37 || Konfrontasi

❃❃❃

KABAR tak terduga telah mengguncang Thebes. Negara kota yang semula membanggakan dirinya karena berhasil memegang tampuk kekuasaan Yunani kini dicemaskan oleh sebuah ramalan yang hangat. Hal ini bukannya tak berdasar, melainkan seperti yang banyak orang ketahui, Phoebus Apollo tidak pernah memberikan ramalannya di luar tanggal konsultasi Pythia. Sekalipun ada ramalan yang mendesak, Dewa Ramalan juga diketahui tidak akan memberikan ramalannya secara cuma-cuma kepada manusia.

Sekarang semua orang mulai bertanya-tanya mengenai fenomena ini. Apakah ada suatu kesalahan yang tidak disengaja? Mereka sudah merayakan festival Apollo dengan baik dan meramaikan kuilnya sepanjang tahun ini, bahkan dengan persembahan fantastis yang baru-baru ini dilaksanakan. Lantas apa yang membuat Phoebus Apollo sampai gusar? Rasanya tidak ada satu pun aturan yang dilanggar maupun kejahatan yang mereka lakukan.

Hantaman kilat itu tidak hanya menyambar Thebes, tetapi juga membuat langit Olympus ikut bergemuruh setelah mendengar ramalan yang telah disampaikan. Apollo yang mendapatkan panggilan itu bergegas memacu kereta perangnya lebih cepat, berusaha mencapai Olympus sebelum guntur dan halilintar menelan seluruh mataharinya.

Benar saja, suasana mencekam sudah menyambut kehadirannya. Awan menebal dengan lantai marmer hitam yang tampak semakin menggelap. Petir terlihat menyambar-nyambar di atasnya, mengkilat putih dan memekakan. Tidak ada yang berani keluar dari istana mereka, kecuali Herakles yang masih mengemban tugas untuk membukakan gerbangnya.

Apollo menahan napasnya sejenak, melangkah ke dalam untuk menemui Zeus yang sudah duduk di singgasananya dengan wajah yang keruh. Tangannya dieratkan ke sisi tubuhnya, berusaha untuk bersikap tenang sebelum ia berlutut di hadapannya. Sekilas, dia dapat menangkap kilatan tajam dari mata Zeus yang seolah ingin mencabik tubuhnya.

"Salam hormatku kepada Penguasa Olympus, Zeus Yang Agung," salam hormatnya.

Zeus menghentakkan tongkat petirnya dengan keras sehingga Apollo tersentak. Suara menggelegar itu bergema ke seluruh penjuru arah, beriringan dengan gemuruh yang berpusar di atas bumi. Lantai halus yang ia pijaki pun bergetar hebat, menghantarkan amarah Zeus di setiap getarannya.

"Kau tahu alasanku memanggilmu, Phoebus?" tanya Zeus menahan geram.

Apollo masih menatap ke bawah selama beberapa saat, mengumpulkan keberaniannya untuk mengangkat kepalanya dengan tegak. "Aku sadar akan alasannya," jawabnya sambil menatap Zeus dengan mata keemasannya.

Sekali lagi Zeus menghentakkan tongkatnya lalu menegur Apollo dengan lantang. "Kau menurunkan ramalanmu kepada Thebes dan mencampuri urusan manusia tanpa seizinku! Bagaimana kau akan menjelaskan ini?"

Apollo menghela napasnya pelan. "Ramalan ini merupakan kelanjutannya. Apa yang terjadi di Thebes akan membuka peluang bagi ramalan besar yang telah dinantikan."

"Seperti itukah pembelaanmu?" tegur Zeus dengan tajam.

Sosok yang sedari tadi ikut mendengar mereka pun sekarang angkat bicara. "Maaf karena menyela, tapi kami sudah mendiskusikan hal ini sebelumnya," sanggah Athena.

Zeus menoleh kepada putrinya, suaranya terdengar melembut. "Kau tahu tentang ini dan tidak berkonsultasi padaku dulu?" telusurnya.

"Kami meminta maaf, tapi hal ini cukup mendesak," jawab Athena sambil melirik Apollo.

"Aku sudah menimbangnya matang-matang bersama Athena," timpal Apollo memperjelas, "jalan ini lebih bisa dipertimbangkan daripada solusi pendek yang diajukan Hera."

Áthena kemudian mengimbuhi, "Ramalan ini bukanlah pilihan Apollo, tetapi bagian dari perputaran dunia yang harus kita terima. Seperti yang Apollo sampaikan, ramalan ini akan menuntun mereka kepada takdir yang besar."

"Jadi kau menerima takdir kehancuran itu?" tanya Zeus kepada dewi yang memegang kota yang diramalkan tersebut.

"Aku tidak dalam posisi bisa menerima ataupun menolak," jawab Athena tersenyum tipis. "Jika ini memang untuk menjaga keseimbangan maka aku tidak akan mempermasalahkannya. Kadang-kadang, sesuatu memang harus diruntuhkan agar jalan baru yang lebih besar dan kuat bisa terbuka."

Zeus mendesah berat dengan tidak puas, tetapi memahami sudut pandang putrinya. Sementara itu, Apollo merasa sedikit lega oleh dukungan yang ia dapatkan. Jika saja Athena tidak berada di sana, Apollo yakin kalau tongkat petir itu akan langsung melayang padanya. 

Athena adalah anak kesayangan Zeus, yang pendapatnya akan selalu didengarkan. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain, dewi itu juga nyaris tidak pernah tersentuh hukuman ayah mereka. Bahkan ketika Athena ikut serta dalam rencana kudeta terhadap Zeus pun dia tetap terbebas dari hukuman. Tidak seperti Hera yang dirantai lalu digantung di langit, maupun seperti Apollo dan Poseidon yang langsung diasingkan ke bumi. Meskipun demikian, dia masih harus berhati-hati karena dewi itu masih belum mengetahui sesuatu yang tersembunyi telah melatarbelakangi ramalan untuk Thebes.

"Tetap saja, ramalan yang kau sampaikan secara gegabah ini bisa merusak tatanan hukumku!" tukas Zeus kepada Apollo yang menarik simpul datar di bibirnya.

Apollo tahu kalau Zeus melihatnya tidak hanya sebagai putranya saja, tetapi juga sebagai simbol tanggung jawab yang tidak boleh melenceng sedikit pun. Setiap ramalan yang ia sampaikan, setiap takdir yang ia rajut—semuanya harus sempurna di mata Zeus. Apollo selalu berjalan di atas tali yang rapuh, di mana kesalahannya sekecil apa pun akan dijatuhkan penuh padanya. Semua ini terasa semakin berat sejak kerenggangan hubungan mereka akibat konflik yang terjadi di masa lalu, tepatnya ketika putra Apollo yang kala itu masih berwujud demigod—Asklepios—disambar mati oleh Zeus.

Hades memberikan protes kerasnya kepada Zeus setelah Asklepios berhasil membangkitkan orang mati dengan keahlian pengobatannya. Berdalih ingin menyeimbangkan tatanan dunia, Zeus kemudian membinasakan Asklepios dengan petirnya tanpa memikirkan perasaan Apollo. Mengetahui apa yang terjadi, Apollo pun sangat marah dan ingin menuntut balas, tetapi dia tidak bisa melakukannya kepada raja para dewa yang lebih tinggi darinya. Oleh karena itu, Apollo kemudian membantai para Kiklops—anak Uranus dan Gaia—yang membuat petir sakti Zeus sebagai pembalasan dendamnya.

Setelah mendengar tindakan putranya yang bernyali besar, Zeus pun menumpahkan murkanya. Dia bahkan sempat menitahkan pembuangan Apollo ke Tartarus, tetapi berhasil dicegah oleh Leto yang memohon belas kasihnya. Akhirnya, dia pun menghukum Apollo untuk dibuang ke dunia manusia dan memerintahkan sang dewa untuk mengabdikan dirinya sebagai pelayan dan penggembala Raja Admetus dari Thessalia selama 9 tahun lamanya. Sebuah hukuman yang Zeus anggap cocok untuk menyadarkan keangkuhan dan pembangkangan Apollo terhadapnya.

"Aku akan menerima semua konsekuensinya jika diperlukan," ujar Apollo lagi dengan lebih meyakinkan.

Zeus sedikit menggeram. Tidak bisa dipungkiri kalau Apollo memanglah putranya yang paling sulit untuk dilawan dan sangat mirip dengan dirinya. Anak itu memang sering mendengar dan mematuhi perintah ayahnya, tetapi juga sangat berani menentang jika dirasa dirinya benar.

"Baiklah, aku akan tetap menghormati pandangan Athena dan melepaskan permasalahan ini untuk sementara waktu. Tapi ingat, Phoebus—" Zeus berbalik pada Apollo dengan sorot mata yang masih tajam. "Jika ramalan ini terbukti menyimpang dan membawa kehancuran yang tidak perlukan, kau yang akan bertanggung jawab sepenuhnya."

Apollo mengangguk paham dengan sedikit tertunduk. Zeus yang selesai meluapkan kekesalannya pun melangkah pergi dari ruangan itu bersama gunturnya. Selanjutnya, Athena bergerak maju dan berdiri di sisi Apollo untuk mengulurkan tangannya agar dewa itu bisa bangkit dari posisinya.

"Kau akan melanggar aturan jika ada yang memprovokasimu," ujar Athena yang kemudian melipatkan tangan ke depan dada. "Apa Hera yang sudah memprovokasimu?"

"Banyak alasan untuk memprovokasiku." Apollo kemudian tersenyum miring. "Tapi, inilah kebenarannya agar permainan ini jadi lebih menarik."

Athena meraih perisainya yang tadi disandarkan di kaki singgasana. "Kau hanya ingin memamerkan apa yang sudah kau prediksi?"

"Satu pertunjukkan besar dan semuanya akan senang. Bukankah itu yang Zeus dan mereka harapkan?"

Athena tertawa pelan. "Singa Cadmea memang pilihan yang tepat. Dia besar dan ganas, bahkan panah yang ditembakkan dari kejauhan pun tidak akan mempan untuk menembus kulitnya," ujarnya yang terdengar sedikit sarkas untuk Apollo yang tengah membawa busur panah kebanggaannya.

"Mungkin hanya Herakles yang bisa mengalahkannya. Dia sudah pernah berduel dengan monster semacam itu," timpal Apollo yang teringat dengan pahlawan terkuat Yunani itu.

Athena mengimbuhi, "Manusia biasa tidak akan mampu mengalahkannya, kecuali dia mendapatkan intervensi dari kita."

Mata tajam Apollo mengamati Aegis yang mengkilap di tangan Athena, sebuah perisai perang milik Zeus yang dapat melindungi pemakainya dari hal apa pun. Beruntung sekali Athena dibebaskan untuk membawanya kapan pun dan ke mana pun dia mau. Apollo saja baru pernah memegangnya sekali, itu pun karena dia diperintahkan oleh Zeus untuk membantu Hector saat Perang Troya dulu. Selain karena taktiknya yang licin, Athena jadi nyaris tak terkalahkan dalam segala pertempuran berkat perisai itu.

"Kenapa wajahmu tegang begitu? Pertunjukkannya saja belum dimulai," tegur Athena yang membuat Apollo tersenyum kecil.

"Kau tidak berniat memihak siapa pun, kan?" selisiknya.

Bagaimanapun juga, sebagai Dewi Strategi Perang, Athena sangat sulit dikelabui bahkan oleh Apollo sendiri. Dewi itu dikenal memiliki pikiran yang tajam dan taktik yang lihai. Dia akan membela keadilan dalam peperangan dan merangkai kekalahan serta kemenangan untuk pihak yang ia pilih melalui itu. Namun, keadilan Athena terkadang bisa menjadi pedang bermata dua—dan kali ini, pedang itu bisa saja berbalik pada Apollo. Jika Athena sampai mengetahui rencana Apollo yang tersembunyi, dia mungkin akan melihatnya sebagai ancaman, sebagai dewa yang mengganggu takdir kota yang ia cintai.

"Kota Athena akan tetap mendapatkan perlakuan yang sama. Meskipun cintaku besar untuk mereka, aku tidak akan mencegah apa yang akan datang. Jika takdirnya memang bergitu maka biarlah terjadi," ujar Athena seolah membaca pikirannya yang penuh kekhawatiran.

Athena kemudian berjalan maju ke arahnya, menelisiknya sekali lagi dengan mata kelabunya yang dingin. "Dewa Ramalan yang bisa melihat kilasan masa depan dan selalu dituntut berkata benar, kenapa aku menangkap semburat keraguan darimu? Kau tidak sedang bermain api, kan?"

Apollo menarik bibirnya kaku karena terkaan Athena. "Apa kau pikir aku akan mempermainkan ramalanku sendiri, Pallas? "

"Jika kau ingin mencapai sesuatu, itu mungkin saja," jawabnya sambil menerawang, "tapi aku yakin, kebijaksanaanmu jauh lebih besar daripada kepicikanmu."

Apollo terkekeh pelan. "Percayalah, kau sendiri pastinya tidak akan mau bermain dengan takdir yang sudah jelas di depan mata," balasnya dengan suara yang ringan.

Dewi itu kemudian memakai helm pelindungnya. "Tentu saja, tidak ada yang bisa melawan takdir meskipun itu adalah para dewa. Kita hanya bisa membiarkan bidaknya bermain setelah menggulir dadunya," pungkasnya yang melesat pergi.

Sementara itu, Apollo masih terdiam pada tempatnya. Dia menahan napas dan keringat dingin yang nyaris keluar. Berhadapan langsung dengan Athena membuatnya sedikit was-was, mengingat dewi itu sangat mengutamakan ketajaman logika.

"Hampir saja," bisiknya pada dirinya sendiri.

Sayangnya, ketika dia berjalan keluar dan hendak kembali ke istananya, sebuah tarikan yang keras berhasil mengejutkannya. Matanya terbelalak saat mengetahui siapa pelakunya. Dia masih membeku ketika Artemis masih mencengkram jubahnya kuat-kuat, menahannya dengan mata perak yang mengkilat-kilat.

"Ikut denganku," geram Artemis seraya menarik Apollo keluar jauh dari radar Olympus, melangkah pergi ke dalam hutan yang dipenuhi suara derak ranting yang saling bergesekan.

Mereka berdiri berhadapan dalam kegelapan. Dua bersaudara yang saling memahami itu, sekarang memiliki sebuah jarak yang membentang lebar di antara mereka. Artemis yang selalu menjaga batasan tegasnya antara dewa dan urusan manusia, tak dapat lagi menahan amarahnya setelah mengetahui bahwa Apollo telah mencampuri takdir manusia. Dia akui kalau kembarannya itu memang bisa melihat masa depan dan meramalkan hal-hal yang tak tampak. Namun, kali ini perbuatan saudaranya itu terasa melanggar aturan karena ia mengetahui penyebab sesungguhnya.

"Apa yang kau lakukan, Apollo?" Artemis berkata dengan nada tajam. "Menyusun ramalan semacam itu untuk memanipulasi kehidupan manusia. Seakan-akan ini hanyalah bagian dari rencana pribadimu saja. Kau itu sudah keterlaluan!"

Apollo memandang Artemis dengan ketenangan yang terukur. "Aku hanya ingin membuktikan cintaku," akunya.

Artemis mendekat, suaranya tertahan namun berbahaya. "Cinta? Kau pikir ini hanya soal cinta? Kau akan menghancurkan takdir begitu banyak orang demi nama cintamu itu!"

Dewa itu tersentak oleh hardikan Artemis. "Aku melihatnya dalam ramalanku, Artemis. Dia adalah bagian dari takdirku, bagian dari jalanku."

"Bagian dari takdirmu?" cibir Artemis seraya mendekat. "Kau sudah membiarkan perasaan mengaburkan pandanganmu terhadap kewajiban, Apollo. Kau adalah Dewa Olympus! Takdirmu jauh lebih besar daripada cinta seorang wanita fana. "

Apollo terdiam sejenak, lalu balas menatap Artemis dengan lekat. "Justru karena aku dewa, aku tidak akan membiarkan satu-satunya hal yang membuatku merasa utuh dihancurkan. Aku merasa hidup untuk pertama kalinya dan merasakan sesuatu yang nyata yang tidak terikat oleh kehormatan atau tugas semata berkat dirinya," paparnya tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. "Oleh karena itu, aku akan melindunginya dari apapun, termasuk juga kehancuran."

Artemis menggeleng kecewa. "Kau telah buta oleh hasratmu sendiri. Kau tidak berpikir apa yang akan terjadi ke belakangnya. Apa kau sadar seberapa banyak risiko yang kau ambil?"

"Aku sadar, Artemis. Aku tahu apa yang sedang kulakukan." Apollo menggenggam tangan Artemis, mencoba meyakinkannya dengan kesungguhan. "Jika kau memahamiku... jika kau tahu betapa dalamnya perasaanku ini... kau pasti akan mengerti. Ini bukan hasrat ataupun keinginan, tapi inilah takdir yang dituliskan untukku, yang harus kulalui."

"Justru karena aku saudarimu, aku memahami dirimu lebih dari siapa pun!" Artemis menegaskan sekali lagi. Dia menatap mata Apollo dengan keprihatinan yang tulus. "Kau tidak boleh mengorbankan segalanya hanya demi satu wanita, Apollo. Jika kau nekad meneruskan ini, itu hanya akan membawa kehancuran."

" Adelfi," panggilnya seperti embusan berat. "Aku telah melihat kehancuran dan aku siap untuk menyambutnya. Jika takdir memang akan menuntutku maka aku akan membayarnya dengan apa pun yang aku punya—bahkan jika itu berarti aku harus kehilangan keabadianku."

Artemis tertegun dengan wajah yang merah padam. Dia terbelalak dengan bola mata yang bergetar. Kalimat yang terlontar dari mulut adiknya itu membuat bulu kuduknya meremang, menjalarkan kegetiran hingga ke pangkal lidahnya. 

Apollo kemudian bersimpuh di hadapan Artemis seraya berusaha menggenggam tangan kakaknya yang dingin. "Tolong, terangi jalanku ini, Adelfi," mohonnya lembut dengan penuh tekad. "Tolong berikan aku berkatmu agar bisa melalui semua ini."

Artemis menatapnya nanar dengan suara rendah dan helaan berat. "Jika ini adalah jalan yang kau pilih maka aku tidak bisa menghentikanmu." Dia kemudian menarik tangannya dari genggaman Apollo lalu berjalan mundur beberapa langkah. "Dan aku pun tak bisa melindungimu dari akibatnya. Pilihanmu ini bisa saja menjadi kehancuran yang kau ramalkan sendiri, Apollo," pungkasnya yang kemudian berpaling dan pergi, meninggalkan Apollo sendirian dalam renungannya. 

Apollo tahu bahwa tindakannya ini memiliki konsekuensi, termasuk juga kehilangan dukungan dari saudarinya yang paling dekat. Namun, ia tetap bergeming, meyakini bahwa risiko apa pun yang harus ia tanggung akan sepadan dengan cinta dan takdir yang ia rajut untuk Leora. Baginya, cinta ini terlalu berharga untuk dilepaskan, bahkan jika dia harus berhadapan dengan seluruh takdir yang telah ia ramalkan.

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top