38 || Helikon

❃❃❃

PERBURUAN Singa Cadmea, itulah sayembara yang Raja Eneas adakan untuk putrinya. Hanya butuh waktu beberapa hari saja kabar itu sudah tersebar ke seluruh penjuru Yunani, mengundang para laki-laki terhormat untuk berbondong-bondong ke Cadmea untuk mempertaruhkan hidup mereka demi gadis yang jelita. Satu kemenangan yang  didapatkan, akan dihadiahi dengan posisi sebagai menantu raja dari salah satu polis terkuat di Yunani.

Terdengar dramatis? Tentu saja selain menjadi takdir dan kehendak alam semesta, permainan ini dibuat untuk menghibur hidup monoton kaum abadi. Mereka pasti akan saling bertaruh sambil bersulang ambrosia di puncak tertinggi.

Di sini, musik dan puisi yang diinspirasi oleh Calliope yang manis itu terdengar epik gemanya. Pelataran istana Thebes itu seketika sudah dipadati oleh para ksatria yang hebat. Berkobar-kobar semangatnya dengan wajah yang tegas, bersiap untuk menghadapi rintangan beberapa waktu ke depan.

Raja Eneas langsung membuka acara perburuan itu dengan pidato yang cukup panjang. Kemudian Arsen yang sudah dikeluarkan dari hukumannya pun ikut berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang datar. Dia menatap tajam semua pria yang hadir di sana, seolah ingin menerkam mereka duluan daripada sang singa. Jika dia bisa bertindak, dia ingin mengalahkan singa itu sendiri agar adiknya terlepas dari para buaya.

Sementara itu, Leora yang berbalut peplos hijau sage mulai memindai mereka dari balik balkon yang tinggi. Dia duduk bersama ibunya untuk memantau jalannya acara. Berharap-harap cemas sambil memijit buku-buku jarinya yang terasa kaku.

Ratu Dimitra tersenyum bangga. "Lihatlah, putriku. Banyak laki-laki dari penuju Yunani yang menginginkanmu."

Leora hanya tersenyum simpul. Perkataan ibunya terdengar kurang tepat di telinganya. Seharusnya dia mengatakan banyak laki-laki yang 'menginginkan posisi untuk menjadi suaminya', bukannya 'menginginkannya'.

"Mereka semua adalah laki-laki yang gagah berani. Lihatlah baju zirah dan senjata hebat yang mereka bawa untuk perburuan ...."

Leora tidak terlalu menyimak ucapan ibunya. Dia masih sibuk mencari sosok laki-laki yang berbaur dengan banyaknya orang di bawah sana. Setelah mencari dengan sabar, akhirnya dia menemukan Aetius yang sudah menunggangi kuda hitamnya.

Leora mengerjap beberapa kali, memastikan bahwa laki-laki yang mengenakan baju zirah dan helm pelindung itu adalah Aetius. Dia menangkap chlamys merah yang tersampir di bahunya, penuh sulaman yang ia rangkai sendiri dengan tangannya. Kini laki-laki itu terlihat seperti prajurit sungguhan yang gagah dan pemberani, dengan perisai di tangan kirinya dan sebilah pedang yang digantungkan ke pinggangnya. Tak lupa juga senjata melengkung itu diletakkan di pelana kudanya, busur panah yang senantiasa ia bawa ke mana saja.

"Oh! Sepertinya adiknya Theron juga sudah sampai!" seru ibunya ketika menangkap laki-laki berambut merah yang baru saja bergabung dengan rombongan depan.

Leora mengikuti arah pandang Dimitra, menatapnya dengan wajah yang muram. Berkat laki-laki itu, dia jadi dihadapkan dengan kondisi seperti ini. Terpuruk dan penuh kesedihan saat menanti nasib yang belum pasti. Jika saja Jonas tidak dijodohkan dengannya sejak awal, mungkin dia tidak perlu merasakan apa itu makan hati. Namun, laki-laki itu tampaknya belum menyerah dengan pembatalan perjodohannya dan justru memilih untuk ikut serta dalam sayembara ini dengan penuh percaya diri.

Apakah karena rumor yang pernah ia dengar sebelumnya? Kalau laki-laki itu diberkati oleh salah satu Dewi Olympus? Leora menekan jari-jarinya lebih kuat karena sesuatu yang sedang dipikirkannya.

"Semoga dia bisa kembali dengan selamat juga," ucap Ratu Dimitra.

Gadis itu tidak peduli dengan siapa saja yang mengikuti sayembara ini. Orang yang ia pedulikan hanyalah satu, yakni Aetius, kekasih hatinya. Dia berharap dengan sepenuh hati agar cahayanya bisa kembali untuk menerangi kehidupannya.

Ketika terompet besar itu menggaungkan suaranya, para peserta sayembara pun mulai berjalan beriringan di atas kudanya. Melihat Aetius yang hendak keluar dari gerbang, Leora pun lantas mendekat ke sisi balkon untuk melihat kali terakhir kekasihnya yang hendak terjun ke pertempuran. Sambil merasakan degupan yang keras, dia kemudian menempelkan kedua tangannya ke dada dengan kedua alis yang bertautan.

"Semoga Dewa selalu menyertaimu," doanya lirih, "dan membawamu kembali ke sini."

Sementara itu, Aetius menunggangi kudanya dengan pelan untuk menyesuaikan barisan di depannya. Ketika dia menoleh ke belakang, ia dapat melihat Leora yang sedang berdiri di balik balkon untuk mengantar kepergiannya dengan berat hati. Melihatnya seperti itu, membuat hatinya memberat, seakan dia tidak ingin pergi dan memilih berbalik untuk merangkulnya dalam ketenangan. Namun, hanya inilah satu-satunya kesempatan yang bisa ia lakukan untuk kebaikan mereka berdua.

Ketika ia sudah melewati gerbang Thebes dan gadis itu sudah tak tampak di matanya, Aetius pun balik lurus ke depan. Sekarang saatnya fokus untuk menghadapi apa yang akan datang dan merencanakan kemenangannya. Jangan berpaling atau dia akan menyesalinya selamanya. 

Satu hal penting yang harus ia ingat selama perjalanan ini adalah dia tidak boleh menggunakan satu pun kekuatan aslinya. Hal tersebut bukan hanya akan merusak reputasi yang sudah ia bangun untuk Leora, melainkan juga akan membuka penyamarannya dari mata para Dewa Olympus. Dia sudah berusaha keras untuk menekan seluruh kekuatannya yang nyaris meluap dari tubuh fananya dan berhasil mengelabui mereka hingga titik ini. Jangan sampai semuanya terbongkar hanya karena kesalahan kecil.

Sayangnya, pemandangan yang berada di sekitarnya saat ini membuat Aetius sedikit jengah. Pasalnya, dia tidak hanya melawan satu orang, tetapi puluhan pria yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dia tidak menyangka kalau akan ada banyak peminat meskipun tantangannya adalah Singa Cadmea.

"Seharusnya aku lebih mendramatisir isinya," gumamnya mencebik sambil membayangkan beberapa kalimat nubuat yang lebih baik, seperti 12 Tugas Herakles yang sulit untuk dilakukan, atau pejalanan mematikan Odysseus misalnya. Namun, lagi-lagi darahnya nyaris naik ketika melihat laki-laki Athena itu melewatinya dengan sorakan penuh kebanggaan.

"Tuan Aetius!" panggil seseorang yang tiba-tiba sudah berkuda di sampingnya.

"Oh, Pangeran! Salam hormatku untukmu," balas Aetius saat menyadari bahwa yang menghampirinya adalah Arsen.

"Zirah itu terlihat cocok untukmu. Semua perlengkapannya juga sudah sesuai, kan?"

Aetius mengangguk sambil terkekeh pelan. "Terima kasih banyak untuk semua bantuanmu. Ini sangat pas."

"Itu bukan apa-apa. Anggap saja hadiah kecil dariku," balasnya dengan menepuk pelan pundak Aetius.

"Perjalanan ke Gunung Helikon akan memakan waktu yang tidak sebentar, tapi dia akan membawamu pergi dengan cepat," lanjut Arsen dengan menunjuk kuda tunggangan Aetius dengan dagunya. "Asalkan kau tahu, dia itu kuda kesayangan Leora."

"Aku yakin dia memang pelari yang hebat," ujar Aetius sembari mengelus leher kudanya. "Kami akan kembali secepatnya."

Arsen tersenyum kecil sebelum melepas kepergiannya. "Semoga kau berhasil dan kembalilah dengan selamat."

Aetius menganggukkan kepalanya dan lanjut berjalan. Perjalanannya yang sebenarnya akan dimulai dari sekarang. Tidak akan ada musik dan ramalan yang akan diwahyukan sebelum ia membawa kemenangan.

❃❃❃

Gunung Helikon berdiri dengan megah di tanah Thespiai, dekat Teluk Korintus. Punggungnya menjadi pembatas antara daratan Boeotia dan Phocis. Dia adalah tempat paling asri di Yunani yang dipercayai menjadi tempat tinggalnya para Musai.

Badan besarnya penuh dengan berbagai macam vegetasi. Lerengnya terlihat hidup dan hijau karena banyak pepohonan yang rindang. Bersama dengan dua mata airnya yang jernih—Aganippe dan Hippocrene—mereka mengaliri tanahnya yang suci dengan kekuatan yang dipercayai dapat menginspirasi para penyair dan seniman. Oleh karena itu, banyak sekali peziarah yang membangun kuil untuk para Musai di kaki Helikon agar bisa mendapatkan inspirasi dari mereka.

Aetius menghirup udara segar yang melegakan dadanya. Dia sedikit menarik tali kekangnya agar kudanya berjalan lebih lambat. Kemudian menyapu pemandangan sejuk yang memukau penglihatannya. Di tempat inilah, Calliope akan sibuk menorehkan tintanya untuk merangkai puisinya yang epik saat pertarungan mereka dimulai.

"Sayangnya, tidak ada seorang pun yang akan mendengar karya itu untuk sementara waktu," gumamnya mengingat kembali bahwa ia melarang para Musai untuk menginjakkan kakinya ke sana hingga ia menyelesaikan misinya. Dia tidak ingin mengambil risiko akan dikenali wujudnya oleh mereka, meskipun penyamarannya memang sudah dibuat sedemikian rupa sempurnanya.

Aetius kemudian menepi sembari mengamati rombongan yang datang bersamanya dari jarak yang terpisah. Beberapa dari mereka terlihat mendirikan perkemahan di dekat mata air, lalu sebagian lagi memilih menggelar alas tidurnya di depan kuil. Satu hal yang menarik perhatiannya adalah beberapa dari pria bertubuh besar itu mulai mematahkan ranting laurel yang menghambat pandangannya tanpa permisi.

"Mereka tak tahu sopan santun, benarkan?" gumam Aetius kepada kudanya yang sekarang sedang rehat bersamanya, terpisah dari orang-orang itu.

Setelah menggelar alas di bawah sebatang pohon yang rindang, Aetius kembali memperhatikan orang-orang itu dari kejauhan. Terlihat mereka mulai membuat api unggun yang besar, membakar sebagian tanah hijau yang seringkali dipijaki oleh kaki gemulai saudari musainya. Sementara sebagian lagi terdengar begitu berisik karena saling bersitegang sambil menenggak arak, sungguh menjadi bukti nyata kenapa Zeus sampai mengirimkan singa itu ke sana.

"Satu malam saja belum terlewati dengan tenang, tapi kalian sudah membuat apinya semakin membara," komentarnya sambil bersandar ke pohon lalu menyelimuti tubuhnya dengan chlamys pemberian Leora.

Aetius mengembangkan senyum kecilnya ketika mengelus kain tersebut. Dia seolah bisa merasakan kelembutan dan kehangatan jari-jemari Leora yang masih tertinggal di antara rajutannya. Rasa rindu itu semakin terasa ketika ia menatap langit berbintang.

"Kira-kira apa yang sedang kau lakukan sekarang?" tanyanya sambil menerawang bayangan wajahnya yang bekilauan. Namun, senyumnya berubah sendu karena teringat dengan ekspresi terakhir yang Leora berikan. "Aku harap kau tidak menangis lagi selama aku pergi."

Kuda hitam yang duduk di dekatnya itu tampak memperhatikannya dengan matanya yang lentik, seakan dia menangkap sesuatu yang lain dari balik sosok Aetius. Menyadari apa yang sedang kuda itu lakukan, Aetius pun tersenyum lebar-lebar. Dia kemudian merentangkan tangannya untuk membelai surai kudanya dengan penuh kasih sayang.

"Andai saja aku lebih giat belajar bahasa binatang kepada Artemis, mungkin kita bisa mengobrol dengan baik," ujarnya yang dibalas dengan suara ringkikan.

"Sekarang kita harus beristirahat karena besok permainannya akan dimulai," bisiknya bersamaan embusan angin lembut yang menerpa.

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top