan rapi. Hanya ada pot-pot herba yang memberikan cukup warna di antara perabotan yang polos. Perhatian Leora kemudian tertuju sebentar kepada lira yang terpajang di dekat altar Apollo, alat musik berdawai yang akan dipertaruhkan dalam perlombaan musik Daphnephoria seperti tahun-tahun sebelumnya. 

"Jadi, kapan aku akan mendapatkan undangan pernikahanmu?" tanya Evander kepada Leora yang tadinya tidak terlalu diperhatikan oleh gadis itu.

"Jika waktunya sudah tepat," sahut Arsen.

"Mencari pasangan hidup bukanlah perkara yang mudah. Jangan terburu-buru untuk menikah jika hanya karena terpaksa."

"Terima kasih untuk sarannya, Evander. Aku tidak akan terburu-buru karena Akalle masih setia menemaniku." Jawabannya seketika membuat kedua laki-laki itu tertawa.

"Oh, ya. Aku dengar kakak kalian akan ke Thebes, benarkah?"

"Calista dan Theron ingin melihat Daphnephoria, jadi aku mengundang mereka untuk melihatnya," jawab Arsen.

"Perjalanan dari Athena ke Thebes cukup jauh. Semoga mereka sampai ke sini dengan selamat," balas Evander yang diamini oleh mereka.

Perbincangan masih bergulir untuk membahas sejauh mana persiapan di kuil mereka. Mulai dari dekorasi hingga persembahan yang akan dilakukan terus dipantau perkembangannya. Kakaknya bilang, mereka akan melakukan pengorbanan hekatombe serta mengadakan kompetisi seni dan olahraga terbesar di Boeotia sebagai rangkaian acaranya. Mungkin tidak langsung diadakan dalam sehari penuh, tetapi akan berjalan secara bertahap.

Leora yang sedikit jenuh, keluar terlebih dulu untuk berkeliling di kompleks Ismenus. Dia mengamati setiap hiasan cantik yang dipajang. Menerka-nerka apa lagi yang harus ditambahkan agar festival mereka tampak semakin meriah.

Laurel akan ditambahkan sehari sebelum festival dimulai. Minyak myrrh dan bongkahan kemenyan juga sudah disediakan untuk persembahan mendatang. Sedangkan sapi-sapi yang masih berada di kandangnya, sedang dirawat semaksimal mungkin sebelum dikorbankan kepada Apollo. Sepertinya semua persiapan festival ini sudah hampir selesai dan tinggal menghitung hari saja.

Setelah Arsen selesai membicarakan hal pentingnya bersama Evander, mereka pun memutuskan untuk kembali ke istana. Mereka tidak ingin mengganggu calon pendeta muda itu lama-lama. Paling tidak, mereka akan berjumpa lagi dengan Evander saat festival tiba.

Leora yang duduk di dekat jendela kereta kuda tampak memperhatikan keadaan luar. Banyak gerobak dan pendatang yang memadati jalanan utama polis. Mungkin sekarang ada puluhan hingga ratusan orang yang sedang bertandang ke Thebes.

"Adelfos, aku ingin mampir ke agora," ungkapnya sambil mengamati riuhnya pasar yang sedang mereka lewati.

"Apa kau ingin membeli sesuatu?"

"Aku hanya ingin melihat-lihat. Di sana tampak menyenangkan."

"Kalau begitu, aku akan menemanimu."

"Itu tidak perlu. Kau pasti akan bosan jika menungguku terlalu lama," balas Leora sehingga Arsen tergeletak. Tentu saja para wanita akan memakan waktu yang lama untuk berbelanja atau sekadar melihat-lihat barang cantik.

"Aku akan ke sana bersama Helota saja."

"Baiklah, aku akan menyuruh kusir untuk berhenti di sini."

"Terima kasih, Adelfos!" seru Leora seraya turun dari keretanya sambil melambaikan tangannya.

"Tetaplah berhati-hati! Jangan lupa untuk kembali sebelum matahari tenggelam!"

"Aku mengerti! Aku pergi dulu!"

Agora Thebes memang menjadi pusat kota mereka. Berbagai aktivitas kota seperti perdagangan, pertukaran budaya, hubungan politik, dan penegakan hukum sering dilakukan di sana. Orang-orang pun bebas masuk dan pergi ke agora bukan semata untuk bertransaksi saja, melainkan juga untuk mengobrol, mencuci mata, hingga bermalas-malasan di kedai pinggir jalan.

Leora yang menyusuri gang-gang kecil mulai mempercepat langkahnya. Dia menyusuri setiap bangunan yang berdiri di kompleks itu dengan gembira. Ada berbagai kuil, stoa, dan arca marmer yang didirikan di sana. Kemudian pohon cemara dan tanaman hias juga sengaja ditanam di sepanjang jalan agar tempat itu menjadi teduh ketika dilewati.

Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya Leora mendatangi salah satu lapak pedagang kain yang berada di bahu jalan. Dia melihat-lihat kain cantik yang direntangkan di atasnya. Ada warna kuning, putih, hijau, dan merah yang ditawarkan. 

Pandangannya kemudian jatuh kepada warna hangat berada di ujung gantungan. Tenunan kain berwarna merah garnet itu terasa lembut ketika disentuh Leora. Jika ditambahkan dengan beberapa bordiran lagi, pasti kain itu akan menjadi karya yang indah.

"Aku ingin mengambil yang ini," ujar Leora kepada sang penjual.

"Mau sepanjang apa, Nona?"

"Tidak terlalu banyak, hanya seukuran selendangku saja," ujarnya sambil mencontohkan selendang yang sedang dipakainya.

"Baik, tunggu sebentar."

Sembari menunggu kainnya dibungkus, Leora juga membeli beberapa benang dan manik-manik kecil. Dia sangat senang karena mendapatkan banyak bahan bagus hari ini. Dia jadi tidak sabar untuk segera menggunakan mereka dalam kegiatan menyulamnya.

Ketika Leora masih melihat-lihat di kios itu, perhatiannya teralihkan oleh suara riuh yang berasal dari sebrang jalan. Dia sedikit menyipitkan matanya untuk melihat apa yang terjadi. Namun, penglihatannya terhalangi oleh sekumpulan orang yang saling berdesakan.

"Aku ke sana sebentar. Nanti susul aku setelah selesai ya," ucapnya kepada Helota yang membawa belanjaannya.

Dengan rasa penasaran yang tinggi, Leora pun mendekati kerumunan itu. Apakah ada perkelahian atau sebuah keonaran? Jawabannya kemungkinan tidak karena mereka justru bernyanyi bersama-sama sambil mengikuti denting sonor yang tercipta.

Ketika Leora semakin dekat dengan sumber suara, tubuhnya tiba-tiba disergap oleh wangi yang melintas. Napasnya tertahan, dadanya kembali berdebar tanpa alasan yang jelas. Ketika dia menemukan siapa orang yang menguntai melodi nyaring tersebut, Leora pun terpana oleh hal tak terduga itu. Pria itu sedang berada di Thebes, memetik liranya dengan lihai sambil bernyanyi riang bersama orang-orang di sekitarnya.

Tepukan dan sorak-sorai dihaturkan kepada musisi yang mengakhiri permainannya. Pria itu kemudian membungkukkan badannya sebagai ucapan terima kasih atas apresiasi para penonton yang sudah menikmati pertunjukannya. Satu per satu dari mereka pun mulai membubarkan diri, kecuali Leora yang masih tertegun pada tempatnya.

Gadis itu sama sekali belum berkedip, seolah tenggelam dalam kabut pesona. Jantungnya kembali berdegup cepat ketika laki-laki itu menyadari kehadirannya. Semakin cepat dan cepat ketika orang itu mulai berjalan ke arahnya dengan senyuman manis yang terukir di bibirnya.

"Kita berjumpa lagi, Putri," sapanya membungkuk hormat.

Leora tersentak dari lamunan. Dia memasang senyum canggung karena tidak mengerti dengan peristiwa yang baru saja menimpanya. "Ah! Tuan Aetius! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."

"Bagaimana kabarmu?"

"Sangat baik," jawabnya dengan suara yang diatur senormal mungkin, tetapi kerjapan matanya yang cepat seolah mengatakan hal yang bertolak belakang.

"Apa selain menjadi pemburu, kau juga musisi?" tanyanya mencari topik ketika ia menangkap lira yang dipegang Aetius.

"Aku senang kau menyebutku sebagai musisi, tapi aku lebih suka menyebut ini sebagai hobi," jawabnya sambil memetik senar lira.

Pemburu yang hobi bermusik? Apakah dia salah satu pengikut Apollo? Kira-kira apa saja hobi yang ia punyai selain berburu dan memainkan alat musik? Apa dia multitalenta?

Leora menggeleng pelan untuk menepis pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di kepalanya. "Jadi kau datang ke Thebes untuk Daphnephoria, benarkan?"

"Itu benar. Ini perayaan langka, jadi aku memutuskan untuk melihatnya secara langsung."

Leora mengangguk kecil. Dia sekilas menggigit bibir bawahnya sambil memijit buku-buku jarinya. Jujur saja, degup jantungnya yang semakin keras membuatnya bertambah gugup untuk berbincang lebih lanjut.

"Apa kau ke Thebes sendirian?" tanyanya kemudian.

"Sebenarnya aku kemari bersama para pengikutk—," Aetius cepat-cepat mengoreksi kalimatnya sebelum Leora menyadarinya, "para pengikut Phoebus Apollo," lanjutnya tersenyum meringis, nyaris saja keceplosan.

Laki-laki itu kemudian berdehem canggung. "Daphnephoria belum dimulai, tapi Thebes sudah seramai ini. Apa Putri bisa merekomendasikan tempat penginapan yang bagus di sekitar sini? Kebetulan beberapa tempat yang aku datangi sudah penuh oleh peziarah."

Leora berpikir sejenak. Jika Aetius datang sebulan yang lalu, mungkin masih ada tempat yang tersedia di sekitar sana. Dia mungkin juga bisa membantunya untuk menemukan penginapan yang murah. Sayangnya, sudah tidak ada penginapan yang tersisa, kecuali satu tempat.

"Apa kau mau menginap di istana kami?" tawarnya hati-hati.

Aetius menatapnya agak lama, memindai kembali mata Leora untuk kesekian kalinya. "Apakah boleh?"

"Tentu saja. Istana kami selalu terbuka untuk tamu yang ingin melihat Daphnephoria."

Leora tidak menyangka kalau kalimat itu akan terlontar dari mulutnya. Menawarkan tempat singgah kepada tamu memang sudah biasa mereka lakukan. Meskipun begitu, mengatakannya langsung kepada Aetius sama sekali tidak terbayangkan olehnya.

"Putri sangat baik hati kepadaku, jadi aku akan menerima tawaran itu."

"Kalau begitu, kau bisa ikut denganku."

Sekembalinya ke istana, Leora langsung memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan semua hal yang berkaitan dengan persinggahan tamunya. Mulai dari tempat menginap, pakaian, jamuan, dan lain sebagainya. Sebagai tamu pribadi pertamanya, dia harus mempersiapkan semua keperluan Aetius dengan mengutamakan xenia.

"Di sini, kau bisa menginap selama yang kau mau," ujar Leora sambil menunjukkan area istana selatan yang diperuntukkan sebagai tempat singgah para tamu. 

"Jika ada sesuatu yang kau butuhkan, jangan sungkan untuk memberitahuku."

Aetius mengedarkan pandangannya sejenak, mengangumi bangunan besar yang memiliki air mancur di tengahnya. Temboknya diukir dengan detail yang indah, merangkum kisah agung berdirinya polis Thebes yang melegenda. Di pekarangannya terdapat taman hijau yang rindang, terlihat cukup asri untuk bersantai di waktu luang.

"Terima kasih, Putri. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku tidak bertemu denganmu," ucap Aetius.

"Ini bukan apa-apa," balasnya menggeleng kecil. "Aku justru senang karena banyak orang yang datang ke Thebes untuk melihat festival kami." 

Leora kemudian terdiam sebentar, memikirkan kalimat yang akan ia ucapkan. "Tapi, bisakah kau memanggilku secara biasa saat kita sendirian?"

"Maksudnya?"

"Kau bisa memanggilku Leora saja, jangan terlalu formal. Bukankah sekarang kita sudah berteman?"

"Berteman? Apakah ini benar?" batinnya yang sedikit bimbang.

Aetius tersenyum padanya. "Jika itu yang kau inginkan, kau juga bisa memanggilku dengan nama saja, Leora."

"Aku senang mendengarnya, Aetius," balasnya dengan sesuatu yang membuncah di dadanya. Dia cepat-cepat mencari dalih untuk keluar dari atmosfer itu. "Hari sudah gelap, lebih baik aku permisi dulu."

Laki-laki itu mengangguk. "Selamat beristirahat."

Rona kemerahan mulai timbul di kedua pipinya. "Kau pun juga. Sampai jumpa besok lagi," pamitnya yang bergegas pergi dari sana secepat yang ia bisa.

Gadis itu menyentuh dadanya dengan dahi yang mengernyit. Hari ini ia mengalami hal yang aneh. Kenapa sarafnya mengirimkan respon yang membingungkan? Apakah tubuhnya sedang sakit ataukah dia yang menjadi terlalu sensitif?

❃❃❃

❃Terminologi:

1. Agora : tempat untuk pertemuan terbuka di polis Yunani.
2. Stoa : dalam arsitektur Yunani, stoa adalah jalan setapak atau dua baris kolom berupa bangunan panjang yang tertutup atap, ditopang oleh beberapa kolom dengan dinding di satu sisinya.

3. Hekatombe : persembahan yang dilakukan dengan mengorbankan 100 sapi, atau dalam praktiknya 12 sapi bisa dihitung sebagai 1 hekatombe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top