4 || Elaphebolia
❃❃❃
FESTIVAL Elaphebolia akhirnya sudah datang. Kombinasi antara tabuhan toubeliki dengan petikan kithara terdengar merdu saat mengiringi himne suci mereka. Nyanyian itu mereka panjatkan untuk memuja dan memuji Artemis Elaphebolos yang sekarang tengah menjadi pemilik perayaan.
Orang-orang mulai memadati kuil utama Dewi Perburuan. Di depan bangunan suci itu, tersusun tumpukan kayu bakar yang akan digunakan untuk upacara pengorbanan. Sementara di sisi kanan dan kirinya dibatasi oleh kayu hijau yang tidak mudah terbakar. Semuanya terlihat lebih rapi karena jalan altarnya dipoles mulus dengan tanah liat.
Karangan bunga amaranth dan mugwort menghiasi sepanjang dinding kuil. Untaian sulur dan pita membalut kolom-kolom marmernya dengan apik. Kain-kain berwarna cerah yang dibentangkan ke atas pun menyemarakkan festival mereka yang hanya dirayakan setahun sekali.
Para pendeta wanita terlihat memasuki pelataran kuil dengan menaiki kereta rusa. Mereka menyalakan altar dengan obor yang dibawa. Setelah apinya membesar, mereka mulai membawa satu per satu hadiah yang akan dipersembahkan.
Suara kertakan terdengar nyaring saat melahap kayu bahan bakar. Kobaran api perlahan-lahan mulai melahap persembahan mereka ke dalam bara yang panas. Menghanguskan semuanya dalam balutan asap putih yang membubung tinggi ke angkasa.
Sementara perayaan masih berlanjut dengan suguhan dan hiburan, Leora juga melanjutkan acaranya. Para pengawal tampak menggotong rusa besar itu ke kuil sebelah. Sebuah kuil yang dibangun oleh Thebes sebagai tanda hubungan baiknya dengan Hyampolis.
Ketika Leora memasuki bilik kuil, seorang wanita bertudung putih lantas menyambutnya sambil membungkuk hormat. "Selamat datang, Putri Leora dari Thebes. Perkenalkan, aku pendeta yang menjaga kuil ini."
"Senang sekali bisa bertemu dengan Pendeta," balasnya sambil balik memberi hormat. "Aku harap Anda berkenan membimbingku dalam pengorbanan khusus ini."
"Tentu saja. Mari ikuti aku."
Pendeta itu menuntun Leora ke bilik pemujaan. Dia mengambil kendi perunggu lalu meminta gadis itu untuk membasuh tangan dan wajahnya dari air yang mengalir. Setelah penyuciannya selesai, Leora kemudian duduk di belakangnya sambil menunggu pendeta itu menyalakan altar mereka.
Ketika api sudah membara, mereka mulai menggumamkan himne kepada Artemis dengan khidmat, sama persis dengan nyanyian di festival sebelumnya. Satu sayatan dari bilah tajam itu pun dipersembahkan kepada sang dewi. Menandai puncak pengorbanan mereka ketika bara api menyentuh darah sang rusa suci.
"Sekarang panjatkanlah doamu. Jika sudah selesai, kau bisa membunyikan lonceng ini untuk memanggilku."
"Baik. Terima kasih."
Ketika pendeta sudah meninggalkannya sendirian, Leora pun bergerak mendekat. Dia bersimpuh di depan altar lalu meraih sebuah cawan anggur di sebelahnya. Ketika ia menumpahkan isinya ke dalam altar, di saat itu pula ia memanjatkan doanya sambil menadahkan kedua tangan.
"Oh Nona Artemis Elaphebolos, sang pemburu malam yang berkilauan sinar rembulan. Tolong selalu lindungi aku dalam segala hal. Tuntunlah aku untuk menemukan laki-laki yang pantas dan bantulah aku untuk menjaga kemurnianku hingga aku menikah kelak," batinnya.
Leora memejamkan matanya, tenggelam penuh kesungguhan. Kata orang-orang, Artemis selalu menghadiri Elaphebolia dan mendengar doa mereka. Oleh karena itu, dia harus fokus dan yakin kalau dewinya itu akan mendengarkan dan mengabulkan harapannya.
Ketika keheningan merambah dan ketenangan telah mendamaikan jiwa, sayup-sayup telinganya mulai tergelitik oleh suara langkah kaki yang terdengar. Dahi Leora mengernyit tipis, berusaha untuk mengabaikan gangguan kecil tersebut. Namun, langkahnya terasa semakin mendekat sehingga dia terpaksa harus membuka kedua matanya.
Saat Leora menunda sejenak ibadahnya, dia tidak langsung menoleh ke arah orang yang tidak diundang itu, melainkan hanya melirik dari ekor matanya. Dalam diam Leora bertanya-tanya, siapa sosok asing yang masuk ke bilik itu?
"Siapa pria itu? Bukankah Timon sudah berjaga di luar kuil?" batinnya yang kini sudah terpusat kepada orang yang baru saja duduk di sebrangnya.
Pria itu masih membisu dalam duduknya. Dia menuangkan anggur dengan tenang lalu membakar persembahan kecilnya. Ketika asap putih sudah mengepul pekat, dia kemudian menyatukan kedua tangannya ke depan dada untuk berdoa.
Sementara itu, Leora masih mengamatinya secara diam-diam dari ujung kaki hingga kepala. Pria itu tidak terlihat mewah dengan chiton putih selutut dan khlamis cokelat polos yang dikenakannya. Dia sangat bersahaja dan cerah, meskipun tanpa mahkota emas maupun ornamen mencolok yang tersemat. Namun, aroma manis dan lembut itu justru membuatnya berdebar, wangi yang ia kenali dan serupa dengan wangi di hutan kemarin.
Leora menahan napasnya sesaat, rasa penasarannya semakin besar. Sepertinya pria itu bukanlah bangsawan maupun penguasa, tetapi bukan juga rakyat biasa apalagi seorang budak. Surai ikalnya yang pirang gelap membingkai wajahnya yang teduh, seolah meniupkan kesejukan di antara hawa panas yang menerpa wajahnya. Leora yang sedari tadi mencuri pandang pun balik menunduk ketika merasakan pipinya yang mulai memanas, berharap kalau hal ini akan segera berlalu dengan sendirinya.
Akan tetapi, keringat dingin yang sudah membasahi tangannya tidak bisa membohongi perasaan. Leora semakin kikuk ketika pria itu sudah menyelesaikan ritualnya dan hanya duduk diam di sebrang sana. Dia meremas chiton-nya dan hendak membunyikan lonceng itu sebagai jalan keluar, tetapi suara halus yang terlontar itu justru menghentikan niatnya.
"Kau ... Putri Leora dari Thebes, benarkan?" Laki-laki itu memecah keheningan di antara mereka. Dia mematri senyum kecilnya tepat ketika Leora mengangkat wajahnya karena keterkejutannya. Mata mereka saling bertemu pandang, memandang satu sama lain cukup lama.
"Iya, itu aku."
Laki-laki itu sedikit terperangah oleh jawabannya yang terdengar lantang. Dia diam-diam masih memindai mata biru Leora yang dalam, seakan mengulik sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Sedangkan Leora sendiri, masih terjebak dalam kecanggungan karena laki-laki itu tak kunjung mengalihkan perhatiannya darinya.
Apa ada yang salah dari penampilannya hari ini? Sepertinya dia tidak berdandan terlalu menor ataupun mencolok. Dia bahkan sudah yakin untuk berpakaian sesederhana mungkin sebelum datang ke kuil itu.
"Putri Leora dari Thebes. Namamu berarti cahaya, seperti dirimu yang berkilauan dengan rambut madumu yang terurai indah," ujar laki-laki itu dengan sudut bibir yang tertarik tipis, "tapi Laut Aegea yang ada di matamu jauh lebih menakjubkan karena mereka lebih dalam dan lebih cemerlang daripada matahariku."
Sanjungan itu membuat perutnya tergelitik. Getaran aneh yang timbul setelahnya membuat dada Leora berdegup lebih kencang. Pipinya yang mengencang pun terasa memanas meskipun api altar di depannya sudah mulai padam.
Rakyat Thebes memang cukup sering menyandingkannya dengan Helen dari Sparta karena mata birunya yang langka. Si wanita paling cantik di Yunani yang diperebutkan oleh Raja Menelaus dari Sparta dan Pangeran Paris dari Troya. Dia telah mengguncang tanah mereka dengan kecantikannya yang melegenda. Kendati demikian, Leora tidak pernah menganggap dirinya setara dengan putri Leda dengan Zeus itu karena dia hanyalah manusia biasa yang cukup bersyukur sudah diberikan anugrah oleh dewa.
"Terima kasih banyak atas pujiannya," ucap Leora tersenyum simpul. "Tapi bolehkah aku tahu siapakah Tuan ini?"
"Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat. Mungkin mata birumu itu jauh lebih indah daripada milik Helen maupun Aphrodite."
Jawaban laki-laki itu terdengar lancang karena berani menyebut nama Aphrodite di Kuil Artemis. Namun, suaranya terdengar lebih lunak ketika ia mulai memperkenalkan dirinya lagi. "Namaku Aetius. Aku seorang pemburu, Putri."
Leora sedikit menyipitkan matanya. Dia masih ragu dengan pengakuan laki-laki terus mematri senyum di bibirnya tersebut. Leora kira semua pemburu akan memiliki penampilan yang sangar, mengingat mereka yang selalu bergulat dengan binatang buas. Namun, laki-laki itu tidak memiliki fitur demikian karena wajah rupawannya justru tidak mendukung profesi keras tersebut.
Leora mengesampingkan fakta unik yang ia temukan. "Senang bertemu denganmu, Tuan Aetius. Apa yang membawamu kemari?"
"Maaf karena kehadiranku mengganggu—"
"Sama sekali tidak!" potong Leora yang kemudian berdeham pelan untuk menetralkan suaranya. "Aku hanya heran karena ada tamu yang datang."
"Aku berhenti sejenak untuk menghormati Dewi Artemis seperti yang dilakukan oleh semua pemburu," jelasnya yang terdengar menarik di telinga Leora. "Hanya dengan begitu, kami bisa mengingatkan diri kami untuk tidak berlaku berlebihan."
"Itu benar."
Semua orang di Yunani tahu kalau Artemis adalah pemburu terbaik. Mereka tidak boleh berusaha mengungguli Artemis atau bahkan berusaha memiliki hatinya jika tidak ingin berakhir seperti Actaeon maupun Orion.
"Aku sempat melihat rusa yang dibawa ke sini. Apakah Putri yang memburunya sendiri sebagai persembahan?" tanya Aetius yang memusatkan perhatian Leora.
"Aku menangkapnya dengan bantuan pengawalku," jawabnya merendah.
"Sangat jarang melihat putri raja yang suka berburu. Kemampuanmu dalam memanah terbilang mengesankan karena berhasil menangkap rusa besar itu," ujar Aetius sembari mengamati Leora sejenak. "Aku yakin, Nona Artemis Elaphebolos akan sangat senang dengan hadiahmu."
Leora terpana oleh perasaan hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Baru kali ini ada laki-laki yang memperhatikan dan memuji keahlian berburunya selain Arsen. Meskipun tidak banyak yang mengetahui keahlian kecilnya, tetapi ia sama sekali tidak menduga akan mendapatkan pujian dari orang asing seperti sekarang.
"Apa kau salah satu gadis pemburu Artemis?" tanya laki-laki itu lagi yang terdengar penasaran.
Leora berdehem kecil untuk membebaskan rasa senang yang menyeruak. "Bukan. Aku hanya pengikut biasa."
Aetius mengangguk kecil lalu berdiri dari duduknya. "Jadi begitu, sangat senang bisa berbincang denganmu di kesempatan yang singkat ini. Aku sudah selesai di sini, jadi aku permisi dulu untuk kembali."
"Tunggu, Tuan Aetius!"
Langkah Aetius langsung terhenti ketika Leora spontan berdiri dari duduknya. Gadis itu sebenarnya heran dengan tindakannya yang impulsif, tetapi lebih memilih mengabaikannya untuk sesaat. Dia kemudian melangkah ke depan lalu meraih salah satu guci persembahan yang tersisa. Tanpa sedikit pun rasa ragu, Leora mengulurkan guci itu kepada Aetius.
"Ini kue elaphoi, terimalah."
"Untukku?"
Leora mengangguk. "Hanya ini yang bisa aku berikan padamu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kau sudah datang ke kuil ini."
Awalnya Aetius sedikit ragu untuk menerimanya, tetapi sesuatu yang lebih besar berhasil mendorong keyakinannya untuk menerima pemberian Leora. "Terima kasih banyak."
"Terima kasih kembali."
Leora kembali meremas tangannya yang hampa. Berusaha mencerna gemuruh aneh yang kembali melanda ketenangan hatinya. Di saat buncahan itu semakin memuncak, Aetius kembali mengeluarkan suara halusnya.
"Jika takdir mempertemukan kita lagi, aku pasti akan membalas kemurahan hatimu."
"Aku akan senang kalau kita bisa berjumpa lagi"
"Kalau begitu, aku permisi dulu," pamit Aetius seraya membungkuk hormat untuk menandai perpisahan mereka.
Leora hanya bisa membalas kepergiannya dengan anggukan kecil. Kepergiannya seolah menghempaskan kehangatan dan mengisi atmosfer dengan kehampaan. Leora yang belum beralih dari tempatnya pun tanpa sadar memegangi pipi dan dadanya secara bergantian, merasakan debaran kencang yang belum kunjung mereda.
Kenapa bisa seperti itu?
Tanpa menunggu lebih lama, dia bergegas meraih loncengnya dan membunyikannya. Pendeta yang sudah menunggu sedari tadi langsung mengakhiri ritual mereka hari ini. Setelah semuanya selesai, Leora pun menghampiri Helota dan Timon yang sudah menunggunya di luar kuil.
"Sudah selesai, Putri?" tanya Timon memastikan.
"Sudah," jawab Leora seraya mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Apa ada sesuatu?"
"Apa kau melihat seseorang yang baru saja keluar dari sini?" tanyanya yang justru membuat dahi Timon berkerut.
"Orang? Kami tidak melihat siapa pun yang datang ke sini selain Anda."
Leora tertegun oleh jawabannya. Tidak ada siapa pun yang datang? Lalu bagaimana laki-laki tadi bisa masuk ke dalam?
"Apa ada penyusup yang masuk? Aku akan segera mencarinya," ujar Timon setelah membaca kebingungan Leora.
"Tidak," jawab Leora yang kemudian menghela napasnya pelan. " Tidak ada yang masuk, kau tidak perlu mencarinya."
"Lebih baik kita kembali ke penginapan saja. Besok lusa kita harus segera kembali ke Thebes," ujarnya lagi sambil memasuki kereta kuda dan duduk di sebelah Helota.
Dalam perjalan pulang, dia kembali menatap kuil itu dari balik jendela. Kira-kira siapa sebenarnya orang tadi? Apakah dia benar-benar seorang pemburu yang kebetulan singgah di sana? Apakah nanti mereka bisa bertemu lagi?
❃❃❃
❃Terminologi:
1. Chiton : pakaian berbentuk tunik yang dikenakan oleh pria dan wanita dari Yunani Kuno
2. Khlamis : sejenis jubah longgar yang dipakai laki-laki di Yunani Kuno untuk berpergian atau perang.
3. Toubeliki (drum), lira, kithara: alat musik Yunani
❃DARI sini,
Hai, bagian baru sudah diupload! Makasih buat yang udah mampir kesini. Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komen di bawah ya. Kalau kalian suka dengan cerita ini, kalian bisa kasih vote, tambahin cerita ini ke perpustakaan kalian, dan jangan lupa follow biar kalian nggak ketinggalan updatenya ya. Dadah dan sampai jumpa lagi~ ❤ ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top