42 || Kunjungan
❃❃❃
PENANTIAN itu membuat kegelisahannya semakin memuncak. Sudah hampir empat minggu kompetisi itu berlangsung, tetapi dia sama sekali belum mendapatkan kabar apa pun mengenai kekasihnya. Apa yang ia dengar justru banyaknya korban yang berjatuhan dan dibawa kembali ke Thebes dalam kondisi yang mengerikan.
Leora masih membisu di tribun untuk menunggu kabar baru. Memantau perkembangan kompetisi sengit yang diawasi langsung oleh Timon. Namun, hatinya menjadi semakin cabar ketika menyaksikan puluhan tubuh kaku yang diangkut di depan matanya.
Pikirannya begitu semrawut. Bagaimana dengan kondisi Aetius saat ini? Apakah dia juga terluka? Apakah dia baik-baik saja? Tangannya yang berada di atas lengan kursi itu tampak mengepal, berusaha mengesampingkan pikiran negatif yang terus bermunculan bagai angin ribut. Harapan, keyakinan, dan ketakutan itu telah melebur menjadi satu dan menemani hari-harinya yang kelabu.
Sebuah tepukan lembut di bahunya itu menyadarkannya. "Dia baik-baik saja," ujar Arsen di sampingnya. "Aku dengar dari Timon, dia sama sekali tidak terluka oleh serangan itu."
Mata Leora tampak berbinar dengan air mata yang tertahan. "Syukurlah kalau begitu," helanya lirih.
"Dia itu pria yang tangguh. Aku yakin, dia akan berhasil dan kembali dengan selamat," ujar Arsen dengan senyuman hangat. "Pokoknya jangan berhenti berharap."
"Terima kasih banyak, Adelfos," balas Leora tersenyum simpul setelah mendapat cukup ketenangan.
"Bagaimana kalau kau pergi ke suatu tempat saja daripada duduk tegang di sini?" usul Arsen menepuk pundaknya pelan. "Helota atau Akalle pasti mau menemani untuk mencari pemandangan baru."
Akibat kegelisahannya yang tak kunjung mereda, Leora akhirnya menerima saran kakaknya. Dia memutuskan untuk keluar dari rutinitas yang membebani itu untuk mengunjungi Atalanta di kuil. Akalle yang ceria dan penuh semangat itu dengan senang hati menemaninya. Dia tampak bergumam riang di samping Leora yang masih berekspresi kaku.
"Siapa yang ingin kau temui tadi?" tanya Akalle.
"Atalanta."
"Ah, iya. Kenalanmu itu, kan? Kenapa banyak sekali orang asing yang berdatangan padamu, Leora?"
Gadis itu mengangkat sedikit bahunya. "Aku hanya bertemu dengannya saat berburu dan pergi ke pasar beberapa waktu yang lalu."
"Kau tidak mengajakku?"
"Akan merepotkan kalau kau ikut berburu," jawab Leora.
"Uh! Aku memang tidak pandai berkuda atau berburu sepertimu, tapi kau juga tidak mengajakku saat ke pasar?" dengus Akalle yang membuat sepupunya terkekeh. Sebenarnya dia hanya kebetulan melintasi pasar saja waktu itu.
"Kau tahu," kata Akalle sambil menunjuk burung yang terbang melintas, "kalau kita cukup cepat, mungkin kita bisa menyalip burung itu."
Leora tersenyum kecil. "Apa kau mau balapan denganku?"
"Boleh," balasnya menyeringai kecil, bersiap-siap sambil menyincing bawahannya. "Bersedia ...!"
"Aku duluan!" seru Leora yang mencuri permulaan.
"Hei! Kau curang!" sergah Akalle yang tertinggal.
Burung-burung memang terbang dengan cepat, tetapi lari mereka tidak kalah cepatnya. Setelah mengerahkan seluruh kecepatannya, akhirnya mereka sampai di kuil. Dada mereka tampak naik turun, terengah-engah dengan denyut jantung yang masih berpacu.
"Aku akui kau memang berlari dengan cepat, tapi tidak secepat itu, Leora."
Gadis itu tertawa nyaring. "Ini kan balap lari, seharusnya memang kita berlari secepat mungkin."
"Terserah dirimu," hela panjang Akalle yang masih mengumpulkan nyawanya.
Leora kemudian mengedarkan pandangannya. Terlihat kalau sosok yang dicarinya baru saja selesai membantu para pendeta menyiapkan persembahan. Sorot mata gadis itu tampak selalu mengamati, seolah mencatat setiap detail yang ada.
Leora kemudian memanggilnya dengan ramah. "Atalanta!"
Anak itu menoleh, tersenyum lembut saat melihat Leora dan Akalle yang mendekat. "Putri! Aku senang kau datang lagi," sapanya cerah sambil meletakkan keranjang persembahannya ke samping.
"Tentu saja aku akan selalu mengunjungimu," jawab Leora sambil mencubit ringan pipinya gemas. Dia kemudian menoleh kepada Akalle yang berdiri di sebelahnya.
"Atalanta, ini Akalle, sepupuku. Aku membawanya bersamaku hari ini."
Akalle segera mengulurkan tangan. "Kau gadis kecil yang sempat diceritakan Leora padaku. Senang bertemu denganmu."
Atalanta menyambut uluran tangannya dengan sopan, meskipun sedikit terkejut oleh energi Akalle yang mencolok. "Senang bertemu denganmu juga, Akalle," jawabnya lembut. "Putri sempat menceritakan dirimu."
"Oh, begitu? Apa saja yang dia katakan? Semuanya baik, kan?" goda Akalle sambil melirik Leora.
Leora menghela napas. "Tentu saja. Kau pasti akan besar kepala jika kuberitahu," balasnya.
Atalanta tertawa kecil, merasa nyaman dengan dinamika antara dua sepupu itu. Ia segera mengajak mereka duduk di bawah pohon zaitun yang rindang, tempat mereka bisa berbicara lebih santai di sana.
"Jadi, bagaimana rasanya tinggal di tempat seperti ini? Apakah kau tidak bosan dengan semua ritual itu?" tanya Akalle yang penasaran
Atalanta menggeleng kecil. "Di sini menyenangkan! Setiap hari ada sesuatu yang baru untuk dipelajari."
"Wah, sepertinya seru!"
"Aku bisa memperlihatkan beberapa hal kalau kau mau."
Leora memperhatikan percakapan mereka dengan senyuman kecil. Ia merasa lega melihat Akalle begitu cepat akrab dengan Atalanta. Suasana yang hangat ini sedikit menjadi ketenangan dan kenyamanannya.
"Apakah Putri ingin berdoa lagi hari ini?" tanya Atalanta.
"Ya. Aku ingin berdoa ...seperti biasanya."
Akalle yang duduk sambil mengayunkan ranting zaitun di tangannya itu terkikih kecil. "Seperti biasanya? Kau berdoa setiap hari di kuil? Kau pasti benar-benar mengkhawatirkannya."
Leora menghela napas. Wajahnya mulai memerah, tetapi ia tidak menyangkal. "Aku hanya ingin dia selamat. Apakah itu salah?"
Akalle menyandarkan dagunya di telapak tangan, menatap sepupunya dengan ekspresi menggoda. "Tidak salah, tentu saja. Tapi setiap hari? Kau lebih rajin daripada pendeta kuil."
"Putri memang sangat rajin," bela Atalanta yang angkat bicara. "Kadangkala saat merasa gundah, doa adalah satu-satunya cara agar kita merasa dekat dengan mereka yang jauh."
Akalle sedikit terkejut oleh kalimatnya yang terdengar bijak. "Kau sangat benar, Atalanta. Doa memang bisa membuat jarak terasa tak terlalu jauh. Aku sendiri sering merasa begitu."
"Akalle ...," gumam Leora merasa tersentuh.
Akalle hanya menggeleng kecil sambil berusaha mengembalikan suasana ceria dengan berseloroh. "Kau harus berdoa lebih sering lagi untuk pemburu misterius itu, Leora."
"Dia bukan pemburu misterius," balasnya dengan nada yang sedikit tajam dari yang ia maksudkan.
Akalle tertawa puas karena berhasil mendapatkan reaksinya. "Oh, tentu saja dia bukan," katanya memutar-mutar ranting itu seperti tongkat ajaib. "Dia hanya datang seperti angin, menghilang seperti badai, dan entah bagaimana, berhasil memporak-porandakan hatimu hanya dengan dawainya yang manis. Apakah itu tidak cukup misterius?"
Leora menghela napasnya panjang. "Dia tidak memporak-porandakan apa pun, Akalle. Kau hanya suka membesar-besarkan," jawabnya sambil menyilangkan tangan.
Akalle meletakkan rantingnya lalu menatap Leora dengan ekspresi dramatis. "Membesar-besarkan? Leora, bahkan para penyair akan kesulitan untuk menggambarkan betapa rajinnya kau berdoa untuknya." Ia kemudian mencondongkan tubuhnya sambil menatap Leora dengan mata berbinar. "Kau tahu? Bahkan Artemis pun pasti akan iri saat melihatmu bersikap penuh pengabdian saat mendoakan pria itu."
Atalanta sedikit menundukkan kepala, menyembunyikan senyum kecilnya. Dia masih melirik sambil memperhatikan perdebatan mereka yang sangat menarik untuk didengar.
Leora menegakkan punggungnya, mencoba menghindari pandangan Akalle. "Doaku bukan hanya untuk dia," katanya terbata. "Aku berdoa untuk ...banyak hal. Untuk keselamatan semua orang."
"Semua orang, ya? Kalau begitu, aku yakin dia adalah semua duniamu," balas Akalle lagi yang masih tak mau kalah.
Kali ini, Leora melipat tangannya dengan ekspresi yang mencerminkan perpaduan antara kesal dan malu. Dia cepat-cepat berdiri sebelum semu merah itu menghiasi pipinya. Kemudian menyapu debu dari chitonnya sebagai pengalihan dengan gerakan yang gagap.
"Aku akan ke altar untuk berdoa saja. Kau tunggu di sini," katanya.
"Perlu aku temani, Putri?" tanya Atalanta.
"Tidak perlu, kau temani Akalle saja," pungkasnya bergegas pergi.
Sementara Atalanta hanya mengangguk, Akalle melambaikan tangan dan kembali ke sikap santainya. Gadis kecil itu kemudian menoleh pada Akalle dengan senyuman samar. "Apa menurutmu, dia benar-benar mencintai pemburu itu, Akalle?"
Dari kejauhan, Akalle menatap Leora yang sudah berlutut di depan altar. "Setahuku, dia memang mencintainya dengan sepenuh hati."
"Aku bahkan tidak pernah melihat Leora seperti ini selama aku mengenalnya," lanjut Akalle yang didengar Atalanta dengan saksama. "Kekhawatirannya yang berlebihan itu sudah memenuhi pikirannya, apalagi saat mendengar kalau singa itu sudah membantai separuh pemburu di sana."
"Membantai mereka?" tanya Atalanta yang membulatkan matanya.
Akalle mengangguk kecil. "Katanya seperti itu. Dia benar-benar mengerikan. Untung saja kata Arsen, Aetius masih terselamatkan."
Mendengar nama itu lagi, membuat hati Atalanta bergetar oleh kegelisahan. Dia memang tahu kalau Singa Cadmea bukanlah makhluk biasa. Namun, dia juga teringat kalau para dewa sekalipun tidak ada yang bisa menanganinya dengan mudah, kecuali mereka tahu titik lemahnya.
"Maaf, aku jadi banyak bicara," kekeh Akalle.
Atalanta menggelengkan kepalanya dengan senyuman kecil. "Kalau begitu, kita harus menghiburnya selama perburuan ini belum selesai." Dia kemudian menerawang gadis itu dengan mata yang lembut "Setidaknya, dia tidak akan berlarut-larut dalam kerisauan sendirian," ujarnya yang mengukir senyum lega Akalle.
"Aku senang dia punya teman yang perhatian di kuil ini," ujarnya sambil menatap Atalanta hangat. "Tolong awasi dan titip sepupuku, ya."
Atalanta mengangguk cepat. Seharusnya dia yang berterimakasih padanya karena Leora mempunyai sepupu yang ceria. Setidaknya, ada seseorang yang mampu menghibur gadis itu selama Aetius belum kembali dari misinya.
"Apa yang kalian bicarakan?" interupsi Leora yang baru saja kembali.
"Tidak ada. Aku hanya bertanya mengenai kondisi kuil," dalih Akalle.
"Apa kau juga ingin mengabdi seperti Evander?" celetuk Leora.
Akalle mengedikkan bahunya. "Aku tidak yakin Artemis akan menerimaku yang sama sekali tidak bisa memegang busur."
Atalanta tertawa kecil, lalu disambut dengan kekehan mereka yang nyaring. Perasaan hangat itu mengudara ketika mereka saling bertukar cerita, saling mengisi kekosongan dengan merangkai bunga dan bingkisan buah. Meskipun hanya dengan aktivitas yang ringan ini, beban yang mengganjal di hati Leora dapat terangkat untuk sementara.
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top