34 || Malam Gelap
❃❃❃
NEKTAR dan ambrosia telah mengisi penuh kylix mereka. Memadu rasa manis yang menyenangkan di antara kecapan lidah. Meskipun demikian, Apollo sama sekali tidak bisa menikmatinya karena sekembalinya dia ke Olympus, beribu bayangan itu justru kembali beterbangan di kepalanya.
Kepalanya serasa berputar dengan cepat akibat menampilkan kilasan tanpa jeda. Kobaran api memenuhi penglihatannya dengan bau anyir yang membuat tubuhnya bergidik. Ketika dia mendongakkan kepalanya, langit mulai terbakar oleh panah-panah api yang diluncurkan. Menghanguskan laurel dan iris sehingga asap pekat mengepul tinggi ke angkasa.
Debu yang berembus mulai menyelimuti parthenon. Deru ombak di pesisir bak badai yang menggelegar, membawa air bah yang menerjang kota itu dengan jilatan api yang membara. Kengerian mimpi itu terjeda sejenak ketika panggilan itu tertangkap oleh pendengarannya.
"Apollo!"
Dia kembali tersadar ke masa sekarang. Sedikit melirik Athena yang sedari tadi sedang berdiskusi dengannya. Ketidakpuasan yang ia dengar dari Raja Olympus sudah membawa mereka untuk membahas kembali ramalan besar yang harus segera diwujudkan.
"Sebuah rencana untuk memecah peperangan? Mungkin bertanya kepada Ares adalah solusinya," ujar Apollo yang mengundang tawa Athena.
"Kau pikir dia akan peduli dan mau berpikir?"
"Tidak, tapi dia akan langsung melemparkan tombak kepada musuhnya," jawab Apollo sembari menggeser bidaknya. "Sparta bisa mengambil bagiannya lagi, itu yang aku harapkan."
Athena menggenggam jari-jemarinya ke atas meja, mengamati papan petteia yang tengah mereka mainkan dengan mata kelabunya. "Mereka sudah cukup merasakan kemenangan dan Zeus tidak suka sesuatu yang berlebihan. Kau juga tahu siapa yang diinginkan oleh Zeus saat ini," sanggahnya sambil memainkan bidaknya, "hanya Thebes."
Mendengar hal tersebut, Apollo lantas meletakkan cawannya dengan kasar. "Kau memangkas semua pilihannya."
"Mereka adalah lawan yang sepadan untuk Athena."
Apollo terdiam sejenak, menatap pionnya yang sudah terjebak. Kini hanya wajah tertekuknya yang menjadi pemandangan Athena. "Kau mengatakan hal yang sama saat menghancurkan Troya."
"Kenapa? Apa karena mereka memberimu 300 sapi sehingga kau merasa keberatan? Seingatku, Troya bahkan memberikan seribu sapi untukmu."
"Bukan itu yang menjadi alasannya."
"Lalu apa? Aku sendiri sudah mempertaruhkan polisku untuk ramalan besarmu"
Apollo menelan ludahnya, mencegah agar dia tidak kelepasan bicara. "Kita selalu mempertaruhkan sesuatu dalam permainan ini," gumamnya.
Ketika Apollo hendak membuka mulutnya lagi, tiba-tiba saja suara-suara itu kembali bersahutan untuk membisikkan ramalan ke pendengarannya. "Waspadalah terhadap burung kukuk yang meninggalkan sarangnya. Berusaha menjatuhkan matahari dengan uluran tangan bersenjata putih. Ombak besar menanti untuk menenggelamkan kapal seperti embun di ujung rumput, kecuali raja buas berkuku tajam berhasil dikalahkan untuk mendapatkan kejayaan. Namun, berhati-hatilah kepada tinta hitam yang telah digoreskan, atau dia akan mengambil segalanya."
Apollo menahan napasnya sejenak, menoleh kepada Athena yang tengah memperhatikan lamunannya. Dia mengernyit tipis ketika sengatan kecil itu menusuk kepalanya. Memperlihatkan sekelebatan penglihatan yang muncul secepat cahaya, membuat tubuhnya merinding ketika melihat sosok yang tidak asing itu.
Gadis bermata lautan itu tengah terbelenggu di dalam air, tenggelam bersama kekacauan yang terjadi. Deru semakin kencang, ombak telah membelah batuan karang. Ketika dia berusaha menariknya keluar dan hampir meraih tangannya, sosok itu justru menghilang dari penglihatannya.
Apollo terkesiap. "Apa Zeus menitahkan sesuatu?" tanyanya tiba-tiba, mencari jawaban untuk pertanyaan yang mengambang di benaknya.
"Aku hanya mendengar kalau Hera memberinya sebuah solusi." Jawaban itu seketika membuat Apollo tergemap. "Sekarang Iris sedang mengemban pesannya."
Tatapan Apollo berubah nanar. "Tidak," gumamnya dengan suara yang bergetar. "Ini tidak mungkin berubah."
"Apanya yang berubah?" tanya Athena dengan sebelah alis yang terangkat.
Ramalannya tidak mungkin berubah dengan tiba-tiba. Seharusnya tidak seperti ini jalan cerita yang ia lihat. Namun, semua itu terjawab ketika burung gagak yang ia tinggalkan di bumi terbang kepadanya untuk menyampaikan kabar yang ia dengar. Cintanya, telah terikat dengan kehancuran yang sudah ditakdirkan.
❃❃❃
Langit semakin gelap akibat cuaca yang mendung. Suara gemuruh terdengar menggema di antara awan hitam. Perlahan-lahan, rintikan kecil itu mulai membasahi bumi dengan air kehidupannya yang semakin deras.
Keluarga kerajaan Thebes sedang mengadakan makan malam bersama. Mereka berkumpul untuk mengucap syukur atas segala berkah yang didapat. Sekarang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena sebagian besar masalah mereka sudah terlewati.
Leora mengedarkan pandangannya sebentar, mencoba menikmati makan malam bersama keluarga besarnya. Namun, ada satu hal yang kurang di sana, yakni Aetius yang tidak bisa ikut makan malam bersamanya. Leora yang memainkan isi piringnya kembali mengembara dalam pikirannya. "Apa sekarang dia sudah makan?"
"Apa yang kau lamunkan?" tanya Arsen berbisik yang duduk tepat di sebelahnya.
Leora menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya berpikir kalau kita harus makan bersama lebih sering."
"Aku pikir kau lebih suka makan bersama dengan pemburu itu," balas Arsen yang hampir membuatnya tersedak.
"Kata siapa?"
Arsen masih menyeringai kecil. "Apa ucapanku benar?"
"Terserah kau saja," desah Leora dengan mengerucutkan bibirnya.
Sementara Arsen masih terkekeh setelah menggodanya, Leora yang tidak mau bersemu merah pun mulai mengunyah makanannya. Ketika itu, ayahnya yang duduk di bagian paling ujung meja pun berdiri sambil memegang kylix. Semua orang yang ada di sana seketika memusatkan perhatiannya kepada raja yang akan menyampaikan pengumumannya.
"Senang sekali bisa berkumpul bersama kalian malam ini. Selain merayakan beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini, tujuanku mengumpulkan kita semua di sini adalah untuk menyampaikan sesuatu yang penting," ungkap Raja Eneas kepada keluarga besarnya.
Raja Eneas tersenyum lebar sambil mengangkat cawannya lebih tinggi. "Aku berniat menjodohkan putriku tercinta, Leora, dengan Jonas dari Athena," lanjutnya yang sontak membuat gadis itu menjatuhkan cawannya.
Dia berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Berkali-kali berharap bahwa ini semua tidaklah nyata. Namun, semua itu hanyalah angan-angan karena kenyataan terasa lebih pahit daripada harapan.
"Maaf karena menyela, Ayahanda!" sela Arsen yang sontak bangkit dari duduknya. "Bukankah lebih baik kalau kita membicarakan hal ini dulu pelan-pelan?"
"Kita sudah membicarakan ini sebelumnya dan keputusanku tetap sama," balas Raja Eneas yang membuat Leora langsung menatap ke arah kakaknya.
Jadi, mereka sudah membuat rencana semacam ini sebelumnya?
"Cepat atau lambat adikmu harus segera menikah. Ini yang terbaik untuknya," imbuh ayahnya.
Semua wanita Yunani diharapkan untuk menikah, kecuali mereka adalah budak. Berbeda dengan para dewi yang begitu dihormati karena tidak menikah, wanita terhormat yang tidak mau menikah akan mendapatkan perlakuan yang sebaliknya. Mereka akan akan dicap tidak berharga dan terhina dalam sistem patriarki ini.
Gadis yang belum menikah adalah tanggung jawab ayahnya. Jika mereka yatim maka saudara laki-lakinya yang harus bertanggung jawab sebagai walinya. Biasanya, wali inilah yang akan menyetujui atau memutuskan dengan siapa mereka menikah melalui perjodohan.
Meskipun perjodohan memang hal lumrah di sekitarnya, tetapi Leora tidak menyangka akan dijodohkan secara sepihak. Hatinya tergores setelah mengetahui hal tersebut. Kenapa tidak ada yang berusaha untuk membicarakan hal ini dengannya dulu?
Kedua tangan Arsen terkepal. "Maaf atas kelancanganku, tapi aku tidak akan menyetujuinya."
Semua orang menatap ke arah Pangeran Arsen yang kini tambah bersuara lantang. "Aku tidak akan pernah menyetujui perjodohan ini!" tegasnya.
"Arsen!" bentak Raja Eneas yang membuat seisi ruangan terdiam pada tempatnya.
"Kalau begitu, coba Ayahanda tanyakan dulu kepada Leora. Apakah dia menginginkan perjodohan ini atau tidak."
Napas Leora tertahan di tenggorokan. Dia menoleh kepada ibunya yang tersenyum penuh harap padanya, lalu beralih kembali kepada kakaknya yang sudah mengeraskan rahangnya. Semua perasaan itu bergerumul hebat di perutnya hingga ia meremas chiton-nya kuat-kuat.
"Ini semua untuk kebaikanmu, putriku," bisik Ratu Dimitra lirih.
Tangannya yang sudah basah oleh keringat itu semakin terasa dingin. Jantungnya berdebar dengan hebat, membuat dadanya mengetat dan terasa sakit saat ia gunakan untuk menarik napas. Selanjutnya, dia pun melontarkan jawaban itu dengan rasa getir di lidahnya.
"Aku tidak bisa menerimanya."
Ayah dan ibunya tampak tercengang. Mata mereka terbelalak setelah mendengar jawaban yang tidak diinginkan. Melihat situasi yang tidak kondusif, ayahnya kemudian berseru, "Semuanya, aku minta keluar dari sini!"
Satu per satu dari mereka meninggalkan meja makan, kecuali Leora dan Arsen yang masih tinggal di tempat. Melihat wajah adiknya yang masih penuh dengan kabut kebingungan, Arsen pun kembali maju untuknya.
"Sekarang Ayahanda mendengar sendiri jawabannya."
Raja Eneas membalasnya dengan tegas. "Perjodohan ini akan tetap dilakukan dengan atau pun tanpa persertujuanmu."
"Adikku berhak mendapatkan hidup yang bahagia!" sergah Arsen.
"Apa kau pikir, aku tidak akan memilihkan suami yang dapat membahagiakan adikmu?"
"Tetap saja ini tidak bisa diterima!" geramnya lagi dengan menggebrak meja. "Athena akan memanfaatkan kita untuk menguasai Boeotia, apa Ayahanda tidak melihatnya?"
"Itu tidak akan terjadi karena kita yang akan menguasai mereka," balas Raja Eneas yang tak mau kalah. "Bukankah kau sudah mendengar ramalan yang kita dapat? Inilah kesempatannya."
"Aku tetap tidak akan membiarkan adikku menikahinya!"
Gema perdebatan antara ayah dan kakaknya itu membuat kepala Leora pening. Dia tenggelam dalam dirinya sendiri, merasakan perasaan yang dingin. Tidak ada yang peduli dengan perasaannya karena mereka hanya peduli tentang kekuasaan Yunani.
"Aku tidak mau melakukan perjodohan ini!" tandas Leora dengan suara yang bergetar sebelum berlari keluar dengan bercucuran air mata. Ini adalah pertama kalinya dia menentang keinginan ayahnya dan merasakan nyeri hebat di hatinya.
❃❃❃
Aroma sepuhan tanah yang diguyur hujan masih tercium pekat. Langit hitam seolah ingin menelan bumi yang dirundung kegelapan. Namun, kegelapan itu justru menimpa dunia Leora bersamaan petir yang sudah membelah dua dirinya.
Lilin penerangan telah padam oleh tiupan angin. Langkah gontainya hanya diterangi oleh cahaya remang-remang yang semakin kecil. Ketika ia menyebrangi lorong itu dengan sisa energinya, semburat cahaya yang terlihat di depan sana memaksanya untuk berlari agar bisa merengkuhnya.
Leora mendekapnya lebih erat, meluapkan rasa dingin yang membuat hatinya menjadi kelu. Hanya dengan pelukan sejenak ini dia bisa menghangatkan dunianya yang nyaris membeku. Ketika dia mendongakkan kepalanya untuk menatap laki-laki itu, hanya terdapat pandangan yang sulit diartikan di matanya.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Aetius sambil mengusap bawah mata Leora yang basah.
"Apa kau benar-benar mencintaiku?" tanyanya balik dengan bola mata yang berkaca-kaca.
Aetius tampak tercenung oleh pertanyaannya. "Kenapa kau menanyakan hal itu? Sudah jelas aku sangat mencintaimu dengan segenap hatiku," ucapnya dengan menangkup hangat pipi Leora.
"Kalau begitu, ayo lari bersamaku," ujar lirih Leora yang kemudian mulai terisak. "Ayahku berniat menjodohkanku dengan orang lain. Kita bisa hidup bersama jika lari dari sini sekarang."
Gadis itu tampak kalut. Sinar cerah yang selalu terpancar di mata birunya seakan sirna dalam sekejap. Hati Aetius terasa begitu sakit saat melihat senyum hangatnya tergantikan oleh deraian air mata.
"Tapi kau seorang putri raja—"
"Aku tidak peduli," potong Leora sambil menggenggam erat tangan Aetius. "Aku akan pergi bersamamu ke mana pun tempatnya karena aku hanya ingin hidup bersamamu."
Aetius masih terdiam pada tempatnya. Apakah dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk pergi bersamanya? Sepertinya dia harus berkaca pada beberapa kisah kawin lari dan penculikan atas nama cinta yang berakhir tidak baik.
Bagaimana dengan harga diri kekasihnya nanti? Seorang putri raja yang terhormat, lari dari kerajaannya hanya demi pemuda biasa yang menjadi pemburu. Hal tersebut tidak terdengar bagus di telinga Aetius meskipun dia tahu seperti apa kebenarannya. Apalagi ketika dia mengingat kembali ramalan itu, membuatnya semakin urung untuk melakukannya.
"Tidak. Aku tidak akan membawamu lari dari sini hanya karena aku mencintaimu."
Leora tersentak, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Kenapa tidak bisa? Katanya kau mencintaiku? Kalau begitu buktikan!"
Aetius mengetatkan bibirnya. Dia ingin mengusir rasa gelisah Leora dengan mengatakan segala kebenarannya. Namun, hal tersebut bukan menjadi solusi yang tepat.
"Kau sangat berharga bagiku," ujar Aetius dengan suara yang menenangkan. "Aku akan berusaha meminangmu dengan cara yang baik, bukannya dengan membawamu lari,"
Leora menautkan kedua alisnya dengan lemah. Jujur saja ia bingung dengan jalan pikiran Aetius saat ini. Bagaimana laki-laki itu masih bisa tenang ketika mengetahui bahwa kekasihnya akan dipaksa menikah dengan orang lain dalam waktu dekat?
"Tolong, hentikan perjodohan ini," isaknya jatuh ke dekapannya karena sudah tidak kuat menanggung dirinya yang nyaris hancur berkeping-keping.
Aetius mengelus pelan punggung Leora, berusaha menenangkannya yang sudah kehilangan arah. Neraca yang berat seakan sedang ditimbang sungguh-sungguh dalam pikirannya. Berusaha membuat keputusan yang berat dalam waktu yang singkat ini. Kemudian dia pun membuka suaranya setelah terjeda cukup lama.
"Tunggulah hingga besok."
Leora menatapnya dengan mata yang sembab. "Kenapa harus besok?"
Laki-laki itu kemudian membelai pipinya yang basah, menatap matanya dengan lekat. Dia tidak akan membiarkan cahayanya terikat oleh kehancuran itu. "Aku berjanji, niat perjodohan ini akan berakhir besok."
❃❃❃
Terminologi:
1. Petteia adalah permainan papan dari Yunani Kuno yang sering dianggap sebagai pendahulu permainan strategi modern, seperti catur atau latrunculi Romawi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top