33 || Temaram
❃❃❃
PLEIADES telah terbit di langit timur. Terbang melintasi langit malam bak tujuh merpati yang bercahaya. Terus berlari tanpa letih dari sang pemburu yang mengejar di antara konstelasi angkasa.
Cahaya remang-remang itu mulai merambat dari perapian, menghangatkan sekitar dengan hawanya. Gadis yang sedang duduk itu sedikit membungkukkan badan, mencoba memasukkan ujung benangnya ke dalam jarum sulamnya. Setelah berhasil, dia pun melanjutkan sulamannya dengan cekatan meskipun sikunya terasa sedikit kaku oleh nyeri yang mendera. Ketika pola di atas kain merahnya sudah terjalin dengan lembut, suara gedebuk yang berasal dari luar jendela kamarnya itu pun justru membuatnya terkejut.
Leora langsung meletakkan alat sulamnya seraya meraih sebatang lilin penerangan. Dia melangkah dengan hati-hati untuk memeriksa suara keras tersebut dengan mengintip dari balik tirainya. Namun, apa yang ia temukan ternyata hanyalah seorang pria yang tengah mengaduh kesakitan di lantai balkonnya.
Leora menyibakkan tirai jendelanya. "Aetius? Apa yang kau lakukan di sini?" sergahnya.
Laki-laki yang masih terduduk di lantai itu hanya meringis sembari menepuk-nepuk paha dan lengannya yang sedikit nyeri. "Aku ingin menemuimu."
"Dengan memanjat balkon?" tanya Leora yang tak habis pikir.
Aetius hanya mengangkat bahunya kecil lalu bangkit dari posisi jatuhnya. "Aku tidak punya pilihan lain," jawabnya beralasan. "Aku tidak bisa menahan rinduku hingga besok pagi," lanjutnya yang nyaris membuat Leora merona, tetapi berhasil ditangkal dengan cepat.
Leora mengeratkan epiblema—selendang yang dikenakan di luar chiton—yang dipakainya sambil mencomel, "Sekarang kau baru merindukanku? Kemarin kau seperti mengabaikanku dengan pergi tanpa pesan."
Aetius tergagap. "Aku minta maaf untuk kemarin. Itu benar-benar sangat mendesak."
Ketika dia meraih tangan Leora untuk memberikan penjelasan, gadis itu terlihat sedikit menarik tangannya sambil mendesis kecil. Itu bukanlah penolakan, tetapi ekspresi yang menyiratkan kesakitan. Menemukan hal yang sedikit janggal, Aetius pun membuka perlahan epiblema yang menutupi bahu hingga lengan Leora, mendapati luka yang cukup besar di siku kirinya.
"Kenapa bisa terluka? Kau habis terjatuh di suatu tempat?" tanya Aetius dengan dahi yang berkerut dalam.
"Ini sudah membaik. Aku mendapatkannya saat berburu kemarin," balas Leora yang berusaha menutupinya lagi, tetapi langsung dicegah oleh Aetius.
"Sudah membaik bagaimana? Kau saja masih kesakitan," tegurnya sehingga Leora sedikit mengerlingkan mata.
"Apa kau tidak memakai salep yang aku berikan dulu?" tanyanya sembari mendudukkan Leora ke kursinya. "Apa sudah habis?"
Lagi-lagi pertanyaannya belum kunjung mendapatkan jawaban, sedangkan Leora kemudian mendelik dengan suara yang lebih rendah. "Itu sudah habis setelah aku gunakan untuk orang lain."
"Siapa?" telusur Aetius seraya duduk di hadapannya sembara membuka tagari yang ia bawa. Sepertinya dia selalu membawanya ke mana-mana layaknya kotak ajaib.
"Seorang anak perempuan di hutan."
Aetius berhenti sejenak setelah mengeluarkan beberapa peralatannya. Ketika meliriknya sedikit, Leora bisa melihat beberapa lembar linen, kapas, dan daun yang ia sendiri tidak tahu jenisnya. Dahinya tampak mengernyit, memikirkan pemburu yang terkadang bertukar peran menjadi musisi dan tabib itu.
"Kau membahayakan dirimu untuk orang yang tidak dikenal?"
Leora meringis kecil, khawatir kalau dia akan marah padanya. "Aku tidak punya pilihan lain. Keadaannya lumayan gawat."
Aetius kemudian membelai surainya pelan. "Kalau begitu, tolong ceritakan padaku tentang pengalamanmu kemarin selagi aku menangani lukamu," mintanya tersenyum lembut sehingga Leora mengerjapkan matanya dengan cepat.
"Jadi, kau berburu ke hutan dan bertemu anak ini?" tanya Aetius lagi sembari mengkaji lebar dan kedalaman luka yang menggores kulit mulus gadis itu. Terlihat sedikit parah karena dibiarkan terbuka dan masih basah cukup lama. Aetius bahkan menggigit sedikit bibirnya sendiri ketika membayangkan bagaimana Leora bisa mendapatkannya.
"Aku tidak sengaja menemukannya di tengah hutan saat memburu seekor rusa," jawabnya dengan memperhatikan Aetius yang lagi-lagi mengeluarkan aura tabibnya seperti saat di Asklepion waktu itu. "Rusa itu sangat besar dengan tanduk yawng juga besar, bahkan lebih besar dari rusa yang aku buru di Hyampolis."
"Wah, benarkah? Rusanya lebih besar?"
"Rusa itu ingin menyerang kami, jadi aku melumpuhkannya sebelum ada yang terluka."
"Dan kau berhasil?"
"Ya, meskipun aku harus terjatuh dari kuda."
"Jadi, lukanya karena kau itu?"
Leora mengangguk pelan. "Apa kelihatan parah?" tanyanya penasaran karena melihat raut serius Aetius.
"Terlihat tidak sebaik yang kau katakan tadi."
"Itu ...." Leora mengulum bibirnya, tidak tahu harus memberikan alasan seperti apa lagi.
"Ini akan lebih baik," ujar Aetius menenangkan sembari membasahi segumpal kapas dengan salah satu ramuannya. Leora sendiri juga tidak tahu ramuan macam apa yang ia bawa kali ini. Dia yakin, ramuan tersebut pasti berasal dari teman tabibnya atau mungkin hasil dari penjelajahannya ke berbagai tempat.
"Berapa anak panah yang kau gunakan?" tanya Aetius sembari membersihkan lukanya dengan hati-hati.
"Banyak sekali hingga tanganku gemetaran," papar Leora dengan mata yang membulat. "Untung saja Artemis melindungiku waktu itu."
"Tentu saja," balas Aetius yang tersenyum simpul, "tapi kau sendiri sangat pemberani," pujinya yang kemudian menempelkan lumatan daun herbal.
Belum sempat menanggapi, Leora sudah mendesis akibat rasa perih yang menyengat sikunya. Luka di dagingnya seperti sedang dicubit kecil-kecil. Dia hanya bisa menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa nyerinya.
"Jika terasa sakit, kau boleh memukulku sebagai gantinya," ujar Aetius yang masih fokus mengobatinya secara perlahan.
Leora mengangguk kecil. Untung saja rasa perih itu berangsur membaik. Perlahan tapi pasti, sekitar lukanya mulai terasa tebal dan kebas. Lalu dia pun tidak merasakan sakitnya lagi meskipun Aetius menambahkan kadar ramuannya.
"Tahan sebentar."
Dengan gerakan yang cekatan, Aetius langsung menyelesaikan perawatannya. Setelah menutup luka Leora dengan balutan yang rapi, dia kemudian tersenyum lebar. "Sudah selesai."
Leora menghela napasnya lega. "Syukurlah."
"Kau sangat hebat," ujar laki-laki itu sembari memberesi peralatannya.
"Justru kau yang sangat hebat," balas Leora yang tidak habis-habisnya terkesima olehnya, "aku sangat beruntung karena memilikimu."
Aetius terkekeh pelan. "Kaulah yang menjadi keberuntunganku, cintaku," balasnya sembari mengelus pipi Leora yang halus. "Tapi, aku jadi iri karena tidak bisa melihatmu memburu rusa itu."
"Kita bisa berburu bersama di lain waktu."
"Itu ide yang bagus, tapi kita akan menunggu hingga kau pulih dulu," balas Aetius dengan senyum hangatnya. "Besok aku akan membawakanmu salep lagi."
"Itu tidak perlu," jawab Leora sambil menggengam tangan Aetius.
"Kenapa?"
Leora menunduk, rona wajahnya terpancar malu-malu. "Aku tidak ingin kau pergi lagi."
"Apa kau berpikiran kalau aku tidak kembali lagi?" Aetius mengangkat lembut wajah kekasihnya, menatap matanya yang tenggelam dalam lautan. "Mana mungkin aku meninggalkan cahayaku sendiri," ujarnya bak angin lembut yang menenangkan.
Buncahan itu kembali meletup bak kembang api di dada Leora. Membawa kehangatan dalam lekatnya tatapan di antara satu sama lain. Jemari Aetius yang menangkup pipi Leora kemudian sedikit bergeser untuk menyentuh bibirnya, mengusapnya sejenak dengan sebuah desiran. Ketika tekanan yang berusaha ia tahan itu semakin terasa berat, tangan Aetius lantas beralih turun untuk menggenggam jemarinya.
"Ini sudah larut malam, aku harus kembali ke tempatku," ujar Aetius sambil melayangkan senyum manisnya yang kemudian lanjut mencium lembut punggung tangannya.
Lagi-lagi debaran itu terasa semakin kencang, tetapi juga terasa hangat di sekujur tubuhnya. Leora merasa bunga-bunga hatinya merekah lebih besar. Semakin harum dan menawan ketika laki-laki itu memberikan perlakuan manisnya.
Aetius kemudian menyangkutkan tagari-nya pada bahu lalu beranjak dari posisinya. Kelihatannya dia hendak melompati balkon itu lagi untuk turun ke bawah karena mengukur ketinggiannya beberapa kali. Melihatnya yang sudah bersiap-siap di pinggiran pagar, Leora pun lantas mendekat.
"Kenapa tidak lewat tangga saja?"
"Aku tidak ingin mereka melihatku turun dari kamarmu."
Leora kemudian membantu Aetius yang berusaha turun dari tingkat dua, mengulurkan kain panjang agar bisa digunakan untuk berpegangan olehnya. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa laki-laki itu nekat melakukan adegan berbahaya tersebut. Bagaimana kalau dia sampai jatuh ke bawah?
"Hati-hati!"
Satu lompatan besar berhasil Aetius lakukan dengan selamat. Dia mendarat sempurna dengan kedua kakinya di tanah. Saat ia mendongak ke atas, tangannya melambai-lambai kepada Leora dengan senyum lebarnya. "Sampai jumpa lagi besok!"
Leora membalasnya dengan lambaian kecil dengan wajah yang cerah. "Sampai jumpa."
❃❃❃
Sapi-sapi suci telah ditarik ke tempat pengorbanan. Lumayan jauh dari pusat kota dan agora Thebes. Seperti yang disyaratkan oleh Orakel Delphi, mereka sudah mempersembahkan sapi-sapi itu di tempat prajurit terhormat mereka gugur di medan tempur.
Totalnya benar-benar 300 ekor sapi, tidak kurang dan tidak lebih. Setelah berminggu-minggu mencari sapi ke seluruh Thebes dan sebagian Boeotia, akhirnya Arsen berhasil menyempurnakan jumlah persembahannya yang fantastis. Tidak hanya dengan berburu sapi, tetapi dia juga sampai mengangkat cangkul demi kelancaran pembangunan mata air. Pangeran Thebes itu telah menunjukkan dedikasinya yang tinggi terhadap titah Apollo, Dewa Ramalan yang menjanjikan cahayanya untuk Thebes.
Ratusan karangan laurel dan keranjang persembahan mulai diangkut dengan kereta kuda. Diikuti dengan alunan musik kelompok musisi istana yang mengiringi himne suci mereka selama perjalanan. Membawa puluhan anggota keluarga laki-laki ke tempat persembahan untuk melakukan penghormatan terakhir kepada prajurit yang telah gugur. Melarung abu mereka bersama mata air yang sudah digali di tanah yang suci.
Semuanya sudah selesai, berjalan lancar sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Kini hanya ada satu hal yang mereka nantikan, yakni cahaya kemakmuran dari sang dewa. Namun, sore ini Leora lebih memilih menantikan cahaya hatinya yang berjanji untuk menjemputnya di taman.
Leora tampak melambai cerah tatkala laki-laki itu menampakkan batang hidungnya. Senyum hangat yang dilemparkan sebagai balasan pun membuat kupu-kupu beterbangan dengan riang. Mereka menari dan menyebarkan serbuk wangi sehingga debaran itu terasa semakin kencang.
"Sebenarnya kau mau mengajakku ke mana?" tanya Leora yang bertanya-tanya kenapa Aetius tidak memberitahukan apa pun mengenai rencananya.
Aetius menatap langit sejenak, mengkaji awan-awan tipis yang bergerak pelan. "Waktunya pas!" serunya riang sembari menarik tangan Leora agar mengikuti langkahnya. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!"
Kaki mereka melangkah dengan cepat, tak terasa sejauh mana mereka melintasi istana yang luas. Leora yang masih mengikuti di belakang pun dipenuhi rasa penasaran. Dia menerka-nerka tempat mana yang akan menjadi tujuannya. Ketika rasa antuasias Leora semakin memuncak, Aetius tiba-tiba saja melambatkan langkahnya dan memindahkan posisinya ke belakang tubuh Leora.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Leora ketika telapak tangan kanan Aetius yang cukup besar itu mulai menutupi pandangannya, sementara tangan kirinya memegangi lengan Leora.
"Aku tidak ingin kau melihatnya duluan."
Leora tertawa lepas. "Baiklah kalau begitu. Aku akan mengikuti rencanamu."
Gadis itu mengikuti instruksinya, tidak tahu ke mana lagi dia membawanya pergi. Dia hanya mengandalkan indranya yang terbatas, merasakan bahwa mereka sedang menaiki beberapa anak tangga. Apakah mereka sedang naik ke suatu tempat? Leora tidak yakin bagian istana mana yang ia injak saat ini, mengingat banyak sekali tempat tinggi yang dibangun di sana.
Setelah beberapa saat, akhirnya Aetius menuntunnya untuk berhenti di sebuah titik dengan angin yang sepoi-sepoi. Embusannya membelai wajahnya dengan lembut, terasa damai dan menenangkan. Ketika Leora terlena dengan hal tersebut, suara lembut itu kemudian berbisik di telinganya.
"Sebelum aku melepaskan tanganku, tetap pejamkan matamu dulu," minta Aetius seraya memindahkan telapak tangannya dari wajah Leora ke bahunya.
Leora menggerakkan sedikit alisnya. Sekarang dia dapat merasakan semburat cahaya yang menerpa wajahnya. Udara terasa hangat, tetapi juga teduh meskipun dia masih memejamkan mata.
"Sekarang kau boleh melihatnya," ujar Aetius yang membuat Leora membuka kedua mata birunya.
Pupilnya tampak melebar, terpana oleh langit yang berpendar jingga di atas akropolis mereka. Warna hangat itu perlahan beralih menjadi ungu dan merah muda ketika cahaya matahari mulai meredup. Menciptakan kilauan keemasan yang menyentuh lembut bayang-bayang pepohonan dan barisan pegunungan yang landai.
Aetius memeluk Leora dari belakang dengan sebuah gerakan yang lembut. Dia menyandarkan dagunya di bahu gadis itu. Mereka terdiam, menikmati momen kebersamaan itu tanpa sepatah kata. Pandangan mereka terpaku pada matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Sesekali, salah satu dari mereka tersenyum atau menoleh, melihat satu sama lain dengan penuh kasih.
Waktu pun seakan melambat dan dalam setiap detik yang berlalu, rasa damai dan cinta pun semakin kuat. Kehangatan dan kenyamanan ini membuat keraguan Leora seolah memudar dan memperjelas sesuatu yang sebelumnya samar. Dia kemudian menatap Aetius lagi ketika laki-laki itu mengeratkan pelukan hangatnya.
"Ini indah sekali," ungkap Leora.
"Itu secantik dirimu." Balasan itu melukiskan semburat rona di pipinya. "Matahari terbenam, membawa harapan baru untuk hari esok yang lebih baik saat dia terbit kembali."
Aetius kemudian membalikkan tubuh Leora dan menatapnya mesra. "Namun, aku tidak perlu menantikan hari esok karena masa depanku sudah terlihat jelas di depan mataku, yakni denganmu," ungkapnya sembari mencium tangan Leora lembut. "Dan aku yakin itu tidak akan berubah."
Mata mereka saling bertatapan dengan dalam. Berpacu dengan degupan dan aliran darah yang mengalir deras di tubuh mereka. Tenggelam bersama dalam renjana. "Kalau begitu, aku akan mewujudkannya bersamamu," balas Leora dengan merona.
Tangan Aetius kemudian terulur untuk membelai pipinya. Sorot matanya terlihat sedikit meredup bersamaan dengan matahari yang sudah tenggelam. "Apa pun yang terjadi, kau harus percaya padaku. Berjanjilah padaku," mintanya dengan kedua alis yang bertautan dan suara yang terdengar lebih berat.
Leora mengernyit sedikit, kesulitan untuk menangkap makna yang tersirat di sana. Dia lantas menggenggam tangan Aetius lebih erat untuk membebaskan keraguan yang tersisa. "Aku berjanji padamu," jawabnya dengan senyum yang merekah hangat, "aku akan selalu berada di sisimu."
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top