44 || Petunjuk
❃❃❃
SAAT malam berikutnya tiba, Aetius tahu bahwa inilah waktunya untuk bertindak. Seruan panik bercampur dengan teriakan amarah terdengar dari kejauhan, pertanda bahwa Jonas dan kelompoknya kembali menghadapi kekacauan yang baru. Api unggun di tengah perkemahan pun berpendar liar, memperlihatkan siluet para pemburu yang kewalahan saat menghadapi serangan yang mendadak. Sekali lagi, singa itu menghancurkan tenda dan keberanian mereka dengan sekali lecutan.
Di atas bukit kecilnya, Aetius berdiri dengan tenang. Tempat ini cukup aman dari amukan singa yang tak kunjung mereda, setidaknya cukup untuk berlindung hingga binatang itu kembali ke sarangnya. Sementara itu, kuda setianya tampak berjejer di belakangnya, menjaga para pemburu yang ikut menjauh dari kekacauan bersama mereka.
Setelah mengamati situasi di bawah sana cukup lama, Aetius pun membulatkan keputusannya. "Jaga mereka tetap di sini," ujarnya kepada kudanya lalu beralih kepada salah satu pemburu yang lebih muda. "Pastikan tidak ada yang turun dari bukit."
Aetius meraih busur dan anak panahnya lalu menyelinap masuk ke dalam hutan di kaki gunung. Langkahnya nyaris tak bersuara, seperti bayangan yang meluncur di tengah dedaunan yang gugur. Perlahan-lahan dia mengikuti jejak samar yang ditinggalkan oleh singa itu—bekas cakaran di tanah, cabang pohon yang patah, dan genangan darah kecil yang nyaris mengering—dan menyusuri ke mana arah tujuannya. Namun, semakin jauh ia melangkah ke dalam gelapnya hutan itu, cahaya semakin redup dengan jalur yang seperti labirin tanpa ujung.
Aetius menggenggam busurnya lebih erat, lanjut melangkah di bawah sinar bulan yang temaram. Meskipun perasaan gelisah yang tak terdefinisikan itu mulai merayapi dirinya, dia harus tetap lanjut berjalan. Namun, hawa dingin yang sekelebat melintas itu membuat dirinya membeku sebentar.
Mata Aetius menyipit, menangkap sesuatu yang bergerak dengan cepat dari ujung matanya. Itu terlihat seperti bayangan besar yang melintas di antara pepohonan, mungkin saja itu adalah bayangan singa yang sedang ia kejar. Sontak saja ia merendahkan tubuhnya dan bersiap untuk mengejarnya dengan langkah yang senyap.
Saat ia mengikuti bayangan yang masih terlihat samar-samar itu, suara dersik daun terasa semakin dekat dengan posisinya. Dia tahu bahwa dia tidaklah sendirian di sana, melainkan ada sesuatu yang mengintainya dalam kegelapan. Aetius pun langsung mempersiapkan busur dan anak panahnya jikalau harus menghadapi singa itu lagi. Dia lanjut memindai sekelilingnya untuk mencari di mana posisi makhluk itu saat ini. Namun, samar-samar aroma kamperfuli yang tercium harum dan liar itu melintas di penghidunya. Aetius merasakan sesuatu yang tidak asing, apalagi ketika ia mendengar suara lembut nan tegas yang akrab di telinganya.
"Kenapa kau menyendiri?"
Suara yang datang dari kegelapan itu membuat Aetius tersentak. Dia berbalik dengan cepat, melihat bayangan itu semakin dekat. Tepat sebelum ia melontarkan panahnya, tiba-tiba saja bayangan itu membentuk tubuh yang ia kenal, seorang wanita bermata perak yang tinggi dan anggun sudah berdiri di hadapannya dengan busur yang mengkilat di punggungnya. Jelas sekali itu bukanlah singanya, melainkan seseorang yang seharusnya tak berada di sana.
"Kau terlalu lamban, Aetius," cecarnya dengan nada sarkastik. "Kalau terus seperti ini, singa itu akan menghabisi semua pemburu sebelum kau bisa menangkapnya. Apakah itu tujuanmu?"
Aetius sontak menurunkan busurnya dengan wajah yang datar. "Kenapa kau di sini?" tanyanya tajam. "Aku tidak berharap kau datang. Kau bahkan tidak pernah mendengar doaku sebelumnya."
"Aku tidak menyangka kau akan seputus asa itu hingga berdoa padaku," balasnya yang masih terdengar sarkas.
Aetius mengangkat kedua alisnya. "Apa kau mengawasiku, Artemis? Atau hanya datang untuk mengingatkan betapa buruknya aku sebagai pemburu?"
Dewi itu mendekat, langkahnya ringan dan penuh percaya diri. "Aku tidak mengawasimu," balasnya tersenyum miring, "dan aku tidak perlu memberitahumu mengenai hal yang sudah terlihat jelas."
"Jika kau hanya mau mengolok-olokku, lebih baik pergilah dari sini. Jangan menganggu rencanaku," dengus Aetius.
"Rencanamu akan sia-sia jika kau terus menghabiskan waktumu dengan melakukan hal yang tak berguna," komentar Artemis sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan dada.
"Aku masih berusaha—"
Artemis tertawa keras. "Berusaha? Kau menyebut berkeliling di hutan sendirian sebagai usaha? Pemburu amatiran mana yang akan melakukan aksi bodoh itu?" ujarnya sambil menatap Aetius dengan sorot menghakimi. "Kau bahkan baru menyerangnya sekali saat dia sudah menghabisi separuh lawanmu. Jika Ares tahu, dia pasti akan menertawakan dirimu yang memalukan itu."
Aetius tersentak. "Kau pikir aku pengecut? Tidak, aku hanya tahu kapan harus bertarung dan kapan harus menunggu. Kau mungkin pandai berburu, tapi kau tidak mengerti apa yang sedang aku pertaruhkan di sini."
Artemis mendekat lalu menunjuk dada Aetius dengan telunjuknya. "Oh, aku mengerti dengan sangat baik. Namun, aku masih tidak paham kenapa kau harus repot-repot melakukan semua ini. Kau bukanlah pahlawan dalam drama tragis, Apollo, tetapi seorang dewa."
Aetius membuang pandangannya ke arah lain. "Sudah berulang kali aku katakan," desahnya panjang, "aku sedang berusaha membuktikan bahwa diriku bisa menjadi lebih dari sekadar dewa dengan busur panah emasnya." Dia kemudian balik menatap Artemis dengan sorot penuh tekad. "Aku ingin membuktikan perjuanganku untuk sesuatu yang benar-benar berarti dalam hidupku."
"Kau terlalu dramatis dan juga sangat keras kepala," decak Artemis yang kemudian menyandarkan punggungnya ke pohon. Tunik selututnya sedikit berkibar akibat tertiup angin. "Aku jadi penasaran, darimana dia melihatmu hingga bisa terpesona seperti itu dan memohon-mohon di altarku agar kau diselamatkan."
Mendengar ucapannya tadi, Aetius tampak memprosesnya cukup lambat. "Apa yang kau katakan?"
"Dia memohon di depan altarku untuk menyelamatkan seorang pemburu bernama Aetius," ulang Artemis lagi dengan helaan panjang, "sungguh lucu sekali, padahal yang ia doakan adalah dewa yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri."
Entah kenapa, Aetius justru tersipu setelahnya. Dia langsung menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan telinganya memerah. Sayangnya, dia lupa untuk menyembunyikan degup jantungnya yang meningkat berkali-kali lipat.
"Bagaimana kabarnya?" tanya lirih Aetius dengan nada penuh kerinduan.
"Cukup baik dan tidak terlalu buruk. Paling-paling dia murung sebentar dan menangis saat malam karena memikirkanmu."
Aetius memejamkan matanya sejenak, mengeratkan genggaman tangannya sambil termenung. Kerinduan yang mendalam itu semakin menggerogoti jiwanya. Semangatnya yang sempat redup karena rasa lelah itu tiba-tiba saja kembali menyala.
"Kata Eros, cinta itu buta. Tapi aku tidak menyangka kalau Dewa Cahaya juga akan terbutakan olehnya," ujar Artemis tersenyum miring yang sedari tadi memperhatikannya.
Aetius pun mendongak sambil mengulas kekesalan. "Apa kau akan terus mencemooh pemburu ini, wahai Dewi?"
"Jika kau tidak menunjukkan kemajuan dan hanya mengulang kesalahan bodoh yang akan mengurai air matanya lagi, maka kau tidak pantas menyebut dirimu sebagai pemburu," balas Artemis yang melangkah maju. "Kau bilang ingin membuktikan kesungguhanmu, jadi jangan mengecewakanku setelah membuatku turun kemari."
Laki-laki itu melebarkan matanya. "Apa itu berarti kau akan membantuku?"
Jujur saja, hal tersebut cukup mengejutkannya. Bukankah sebelumnya Artemis sangat menentang hubungan mereka? Kenapa dia tiba-tiba datang menawarkan bantuan? Apa itu artinya dia ...?
"Jangan salah paham," ujar Artemis cepat sembari mengambil busur Aetius secara paksa, "aku hanya tidak ingin melihat saudaraku yang bodoh mati konyol."
Dia kemudian menelitinya dengan cermat. "Busurmu terlalu berat dan tidak presisi," komentarnya sambil mematahkan busur itu dengan sekali hentakan. "Sangat buruk."
Aetius yang ternganga pun sontak berseru, "Hei! Aku membuatnya dengan susah payah!"
"Kau perlu sesuatu yang lebih ringan dan fleksibel agar bisa menembus titik lemahnya," balasnya santai sambil mencabut sebuah cabang pohon yang kuat.
"Titik lemahnya?" sergah Aetius yang tampak penasaran.
Artemis terkekeh keras lalu duduk di sebuah batang pohon yang ambruk untuk mengukir cabang itu dengan belatinya. "Apa kau pikir dia tidak punya kelemahan?" tanyanya dengan seringai menggoda.
Aetius kehilangan kata-katanya. Seketika itu pula dia merasa seperti orang terbodoh di dunia. Kenapa juga pertanyaan itu harus spontan terlontar dari mulutnya?
"Masalahmu adalah," ujar Artemis tanpa menatapnya dan lanjut mengukir kayu itu dengan cekatan, "kau terlalu berpikir seperti manusia biasa daripada seperti pemburu. Singa itu kebal terhadap senjata karena kulitnya, jadi berhentilah mencoba menembusnya dengan panah ataupun tombak."
Aetius ikut duduk di samping Artemis sambil memperhatikan aktivitasnya dengan saksama. "Ingat. Kita ini sedang berburu, bukannya bermain petteia. Alih-alih mengandalkan logikamu yang rumit untuk merangkai strategi, kau harus lebih banyak mangandalkan naluri," lanjut dewi itu.
"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?" tanya Aetius yang terdengar gamang.
Artemis menalikan busur itu lalu menoleh. "Lumpuhkan dia. Makhluk sebesar apa pun pasti tetap memiliki titik rawan. Bukankah Python juga sama?" ujarnya sambil mengulurkan busur panah buatannya tersebut.
Aetius membulatkan matanya. Busur itu tampak sederhana, tetapi elegan dan kuat. Ketika ia mengangkatnya, rasanya begitu ringan dan lentur dalam genggaman tangannya.
Apa yang dikatakan Artemis memang benar. Mereka, makhluk-makhluk itu pasti punya suatu kelemahan di balik kesangarannya. Buktinya saja, mereka masih membutuhkan makanan, istirahat, dan selalu menyerang dengan pola tertentu untuk bertahan hidup. Meskipun nyaris mustahil untuk mengalahkan mereka, tetapi itu tidak berarti bahwa mereka tidak mungkin dikalahkan.
"Aku sudah mempelajari pergerakan dan serangannya," jawab Aetius serius sambil berjongkok untuk menggambar pola di tanah. "Dia keluar ketika kegelapan berada di puncaknya, selalu menyerang dari sisi angin yang tidak tercium, dan selalu kembali ke hutan sebelum fajar."
Artemis mengamati peta itu dengan alis sedikit terangkat, seolah mengakui usahanya. "Bagus," katanya sambil berjongkok di sampingnya. "Sekarang kau tinggal menggunakan pengetahuanmu untuk mempersiapkan jebakan."
"Kau serius? Dia saja bisa merobek jebakan mereka dengan satu hentakan."
"Aku tidak berbicara tentang perangkap sederhana," jawab Artemis sambil tersenyum lembut. "Aku berbicara tentang sesuatu yang akan membuatnya berpikir kalau dia telah menang darimu, padahal terlambat menyadari kalau dia sedang dijebak."
Aetius menatap saudarinya, keningnya berkerut skeptis yang bercampur dengan rasa penasaran. "Kau ingin aku memainkan egonya?"
"Tidak hanya itu," jawab Artemis seraya mengambil ranting untuk menggambar peta dan lingkaran tambahan, "kau harus memanfaatkan naluri dan ambisinya. Dia mengira dirinya penguasa di sini, jadi berikan dia rasa percaya diri yang salah lalu bawa dia keluar dari tempat perlindungannya."
Aetius mengangguk perlahan, mulai memahami arahnya. "Jadi, aku harus membuatnya berpikir bahwa aku adalah mangsa yang mudah?"
Artemis tersenyum puas. "Persis. Tapi itu hanya langkah pertama. Ketika dia melompat keluar, kau sudah harus mempersiapkan langkah berikutnya."
Dia kemudian menunjuk ke salah satu area di petanya, gambaran sebuah tanah lapang. "Kau butuh tempat terbuka, jauh dari bayang-bayang hutan. Begitu dia terpisah dari tempat berlindungnya, kau bisa menghadapinya satu lawan satu."
"Mungkin kau bisa menggunakan pohon besar untuk menjepit tubuhnya atau buat dia terjerumus ke dalam lubang yang kau gali. Kalau perlu, buat sekalian perangkap yang berlapis. Dengan begitu, kau tidak perlu bersusah payah untuk menembus kulitnya, tetapi cukup membuatnya tidak bisa bergerak sebelum melancarkan serangan utama," saran Artemis lagi.
Aetius terdiam sesaat, memikirkan rencana itu. "Kau tahu, kau bisa saja membantuku dengan membunuhnya secara langsung," ujarnya dengan nada bercanda yang samar.
Artemis menatapnya tajam, meskipun ada secercah senyum di sudut bibirnya. "Aku bukan di sini untuk menyelesaikan masalahmu, Apollo. Aku hanya di sini untuk memastikan kau melakukannya dengan benar."
"Baiklah," gumamnya tersenyum kecil karena rasa percaya dirinya perlahan kembali. "Aku akan menjebak singa itu, tapi perangkap ini haruslah sempurna. Aku tidak ingin dia lepas lagi."
"Tentu saja," jawab Artemis yakin. "Aku akan membantumu menyiapkannya. Tapi eksekusinya? Itu sepenuhnya tanggung jawabmu."
Keduanya terdiam, membiarkan malam yang sejuk menjadi saksi diskusi mereka. Aetius pun menambahkan detail terakhir pada rencananya, sementara Artemis duduk tenang sambil memastikan keberanian dan ketajaman saudaranya tetap terjaga.
"Besok aku akan ke sini lagi untuk mengajarimu cara membuat jebakan yang benar," ujar Artemis sambil berdiri, menyilangkan tangan dengan gayanya yang anggun seperti biasa. "Akan sangat memalukan kalau gadis pemburuku melihat karyamu yang acak-acakan itu."
"Kau tidak pernah kehilangan kesempatan untuk mengejekku, ya?" tanya Aetius ringan.
Artemis mengangkat bahunya sambil tersenyum penuh kemenangan. "Hanya jika kau layak untuk diejek."
Aetius kemudian berdiri untuk membersihkan debu dari lututnya. Dia menatap Artemis dengan mata yang dipenuhi rasa ingin tahu. "Tapi," ia berkata dengan nada yang lebih rendah, "bagaimana jika para Dewa Olympus melihat kita?"
Pertanyaan itu menggantung di udara sejenak, menyelinap di antara derai angin yang menggerakkan dedaunan. Wajah Artemis yang semula penuh ejekan, kini berubah lebih serius. Ia mendekati Aetius hingga jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa langkah.
"Mereka tidak akan tahu. Aku sudah memastikan kehadiranku tersembunyi," jawab Artemis berubah sedikit tegas, tetapi masih ada kelembutan di sana. "Lagi pula, mereka juga terlalu sibuk memantau hal-hal besar yang mereka anggap penting, bukannya memperhatikan pemburu asing yang hanya menjadi pemeran sampingan."
"Aku harap begitu," tanggap Aetius tersirat kecemasan.
Artemis mendekat lalu menepuk bahunya. "Dengar, Apollo. Kau sudah memilih jalan ini. Kau sudah tahu risikonya sejak awal."
"Itu benar," gumamnya akhirnya, suaranya pelan namun penuh keyakinan. "Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan sempurna. Aku tidak ingin gagal ...."
"Kau tidak akan gagal," potong Artemis tegas, nadanya kembali memancarkan kepercayaan diri yang menenangkan. "Kau sudah mempelajari pola pergerakan singa itu dan kau tahu apa yang harus dilakukan. Sekarang yang kau butuhkan hanyalah sedikit bantuan untuk menyempurnakan strategimu."
Aetius memandang Artemis dengan tatapan yang lebih lembut, senyum hangat perlahan muncul di wajahnya. "Terima kasih, Adelfi. Aku tahu kau tidak perlu melakukan semua ini, tapi aku sangat berterima kasih."
Artemis mengangguk perlahan. "Malam ini beristirahatlah dengan nyenyak. Bahkan seorang pemburu yang keras kepala sepertimu pun butuh tidur." Ia menunjuk ke arah kantung matanya. "Aku tidak mau kau pingsan duluan sebelum berhadapan dengan singa itu."
Aetius tertawa renyah, tetapi tidak sempat membalas ketika Artemis sudah melangkah mundur ke dalam bayang-bayang pepohonan. Dalam beberapa detik, sosoknya sudah menghilang, hanya meninggalkan embusan angin yang membawa aroma dedaunan.
Untuk pertama kalinya sejak perburuan dimulai, ada rasa lega yang merayap di hatinya. Seolah-olah beban yang selama ini menekannya perlahan terangkat. Ia merasa lebih kuat dan lebih kokoh untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Meskipun demikian, dia juga tahu kalau waktu tidak akan selamannya berpihak padanya. Cepat atau lambat, para dewa akan segera menyadari keberadaannya di sana. Namun, ia tidak mau mengkhawatirkan hal tersebut dan lebih memilih untuk fokus kepada satu hal yang pasti, yakni ia akan menang untuk Thebes, untuk Leora, dan untuk rahasia yang hanya ia ketahui.
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top