29 || Satu-satunya
❃❃❃
HASIL konsultasi dari Orakel Delphi masih hangat diperbincangkan. Tak terkecuali bagi Thebes yang baru saja memecahkan jawabannya setelah siang dan malam tidak beristirahat. Mereka pun langsung menggelar pertemuan itu untuk mendiskusikan temuannya dengan sang raja.
"Cadmea harus mengingat kembali sejarahnya. Raja Cadmus harus berjalan ke selatan dan mengikuti seekor sapi suci hingga ia berbaring kelelahan sebelum mendirikan kota kita, Thebes," papar Evander yang membacakan hasil telaahnya. "Kelompok suci harus dikenang dan dibasuh dengan air mata bumi. Pasukan kita, Laskar Suci, harus dihormati dengan sebuah persembahan besar di tempat mereka bertempur. Sebuah mata air harus dibangun di sana untuk menyucikan diri sebelum pengorbanan itu dilakukan."
Laskar Suci sendiri adalah pasukan elit Thebes yang terdiri dari 300 tentara khusus. Mereka dilatih sendiri oleh panglima perang dan sudah beberapa kali memenangkan pertempuran. Berkat pencapaian itu juga, mereka berhasil menggoyahkan kekuasaan wilayah militer terkuat Yunani, Sparta.
"Lalu apa maksudnya tidak melebihi bunga yang gugur dan tanpa rantai yang tergantung?" tanya Raja Eneas.
Evander tersenyum. "Itu artinya sapi yang akan dikorbankan haruslah sapi yang tidak pernah dipasangi luku di lehernya, yang jumlahnya harus sesuai dengan pasukan yang berkorban."
"300 sapi?" sergah Raja Eneas.
Para pejabat yang mendengarnya pun langsung bergumam satu sama lain. Terdengar riuh hingga gemanya memenuhi aula pertemuan. Mereka membayangkan seberapa besar persembahan yang harus Thebes laksanakan, terlebih lagi yang diminta adalah sapi yang tidak pernah digunakan untuk membajak ladang. Sungguh syarat yang lumayan berat untuk menyediakan sapi sebanyak itu dalam waktu singkat.
"Di saat itulah Phoebus Apollo akan menerangi Thebes, merangkulnya dalam cahayanya yang suci. Sang Dewa Ramalan pun akan menolong kita untuk meraih kemenangan," lanjut Evander yang membuat mata rajanya berbinar
"Kalau begitu, segera kumpulkan sapi-sapi suci itu dan mulai gali mata airnya," perintah raja kepada penasihatnya. "Kita harus menyelesaikannya sesegera mungkin."
Pylas menunduk hormat. "Baik, Yang Mulia. Kami akan segera mencari sapi suci dan mengumpulkan ahli arsitek terbaik di Thebes."
Raja pun terkekeh puas. Akhirnya salah satu dari masalah mereka akan segera teratasi dengan bantuan Dewa. Tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi selama saran Orakel Delphi dilaksanakan dengan baik.
Ketika para pejabat sudah meninggalkan posisinya, Arsen yang berdiri di sebelah ayahnya pun mulai mendekat. "Selain persembahan ini, kita juga harus menggandakan penjagaan di perbatasan," beritahunya.
Raja Enas menepuk pelan pundak putranya. "Aku tahu kau pasti sudah mendengar ramalan yang dibawa Athena, tetapi sekarang Phoebus Apollo sudah merangkul kita. Jadi kau bisa sedikit menenangkan kekhawatiranmu, Nak," ucapnya dengan senyuman lembut. "Lakukanlah apa yang sekiranya baik untuk kita."
Bahu Arsen yang tegang sedikit melemas. Dia kemudian mengangguk hormat sebelum pergi melaksanakan perintah rajanya. Sepertinya, dia perlu berdiskusi sebentar dengan orang yang cukup paham mengenai persembahan kepada Dewa Cahaya dan Matahari ini.
❃❃❃
Istananya memang semakin riuh setelah raja mengeluarkan mandatnya. Para pemilik sapi mulai diseleksi satu per satu untuk menunjukkan ternak terbaiknya. Tak tanggung-tanggung, mereka pun akan diberi hadiah fantastis untuk setiap sapi yang dipilih istana. Sebidang lahan yang subur menjadi hadiah yang lumayan besar bagipara peternak dan penggembala itu.
Berbeda dengan hiruk-pikuk istana utama, kediaman putri Thebes itu terasa lebih lengang karena belum mendengar kabar yang beredar. Dia berdiam diri di atas klinai dekat jendelanya. Menatap pemandangan luar sambil berjibaku dengan keriuhan dadanya semenjak mendapatkan pernyataan itu semalam.
Ketika wajahnya mulai memerah, Leora langsung menutupinya dengan kedua tangannya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada malam itu. Benarkah Aetius telah menyatakan cinta padanya? Benarkah sekarang dia menjadi kekasihnya? Meskipun Leora berusaha untuk menyangkalnya, tetapi benda manis yang melingkar di tangannya kini sudah cukup menjadi buktinya.
Leora mengelus gelangnya dengan bibir yang terkembang saat mengingat malam yang mendebarkan itu. "Bagaimana aku menghadapinya kalau seperti ini?" tanyanya ragu dengan wajah yang merona.
Perasaannya masih tercampur aduk. Dia merasa sangat senang dan bahagia, tetapi juga takut dan malu di saat yang bersamaan. Apakah hal ini normal bagi seorang gadis yang baru saja menjalin asmara? Rasanya sangat aneh karena dia baru pertama kali mengalaminya.
Leora kemudian beranjak dari duduknya dengan tangan yang terkepal. Kini dia sudah membulatkan tekadnya untuk mencari jalan keluar. Hanya ada satu cara yang bisa ia lakukan untuk menjernihkan perasaannya yang malang-melintang.
❃❃❃
Di lain tempat, ketegangan itu semakin terasa ketika Arsen belum kunjung membuka satu pun pembicaraan. Pangeran itu masih menunggu pelayan memenuhi kylix mereka. Dia masih memperhatikan sosok yang ditemuinya sejenak sebelum membuka pembicaraan mereka.
"Sudah cukup lama kita tidak berbincang, Tuan Aetius."
"Kita terakhir berbincang saat di agora, Pangeran," balas Aetius tersenyum kecil.
"Ternyata tidak terlalu lama ya. Ayo, minumlah dulu," ujarnya sambil memberikan salah satu kylix itu kepada Aetius.
Laki-laki itu mengecap cawannya. "Seharusnya Pangeran tidak perlu repot-repot kemari. Jika ingin bertemu, kau bisa memanggilku untuk menghadap."
"Aku yang membutuhkanmu, jadinya memang aku yang seharusnya menemuimu."
"Lalu apa yang bisa aku bantu?"
"Sebenarnya aku ingin berdiskusi kecil mengenai acara pengorbanan mendatang," ungkap Arsen yang didengarkan Aetius dengan hati-hati. "Kau pasti sudah mendengar hasil konsultasi Orakel Delphi untuk Thebes. Kami diperintahkan untuk mengorbankan 300 sapi suci."
"Aku merasa terhormat, tapi aku bukanlah orang Thebes," balas Aetius yang merendah. "Rasanya kurang tepat kalau aku ikut mencampuri urusan polis kalian."
Arsen terkekeh lepas. "Itu tidak masalah karena kau sudah cukup lama menetap di sini." Dia pun berseloroh sambil tersenyum lebar. "Mungkin kelak kau juga bisa menjadi orang Thebes setelah menikahi salah satu gadis yang ada di sini."
Aetius hanya membalasnya dengan tersenyum canggung. Dia bingung harus menanggapi gurauan kakak Leora seperti apa. Selain menaruh kylix-nya dengan kikuk karena takut salah berbicara di depannya, apalagi yang bisa ia lakukan?
"Kau berasal dari Kepulauan Kyklades, terlebih lagi Delos, pulau kelahiran Phoebus Apollo. Aku hanya ingin tahu bagaimana orang-orang di sana melakukan persembahannya."
Aetius mengangguk paham. "Sebenarnya, tidak ada yang berbeda dengan di sini."
"Satu atau dua hal kecil? Mungkin altar, myrrh, atau laurelnya?"
Aetius berpikir sejenak sambil mengelus dagu mulusnya. "Kami biasa menghiasi tanduk sapi persembahannya dengan laurel, tetapi itu tidak penting," jawabnya sambil menggeleng kecil. "Yang lebih penting adalah tanggal pelaksanaannya. Kata pendeta kami, dia suka dengan persembahan yang dilakukan di tanggal ke tujuh."
"Di tanggal kelahirannya ya?" gumam Arsen sambil mengernyit tipis. "Jika di tanggal ke tujuh bulan depan maka sekitar dua minggu lagi."
Ketika Aetius membalas dengan anggukan antusias, sekelebat sosok yang sedang mengintip dari kejauhan tertangkap perhatiannya. Sosok itu dengan cepat bersembunyi di belakang tiang ketika Aetius menajamkan penglihatannya. Namun, pertanyaan yang kembali dilontarkan oleh Arsen berhasil menarik fokusnya.
"Menurutmu, apa Thebes bisa mendapatkan sapi sebanyak itu dalam waktu singkat?"
"Mungkin tidak," jawabnya jujur sambil menunduk sejenak. "Seandainya belum mencukupi, sebenarnya kita tetap bisa membuat 300 persembahan dengan cara lain."
"Maksudnya?"
"Apa Pangeran pernah mendengar bagaimana Hermes mengorbankan dua sapi Apollo?"
"Ya, aku pernah mendengarnya. Dia membagi dagingnya menjadi 12 bagian untuk dipersembahkan kepada Dewa Olympus."
"Kita juga bisa menerapkan hal tersebut untuk kasus ini."
Arsen mengerutkan dahinya. "Bagaimana aku bisa mengakali saran dari Orakel Delphi? Dia sudah menyampaikan kalau sapi yang dikorbankan haruslah sesuai dengan jumlah prajurit yang gugur," desahnya panjang.
"Jawaban Orakel Delphi itu fleksibel. Kita bisa menyesuaikan sarannya dengan situasi yang kita punya," balas Aetius bersuara meyakinkannya. "12 sapi bisa dihitung menjadi 1 hecatombe. Jadi, kenapa kita tidak menghitung 36 sapi sebagai 3 hecatombe?"
Usulan Aetius cukup membuat Arsen terkesan. Dia sendiri bahkan belum berpikir sejauh itu. Namun, keraguan masih tersirat di suara rendahnya. "Apa Phoebus Apollo akan menerimanya?"
Aetius menarik sudut bibirnya. "Delos sering melakukan pengorbanan dengan metode tersebut karena jumlah ternak yang terbatas. Sampai sekarang, Apollo tidak pernah marah dan masih memberkati pulau kami. Aku yakin Dia akan menghormati usaha keras dan pengabdian kalian, bukannya besaran jumlah sapi yang diberikan."
Kata-kata Aetius terdengar seperti sihir. Cukup meyakinkan sehingga kelambu abu-abu yang sempat menyelubungi Arsen mulai terangat satu per satu. "Aku akan mempertimbangkannya dengan pendeta. Terima kasih banyak untuk sarannya."
Aetius menggeleng kecil. "Ini bukan apa-apa."
"Aku harap kita bisa lebih sering berdiskusi ke depannya," ujar Arsen yang kemudian bangkit dari duduknya.
Entah kenapa kalimat itu membuat Aetius tertegun sebentar. Aneh sekali untuk mendengar kalimat yang terasa ambigu di telinganya. Apakah sekarang dia sedang diuji atau sedang diberikan rambu hijau olehnya?
"Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku akan menemuimu lagi saat diperlukan," pungkasnya yang dibalas bungkukan hormat dari Aetius.
"Silakan, Pangeran."
Ketika Arsen sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya, Aetius langsung berdiri untuk memeriksa salah satu tiang besar yang ada di depan sana. Tepat seperti dugaannya, seseorang yang sempat mengintip mereka tadi sedang berjongkok dengan tangan yang bersedekap. Dia berusaha menyembunyikan tubuh kecilnya di balik tiang, tetapi gagal total karena masih terlihat.
"Aku bisa melihatmu," kekeh Aetius yang membuat Leora terlonjak setelah tertangkap basah.
"Aku tidak mencuri dengar," balasnya gelagapan yang sontak bangkit. "Jangan bilang ke kakakku kalau aku di sini sejak tadi."
Aetius tertawa lepas lalu mengunci mulutnya dengan gerakan tangan. "Tidak akan."
Leora sedikit mencomel. "Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan? Kelihatannya serius sekali," telusurnya yang sempat melihat ekspresi kaku di wajah Aetius tadi.
"Sesuatu yang penting," jawab Aetius sambil mengedipkan sebelah matanya, seolah tidak mau berbagi jawabannya dengan Leora.
"Kau mau bermain rahasia denganku?"
"Tidak," balasnya sambil membelai surai gadisnya, "tapi kau selalu terlihat cantik, Leora."
Lagi-lagi kalimat manis itu membuatnya meleleh. Entah sudah berapa banyak kupu-kupu yang menggelitiki perutnya. Sepertinya sangat mustahil untuk menenangkan gejolak hatinya kalau dirinya saja justru menghampiri Aetius secara sukarela.
Leora kemudian memegangi tangan Aetius lalu menyentuhkannya ke pipi. Dia ingin merasakan kehangatan yang mengalir dari jemarinya lagi. "Hanya berlalu sehari, tetapi aku sudah merindukanmu," ungkapnya yang membuat telinga Aetius memerah.
"Dari mana kau belajar kata yang manis itu?" tanyanya menyeringai kecil sebelum menarik pinggang Leora.
"Entahlah," gumamnya dengan pupil yang melebar. Dia merasakan degup jantung Aetius bertambah cepat ketika tangannya menyentuh dada bidangnya.
"Aku juga merindukanmu setiap detik, cintaku," ungkap Aetius yang kemudian mengecup keningnya. "Sekarang lebih baik kita pergi dari sini sebelum ada yang melihat."
"Biarkan saja mereka melihatnya."
"Tidak sebelum aku melamarmu secara resmi," jawab Aetius yang membuat mata Leora membulat sempurna, terlihat masih bingung oleh gelora cinta yang menerpanya.
"Apa kau bersungguh-sungguh?"
"Tentu saja aku bersungguh-sungguh."
Aetius meraih tangannya lalu mengusap tanda ikatan mereka yang tersemat di pergelangan kekasihnya. Sebelum Leora mengucapkan sepatah kata, dia pun turun untuk mengecup kedua pipinya secara bergantian. Terasa lembut sebelum dia berhenti untuk menatap mata Leora yang berkilauan itu lekat-lekat. "Jika aku bisa bersumpah atas nama Sungai Styx maka aku akan bersumpah kalau aku sangat mencintaimu," ungkapnya seraya mencium bibirnya lembut.
Leora kembali melebarkan matanya ketika merasakan kehangatan yang manis itu. Jantungnya berdegup semakin kencang hingga semu merah terlukis di pipinya. Tanpa sadar, dia sedikit meremas chiton laki-laki itu ketika desiran roman mulai memenuhi atmosfer mereka.
Sementara itu, Aetius sedikit memperdalam tautan mereka. Merasakan bibir Leora yang ranum membuatnya tambah mabuk kepayang. Dia ingin segera menyematkan pita merah itu ke tangannya, membangun keluarga, dan menghabiskan hidupnya bersama Leora. Semua hal yang ada di ramalannya tentang gadis itu ingin ia wujudkan saat ini juga.
Apakah ini kekuatan cinta yang sesungguhnya, seperti yang Eros katakan di waktu silam? Sebuah kekuatan yang mampu menghilangkan akal sehat dan mengaduk-aduk hati dengan sesukanya? Sesuatu yang bahkan bisa membuat para dewa tunduk dan merasa diperbudak. Rasanya dia tidak akan keberatan jika harus dirantai di Tartarus karena sudah mencintai gadis itu dengan sepenuh hatinya.
Sebelum ia kehilangan kontrol lebih banyak, Aetius langsung mengakhirinya dengan kecupan yang ringan. Dia langsung mendekap tubuh Leora lebih hangat dan erat. Seakan tidak mau satu pun hal memisahkan mereka.
Seandainya sumpahnya di atas Sungai Styx saja tidak cukup, dia tidak akan ragu untuk membuktikannya dengan hal lain. Meskipun ia harus melawan Artemis ataupun para Dewa, dia akan melewati segala rintangan itu demi membuktikan cintanya.
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top