30 || Pertandingan
❃❃❃
300 pengorbanan, itulah yang Leora dengar dari para dayangnya. Thebes akan melakukan persembahan besar untuk memperoleh hati Phoebus Apollo demi kemakmuran. Bagi mereka, tidak ada yang lebih penting daripada menerima berkat dan restu Dewa Olympus untuk masa depan yang lebih cerah.
Hari ini Leora sedang menemani ibunya untuk menguntai laurel. Namun, terlihat sekali kalau dia terjebak dalam dunianya sendiri. Beberapa kali dia tersenyum-senyum tanpa sebab sehingga mendapat teguran dari ibunya.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Leora?"
Pertanyaan itu membuat realitanya kembali. "Tidak ada, Ibunda."
"Apa kita juga akan membuat 300 karangan laurel?" tanya Leora yang mengalihkan pembicaraan.
"Tentu saja. Para pria sedang berusaha mencari sapi dan menggali mata air, jadi kita para wanita harus membantu mereka dengan hal lain."
Leora mengangguk paham sembari memilin dedaunan itu menjadi sebuah karangan bunga. Dia memang lihai dalam pekerjaan ini, semuanya berkat ajaran ibunya yang telah menuntunnya untuk menekuni aktivitas rumah tangga. Namun, kilauan yang terpantul di pergelangan tangannya ternyata tidak luput dari perhatian Dimitra.
"Ibu lihat, ada yang berbeda darimu hari ini. Rupanya karena perhiasan baru yang kau pakai."
"Ini hadiah," jawabnya tersipu.
"Dari siapa? Kakakmu?"
Leora hanya menggeleng kecil. Dia tidak berani mengatakan siapa pemberi gelang itu. Bisa-bisa ibunya terkejut jika mengetahui kalau putrinya sudah memiliki kekasih di belakang orang tuanya.
"Lalu kenapa tidak memakai hadiah yang diberikan Pangeran Athena? Ibunda yakin kalung itu juga sama indahnya."
"Kalung itu terlalu mewah untuk digunakan sehari-hari," balasnya tersenyum simpul sambil mengutarakan sebagian kebenarannya.
"Kalau begitu, kau bisa memakainya sesekali saat acara resmi."
Anggukan hanya Leora layangkan sebagai jawaban singkatnya. Dia berharap kalau pembahasan ini tidak akan meluber ke mana-mana. Jika ibunya sampai bertanya lebih rinci lagi, dia tidak yakin bisa menyembunyikannya lebih lama kalau dia sudah memberikan kalung itu kepada dayangnya.
"Putri!" panggil Akalle yang membuat mereka menoleh. "Oh! Maaf, Yang Mulia," sapanya membungkuk setelah melihat keberadaan bibinya.
"Ada apa?" tanya Dimitra.
"Bolehkah aku meminjam Leora sebentar untuk melihat pertandingan di gimnasium?"
"Apakah sudah mau dimulai? Kalau seperti itu, lebih baik kalian segera pergi. Para gadis memang seharusnya bersenang-senang."
Akalle langsung berjingkrak. "Terima kasih, Yang Mulia!" serunya yang langsung menarik tangan Leora.
"Tunggu, Akalle!" sergah gadis yang sudah diseret pergi dari sana.
Leora terengah-engah ketika sampai di lokasi. Dia langsung menduduki tribune yang sudah hampir terisi penuh. Ternyata banyak sekali penonton yang menunggu pertandingan di gelanggang itu.
"Kenapa mengajakku kemari? Aku kan belum selesai merangkai karangan."
"Kau tidak dengar perkataan ibumu? Dia bilang kita harus bersenang-senang hari ini," balas Akalle yang kontan bertepuk meriah.
Leora memang tidak terlalu memperhatikan waktu karena berkutat di tempat ibunya sejak pagi. Dia sebenarnya sedikit lupa dengan pertandingan yang diadakan hari ini. Meskipun sedang pusing mencari sapi suci, tetapi para pria masih antusias melancarkan rangkaian festival kemarin.
Tahun ini sepertinya Thebes sedang ditimpa keberuntungan. Selain bisa merayakan Daphnephoria, hanya terpaut 4 hari dari konsultasi orakel, Permainan Pythia yang diadakan empat tahun sekali pun juga digelar. Oleh karena itu, mereka bisa ikut merayakannya dengan mengadakan pertandingan olahraga versi kecil di polis mereka tanpa jauh-jauh pergi ke Delphi lagi.
Gelanggang olahraga itu terdengar riuh. Sekelilingnya bukan hanya dipenuhi oleh para pria dan pemuda saja, melainkan juga oleh para gadis yang menantikan keluarnya kontestan. Meskipun demikian, wanita yang sudah menikah dilarang keras untuk hadir dan bisa dikenakan hukuman jika mereka ketahuan menonton pertandingan.
"Apa kau ingat permainan 4 tahun yang lalu? Kakakmu menang telak," ujar Akalle yang tampak antusias di sebelahnya.
"Jika tidak ada lawan yang sepadan, mungkin dia akan memborongnya lagi tahun ini."
"Kita lihat saja nanti," balas Akalle yang kemudian berbisik. "Apa pemburu itu tidak ikut pertandingan hari ini?"
"Aku belum tahu," jawabnya yang sedikit celingukan.
Dia belum melihat Aetius sejak kemarin. Padahal biasanya dia akan mampir sebentar ke kediamannya untuk menyampaikan selamat pagi. Apakah dia pergi lagi?
Ketika Leora sedang melamunkan hal yang diduga, Akalle menepuk pundaknya sambil berseru, "Lihat, itu dia!"
"Aetius?" gumamnya tak menyangka akan melihat laki-laki itu berjalan di barisan bawah sana.
Dia melangkah masuk bersama Arsen dan peserta lain ke tengah arena. Mengenakan atribut permainan yang terlihat ketat dan rumit. Mulai dari lomba lari, lompat jauh, melempar diskus, adu panco hingga bergulat akan menjadi deretan olahraga yang akan ditandingkan hari ini.
Leora memajukan duduknya. Dia mengeratkan pegangannya di pagar pembatas tribune. Sepertinya dia tidak perlu mencemaskan laki-laki itu karena para pemburu sudah terbiasa dengan aktifitas fisik yang berat, kan? Jika tidak, bagaimana mungkin otot tubuhnya bisa terbentuk dengan sempurna?
"Apa yang kau pikirkan sampai memerah seperti itu?" tegur Akalle yang membuatnya menggeleng cepat.
"Bukan apa-apa!"
Sepupunya itu justru tertawa keras. "Sudahi dulu dan mari lihat pertandingannya."
Ketika terompet berkumandang, Leora kembali memusatkan perhatiannya ke tengah arena. Di sana, Aetius terlihat memulai pertandingannya dengan sengit. Bergerak lebih cepat untuk mencapai garis finis lebih awal.
Gerakannya terlihat ringan dan cekatan. Dia melompat jauh lalu mendarat dengan mulus. Kemudian melemparkan diskus dengan sekali lempar hingga jauh. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Aetius untuk mendapatkan poin pertama dan terus bersaing ketat dengan skor yang didapatkan oleh kakaknya.
"Wah! Dia jago sekali," puji Akalle.
"Kau benar."
Leora tidak bisa mengeluarkan kata-kata lain karena terlalu terpesona. Keringat yang membasahi tubuh Aetius, membuat kulitnya yang diolesi oleh minyak zaitun semakin mengkilap. Lengannya yang telanjang tampak mengetat, mencuatkan otot-ototnya yang kekar ketika dia mulai beradu dengan peserta lain. Dia menunjukkan kekuatannya, berusaha menjatuhkan satu per satu lawannya dengan sekali banting. Tanpa rasa ampun dan belas kasih.
Saat ini Aetius seperti menunjukkan sisinya yang lain. Jika biasanya dia tampak lembut dengan bertutur manis, sekarang dia tampak seperti singa yang garang. Melawan apa pun di depannya seperti seorang ksatria yang jantan.
"Dia hampir memenangkan semua permainannya?" gumam Leora membulatkan matanya saat menyadari bahwa nama Aetius juga terpampang di papan skor karena seri dengan Arsen. Sepertinya dia harus menganulir tebakannya tadi mengenai pemenang pertandingan tahun kali ini.
Terdengar sorak-sorai penonton saat mendekati final pertandingan. Baru kali ini mereka mendapatkan dua peserta yang memiliki skor yang seri. Meskipun demikian, hanya ada satu orang yang akan mengenakan mahkota laurel pemenang setelah babak penentuan.
"Aku meminta adikku tercinta, Putri Leora untuk memilih pertandingan penentuan!" seru Arsen yang tiba-tiba mengejutkan Leora.
"Aku?"
"Ayo, cepat ke sana," desak Akalle seraya menariknya agar segera turun dari tribune dan menuju ke tengah arena.
"Karena skor kami seri maka aku ingin kau memutuskan pertandingan apa yang akan menjadi penentunya," ujar Arsen dengan menunjukkan berbagai macam senjata yang tersedia. Ada sebilah pedang panjang, belati, tombak, lembing, panah, serta peluru berpeluncur ketapel yang menjadi pilihannya.
"Duel maksudnya?"
"Jangan khawatir, kami akan memakai pelindung yang aman."
Leora menatap kakaknya sejenak lalu beralih ke Aetius yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu tampak tenang menanti pilihannya. Sama sekali tidak khawatir kalau akan keluar berdarah-darah nantinya.
"Aku tidak mau ada yang terluka," ungkap Leora yang kemudian menunjuk senjata melengkung itu, "jadi lakukan panahan saja."
"Baik. Bawakan dua kyklos untuk tantangan berikutnya!" perintah Arsen yang disambut teriakan heboh dari penonton.
"Semoga berhasil," ujar Leora kepada kedua laki-laki itu sebelum menepi.
Busur beserta sejumlah anak panah pun dibawa masuk. Tak lupa juga dengan kyklos—rangkaian panahan berbentuk lingkaran yang dibuat dengan memanfaatkan reaksi berantai—juga turut digotong ke tengah-tengah arena. Disusun atas lingkaran-lingkaran kayu yang dirangkai dengan untaian rantai hingga mencapai bagian puncaknya.
Aturan mainnya cukup sederhana, pemanah hanya perlu memanah lingkaran kayu yang ada di sana untuk menghentikan, melambatkan, atau mempercepat laju rantai yang tergulung di sisi-sisinya. Mereka harus membuat rantai itu bergerak dengan benar agar target utama dapat berdiri di bagian paling atas. Namun, tantangan tersebut tidak akan bisa diselesaikan dengan mudah karena rangkaian itu akan terus berputar setiap detiknya. Fokus yang tinggi akan dibutuhkan untuk menaklukkannya.
Aba-aba mulai terdengar. Kyklos pun mulai diputar untuk mengawali rintangan terakhir mereka. Ketika mereka mulai melancarkan aksinya dengan menembak setiap target yang mulai menggulir rantai, pada saat itu pula jantung Leora menjadi berdebar-debar.
Arsen berhasil menghentikan rantai pertama untuk mengganti arah geraknya sesuai dengan keinginannya. Semuanya terlihat berjalan mulus sebelum satu anak panahnya meleset jauh dari sasaran. Ketika dia kesulitan untuk mengejar detik yang tertinggal, Aetius pun langsung mengambil kesempatannya.
Leora pernah melihat cara Aetius memanah. Dia memang sangat lihai dalam menarik dan melontarkan anak panahnya. Namun, dia tidak menyangka kalau laki-laki itu akan menujukkan sisi kompetitifnya dengan menembak tanpa jeda.
"Dia bisa memanah secepat itu?" gumam Leora yang kagum oleh setiap gerakannya.
Setiap lesatan terdengar nyaring akibat mata panah yang bergesekan dengan besi. Rantainya bergerak semakin cepat saat target penahannya dipanah jatuh. Melajunya tak terkendali hingga suara tarikan yang keras itu menarik rantai terakhir, memutus penahan target utama sehingga mengereknya hingga ke puncaknya. Kibaran bendera di atasnya pun menjadi sinyal terakhir, penanda bahwa pemenang sudah berhasil menyelesaikan misinya.
"Selamat! Tuan Aetius pemenangnya!" seru Arsen yang disambut tepukan riuh.
Pangeran itu lantas menuntun Aetius ke sisi podium. Tempat di mana Leora sudah menunggu dengan mahkota laurel di tangannya. Dengan senyum penuh kebanggaan, dia pun menerima hadiah kemenangannya.
"Selamat atas kemenanganmu, Tuan Aetius," ucap Leora sambil memakaikan untaian laurel itu ke kepalanya.
"Terima kasih, Putri," balas Aetius seraya tersenyum lembut. "Aku mendedikasikan kemenangan ini untukmu."
Leora mengunci pandangan mereka. Menelaah wajah cerahnya dalam untaian laurel yang segar. Ketika dia memperhatikannya cukup lama, sekelebat bayangan Aetius yang sempat menghampirinya ketika ia dituduh pingsan pun kembali muncul dalam ingatannya.
Apakah itu memang mimpi atau hanya khayalan tidurnya? Leora tidak terlalu ingat bagaimana detailnya, tetapi saat ia terbangun sejenak pada malam itu, samar-samar ia melihat bayangan laki-laki sudah berada di depan matanya. Berkilauan cerah dengan mahkota laurel yang berpendar terang di atas kepalanya.
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top