3 || Persembahan Artemis
❃❃❃
ARTEMIS. Dewi yang berwujud gadis muda nan jelita itu masih duduk di atas kereta perangnya. Mata peraknya menatap ke bawah, tampak gemerlap saat ia menentukan targetnya. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun merupakan gilirannya untuk melakukan aktivitas kegemarannya, merentangkan busur dan memburu targetnya.
Sebuah tabung panah tersampir di bahu kirinya, melengkapi busur perak yang senantiasa ia bawa ke mana saja. Setiap ujung anak panahnya diasah setajam mungkin, membuatnya lebih cepat ketika ditembakkan dan mengurangi rasa sakit targetnya. Namun, bagi siapapun yang menerima hukuman dari Artemis, rasa sakit itu justru bisa digandakan berkali-kali lipat.
Artemis tersenyum kecil setelah menemukan lokasi targetnya. Dia lantas menuruni kereta perangnya untuk bergabung bersama para gadis pemburu yang masih sibuk menyiapkan perlengkapan mereka. Mengasah mata panah dan merajut jaring merupakan persiapan penting sebelum perburuan dilaksanakan sepanjang malam.
Para gadis pemburu merupakan gadis perawan dari kalangan nimfa maupun manusia yang sudah bersumpah untuk menjadi pengikut setia Artemis. Bagi mereka yang sudah berikrar, akan dianugrahi dengan umur panjang oleh sang dewi. Mereka kemudian akan tinggal di hutan suci Artemis dan diharuskan menjaga kemurniannya seumur hidup. Namun, menjadi pengikut Dewi Perburuan merupakan sebuah tantangan tersendiri karena terdapat banyak sekali godaan yang telah menanti mereka di tengah jalan.
Sebuah konsekuensi berat akan dijatuhkan kepada gadis pemburu yang berani melanggar sumpahnya. Artemis sendiri tidak akan pandang bulu kepada siapa dia akan memberikan hukumannya. Semuanya tegas dan rata, sekalipun orang tersebut adalah Callisto, sahabat kesayangannya yang harus rela terusir dari sisinya setelah tersentuh api asmara Zeus.
Maka dari itu, hanya gadis dengan pendirian yang kuat yang akan mampu bertahan. Mereka akan menemani Artemis dalam keabadian dan terus mengaguminya sebagai pemanah nomor 1 di Olympus. Namun, kadang kala ada seseorang yang tidak setuju dengan pendapat tersebut dan menyebut dirinya sebagai pemanah yang sama baiknya dengan putri Zeus itu.
Sosok itu mendarat di sana tanpa permisi. Dia memancarkan aura cemerlang di balik bayang-bayang hutan yang gelap. Para gadis pemburu yang melihat kedatangannya pun langsung membungkuk segan ketika putra kesayangan Raja Olympus itu melangkah penuh percaya diri untuk menghampiri dewinya.
Merasakan sosok itu mendekatinya, Artemis pun menoleh dengan tatapan sinis. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya mampir sebentar," jawab pemuda yang juga menenteng busur panah kesayangannya. "Aku ingin ikut berburu denganmu. Apakah tidak boleh?"
Kedua saudara kembar itu memang suka memanah. Mereka sering bermain dan berburu bersama sedari kecil. Namun, mereka juga bukan hanya bisa sekadar memanah hewan saja, melainkan juga menembakkan wabah penyakit kepada umat manusia melalui busurnya.
"Jauh-jauh dari Hyperborea hanya untuk ke sini," decak Artemis yang mengangkat setengah alisnya, "kau pasti ingin memamerkan sesuatu kepadaku. Benarkan, Apollo?"
"Apa kau tidak mau melihatnya?" tanyanya menyeringai nakal.
"Aku sedang sibuk untuk festival besok. Katakan apa maumu?" dengus Artemis.
Festival Elaphebolia adalah perayaan penting baginya sebagai Dewi Perburuan. Manusia di bumi akan memberinya banyak sekali persembahan berharga dan pujian suci. Namun, kehadiran Apollo saat ini seolah disengaja untuk mengganggu persiapannya yang penting ini.
"Aku ingin bertaruh denganmu."
"Bertaruh? Kau meremehkanku?" desisnya tak terima.
Apollo tersenyum kecil sembari memainkan senar busurnya dengan nyaring, seperti saat ia memetik liranya. "Kita akan membuktikan siapa yang lebih mahir memanah malam ini. Nona Artemis Elaphebolos ataukah Tuan Phoebus Apollo."
Artemis geram ketika Apollo menyentil julukannya dan menyombongkan dirinya seperti itu. Apa dewa itu tidak bisa melihat mahkota bulan sabit yang sedang ia kenakan? Dia adalah Dewi Perburuan, Alam Liar, Kesucian, dan Bulan yang dipuja oleh bangsa Yunani! Dia tidak mau diremehkan oleh saudara kembarnya yang punya segudang gelar itu hanya karena dia seorang wanita.
"Apa yang ingin kau pertaruhkan?" tanya Artemis yang balik menantang.
"Persembahanku di Delphi," jawab Apollo lantang saat menyebutkan kota sucinya. "Jika kau yang menang, aku akan memberikan semuanya secara cuma-cuma."
Artemis tersenyum remeh. "Itu harga yang pantas untuk kepercayaan dirimu yang terlampau tinggi, Adelfos."
"Tapi jika aku yang menang, kau harus menyerahkan semua persembahan di Hyampolis kepadaku," imbuhnya cepat lalu menyeringai licik, "aku rasa itu harga yang pantas untuk namamu sebagai Dewi Perburuan."
Wajah Artemis seketika mengeras. Ego dan harga dirinya memang sama tingginya dengan Apollo. Mereka memang dikenal tidak mau saling dikalahkan ataupun diremehkan.
"Baik! Aku terima tantanganmu!" tegas Artemis seraya menyingkap tunik selututnya untuk menaiki kembali kereta perangnya dengan menggebu-gebu. "Kita akan lihat, siapa yang jauh lebih baik malam ini. Aku atau dirimu."
❃❃❃
Keriuhan semakin memadati pelataran Kuil Artemis. Para wanita yang terjun di dapur tampak sibuk mencampur tepung dengan mentega di dalam wajan yang besar. Mereka sedang membuat kue elaphoi—kue madu berbentuk rusa jantan—yang akan dipersembahkan kepada Artemis besok pagi.
Leora yang berada di sana pun juga tidak mau ketinggalan. Dia sudah berkutat di dapur sejak fajar menyingsing. Para pelayan pun terheran-heran karena melihatnya berkecimpung di tempat penuh jelaga bersama mereka. Sungguh jarang sekali melihat seorang putri raja yang tidak mau ongkang-ongkang di dalam biliknya dengan cantik.
Setelah adonan diuleni, Leora langsung mencetaknya menyerupai bentuk rusa. Dia kemudian mengolesinya dengan madu lalu menaburinya dengan biji wijen. Selanjutnya, dia menyusun mereka satu per satu ke dalam tembikar lalu memanggangnya di atas api tungku yang tidak terlalu besar.
"Biarkan saya yang melanjutkannya," ujar Helota yang khawatir kalau tangan mulus tuan putrinya akan tersengat api.
"Tidak apa-apa. Aku bisa melakukannya," jawab Leora sembari melanjutkan pekerjaannya.
Sambil membolak-balikkan kuenya dengan telaten, Leora sesekali menyeka peluh yang membasahi pelipisnya. Di sebelahnya, Helota juga sibuk mengipasi perapian mereka agar panasnya tetap stabil. Setelah beberapa menit beradu dengan hawa pemanggang, akhirnya kue-kue itu sudah berubah menjadi kecoklatan.
"Oh! Sudah matang!" seru Leora sambil mengambil kue-kue yang sudah matang dengan sebilah sodet lalu menatanya ke atas nampan.
"Silakan dicicipi dulu, Putri," ujar Helota sambil menyodorkan remahan kue yang sudah mendingin.
Aroma gurih wijen dan manisnya madu tercium menggoda. Leora kemudian mengunyahnya perlahan sehingga matanya berbinar cerah. "Ini enak!" serunya.
"Tolong masukkan semua kuenya ke guci yang paling bagus."
"Baik, Putri."
Leora tersenyum lebar lalu berdiri dari posisi berjongkoknya. Dia menepuk-nepuk abu kayu yang menempel di pakaiannya. Pasti terlihat lusuh karena dia dipenuhi oleh sisa-sisa arang pembakaran.
"Oh iya! Bagaimana dengan persiapan berburuku?"
"Timon bilang semuanya sudah beres dan hanya tinggal berangkat."
"Baiklah, aku akan membersihkan diri dulu. Tolong sampaikan kepada Timon kalau aku akan berangkat sebentar lagi," pungkas Leora yang bergegas pergi untuk mempersiapkan aktivitas selanjutnya.
Udara siang ini memang terasa cukup terik. Seolah matahari sedang berada begitu dekat dengan mereka. Meskipun demikian, hari ini merupakan waktu yang tepat bagi Leora dan rombongannya untuk memulai perburuan mereka.
Gadis itu memacu kudanya lebih cepat. Dia menelusuri setiap sudut hutan yang penuh dengan semak belukar bersama Timon dan pengawalnya. Mencari target buruan yang tengah bersembunyi di siang bolong ternyata tidak segampang yang ia bayangkan.
Ketika sudah berputar-putar cukup lama, akhirnya Leora menghentikan kudanya di tanah yang lembab. Dia mengedarkan pandangan sejenak, menelusuri setiap rimbun dengan cermat. Setelah melihat kondisi yang sepi, ia berbalik kepada para pengawalnya.
"Sepertinya kita harus berpencar, Timon."
"Akan cukup berbahaya kalau kita terpisah," sanggahnya.
"Hewan-hewan itu sedang bersembunyi. Mereka tidak akan keluar kalau kita terlalu ramai," balas Leora sembari mengelus leher kudanya. "Lagi pula, dia ini pelari yang handal dan aku cukup tahu bagaimana caranya membela diri."
Timon sebenarnya tidak setuju dengannya, mengingat hutan adalah kawasan yang rawan. Bisa saja ada penjahat yang bersembunyi di sana atau justru binatang buas yang sedang mengintai dalam ketenangan. Di atas semua kepentingan, keselamatan Leora adalah yang paling utama. Tentu saja dengan kepala Timon yang menjadi taruhannya.
Pria itu menghela napasnya berat. "Baiklah, Putri. Tapi jangan pergi terlalu jauh."
Mendapatkan sinyal hijau, wajah Leora pun berseri cerah. "Baik! Aku akan mulai berpencar sekarang!" Dia langsung menarik tali kekangnya untuk masuk ke dalam hutan. "Jangan lupa untuk menyebar jerat!"
Suara gemerisik dedaunan terdengar syahdu. Kanopi hutan yang merapat, seolah menghalangi cahaya matahari yang semakin mendekat. Mereka meneduhkan bagian bawahnya agar kulit mulus Leora yang tepapar tidak tersengat oleh panasnya.
Kaki kudanya yang berderap di rerumputan mulai melambat. Leora kembali memindai sekelilingnya dengan hati-hati, menelisik balik semak dan pepohonan. Namun, hasilnya tetap nihil karena tidak ada satu pun hewan yang terlihat hingga sekarang.
"Ayo, masuk lebih dalam," gumamnya sambil memacu kudanya.
Leora tidak tahu sudah seberapa dalam ia masuk ke hutan. Dia juga tidak memperhatikan sudah sejauh mana jaraknya dengan Timon sekarang. Apa yang ia perhatikan saat ini hanyalah sosok binatang yang samar-samar mulai terlihat dari kejauhan. Seekor rusa bertubuh sedang yang sedang merumput dengan lahap itu merupakan hewan pertama yang ia temukan sejauh ini.
Melihat sebuah kesempatan, Leora lantas menghentikan kudanya. Gadis itu memperkirakan jarak jangkauan tembakannya. Setelah cukup yakin, dia pun dengan sigap meraih busur yang tersampir di punggungnya, mengikatkan talinya dengan kuat, lalu mengambil salah satu anak panahnya yang telah dibubuhi dengan ramuan.
Ketika semuanya sudah siap, Leora mulai melemaskan bahunya dan menegakkan punggungnya. Dia merentangkan tangannya ke depan untuk memposisikan busurnya. Setelah sudutnya sudah tepat, dia pun langsung menarik senarnya dan menembakkan anak panah itu kepada sasaran.
Cepat dan tak terduga. Rusa itu berjingkat ketika panah Leora menancap di salah satu kakinya. Dia sontak lari tunggang-langgang ketika menyadari bahaya yang mendekat, berusaha melarikan diri dari pemburu yang sudah mengincarnya.
Sayangnya, Leora yang tidak mau kehilangan buruannya pun kembali memacu kudanya dengan cepat. Dia langsung meraih anak panah lain untuk ditembakkan lagi kepada rusa itu. Sekali lagi, binatang itu berjingkat dan memekik keras ketika kaki belakangnya kembali tertembus panah.
Melihat usahanya yang tidak sia-sia, bibir merah Leora pun terkembang sempurna. Dia masih mengikuti ke mana rusa itu pergi. Menanti hewan itu ambruk ke tanah setelah kehabisan tenaga. Ketika sudah dipastikan kalau rusa itu sudah tidak bisa bergerak lagi, Leora lantas menuruni kudanya untuk memastikan keadaannya.
Sambil berjongkok di sebelahnya, dia mengelus lembut hidung rusa yang sudah tak berdaya itu. "Besok, kau akan menjadi persembahan terbaik untuk Dewi Artemis."
Leora langsung mengeluarkan seutas tali dari kantongnya. Dia mengikat kaki rusa yang lumpuh itu semampu yang ia bisa. Ketika dia masih terpusat kepada tangkapannya, ia merasakan semilir angin meniup wajahnya dengan lembut.
Leora memejamkan matanya, terbuai oleh kelembutan yang menerpa. Perpaduan antara aroma myrrh dengan lily lembah tercium manis di antara pengidunya, menawannya dengan keharuman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ketika Leora masih meresapi aroma tersebut dan memenuhi paru-parunya hingga debaran jantungnya bertambah cepat, tiba-tiba saja sebuah denting kecil yang terdengar dari belakang sontak membuatnya tersentak.
"Siapa?" sergah Leora yang lantas menoleh, tetapi dia tidak menemukan siapapun di sana, kecuali kuncup bunga putih kecil yang belum mekar sepenuhnya.
Merasakan ada seseorang yang tengah mengawasinya, Leora pun langsung mengeratkan pegangan busurnya dengan penuh kewaspadaan. Apakah ada penjahat yang sedang bersembunyi dan mengintainya? Tanpa menunggu lagi, dia kembali menyiapkan panah yang akan ia tembakkan kepada sosok yang tak terlihat itu. Namun, semua ketegangan itu mereda ketika sayup-sayup suara yang akrab itu terdengar olehnya.
"Putri!" seru Timon yang menunggangi kudanya dengan tergopoh-gopoh. "Anda baik-baik saja?"
Leora mengendurkan busurnya sambil tersenyum lega oleh kedatangan mereka. "Iya! Tolong bantu aku membawanya kembali."
Mereka semua terperangah saat melihat hasil buruannya. Rusa sebesar itu sudah berhasil Leora amankan sendiri. Mereka yakin kalau Dewi Artemis pasti akan senang dengan dedikasinya yang tinggi.
Sebelum hari menjadi gelap, mereka cepat-cepat membawa rusa itu kembali ke penginapan. Ketika rombongannya sudah menjauhi hutan, sosok yang sedari tadi bersembunyi itu pun mulai menunjukkan wujudnya. Dia terdiam sejenak, berdiri di antara kuncup bunga putih yang perlahan-lahan mulai merekah bak lonceng kecil yang bersinar.
"Nyaris saja," gumamnya lirih sambil masih memperhatikan sosok gadis itu dari kejauhan, menelitinya dengan rasa keingintahuan yang penuh kehati-hatian. "Aku hanya kebetulan melintas, tetapi justru menemukan sesuatu yang tidak biasa."
Kebanyakan putri raja yang pernah ia jumpai, lebih gemar bersolek dan bermanja-manja. Mereka akan menari dengan gemulai dan melakukan apa saja demi memenangkan perhatiannya. Namun, gadis yang baru pertama kali ia temui itu justru menariknya dengan sesuatu yang berbeda. Dia tidak hanya terkesima oleh keanggunan dan keberanian yang ia tunjukkannya, tetapi juga oleh sekelebat hal yang sempat ia tangkap dari pantulan matanya.
Sosok itu tertawa bagai candu nektar. "Bagaimana bisa kau melakukannya padaku?" tanyanya penuh keheranan dengan memegangi dadanya yang masih berdegup kencang. "Siapa gerangan dirimu?"
❃❃❃
❃Terminologi:
1. Adelfi : Saudara perempuan.
2. Elaphebolos : Julukan untuk Artemis yang berarti 'Pemburu Rusa'.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top