31 || Pencerahan
❃❃❃
POHON zaitun yang rindang menjadi tempat mereka berteduh. Setelah selesai dengan pertandingan di gelanggang, mereka pun memutuskan untuk bercengkrama di bawah sana seperti biasa. Menikmati indahnya bunga lavender dengan kekasih hati di sebelahnya.
"Kau menang lagi, Aetius," puji Leora yang duduk bersandar di bahu Aetius. "Setelah mengalahkan Evander, ternyata kau juga mengalahkan kakakku."
"Sepertinya aku memang tidak pernah kalah."
Tawa Leora pun mengalun nyaring. "Benarkah? Tapi aku rasa kau sudah kalah sekali."
"Kalah dalam hal apa?"
"Karena hatimu sudah ku kalahkan."
Kali ini Aetius yang terkekeh sampai memegangi perutnya. "Kalau itu, aku bersedia mengakuinya."
"Bukan hanya kau yang kalah, tapi aku pun juga kalah," ujar Leora yang lantas mengangkat kepalanya dari bahu Aetius untuk menatapnya. "Sebenarnya, ada yang ingin aku ceritakan padamu."
"Apa itu?"
"Katanya, aku sempat pingsan seharian saat kalian pergi ke Delphi."
"Benarkah?" Raut Aetius langsung memancarkan kekhawatiran. "Kenapa kau baru mengatakannya?"
Laki-laki itu kemudian membelai rambutnya. "Sekarang tidak apa-apa, kan?"
Dia mengangguk kecil. "Semuanya baik. Hanya saja, ada yang mengganggu pikiranku sejak saat itu."
"Katakan apa itu."
"Aku merasa hanya tertidur saja, tetapi kenapa semua orang menganggapku pingsan?"
"Mungkin karena tidurmu terlalu nyenyak," tanggap Aetius yang masih memainkan rambut gadisnya.
"Mungkin kau benar," helanya panjang yang kemudian melanjutkan kalimatnya, "tapi kau masih saja memenuhi benakku hingga ke bawah alam sadar."
Aetius menyeringai nakal. "Kau menggodaku, Putri?"
Pipi Leora bersemu merah. "Tidak, ini sungguhan! Aku sempat melihatmu sekilas dalam mimpi!" sergahnya dengan mata biru yang membulat. "Atau mungkin halusinasi saat aku terbangun sebentar waktu itu, hanya sebentar sebelum aku terlelap lagi," gumamnya yang lupa-lupa ingat.
Aetius yang sempat tertegun, langsung mengulas senyum kecilnya. "Kalau begitu, apa yang kau lihat dariku?"
Leora menatapnya sejenak, mengamati matanya yang memancarkan keingintahuan. "Cahaya berpendar di sekelilingmu, membingkai wajahmu dengan kehangatan yang menyilaukan," ungkapnya sambil kembali menerawang. "Untaian laurel di antara rambutmu terlihat lebih terang, tetapi lautan emas yang ku lihat di matamu seakan memantulkan bintang paling terang di seluruh jagad raya," paparnya yang berhasil membuat Aetius seketika menahan napasnya.
Dahi Leora mengernyit tipis dengan tawa yang kecil. "Aku memang tidak terlalu yakin dengan apa yang aku lihat pada saat itu, tetapi aku percaya kalau itu bukan sekadar mimpi biasa karena terasa begitu nyata."
Aetius berdeham lalu menggodanya. "Mungkin kau sangat merindukanku sehingga terbawa mimpi."
"Mungkin itu sebuah pertanda, atau justru ada dewa yang menjelma dengan menyerupai dirimu?" duga Leora yang sontak membuat laki-laki di sampingnya terdiam.
Gadis itu kemudian terkekeh seraya kembali menjatuhkan kepalanya ke bahu kekasihnya. "Aku hanya bercanda. Lagi pula, kekasihku sekarang ada di sini."
Tanpa ia ketahui, telinga Aetius sudah memerah. "Dewa tidak peduli dengan aturan itu, Leora."
"Mungkin mereka senang bermain-main dengan bunga tidurku." Napas Leora mengalun halus. "Terlebih lagi, ini bukan mimpi aneh pertamaku."
"Kau pernah bermimpi ... tentangku yang seperti itu sebelumnya?"
Leora menggelengkan kepalanya. "Itu terjadi ketika aku tidak sadarkan diri setelah Daphnephoria. Mimpi itu sangat indah hingga aku belum bisa melupakan."
Aetius kembali mengelus lembut rambutnya. "Ceritakan padaku."
"Aku melihat sebuah taman yang begitu indah. Tidak seperti di Thebes maupun Yunani, melainkan seperti Padang Elisian," ungkap Leora yang terjeda sejenak. "Mawar dan iris bermekaran di antaranya, tercium semanis nektar dengan taburan emas di antara kelopaknya. Kemudian di depan sana, aku melihat sebuah istana megah dengan kubah permata dan pilar marmer hitam yang kokoh. Setiap sisinya diukir dengan pola matahari dan laurel, terjalin menawan dengan detail yang indah."
Tangan Aetius tiba-tiba berhenti membelainya. Sesuatu seolah tertahan di tenggorokannya. "Apa lagi yang kau lihat?"
"Di sana terdapat karpet lily lembah yang luas. Mungkin seperti cerita orang-orang tentang dasar Gunung Parnassus? Entahlah, aku sendiri belum pernah melihat ataupun merasakan hamparan lily lembah yang terasa lembut dan harum seperti di sana," jawab Leora sambil mengingat-ingat mimpi yang sempat menyambanginya.
"Kemudian aku memasuki istana itu lebih dalam, menyusuri semua serambinya yang besar. Ketika melintasi salah satu lorong, aku mendengar petikan lira dari salah satu ruangan lalu menemukan—"
Penjelasannya terpotong setelah merasakan sentakan kecil dari tubuh Aetius. Dia langsung bangun dari posisinya untuk memeriksa keadaan laki-laki itu. Menemukannya termangu dengan dahi yang mengerut.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Leora sambil menangkup pipi Aetius.
Kerutan itu berangsur hilang tergantikan oleh senyuman. "Aku baik-baik saja, cintaku," jawabnya yang kemudian mencium tangannya.
Hal itu membuat Leora lega sekaligus berdebar-debar. Jika perlakuan sesederhana itu bisa menjadi sumber kebahagiannya, dia pun bersedia untuk merasakannya dalam waktu yang lama. Melihatnya yang terdiam sesaat, Aetius pun memanggilnya dengan lembut.
"Leora."
"Ya?"
Laki-laki itu lantas menggenggam kedua tanganya dengan erat. "Sebelum musim gugur tiba," ujarnya terjeda sejenak untuk menatapnya lebih lekat, "aku akan meminangmu."
❃❃❃
Jajaran pohon cypress dan palem menjulang tinggi di area itu. Siluet dari bayangannya saat diterpa cahaya senja terlihat senada dengan bunga amarath merah yang tumbuh di pinggir jalan setapaknya. Ketika percikan sungai kecil yang mengalir di tengahnya mengenai batuan pinggir yang panas, wangi petrikor mulai menguar halus. Mengingatkan mereka akan asrinya suasana hutan belantara.
Leora tampak terengah-engah sambil mengangkat ujung peplos-nya. Sudah tak terhitung berapa banyak anak tangga yang ia naiki untuk menuju ke kuil itu. Namun, ketika dia sudah sampai di inti bangunan, semua lelahnya terbayarkan oleh pemandangan yang mengagumkan itu.
Kepalanya tengadah, menatap langit-langit yang dilukis dengan gambar rusa bertanduk emas dan beberapa hewan liar yang terpatri manis di atasnya. Di tengah serambi kuil, berdiri patung besar Artemis yang menakjubkan. Polesannya yang halus membentuk wajahnya yang rupawan. Dia terlihat agung dengan tempaan mahkota bulan sabit perak yang memantulkan kemurnian. Kemudian, jemarinya yang lentiknya menggenggam busur peraknya dengan kuat, siap untuk ditembakkan kepada sasarannya.
Sore ini Leora memutuskan untuk datang ke Kuil Agung Artemis di dekat akropolis mereka. Hatinya tiba-tiba saja menjadi bimbang saat mendengar niat Aetius tadi siang. Bukankah, seharusnya dia merasa senang karena hubungan mereka akan masuk ke jenjang yang lebih serius? Kenapa impian manis itu justru membangunkan kegelisahan batinnya?
Mungkinkah ini terlalu cepat? Rasanya juga tidak karena mereka sudah mengenal satu sama lain cukup lama, bukan hanya satu atau dua hari saja. Sekarang hanya ada satu orang yang bisa memberinya pencerahan, yakni Artemis, dewi yang senantiasa melindungi para gadis yang belum menikah.
"Salam," sapa Leora kepada wanita tua yang bersimpuh di depan altar.
Dia berbalik lalu tersenyum ramah ketika mengenali siapa yang datang. "Cukup lama aku tidak melihatmu, Putri?"
"Maaf, Pendeta. Aku belum sempat datang ke sini lagi."
Leora biasanya akan datang ke Kuil Agung Artemis sebulan sekali. Memberikan persembahan dan memanjatkan nyanyian merdunya kepada sang dewi dengan binaan pendeta tinggi jika mempunyai urgensi. Selebihnya, dia akan berdoa di istananya dengan menyalakan altar kuil kecilnya.
"Aku ingin melakukan persembahan kepada Nona Artemis."
Pendeta itu bangkit dengan mengelus-elus puncak tongkat penumpunya yang tumpul. "Tentu saja. Pasti ada yang mengganjal hatimu sehingga memutuskan untuk kemari."
"Aku hanya ingin menyenangkan hatinya dengan doaku," balas Leora tersenyum kecil, "dan mendapatkan ketenangan darinya."
"Waktu yang tepat, Putri. Aku dengar, Nona Artemis sedang tidak enak hati akhir-akhir ini."
"Karena apa?" tanya Leora mendelik. Pendeta tinggi adalah pemangku utama kuil yang terkenal bisa berkomunikasi dengan dewanya masing-masing. Tidak heran kalau mereka terkadang bisa mengetahui apa yang tidak diketahui oleh orang biasa.
"Dia ingin mendapatkan penghormatan darimu, sama seperti Phoebus Apollo yang sedang dihormati besar-besaran di Thebes."
Leora mengerjapkan matanya lalu menautkan kedua alisnya. "Sesuai anjuranmu, aku sudah melaksanakan persembahan di Elaphebolia beberapa waktu yang lalu. Apakah aku harus melakukan persembahan yang setara juga untuknya sekarang?"
"Tidak perlu. Nona Artemis hanya ingin sebuah hiburan sederhana saat ini," balas pendeta itu sambil berjalan ke sisi altar.
"Kalau begitu, apa yang bisa aku lakukan untuk menghiburnya?"
"Kau lihat keranjang-keranjang itu?" tunjuknya kepada lima keranjang buah ara yang terisi penuh.
"Ya. Aku yang memilihnya sendiri dan menyuruh dayangku untuk mengirimkannya kemari tadi pagi."
"Tangan bengkokku terlalu sulit untuk memegang pisau, sedangkan mataku yang sudah rabun juga tidak dapat melihat dengan jelas. Jika kau ingin menghiburnya maka kau harus memilih buah yang paling enak di antara mereka sebelum melakukan persembahan hari ini," papar pendeta itu sambil mengulurkan sebilah pisau.
Leora mengangkat kedua alisnya. Baru kali ini dia mendengar permintaan semacam itu. "Baiklah, aku akan mencobanya," jawabnya seraya memegang pisaunya lalu duduk di antara keranjang. Dia yakin dapat menemukan beberapa buah dengan mudah, mengingat buah ara itu dipanen dari bibit unggulan perkebunan istana.
"Berapa yang harus aku pilih?"
"Satu saja sudah cukup," jawab pendeta tersenyum simpul. "Jika sudah, panggil aku untuk memulai ritualnya," imbuhnya yang kemudian minggir ke belakang untuk menyenandungkan pujian.
Leora tidak ambil pusing. Dia langsung meraih buah ara pertamanya yang sudah ia jamin kematangannya. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika pisaunya kesulitan untuk memotongnya menjadi dua. Terlihat matanya ikut membulat karena menemukan kulit buah yang tebal dengan daging buah yang keras, seperti buah yang masih mentah.
Leora lantas mengganti buahnya, mengambil beberapa sekaligus untuk dibelah lagi. Sayangnya buah selanjutnya pun menunjukkan isi yang sama. "Bagaimana bisa?" gumamnya bertanya-tanya sambil membolak-balikkan mereka.
Lagi dan lagi, Leora terus mencoba mencari buah yang masak. Namun, buah kesekian yang ia potong masih tidak sesuai dengan harapan. Rasanya hambar seperti sayuran, mungkin terasa seperti mentimun yang sedikit pahit. Dia kemudian menoleh ke arah pendeta yang sedang bersenandung di belakang sana, berharap agar diberikan jalan keluar.
Kenapa semua buah itu tiba-tiba saja berubah kualitasnya? Sudah hampir tiga perempat isi keranjang yang ia potong, tetapi belum ada satu pun buah yang memenuhi kriteria. Wajah Leora pun mengeras sambil menyincingkan lengan chiton-nya, bersiap-siap untuk mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Tanpa menghiraukan goresan yang menghiasi jari-jarinya, dia pun membulatkan tekad untuk mengeksekusi semua buah itu hingga yang terakhir.
Kali ini secercah harapan muncul ketika ia merasakan perbedaan teksturnya, lebih empuk dan mudah dipotong daripada sebelumnya. Sayangnya semua itu hanya ilusi karena apa yang ia temukan justru daging buah yang keliahatan benyek dan berair. Baunya sedikit masam lalu bahunya pun langsung merosot setelah mencicipinya sedikit. Rasa terlalu manis yang pekat itu membuat tenggorokan menjadi gatal dan mengganjal.
Leora menghela napasnya pasrah karena ketidakberuntungan ini. Setelah menemui buah yang mentah, sekarang dia justru menemui buah yang terlampau matang. Jika sampai tidak ada buah yang enak dari kelima keranjang itu, dia akan memerintahkan Helota untuk membawakan beberapa keranjang buah ara lagi ke kuil.
Leora tidak sadar berapa lama waktu yang ia habiskan di tempat itu karena terlalu fokus mengerjakan tugasnya. Dia juga tidak menghitung seberapa banyak buah yang sudah menjadi korbannya, mungkin lebih dari 100 ara yang sudah diiris dan dikuliti. Helota pasti bertanya-tanya di luar kenapa dia memakan waktu yang lama hanya untuk berdoa di kuil.
"Ayo coba hingga buah terakhir!" pikirnya untuk menyemangati dirinya sendiri.
Leora kembali mengarahkan pisaunya untuk membelah buah yang tersisa di keranjang terakhir. Penuh harap-harap cemas, ia pun menggigit bibir bawahnya sedikit. Kemudian secercah harapan itu pun terbit ketika ia melihat daging buah yang berwarna merah muda dan terlihat kenyal.
Tidak ada bau asam maupun isi yang berair, aromanya sekarang tercium harum yang khas. Dia pun lantas memotongnya sedikit lalu mencicipi aranya. Tekstur lembut dengan perpaduan rasa madu dengan selai beri itu membuat matanya membulat. Menemukan harta karun yang sedari tadi dicarinya, Leora pun bergegas memanggil pendeta.
"Permisi. Aku sudah menemukannya, Pendeta."
Wanita tua itu menghentikan senandung sucinya. "Benarkah? Biar aku lihat dulu," ujarnya seraya bangkit dengan susah payah karena kakinya yang sudah lemah.
"Di antara semuanya, hanya ini yang paling enak."
Pendeta itu ikut mencicipi potongan kecilnya lalu mengangguk senang. "Seperti yang diharapkan."
"Apa satu saja benar-benar sudah cukup?" tanya gadis itu risau.
"Kau sudah berusaha keras, Putri. Ini sudah lebih dari cukup," jawabnya sambil mengambil obornya. "Mari kita mulai ritualnya."
Leora tampak sumringah. Dia langsung memotong buah itu kecil-kecil lalu menempatkannya ke nampan persembahan. Lalu dengan hati yang senang, dia pun menunggu di belakang pendeta yang sedang menyalakan api altarnya.
Ketika himne sudah terangkai dan persembahan sudah ditaruh ke altar, Leora pun menengadahkan kedua tangannya. Dia menatap patung Artemis dengan pengharapan, seakan meminta pertolongannya. Jika ini memanglah takdirnya, bahwa laki-laki itu memang serius dengannya, dia ingin sebuah petunjuk yang jelas dari dewinya.
Bibirnya merapalkan keinginannya dengan halus. Membawanya di antara tiupan angin yang mengangkasa. Doanya yang singkat itu diakhiri dengan usapan wajah, lalu disambung dengan embusan pelan sebelum dia memberesi altar persembahannya. Jika nanti Artemis bersedia memberikan restunya, jalan yang akan ia tempuh berikutnya pasti akan terasa lebih terang.
"Gadis muda sepertimu pasti memohon untuk segera diberikan jodoh," ujar pendeta.
"Aku meminta untuk diyakinkan hatiku," ungkapnya.
Pendeta itu terkekeh. "Rupanya kau sudah menemukan seseorang, Putri."
"Sepertinya memang sudah," balasnya yang tampak tersipu.
"Kenapa? Biasanya para gadis bersemangat setelah memiliki seorang kekasih," tanya pendeta yang kemudian ikut duduk di sebelahnya. "Sebelum terlambat, lebih baik kau segera menikah daripada menua sendirian sepertiku," selorohnya sehingga tawa ringan Leora mengudara.
"Aku hanya tidak mau terburu-buru untuk hal sekali seumur hidup."
Pendeta itu kemudian menepuk tangan Leora lembut. "Itu benar. Oleh karena itu, kau harus memastikan pilihanmu dengan memperhatikan setiap detail kecilnya. Apakah pria itu benar-benar mengagungkanmu di sisinya atau hanya menjadikanmu sebagai hiburan semata di hidupnya," nasihatnya diperhatikan serius oleh Leora. "Kau harus memahaminya lebih dalam lagi dan bukan hanya melihat dari sampulnya saja."
"Kami sudah saling mengenal cukup lama dan dia juga sudah mengutarakan niat seriusnya padaku. Namun, aku saja yang masih merasa bimbang dengan hal ini. Padahal, selama ini aku menantikan momen seperti ini," balas Leora tertunduk.
"Itu hal normal, apalagi untuk gadis yang belum pernah menikah," jawabnya yang terdengar menyejukkan. "Tapi ingat, tidak semua nektar akan terasa manis. Terkadang harus ada getah yang pahit di antaranya. Jika tidak seperti demikian, kita tidak akan pernah mengerti seberapa berharganya nektar tersebut."
Leora termangu sebentar, mencermati setiap kalimat yang diutarakannya. Entah mengapa semua itu terdengar seperti peringatan yang hangat. Apakah dia harus mengorbankan sesuatu untuk membuktikan cinta mereka? Apa yang bisa ia korbankan?
"Tapi tenang saja. Jika takdir kalian memanglah satu maka tidak ada hal yang bisa memisahkan kalian."
Senyumnya kembali terukir lembut. "Terima kasih banyak. Aku akan mengingatnya."
Gema genderang sudah merambah ke dalam kuil. Pertanda tibanya waktu malam yang menyadarkan Leora akan pekerjaannya yang sempat tertunda. Dia kemudian cepat-cepat membereskan sisa buahnya ke dalam keranjang sebelum kembali ke istana.
"Cukup taruh saja di situ. Kau tidak perlu membuangnya."
"Tapi untuk apa sisa buah ini?"
"Biarkan aku memberikannya kepada penggembala. Ternaknya pasti akan merasa senang."
"Baiklah, aku senang karena ini tidak terbuang sia-sia," jawab Leora yang lantas meminggirkan keranjang yang sudah selesai ia rapikan.
Pendeta pun mengantarnya hingga ke pintu keluar, menghaturkan hormatnya sebelum Leora membungkuk kecil padanya. "Aku pamit dulu," pungkas gadis itu seraya menuruni anak tangga.
"Semoga Dewa memberkatimu."
Pendeta itu menatap kepergian Leora dengan seulas senyum. Pertemuan yang singkat ini menjadi pertemuan mereka yang cukup berkesan. Dia tidak mengira kalau gadis itu tidak kesal ataupun marah-marah dengan hal yang sempat ia kerjakan. Padahal ekspresi seperti itu yang cukup ia nantikan darinya.
Sayangnya, wangi myrrh bercampur lily lembah yang semerbak dari sisi pintu keluar mengalihkan perhatiannya. Sesosok laki-laki terlihat sedang bersandar di salah satu tiang marmer. Dia bersedekap tangan sambil melemparkan tatapan tajam yang terasa dingin ke arahnya.
"Ah, ternyata gembala kita datang ke sini! Kenapa kau masuk ke kuilku dengan hawa yang jelek itu?" tegurnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya laki-laki berambut pirang itu sambil menatapnya dari ujung kaki hingga kepala, "terlebih lagi dengan wujudmu yang tidak biasa ini, Adelfi."
Wanita bungkuk itu tergelak keras hingga badannya menegap. Kulitnya yang kendur dan keriput seketika kembali menjadi kencang. Rambutnya yang beruban pun balik menghitam dan berkilauan. Kini bukan wanita tua yang sedang berdiri di hadapannya, melainkan gadis muda yang menawan.
"Kenapa? Sesuka hatiku ingin datang seperti apa ke kuilku," balasnya yang kemudian tersenyum miring sambil memainkan tongkat kayunya yang sudah berubah menjadi busur perak. "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa pemburu gadungan sepertimu menginjakkan kakinya ke sini?"
"Aku tidak mengajakmu berdebat, Artemis."
"Kau yang mendebatku dengan tidak mendengarkanku, Apollo." Kali ini bibir Artemis tambah mencebik. "Berani membantah, tapi masih datang dengan angkuh. Seharusnya kau juga menunjukkan sisi sepatmu itu di depan kekasihmu."
Apollo terperangah, bibirnya kemudian terukir masam. "Jika para gadis pemburumu tidak mencegahku masuk, mungkin dia akan melihatnya." Sekali lagi rahangnya menggertak. "Kau menutup tempat ini dengan tabir. Apa yang kau lakukan dengannya?"
Tawa nyaring itu menghiasi suara manis sang dewi. "Dia datang untuk memohon perlindunganku. Apa kau iri?"
Mata Apollo menajam ketika menangkap beberapa keranjang buah yang berada di belakangnya lalu mendesis, "Kau berusaha mengerjainya."
"Aku cuma penasaran dan ingin mengenal lebih dekat seperti apa kekasih Aetius itu."
"Jangan ganggu dia," geram Apollo dengan tangan yang terkepal, "biarkan aku yang membuktikannya."
"Gadis itu adalah pengikutku," potong Artemis yang serentak maju ke depan Apollo, "jadi sudah sepatutnya aku mengujinya sebelum memberinya restuku. Kau mengerti?"
"Artemis!"
Dewi itu menyeringai tipis. "Kenapa? Kau takut hatinya menjadi ragu setelah bertemu denganku?" tanyanya yang membuat kembarannya terbelalak.
Apollo merasa terpojok oleh pernyataan saudarinya. Beberapa kali mereka sempat bersitegang, tetapi tidak terasa semenyesakkan ini. "Kau akan menghalangiku."
"Oh, Phoebusku yang tersayang. Aku tidak akan menghalangimu, tapi kau harus menumpahkan seluruh ichor dan air matamu untuk mendapatkan sesuatu yang berada di bawah perlindunganku," ujar Artemis dengan mata peraknya yang mengkilat.
Kedua alis Apollo saling bertautan. "Kenapa kau mempersulit hal ini?"
Artemis hanya mengulas senyum simpulnya. "Kau harus belajar sesuatu," gumamnya seraya menatap langit yang sudah menggelap. "Hermes menitipkan pesannya. Aku akan menunggumu di Olympus," jawabnya yang hendak berjalan pergi, tetapi berhenti sejenak untuk mengucapkan kalimat terakhirnya. "Kau harus mengikuti aturanku jika menginginkan restuku."
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top