41 || Raja Berkuku Tajam
❃❃❃
HARI-hari berlalu dengan lambat di hutan Gunung Helikon. Matahari telah terbit, menerangi langit gelap yang mulai pudar. Meskipun jiwa dewanya masih membersamai, tetapi Aetius mulai merasakan ketegangan yang lebih manusiawi. Perburuan Singa Cadmea telah menguras lebih dari sekadar tenaga fisiknya, tetapi juga menguji ketahanan batinnya. Satu-satunya tujuan yang tercetak tebal di benaknya hingga saat ini hanyalah bagaimana ia bisa menangkap singa yang legendaris itu dan mengakhiri semuanya.
Perutnya yang kelaparan mulai mengganggu pikiran. Tubuh manusia yang ia huni kini membutuhkan makanan untuk membakar energi tambahan. Seiring dengan rasa lelah yang menumpuk, ia terpaksa meninggalkan ambisinya sejenak.
Dengan hati-hati, Aetius mulai menyisir hutan tanpa menciptakan suara yang keras. Kali ini, dia mendekati sebuah pohon besar yang memiliki beberapa sarang burung di cabangnya. Lalu dengan gerakan yang cekatan, ia menarik busurnya, melepaskan anak panah, dan menembak seekor burung yang terbang keluar dari sarangnya.
Wajah Aetius tampak cerah ketika burung itu jatuh ke tanah. Meskipun ukurannya tidak terlalu besar, setidaknya dia bisa mengganjal perutnya yang keroncongan. Dia meraih hasil buruannya tersebut, membuat api unggun kecil, lalu mulai memasaknya sambil beristirahat dalam suasana yang tenang.
Udara pagi terasa lebih sejuk dengan embun yang menguap. Kali ini keheningan terpecah oleh kicauan burung yang terdengar semakin intens, seolah menjadi sebuah pertanda akan sesuatu yang besar. Aetius lantas menyudahi santapannya dan kembali melangkah di sepanjang jalur yang telah ia buat tempo hari dengan penuh kehati-hatian. Di bawah cahaya matahari yang mulai menyengat, ia memperhatikan setiap jejak yang ia temui dengan saksama. Menelisik setiap patahan ranting dan injakan rumput yang mungkin menandakan keberadaan sang singa.
"Singa itu pasti ada di sekitar sini. Aku bisa merasakannya dekat sekali," gumamnya pantang menyerah.
Sayangnya, hari demi hari singa itu semakin meninggalkan sedikit pertanda. Saat senja kala tiba, dia memeriksa kembali perangkap yang telah ia pasang di beberapa tempat, tetapi tak ada tanda-tanda bahwa singa itu akan terjebak. Setiap hari ia mengikuti jejak-jejak yang ia kumpulkan, berusaha untuk mendekati sarang sang binatang buas. Namun, singa itu sepertinya lebih pintar dari yang mereka perkirakan karena dia ternyata meninggalkan jejak palsu yang menipu setiap pemburu yang mencarinya.
Hari demi hari sudah berlalu, perasaan letih pun semakin membebani tubuhnya. Aetius kembali menyusuri hutan dengan langkahnya yang pelan dan tidak pasti. Ia sudah berada di hutan itu sejak fajar menyingsing, mengintai di balik semak belukar, serta berjibaku dengan dahaga dan suhu yang terik. Namun, hingga sinar matahari kembali meredup dan bintang sudah balik menggeser hari berkali-kali, dia belum kunjung mendapatkan hasil yang ia inginkan.
Ke manakah singa itu pergi dan bersembunyi selama ini? Sudah nyaris berhari-hari lamanya dia menyemai ketenangan di Gunung Helikon yang seharusnya tidak terjadi. Hal ini membuat Aetius frustasi karena merasa bahwa singa itu sedang bermain-main dengannya. Binatang itu telah mempermainkan Apollo, dewa yang bisa melibas setiap monster dalam satu tembakan.
Jika saja dia bisa menggunakan kekuatan dewanya, dia pasti sudah mendapatkan singa itu dalam satu kedipan mata. Namun, ia segera tersadar bahwa bukan kekuatan itu yang harus ia tunjukkan dalam sayembara ini, melainkan kesungguhan dan kerja keras dari keringat Aetius sendiri. Maka dengan begitu, Leora bisa melihat keseriusan hatinya, ketulusan cinta Aetius untuknya seorang.
Aetius yang sudah bekerja keras seharian ini memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya di tanah yang keras. Dia bersandar di sebuah batang pohon sambil mencari kenyamanan. Kemudian menatap langit malam yang sedikit tertutupi oleh awan mendung dan mulai menghitung gemintang dengan matanya yang sayu. Jika dia sampai gagal dalam perburuan ini maka masa depannya dengan Leora yang akan dipertaruhkan.
"Tidak boleh menyerah sekarang," ujarnya berusaha mengusir kegundahan. "Aku hanya perlu berhati-hati dan lebih sabar."
Helaan panjang itu terlepas ketika dia melirik ke arah kanan. Dia bisa melihat pemandangan di kejauhan dari bukit kecil yang ia tempati sekarang. Di bawah sana, cahaya api perkemahan para pemburu terlihat berkedip-kedip. Nyalanya berpadu dengan malam sepi yang dingin.
Akan tetapi, keheningan ini mulai terasa janggal. Tidak ada suara jangkrik ataupun dersik daun kering yang berjatuhan. Entah kenapa rasanya terlalu tenang dari malam-malam sebelumnya, seolah hutan itu sedang menahan napas dan takut untuk berbicara.
Ketika ia hendak menjauh dari prasangkanya tersebut, hal itu justru menjadi kenyataan. Tiba-tiba saja, malam dipecahkan oleh suara teriakan dan raungan yang menggema di antara pepohonan. Aetius sontak bangkit dengan waspada, matanya membelalak ketika melihat siluet raksasa yang muncul di tengah-tengah perkemahan di bawah sana.
"Dia keluar," gumamnya tercengang.
Singa Cadmea dengan bulu keemasannya yang berkilauan di bawah cahaya api, akhirnya telah menampakkan wujudnya. Tubuhnya sangat besar dengan kaki-kaki berotot dan kuku yang tajam. Sekali ia melompat tinggi, bumi pun ikut berguncang. Taring dan cakarnya yang membelah udara, mulai menebarkan kepanikan di antara para pemburu ysng tergegap untuk mengambil senjatanya. Serangan pun ia layangkan bersama auman keras hingga jeritan melengking memenuhi atmosfer yang remang.
Tubuh manusia Aetius langsung bereaksi dengan dorongan adrenalin yang tidak biasa. Dia langsung meluncur ke sana dengan busur di genggamannya. Ia tahu kalau ini adalah kesempatan langka untuk melawan singa itu. Namun, saat ia melangkah lebih dekat kepada binatang yang sedang mengamuk itu, bayangan lain ikut melintas di sisinya.
"Jonas ...," desis Aetius mengenali sosok pangeran Athena yang sedang berlari menuju ke singa dengan tombak yang terangkat. Wajahnya dipenuhi keberanian, atau mungkin keangkuhan saat ia meneriakkan perintah kepada pengikutnya.
"Jangan mundur!" teriaknya kepada para pemburu lain. "Makhluk ini harus ditaklukkan malam ini!"
Tombak demi tombak dilemparkan ke arah singa itu, tetapi semuanya memantul seperti mainan tak berguna. Kemarahan singa itu semakin membara. Makhluk itu merobohkan pohon besar di dekat perkemahan dengan satu loncatan besar, menebarkan kekacauan sehingga para pemburu mulai kehilangan keberaniannya dan melarikan diri ke arah yang berlawanan.
Aetius memperhatikannya dari jarak yang cukup aman. Dia melihat bagaimana singa itu menerkam satu per satu pemburu yang tidak berdaya. Tidak ada yang bisa menghentikannya, meskipun itu adalah para dewa.
Singa itu mendengus marah, aumannya terdengar memekakan telinga hingga berpuluh-puluh stadia. Dia kembali melompat dengan satu langkah yang besar dan menerjang mereka dengan keberingasan. Setiap cakaran, koyakan, dan geraman sahut-menyahut dengan jilatan api unggun yang semakin membesar.
Untuk sesaat, Aetius merasa senang ketika singa itu mulai membantai pemburu lain. Kebrutalan yang mengerikan itu telah menghilangkan sebagian besar potensi ancaman dalam sayembara ini. Jika singa itu terus meneror mereka maka ia akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memenuhi ramalan yang diturunkan kepada Thebes.
Akan tetapi, ketika obor-obor panas mulai dilontarkan, perasaan senangnya perlahan mulai memudar. Rasa takut yang mencekam mulai timbul dengan samar. Aetius menyadari bahwa singa itu memang sulit untuk dihadapi, bukan hanya oleh mereka melainkan juga akan membuat seorang dewa sendiri pun kesulitan.
Laki-laki itu masih mengamati pertarungan mereka dengan mata yang tajam dan penuh kewaspadaan. Busur dan anak panahnya sudah siap untuk ditembakkan, tetapi ia masih belum bergerak. Dia tahu dengan tubuh manusianya yang terbatas ini, menyerang singa itu secara langsung hanya akan menjadi keputusan yang gegabah.
"Singa itu sudah terlalu marah sekarang," gumam lirih Aetius melihat bagaimana makhluk itu meradang di tengah-tengah para pemburu yang kocar-kacir. "Jika aku melawannya, aku hanya akan menambah bahan bakarnya."
Sayangnya ketika melihat Jonas dan pengikutnya yang terus mendesak maju, Aetius merasa waktunya semakin sempit. Jika pangeran Athena itu berhasil melumpuhkan singa itu maka harapannya dengan Leora akan sirna. Meskipun demikian, ia juga tahu bahwa sebuah langkah yang asal-asalan bisa berujung pada kematian. Tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi juga untuk mereka yang berburu tanpa rencana yang matang.
"Aku tidak akan membiarkan dia mendapatkannya," gumam Aetius yang menyadari bahwa perburuan ini telah berubah menjadi pertarungan pribadi antara mereka berdua.
Singa itu mengeluarkan raungan keras, menggema ke seluruh penjuru hutan. Jonas yang tetap bertahan di dekatnya, mencoba menusukkan kembali tombaknya dengan kekuatan penuh. Namun, singa itu dengan mudah menepis serangan itu, membuat sang pangeran kehilangan keseimbangannya. Ketika cakar tajamnya meluncur ke arah Jonas, perisainya yang hancur dalam sekejap membuatnya pria itu jatuh ke tanah dengan penuh kehororan.
Melihat hal tersebut, Aetius memutuskan untuk melangkah ke depan. Dia melompat dari sebuah batu dengan penuh keberanian. Kemudian menarik tali busurnya sambil mengarahkan panahnya dan menembak tubuh singa yang perkasa itu dengan tepat sasaran. Sayang seperti yang sudah ia perkirakan, anak panah itu hanya memantul di kulit singa yang kebal seperti baja. Binatang itu masih berdiri gagah tanpa tergores sedikit pun oleh puluhan senjata yang mereka lemparkan.
Aetius menahan napasnya setelah berhasil mengalihkan perhatian binatang itu sejenak. Sebagai Apollo, ia pernah melawan berbagai ancaman, mengalahkan monster, dan bahkan beberapa dewa lainnya. Namun, tubuh manusia yang ia huni sekarang telah membatasi kemampuannya. Dia tidak akan bisa bertahan lebih lama jika melanjutkan perburuan yang bermodal nekad seperti ini.
Jantungnya berdegup semakin cepat saat ia menembakkan anak panah berikutnya, sengaja ia melesetkan sebagai peringatan kepada sang singa. Binatang itu menatapnya tajam dengan mata yang mengkilat, lalu mengaum keras penuh kegeraman. Selanjutnya, dia kembali menerkam beberapa pemburu, menyeret mereka dengan kekuatan luar biasa, dan mencabik-cabik tubuhnya. Teriakan pemburu yang sekarat segera tenggelam, menyisakan langkah berat dari makhluk yang tampaknya sudah cukup puas dengan perburuannya malam ini.
Setelah memangsa beberapa pemburu terakhir, singa itu menggoyang-goyangkan surainya yang basah oleh darah sebelum melarikan diri ke dalam hutan. Aetius yang berada di sana pun masih membeku dengan napas terengah-engah. Dia mengedarkan pandangannya ke jejak kehancuran yang ditinggalkan, melihat tanah di sekitarnya yang sudah berubah menjadi genangan merah. Keadaan carut-marut dengan api yang mulai padam itu pun telah diselimuti oleh ketakutan yang kelam.
"Apa ini yang disebut legenda besar?" umpat Jonas frustrasi. Dia melemparkan tombaknya ke tanah, mencetak kemarahan bercampur rasa tak percaya yang semakin terlihat jelas di wajahnya yang merah padam. "Makhluk itu tidak bisa dikalahkan!"
Aetius yang mendengarnya pun tidak menanggapi. Ia kembali menatap jejak kaki besar yang mengarah ke dalam hutan yang lebih gelap. Meskipun tubuhnya terasa lelah, matanya masih memancarkan tekad.
"Makhluk ini adalah ujian," gumamnya. "Dan aku tidak akan menyerah hanya karena kegagalan pertama."
Aetius menyeka keringat di dahinya lalu membungkuk untuk mengambil kembali anak panahnya yang patah. Malam ini telah membuktikan bahwa Singa Cadmea memang tidak bisa dikalahkan dengan senjata biasa. Ia membutuhkan rencana yang lebih matang daripada sekadar mengandalkan keberanian yang kosong.
Sementara Jonas memimpin para pemburunya yang tersisa untuk mundur, Aetius tetap di tempatnya untuk mendengarkan hutan yang kembali sunyi. Pertempuran ini baru saja dimulai. Meskipun singa itu telah melarikan diri malam ini, tetapi dia akan kembali sebagai ancaman yang lebih besar.
"Aku tidak akan menyerah sampai makhluk itu jatuh," pikirnya sambil menatap langit gelap.
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top