5 || Phoebus


❃❃❃

MATAHARI bersinar terang di angkasa. Membiaskan partikel-partikel yang memantulkan cerahnya langit biru. Menyinari keagungan Gunung Olympus yang menjulang tinggi di tanah Yunani.

Awan tebal yang selalu menutupi puncaknya, membuat tidak ada satu pun manusia yang dapat melihat apa yang sebenarnya berada di atas sana. Mereka hanya yakin kalau puncak tertinggi itu merupakan tempat tinggalnya para dewa, penghuni Olympus yang selalu diagung-agungkan oleh manusia.

Tiang-tiang yang berlapiskan permata tampak berkilauan di bawah terpaan sinar mentari. Berdiri kokoh untuk menopang istana langit yang berpendar dalam kemegahan. Pemandangan di sana tampak cemerlang dan menyilaukan, sangat berkontradiksi dengan Dunia Bawah yang dikenal gelap dan suram.

Hamparan bunga putih berbentuk lonceng menjadi karpet langit yang lembut, sama seperti lily lembah ciptaan Dewa Musik yang mendiami dasar Gunung Parnassus. Wanginya yang menguar ke seluruh atmosfer, tercium manis dan lembut ketika memenuhi rongga dadanya. Tidak mengherankan kalau dia menjadikan mereka sebagai salah satu wangi kesukaannya selain myrrh dan frankincense yang berkayu. Namun, ketika ia mencium wangi orris yang menawan itu, sepertinya dia harus merubah kembali daftar favoritnya.

"Kau tampak sangat senang hari ini," ujar Terpsikhore yang menari sesuai alunan melodi.

"Mungkin sesuatu sudah membuatnya berbunga-bunga," timpal Erato dengan seringai nakal.

Nyaringnya petikan lira menggema ke seluruh istana. Sang dewa bersama kesembilan musai pun masih menggubah musiknya dengan penuh penghayatan. Menggerakkan jarinya yang gemulai di antara dawai surgawi untuk merangkai harmoni semesta.

"Kalau begitu, inspirasi aku," balasnya melengkungkan bibirnya yang menawan.

Mahkota daun laurel yang berkilauan di antara rambut pirangnya yang ikal, membuat wajahnya semakin berseri. Tidak salah kalau mereka menjadikannya sebagai Dewa Cahaya dan Matahari di Olympus. Di antara ratusan bintang yang bersinar di angkasa, dialah matahari yang paling terang.

Phoebus Apollo. Selain cahayanya, tidak ada satu pun orang yang mampu menandingi musiknya. Kalaupun ada orang yang terang-terangan meremehkan musiknya maka mereka akan dijatuhi hukuman. Mungkin seperti Raja Midas yang telinganya diubah menjadi telinga keledai, atau justru seperti si satyr Marsias yang dikuliti hidup-hidup setelah bersumbar dapat mengalahkannya dalam sebuah kompetisi bermusik.

Hukuman itu memang terlihat berlebihan dan sadis jika dilihat dari perspektif manusia. Namun, semua dewa memang dikenal mempunyai sifat kejam dan tinggi sejak mereka dilahirkan. Semua hukuman yang mereka berikan adalah sebuah peringatan bagi makhluk fana agar tidak berangan-angan untuk menandingi mereka yang kekal.

Selain merangkai nada dan menerangi semesta, Apollo juga berperan sebagai Dewa Ramalan. Melalui matanya yang tajam, dia dapat melihat hal-hal yang akan datang. Entah itu hal baik maupun hal buruk, dia tidak bisa memilih mana yang akan muncul di penglihatannya.

"Biarkan melodi manismu mengalir," ujar Euterpe seraya meniup aulosnya yang halus.

Sekali lagi, Apollo memetik dawainya dengan penuh penghayatan. Denting liranya melemparkan simfoni yang memikat. Mulai merangkai harmoni dalam suaranya yang semanis ambrosia.

"Pada pandangan pertama,

Diriku terbang tinggi

Menembus langit tak berawan

Dengan sayap yang terpercik api."

Apollo masih terpejam, menyusun akor dan melemparkan arpegio yang terdengar semakin intens.

"Cahayamu yang berkilau di atas lautan

Merangkul renjana Olympus

Membelenggu sinarnya dengan busur yang terentang

Membuai melodinya dalam rekahan yang lembut,"

Tepatnya di awal musim semi, Apollo akan mendapatkan penglihatan pertamanya. Sebuah ramalan sakral yang biasanya akan diperhatikan secara khusus oleh Zeus. Sayangnya, kali ini Apollo sedikit lengah dengan penglihatan pertamanya yang tidak terduga.

"Iris dan mawar berbisik kepada pemanah

Agar mendudukkan cahaya di sisi sang surya

Meraki laurel di atas koronanya

Mengikatkan jalinan pita merah ke jemarinya,"

Apollo yang hanyut ke dalam baitnya, sedikit mengerutkan keningnya. Napasnya berembus kasar ketika ia mengingat kembali hal yang sempat dilihatnya. Kedua matanya pun kembali terbuka dengan kilatan emas.

"Bagaimana mungkin aku bisa melihat diriku di dalam matamu?" gumamnya dengan jantung yang berdebar kerisauan.

Wajah Apollo tampak keruh. Semua baitnya tadi adalah tafsiran ramalan pertamanya. Yang menjadi perhatiannya saat ini bukan hanya tentang putri Thebes itu saja, melainkan juga menyangkut dirinya yang terseret di dalamnya.

Apollo menarik senarnya lebih keras dan tajam. "Bagaimana bisa?" gumamnya rendah dengan alis yang saling bertautan.

Meskipun Apollo adalah Dewa Ramalan, tetapi penglihatannya cukup terbatas. Dia tidak pernah meramalkan nasibnya sendiri maupun melihat dirinya di dalam ramalan seseorang. Namun, baru kali ini dia bisa melihat bayangan dirinya dengan cukup jelas dan nyata.

Saat Apollo masih berjibaku dengan pikirannya, salah satu saudarinya yang bersuara merdu itu datang memanggilnya. "Tuan Phoebus Apollo."

"Ada apa, Calliope?"

"Maaf mengganggumu, tapi Tuan Dionysus baru saja sampai ke sini."

Bibir Apollo yang berbentuk busur itu tertarik. Tampak memesona hingga para nimfa pun akan langsung bersimpuh untuk memujanya. Kekeruhan yang tadinya menyelimuti air mukanya pun perlahan-lahan mulai sirna.

"Kalau begitu biarkan dia masuk."

Ketika Apollo beranjak dari kursi panjangnya, laki-laki muda bermahkotakan daun ivy itu tampak melenggang masuk ke dalam ruangan. Jubah ungu tua dengan selempang bermotif macan tutul itu membalut tubuh abadinya. Manisnya anggur semakin menonjolkan sosoknya sebagai Dewa Anggur, Tumbuh-tumbuhan, Kesenangan, Pesta, dan Kegilaan Liar.

"Apollo! Aku senang melihatmu kembali dari Hyperborea!" seru Dionysus gembira.

"Tidak biasanya kau begitu." 

"Aku dengar, kau taruhan dengan Artemis untuk Elaphebolia. Apa kau kehilangan akalmu?" tanya Dionysus lagi dengan menodongkan cawan minumnya.

Apollo mengangkat bahunya sekilas. "Kenapa? Aku tidak melakukan sesuatu yang buruk di perayaannya."

Dionysus sedikit bergidik. "Sepertinya kau terlalu lama mendinginkan kepalamu," helanya sembari menenggak anggur. "Artemis itu mengerikan saat marah. Kau tahu sendiri dia tidak akan terima jika kau kalahkan."

"Tenang saja, aku hanya sedikit menggodanya. Aku sudah mengembalikan semua persembahan fantastis itu kepada Artemis."

"Semuanya?" sergah Dionysus dengan mata yang melotot. "Tidak biasanya kau mengembalikan hadiah taruhanmu."

"Aku sedang ingin berbaik hati dan membuatnya senang," jawab Apollo tersenyum lebar.

"Tapi kau justru membawa pulang kue elaphoi itu?" tunjuknya kepada guci kecil yang diletakkan di meja belakang.

Dawai lira Apollo tiba-tiba melepaskan suara yang sumbang. "Itu hal yang berbeda," kilahnya sambil lanjut memainkan nada yang berbeda.

"Aku tidak yakin kau akan memakan ini. Lebih enak ambrosia dan nektar," cebik Dionysus sambil menyentuh guci itu.

Apollo langsung menampik tangannya. "Jangan menyentuhnya."

Dionysus terperangah oleh tindakan spontan Apollo. Suaranya yang dingin, ditambah dengan keangkuhan yang tertuang di setiap garis wajahnya itu sungguh tampak mengerikan. Pantas saja semua dewa gemetaran saat Apollo sudah melepaskan topeng pangeran manisnya.

"Apa kau sedang kerasukan?"

Apollo mengambil selembar kain lalu mengelap bekas tangan Dionysus yang tertempel pada gucinya, seolah Dionysus sudah meninggalkan suatu penyakit di sana.

"Tanganku tidak sekotor itu!" protes Dionysus.

"Tapi penuh dengan anggur yang lengket."

"Memangnya seberapa penting guci itu?" 

Pertanyaan itu membuat Apollo berhenti sebentar. "Jangan berspekulasi." Dia masih mempertahankan wajah tegasnya. "Ini pemberian salah satu pengikut Artemis, jadi aku harus memperlakukannya dengan baik."

Dionysus tertawa keras seolah dia sedang melemparkan lelucon kepadanya. "Pengikut Artemis? Sejak kapan kau menghormati para gadis itu?"

Apollo memutar bola matanya. "Terserah apa pendapatmu. Katakan, kenapa kau ke sini?"

"Aku hanya ingin mengembalikan ini," jawabnya sembari menyerahkan cincin emas berukiran lumba-lumba itu kepada Apollo.

Apollo memicingkan matanya. "Tidak biasanya kau mengembalikannya secepat ini."

"Oh, Apollo! Tahun ini Delphi sangat-sangat padat! Aku bisa gila sungguhan kalau mengurusi urusanmu yang bejibun itu."

"Aku belum sempat ke Delphi," gumamnya sembari memakai kembali cincinnya.

Selama Apollo pergi ke Hyperborea, Dionysus akan mengambil alih tempatnya di Delphi untuk sementara waktu. Biasanya Apollo harus menagih Dionysus dulu untuk mengembalikan tokennya. Namun, kali ini dewa itu justru dengan sukarela menyerahkan kesenangan yang sedang ia pinjam itu.

"Festivalmu yang banyak benar-benar membuatku sakit kepala," papar Dionysus sambil menyeruput anggurnya. "Theophania, Permainan Pythia, dan bahkan Daphnephoria akan dirayakan dalam waktu yang berdekatan!" ujarnya heboh saat menyebutkan nama-nama festival Apollo yang diingatnya.

Theophania adalah festival musim semi untuk menyambut Apollo yang baru saja kembali dari Hyperborea. Kemudian Permainan Pythia merupakan pesta olahraga yang diadakan 4 tahun sekali di Delphi, berisikan berbagai macam kompetisi atletik dan seni sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Selain di Delphi, beberapa wilayah yang memuja Apollo pun juga akan merayakan kompetisi itu dengan skala yang lebih kecil.

Apollo melebarkan matanya ketika mendengar festival terakhir yang Dionysus sebutkan. "Daphnephoria juga tahun ini?"

"Pasti kau hampir lupa karena sudah lama," balas Dionysus yang ingat kalau Daphnephoria hanya dirayakan 9 tahun sekali di Boeotia. "Ada pesta yang harus kuhadiri di Thebes dalam waktu dekat. Jika kau mau, aku bisa sekalian mewakilimu seperti dulu."

Jantung Apollo kembali berdebar ketika mendengar nama polis yang menjadi rumah Daphnephoria itu. Padahal sebelumnya hanya Delos, Delphi, dan Hyperborea saja yang membuatnya sangat antusias. Kenapa sekarang ia sangat tidak sabar untuk pergi ke sana?

"Tidak, biar aku sendiri yang datang ke sana. Sudah lama sekali aku tidak datang ke Thebes secara langsung."

"Baiklah kalau itu maumu," balas Dionysus mengamati sejenak saudara beda ibunya itu.

Ketika Leto sedang mengandung anak Zeus, Hera yang cemburu berat langsung mengutus Python—seekor ular naga yang perkasa—untuk meneror dan membunuhnya. Tidak sampai di situ, Hera pun mengutuk semua tanah dan melarang mereka untuk menerima persalinan Leto. Titanis itu pun terpaksa berjalan tak tentu arah untuk mencari tempat berlindung demi melahirkan anak kembarnya. Usaha kerasnya itu pun membuahkan hasil ketika ia menemukan sebuah pulau terapung yang tidak terikat dengan bumi yang dikutuk Hera.

Leto kemudian melahirkan putri pertamanya, Artemis, tanpa satu pun kesulitan. Namun, Hera yang masih terbakar hatinya kemudian menculik Dewi Kelahiran Eileithyia yang membantu persalinannya. Akibatnya, kelahiran anak kedua Leto pun terhambat dan membuatnya mengalami kesakitan yang luar biasa selama sembilan hari sembilan malam. 

Tidak tega melihat ibunya yang tersiksa, Artemis pun berinisiatif untuk membantu persalinannya di bawah pohon palem. Berkat bantuannya tersebut, Leto berhasil melahirkan kembaran Artemis dengan selamat. Dia pun menamainya dengan Apollo, seorang dewa yang kelahirannya telah mengguncang pulau terapung itu hingga tanahnya terpancang ke bumi. Daratan yang tandus itu pun menjadi tanah subur yang di kemudian hari mereka sebut dengan Delos.

Sejak kelahirannya, Apollo langsung menjadi putra favorit Zeus. Dia mendapatkan berbagai macam hadiah dan kekuatan dewa, termasuk busur emas dan anak panah yang ditempa oleh Dewa Pandai Besi, Hephaestus. Namun, perjalanannya baru dimulai ketika ia memutuskan untuk pergi ke Pytho guna membalaskan dendam ibunya kepada Python.

Apollo yang bersenjata lengkap langsung memburu ular naga itu. Mereka beradu sengit menggunakan seluruh kekuatannya masing-masing dan menciptakan pertarungan yang tidak terbayangkan oleh para dewa muda di Olympus. Apollo yang saat itu tidak menyerah meskipun menghadapi makhluk perkasa seperti Python, akhirnya dapat mengalahkannya setelah menembakkan seratus anak panahnya.

Apollo sang Pembunuh Python. Kemenangannya atas duel tersebut menandai awal kebesaran namanya. Dia tidak hanya berhasil membalaskan dendam ibunya, tetapi juga mengambil alih pusat orakel yang dijaga Python. Sayangnya, Apollo harus menanggung dosa dan konsekuensi setelah ia membunuh salah satu anak Ibu Bumi, Gaia.

Zeus harus menghukum Apollo dengan mengasingkannya dari Olympus dan membuatnya menjadi budak di bumi selama sembilan tahun. Setelah Apollo berhasil memurnikan dirinya, dia pun diangkat menjadi salah satu Dewa Olympus dan mengukuhkan nama besarnya sebagai Dewa Matahari dan Cahaya, Ramalan, Musik, Penyembuhan dan Penyakit, Panahan, serta berbagai gelar lainnya yang disegani dewa dan manusia. Meskipun demikian, meramal adalah kemampuan Apollo yang paling diapresiasi oleh ayahnya. Bakat alaminya tersebut merupakan kemampuan langka di antara para dewa yang sebelumnya hanya dimiliki oleh dewa peramal yang mengontrol ramalan di Pytho, seperti Gaia, Themis, dan Phoebe—nenek Apollo dan ibu dari Leto.

Setelah Apollo berbaikan dengan Gaia dan sepenuhnya mengambil pusat ramalan di Pytho, dia pun menyelenggarakan Permainan Pythia untuk menghormatinya. Pusat ramalan tersebut kemudian berganti nama menjadi Orakel Delphi, peramal Apollo yang paling terkenal dan kredibel di seluruh Yunani. Berkat pencapaian inilah, Zeus memilih Apollo sebagai juru bicara dan perantaranya, meminta putranya membisikkan kehendaknya melalui Pythia dan para peramal kepada manusia.

Dionysus mendekatinya lalu berbisik. "Jadi, apa kau melihat sesuatu tentang Thebes? Nasib buruk apa lagi yang akan kau tembakkan ke rumahku?"

Apollo menjawab santai. "Belum ada."

"Benarkah? Lalu apa alasanmu ingin turun ke sana?" selisik Dionysus penasaran.

"Apa aku perlu alasan untuk menghadiri festivalku sendiri?"

"Mungkin. Setahuku kau tidak punya riwayat yang bagus dengan Thebes." 

Ucapan Dionysus seakan menampar wajah Apollo. Panah yang ia tancapkan di tanah itu sudah berkali-kali membuat Thebes merana. Mulai dari ramalan buruk yang didapatkan raja-raja Thebes, terbunuhnya 7 pasang anak Niobe akibat kesombongan sang ratu yang sudah menyinggung Leto, maupun beberapa nasib buruk yang menghiasi tempat asal Dionysus itu selalu berasal dari ujung panahnya yang mengkilap. Tidak ada hal baik yang akan terjadi ketika Apollo sudah melepaskan panah dari busur emasnya.

Dionysus hanya mengamati saudaranya dalam diam. Kilatan mata emas Apollo yang tajam seolah membelah dadanya. Dewa itu seakan sedang menimbang sesuatu yang berat dalam air mukanya yang dipaksakan untuk tenang.

"Aku hanya ingin memastikan sesuatu," ungkap Apollo dengan helaan berat. "Sepertinya para Takdir sedang bermain teka-teki denganku lagi."

Dionysus mengangkat alisnya. Dia menduga kalau apa yang Apollo maksud pasti berkaitan dengan ramalan, sesuatu yang sama sekali tidak bisa ia lihat. Meyakini hal tersebut, Dionysus pun memilih beralih topik karena tidak mau ikut campur dengan hal yang berada di luar kuasanya.

"Aku pernah kehilangan akal karena kesenangan, tapi aku tidak pernah nyaris gila karena melihat hal-hal yang tidak aku inginkan," ucap Dionysus sembari menyodorkan salah satu cawannya kepada Apollo, "aku harap kau berhasil memastikan keraguanmu dan segera melewatinya."

Apollo tersenyum tipis. "Aku harap begitu."

Pikiran Apollo kembali terbang ke suatu tempat. Para Takdir tidak pernah memintal benang nasib yang salah. Hal yang bisa Apollo lakukan saat ini adalah tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun sebelum ia memastikannya lagi. Tidak akan ada yang tahu tentang hal ini karena hanya dia yang bisa melihat ramalan itu.

❃❃❃

Terminologi:

1. Musai : Dewi musik atau sekelompok dewi yang melambangkan seni. Ada 9 Musai yaitu Calliope (puisi kepahlawanan), Cleio (sejarah), Erato (puisi cinta), Euterpe (sajak), Melpomene (tragedi), Polihimnia (puisi suci), Terpsikhore (paduan suara dan tarian), Thalia (komedi), dan Urania (astronomi).

2. Satyr : Makhluk setengah manusia, setengah kambing.

3. Ambrosia dan nektar : Makanan para dewa.

4. Kylix : cawan anggur

5. Pythia: Pendeta Tinggi Apollo di Delphi.

6. Orakel: Peramal.

❤ Hola, semuanya! Terima kasih banyak buat yang sudah mampir ke sini ❤

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komen di bawah. Kalau kalian suka dengan cerita ini, kalian bisa kasih vote, tambahin cerita ini ke perpustakaan kalian, dan klik follow biar kalian nggak ketinggalan updatenya ya. Dah dan sampai jumpa lagi~ ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top