45 || Pergulatan Terakhir

❃❃❃

DI tengah hari yang terik, Aetius meneliti peta kasar yang terukir di tanah. Beberapa kali ia menggambar pola jebakan, menentukan titik-titik penting yang dapat dimanfaatkan. Artemis yang berteduh di bawah pohon, memeriksa kembali tali dan simpul yang sempat dibuat oleh Aetius dengan teliti. Sesekali dia meliriknya yang masih fokus pada rancangan itu, tampak serius dengan kening yang berkerut.

"Jebakan ini harus berkamuflase secara alami," ungkap Aetius dengan suara mantap.

Artemis mengangkat alis, menyukai gagasan itu. "Pohon-pohon besar bisa menyembunyikan tali dan jebakan itu, tapi kita juga memerlukan pengalih perhatian untuk menariknya ke satu sisi. Kau tahu, dia tidak akan datang dengan sendirinya."

"Aku yang akan menjadi umpannya."

Artemis menoleh dengan ekspresi tak setuju. "Kau bercanda? Kau bukan umpan. Kita punya pemburu lain yang bisa-"

"Adelfi, singa itu terlalu pintar," potong Aetius dengan tegas. "Aku tidak bisa memanfaatkan penderitaan orang lain demi keuntunganku sendiri."

Artemis mendesah panjang, lalu mengangkat tangannya menyerah. "Baiklah, tapi jika kau mengambil risiko terlalu besar, aku tidak akan membantumu."

"Tidak masalah, aku bisa mengatasinya dari sini."

Pekerjaan mereka pun berlanjut dalam keheningan, hanya diiringi embusan angin yang membawa aroma hutan. Aetius bergerak cekatan untuk memilih pohonnya dengan hati-hati, memastikan setiap simpulnya kuat untuk menahan kekuatan sang singa. Dia kemudian menggali lubang besar yang atasnya ditutupi dengan ranting dan tanah, menyamarkan perangkap itu dengan dedaunan kering hingga benar-benar tersembunyi dari mata.

"Tali ini harus lebih rendah, sejajar dengan bahunya. Kalau terlalu tinggi, dia bisa melompat keluar," saran Artemis.

"Dia tidak akan sempat melompat," jawab Aetius sambil mengencangkan simpul terakhir. "Kalaupun sempat, itu memanglah yang diharapkan."

Saat jebakan selesai menjelang petang, Aetius sekali lagi memeriksa petanya. Dia sudah memperhitungkan jalur pergerakan sang singa berdasarkan pengamatannya selama beberapa malam terakhir. Dia yakin kalau rancangan yang ia susun ini tidak akan ada yang meleset sedikit pun.

Artemis yang duduk di sampingnya pun memperhatikan dengan senyuman tipis. "Kau benar-benar mempelajari makhluk itu, ya?" ucapnya dengan nada suara yang lebih lembut. "Kau bahkan lebih teliti dariku."

Aetius meliriknya. "Aku tidak punya pilihan lain. Semuanya harus segera selesai."

"Ini sudah cukup baik," ucap Artemis sambil menepuk bahunya pelan. "Sekarang tinggal menunggu waktunya."

Aetius mengangguk pelan, matanya kembali memandang ke hutan yang gelap. "Kau bisa pergi sekarang, aku yang akan menyelesaikannya."

Artemis menghela napas, "Baiklah. Hati-hati," katanya akhirnya. "Aku akan tetap mengawasimu dari jauh."

Aetius tidak menjawab. Dia segera meninggalkan tempat itu dan berjalan kembali ke bukitnya. Persiapannya telah final dan sekarang dia tinggal menunggu waktu mainnya.

❃❃❃

Sementara itu, Leora yang berlutut di depan altar kuil sejak senja terbenam masih belum bergeser dari tempatnya. Aroma dupa yang menguar memenuhi udara, berpadu dengan keheningan yang temaram. Tangannya masih terlipat erat di depan dada, sambil sesekali menyentuh gelang yang melingkar di tangannya dengan gelisah. Biasanya, dia akan mencurahkan doanya kepada Artemis, tetapi sesuatu telah mendorongnya untuk berbicara kepada sosok lain hari ini.

Setelah menyalakan lilin-lilin kecil yang ada di depannya, ia perlahan-lahan mengangkat wajahnya. Matanya yang lembut tertuju kepada patung Apollo yang berdiri gagah, memegang lira di satu tangan dan busur di tangan lainnya. Wajah dewa itu memang terpahat tenang dan penuh wibawa, tetapi selalu mengingatkan Leora kepada ramalan yang menghantui hidupnya.

Leora sontak menunduk kembali. Kedua tangannya meremas kain jubahnya yang kini terasa berat. Hatinya mulai bergejolak di antara keyakinan dan keraguan yang saling bersahutan.

"Mengapa aku harus memohon kepada dewa yang telah membawa penderitaan ini?" pikirnya ragu, tetapi suara kecil di dalam hatinya ikut membantah. "Mungkin, dia juga yang memiliki jawabannya."

Leora menarik napasnya panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali menatap dewanya. Sorot matanya tampak mengkilat, berusaha keras menyuarakan keyakinan dengan suara rendahnya. "Phoebus Apollo," bisiknya bergetar.

"Engkau yang melihat segala sesuatu di bawah sinar matahari dan kebenaran dari segala penjuru dunia."

Leora berhenti sejenak karena degup jantungnya yang semakin cepat. "Meskipun aku jarang datang padamu sebelumnya dan bahkan pernah menyalahkanmu karena ramalan yang kau bawa dalam hidup kami," ujarnya dengan suara yang pecah dan tatapan yang bergetar. "Tapi, hari ini aku datang memohon kepadamu."

"Aku tahu, aku bukanlah pemujamu. Aku juga tahu bahwa selama ini aku hanya memanggil nama saudarimu yang kau kasihi, tapi kali ini, aku meminta belas kasihmu."

Leora kemudian mengadahkan tangannya dengan mata yang terpejam. "Aetius berada di luar sana, di bawah langit yang sama yang kau sinari. Dia sekarang sedang berjuang dalam hidup dan mati karena ramalan yang kau bisikkan kepada kami."

Leora tampak menggigit bibir bawahnya sedikit "Phoebus Apollo, kau yang melihat segalanya dan yang meramalkan nasib ini, maka kau pula yang tahu akhirnya." Dia kemudian membuka matanya dengan sorot yang penuh tekad. "Jika kau adalah dewa yang bijaksana maka tunjukkanlah cahayamu untuknya."

Suaranya terdengar menguat dan penuh pengharapan. "Jika dia berada dalam bahaya, aku mohon lindungi dia. Jika dia dalam kesulitan maka bimbinglah langkahnya agar ia bisa kembali dengan selamat. Berikanlah kekuatan pada Aetius untuk bertahan, kirimkan cahayamu agar dia tahu jalannya pulang kepadaku."

Dia mengakhiri doanya dengan menyentuhkan dahinya ke lantai yang dingin. "Aku memohon padamu, Phoebus Apollo. Jika kau benar-benar mendengarkan doa ini maka berikanlah jawaban walaupun itu hanya secercah harapan."

Ruangan itu masih hening. Hanya terdengar suara angin yang berembus lembut melalui celah-celah dinding kuil. Leora menutup matanya, membiarkan keheningan itu meresap. Dalam hatinya, ia merasa ringan, seolah kata-kata yang ia ucapkan tadi telah membawa sebagian bebannya pergi.

Leora kemudian bangkit perlahan, menyentuh dasar altar dengan lembut sebelum berbalik dan meninggalkan kuil. Ketika baru beberapa langkah keluar, Leora mendapati sesosok orang tengah berdiri menantinya di halaman depan. Di bawah cahaya yang redup, kakaknya berdiri dengan mata yang memancarkan ketenangan, tetapi bibirnya melengkungkan senyum yang sulit diartikan.

"Leora," panggilnya lembut.

Leora mempercepat langkahnya, mendekatinya dengan penuh tanda tanya. "Ada apa?"

"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu," ujarnya dengan sebuah gulungan kecil yang terikat dengan pita merah di tangannya.

Dia kemudian menatap gulungan itu dengan rasa ingin tahu bercampur harap. "Apa itu, Adelfos?"

Arsen mengulurkan gulungan itu. "Pesan Timon baru saja datang. Dia membawa surat ini untukmu. Dari Aetius."

Mata Leora melebar, tangannya sedikir gemetar saat mengambil gulungan itu. "Kapan ini datang?" tanyanya.

"Tadi sore dengan elang tercepat, datang bersama para pemburu yang dipulangkan setelah mendapatkan perawatan dari Tuan Aetius," jawab Arsen.

"Dia apa?" tanya Leora dengan kening yang berkerut.

"Dia mengobati pemburu yang sekarat dan meminta prajurit untuk membawa mereka pulang duluan. Aku rasa, tidak ada pria yang seperti dia dalam perburuan itu. Merawat dan memperhatikan lawannya," balasnya yang kemudian menepuk pelan bahu adiknya pelan. "Sekarang lebih baik kau buka surat darinya."

Leora menatap kakaknya sejenak, seolah meminta konfirmasi izinnya. Ketika ia mendapat jawaban dengan sebuah anggukan kecil, ia pun membuka ikatannya dengan hati-hati. Mata samudranya yang berkaca-kaca tampak melebar bersama kerutan tipis yang menghiasi dahi mulusnya. Bibirnya pun tak kuasa berkata-kata saat membaca isi pesan yang ditujukan padanya.

"Leora yang selalu ada di hatiku.

Maafkan aku karena membuatmu menunggu tanpa kepastian. Aku tahu waktu yang berlalu terasa begitu lama bagimu, sebagaimana halnya bagiku. Tapi akhirnya, aku bisa menyampaikan kabar baik ini.

Aku masih hidup, Leora, dan aku bersyukur bisa menuliskan ini untukmu. Berikan aku beberapa hari lagi untuk menyelesaikan tugas terakhirku di sini. Setelah itu, aku akan segera kembali ke Thebes untuk menemuimu. Aku tidak sabar untuk mendengar suaramu, melihat wajahmu, dan memastikan kau tahu bahwa aku akan selalu kembali untukmu.

Tetaplah kuat, seperti yang selalu kau lakukan. Aku akan segera ada di sisimu dengan seluruh kasih sayangku.

Aetius."

Air mata jatuh perlahan di pipi Leora saat dia selesai membacanya. Hatinya terasa ringan dan lebih hangat, seperti beban yang selama ini ia pikul telah terangkat. Dia mendekap surat itu di dadanya lalu kembali menatap Arsen dengan mata yang dipenuhi harapan.

"Dia akan pulang," bisik Leora nyaris seperti doa yang baru saja ia panjatkan.

Arsen mengangguk, senyumnya kali ini lebih lebar. "Dan kau akan menyambutnya dengan hati yang tenang."

Leora mengangguk, membiarkan senyum tipis terukir di wajahnya. Arsen kemudian menuntunnya pulang sebelum angin malam menerpa. Leora yang melangkah bersama surat yang masih berada di dalam dekapannya itu membawa harapan yang nyata. Akhirnya, cahayanya akan segera kembali padanya.

❃❃❃

Di Gunung Helikon, malam membentangkan langit yang berkelap-kelip di atas hutan. Aetius yang duduk di atas batu besar kini memandang jauh ke cakrawala yang gelap. Bersiap bersama kelompoknya untuk menghadapi singa yang sudah menjadi bulan-bulanan.

Saat ia memantapkan dirinya, angin lembut yang seolah datang dari arah jauh pun tiba-tiba menyapu dirinya. Aromanya terasa lembut dan menenangkan seperti wangi iris yang bercampur dengan petrikor yang hangat. Sebuah doa yang penuh ketulusan dan rasa putus asa itu sudah melintasi jarak dari Thebes hingga mencapai ke telinganya.

"Leora ...," gumam Aetius sambil memejamkan mata.

Doa itu terulang jelas di dalam benaknya. Setiap kata yang diucapkan oleh Leora di altar, membawa kehangatan yang ganjil ke hatinya. Aetius membayangkan Leora berlutut di hadapan patungnya dengan penuh kebimbangan dan pengharapan.

"Kau yang melihat segalanya dan yang meramalkan nasib ini, maka kau pula yang tahu akhirnya ...."

Kata-kata itu terus menggema sehingga membuat Aetius tersenyum tipis. "Kau menyalahkanku, tapi kau juga memohon padaku."

Aetius lantas bangkit dari duduknya, matanya yang tajam menatap ke arah lembah di bawah sana. Ia merasa terpanggil, bukan hanya oleh doa Leora, tetapi oleh takdir yang mulai bergerak semakin dekat.

"Malam ini," katanya pada dirinya sendiri, "jawabannya akan terungkap."

Aetius menatap bintang-bintang di atas sana untuk terakhir kalinya sebelum pergi, seakan mengirimkan isyarat kepada Leora yang ada di kejauhan. Dia kemudian lanjut melangkah ke dalam kegelapan, menyatu dengan malam penuh bahaya. Di dalam hatinya, doa Leora tetap hidup dan menyala. Memandu setiap langkahnya menuju takdir yang telah ditetapkan.

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top