28 || Harbringer
❃❃❃
LANGIT malam tak begitu gelap dari atas sana. Ketika mereka menatap ke bawah, langitnya berpendar-pendar bak taburan berlian. Terlihat begitu menawan hingga mereka tak bosan menikmatinya dalam keabadian sambil mengecap ambrosia.
Dewi yang sedang duduk di singgasananya itu menggoyangkan cawannya. Dia mengerutkan ujung bibirnya ke bawah meskipun sudah menelan cairan manisnya. Bima saktinya hari ini tidak terlihat secantik biasanya setelah Delphi menggelar konsultasinya.
Kilauan mata bulatnya tampak menajam. Melirik ke arah wanita bergaun warna-warni yang tengah berdiri di hadapannya. Dia memperhatikannya sejenak sebelum meletakkan cawannya dengan helaan napas panjang.
"Katakan berita apa yang kau bawa," perintahnya.
Iris menegapkan tubuhnya. Dia memang berbagi tugas dengan Hermes sebagai pengantar pesan para dewa. Meskipun demikian, dia lebih sering menjadi utusan pribadi Ratu Olympus, Hera.
"Orakel Apollo sudah tersampaikan. Ramalannya sekarang sedang menjadi perbincangan hangat di Yunani dan Olympus," beritahunya sambil memberikan gulungan nubuat Apollo.
"Apa kali ini dia akan mengaitkannya dengan Ares lagi?" tanya kecil Hera sembari membacanya dengan hati-hati, berharap dia akan menemukan apa yang dicari.
Jika ada pergesehan yang bermuara ke perang maka putranya, Ares, akan ikut terseret. Tugasnya sebagai Dewa Perang, mengharuskan Ares untuk terjun dan mengawasi medan pertempuran. Tentu saja hal ini tidak disukai oleh Hera karena Ares akan semakin sulit untuk dikendalikan dan semakin menjauh darinya.
Dewi itu mencebik setelah selesai membaca isinya. "Kenapa dia suka sekali berpuitus? Apa tidak ada rinciannya lagi, kapan dan bagaimananya?"
Iris menunduk dalam. "Maaf, Dewi. Hanya itu detail berita dari Hermes."
Hera meremas gulungan itu lalu menaruhnya ke atas meja. "Apollo sering meramalkan masa depan yang terlalu jauh dari waktunya. Dia kerap kali melihat kejadian yang baru akan terjadi bertahun-tahun kemudian. Aku hanya khawatir, dia sedang meramalkan sesuatu yang baru akan terjadi beberapa dekade mendatang."
Hera mengelus lembut merak yang tertidur di pangkuannya. Berusaha untuk menemukan secercah ketenangannya yang hampir memudar. Kali ini bukan hanya Ares saja yang harus ia perhatikan di bawah sana. "Apa kau menemukan sesuatu yang menarik?"
"Sebenarnya ada satu kabar yang saya dengar kemarin," jawab Iris mendekat yang didengar saksama oleh Hera. "Katanya, Phoebus Apollo sempat membuat keributan di tempat Aphrodite."
"Apa ini sungguhan?" kekehnya sambil menyingkirkan burung meraknya ke samping.
Iris mengangguk. "Ada beberapa nimfa yang melihatnya mendobrak gerbang istana Aphrodite—"
"Jika seperti itu, bukankah artinya dia sempat meninggalkan Orakel Delphi saat hari konsultasi?" potong Hera yang menyadari sesuatu.
Iris menundukkan kepalanya. "Maaf, Dewi. Kami pun terlambat mendengar hal ini sehingga tidak sempat memeriksanya. Namun, sejauh yang kami tahu, konsultasinya sudah terselesaikan dengan baik."
"Itu tidak masalah. Lalu kenapa Apollo pergi ke sana? Aku kira dia tidak mau bermain api dengan kekasih saudaranya," tanyanya terkekeh sarkas.
"Sayangnya, tidak ada yang tahu. Tidak ada yang diperbolehkan mendengar perbincangan mereka."
"Atau dia ingin merencanakan sesuatu?" gumam Hera menduga.
Dia kemudian menuruni singgasana untuk mendekati kaldron teratainya. "Anak kesayangan itu pasti sedang dijamu oleh Zeus sekarang," gumamnya sambil mengamati permukaannya yang beriak. "Padahal dia juga suka bermain-main dengan tugas pentingnya, tetapi masih bisa menuntaskannya."
"Jika Anda berkenan, kami akan menelusurinya lebih lanjut."
"Tidak," ujarnya sembari memperhatikan bayangan yang mulai muncul di pantulan kaldronnya. Seorang wanita terlihat bersimpuh di depan altarnya sambil membakar persembahan. Kelihatannya dia sedang berdoa kepada Hera agar dewinya itu berkenan mengabulkan permohonan putranya.
Tangan gemulai Hera memetik setangkai lily putih yang mekar di sebelahnya. Dia menghirup wanginya sebentar sebelum menyerahkannya kepada Iris. "Sekarang pergilah ke Athena untuk menenangkan wanita yang sedang bernestapa ini," perintahnya dengan senyuman manis, "dan beritahu dia supaya tidak mengkhawatirkan ramalan itu karena kita akan menjamin doanya."
❃❃❃
Bintang-bintang masih mengorbit pada sumbunya, tetapi rembulan sudah tergelincir di batas langit mereka. Satelit itu seakan sedang dipacu oleh roda-roda kereta agar menggelinding lebih cepat di malam yang masih bergulir. Berevolusi dengan semilir angin yang membawa kedamaian di kesunyian dini hari.
Sayangnya, hal itu sama sekali tidak berlaku bagi Aetius karena ledakan di dadanya bahkan terasa semakin besar ketika dia mengingat-ingat momen semalam yang tidak terlupakan. "Dia menerimaku," gumamnya halus dengan wajah yang cerah, "sebagai kekasihnya?"
Aetius masih berjingrak dengan pipi yang terkembang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Leora akan langsung membalas perasaannya. Dia bahkan tidak bisa mendeskripsikan seberapa bahagia ia saat ini karena ribuan musim semi seolah mekar secara serentak di dadanya.
Aetius masih terkikih kecil saat memasuki kediamannya. Dia melintasi stoa tanpa memperhatikan apa yang terparkir di halaman depan. Ketika sudah sampai di ruang tengah, dia pun tersentak ketika mendapati satu sosok yang sedang berdiri di sana.
"Bagaimana kau—"
Gadis itu bersandar pada salah satu kolom marmer dengan tangan yang tersilang. Matanya yang keperak-perakan terlihat tajam dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Apa kau tidak melihat keretaku di depan sana? Ke mana saja perhatianmu pergi?" potongnya yang kemudian menghampiri laki-laki itu sambil memperhatikannya dari ujung kaki hingga atas kepala. "Seharusnya aku yang bertanya, dari mana saja kau dengan penampilan seperti itu, Apollo?"
"Aku hanya mencari kenyamanan." Apollo langsung melepaskan wujud fananya, membiarkan cahaya dewatanya terpancar menyilaukan seperti biasa. "Kenapa kau kemari, Artemis?" dehamnya melegakan tenggorokan.
"Ayahanda membuat jamuan besar untukmu di istananya, tetapi kau justru tidak kunjung hadir di saat semua orang sibuk membicarakanmu."
Apollo memicingkan mata. "Apa tentang ramalanku?"
"Sudah jelas. Namun, angin yang lewat memberitahuku kalau orakelmu sempat meracau tidak jelas kemarin," ungkap Artemis.
"Pythia memang suka melantur," dalih Apollo dengan pandangan yang sedikit menyerong ke kanan.
"Apa Hermes memutar dadunya di Delphi atas perintahmu?" tebak Artemis yang berhasil mencetak senyum kaku kembarannya.
"Aku hanya menitipkannya sebentar karena ada hal mendesak," terus terang Apollo. "Itu bukan masalah besar karena dia sudah menjawab mereka dengan tepat."
Artemis berjalan memutarinya. "Jadi, membuat keributan di kediaman Aphrodite adalah hal mendesak?" selisiknya.
"Bukan itu yang aku maksud."
"Lalu apa yang kau maksud sebenarnya?" desaknya yang membuat Apollo sedikit gelagapan.
"Jangan mencampuri urusanku."
"Tapi kau saudara kembarku," balas Artemis menggeram. "Melihat Iris keluar dari istana Hera, dia pasti sudah mendengar desas-desus ini sekarang."
"Bukankah aku sudah memberitahumu agar tidak termakan oleh pikiran negatif?" tegur Apollo.
"Di lain waktu, kau jangan sampai gegabah. Hera pasti sedang mencari celah untuk menjatuhkanmu, apalagi kau sudah menyentuh kesukaannya melalui ramalan itu."
Helaan berat terlepas dari mulut Apollo. "Jangan membebani pikiranmu dengan hal yang tidak-tidak. Itu semua sudah kehendak Ayahanda."
Senyum masam terpahat di bibir Artemis. "Jelas sekali kau belum pernah ditampar menggunakan busurmu oleh Hera, makanya bisa berbicara seringan ini." Dia kemudian maju ke depan Apollo. "Namun, aku lebih kecewa dengan ketidakjujuranmu."
Dia langsung terpusat kepada ucapan Artemis "Apa maksudmu, Adelfi?"
"Benarkah kau tidak tahu maksudku? Lalu kenapa kau bersembunyi terus di balik tujuh gerbang itu?"
Tubuh Apollo menegang. Tatapan dingin Artemis berhasil menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Membuat sekujur tubuhnya merinding akibat tabir yang tersibak tiba-tiba.
"Apa kau meninggalkan sesuatu?" tanya Artemis yang membuat lidah Apollo terasa kelu. "Ah! Mungkin hatimu di sana?
"Sejak kapan kau—"
"Elaphebolia. Gerak-gerikmu terlihat aneh setelah kau kembali dari festivalku, apalagi saat kau tiba-tiba mengembalikan semua persembahanku, kecuali satu tembikar berdebu," potongnya yang membuat Apollo kembali tercengang, seolah panah Artemis benar-benar tertancap tepat di sasaran. "Itu sama sekali tidak masuk akal, Phoebus."
Apollo tidak menyangka kalau Artemis akan memperhatikan detail kecil yang berusaha ia bungkus serapi mungkin. Pasti ada yang memberitahunya. Mungkin salah satu gadis pemburunya? Sekarang dia takut untuk bergerak di atas lapisan es yang tipis itu.
"Semuanya menjadi jelas saat kau pulang dari Daphnephoria," ungkap Artemis lagi sambil menatap mata saudaranya yang bergetar, "kau pasti berharap kalau aku tidak mendengar percakapanmu dengan Dionysus waktu itu, kan?"
Tenggorokan Apollo seolah tercekat. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Rasanya dia ingin mengutuk Dionysus yang sudah membuatnya meracau di waktu yang tidak tepat.
"Kau memata-mataiku setelahnya?" desis Apollo yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik topeng angkuhnya.
"Aku hanya ingin mengonfirmasi kebenarannya dan ternyata memang sudah terjawab," jawab Artemis dengan senyum lebar. "Jadi, berhentilah bermain-main dengan gadis fana itu, Adelfos," ujarnya bersarat peringatan.
"Bagaimana kalau aku tidak main-main dan ingin serius dengannya?" debat Apollo yang tak mau kalah.
Senyum Artemis berubah remeh. "Serius? Untuk alasan apa?"
"Aku mencintainya," jawab Apollo tanpa keraguan.
"Cinta?" cebik Artemis, "dengan salah satu gadis pengikutku? Kau pasti sudah gila."
"Aku memang sudah gila," balas Apollo dengan keseriusan yang tercetak jelas di air mukanya. "Sejujurnya, aku ingin meminta restumu di saat yang tepat, bukannya seperti ini."
Artemis tidak bergeming. Dia masih berusaha menyadarkan kembarannya yang sedang terjebak dalam asmaraloka. "Aku tidak peduli kau punya belasan nimfa sebagai kekasihmu, tetapi aku tidak sependapat dengan yang ini. Jadi mundurlah sebelum hatimu hancur berkali-kali."
Apollo mengetatkan rahangnya. "Tidak."
Balasannya membuat Artemis terperangah. "Ayahanda tidak akan suka kalau dia tahu kau sudah menelantarkan orakelmu hanya demi manusia itu!"
"Jaga bicaramu, Artemis!"
Artemis terbelalak ketika dia meninggikan suaranya. Napas Apollo sedikit tersengal akibat emosi yang diredam. Bibirnya mengatup erat sebelum berucap dengan nada yang lebih rendah. "Aku akan menikahi gadis ini, jadi jangan merendahkannya."
"Menikah? Kau itu dewa, sedangkan dia manusia. Kita ini sangat berbeda!" tolaknya penuh penekanan. "Dewa waras mana yang mau menikahi manusia?"
Menikah adalah hal yang sakral, kecuali Zeus yang tidak memandang serius pernikahannya dengan Hera. Gagasan pernikahan antara dewa dan manusia sering dianggap sebagai masalah yang tabu, kecuali hal tersebut memang diperintahkan oleh Zeus sendiri. Walaupun demikian, tidak ada satu pun dari 12 Dewa Utama Olympus—tentu saja selain Dionysus yang menikahi cucu Helios, Ariadne—yang pernah menikahi manusia secara resmi.
"Aku akan membuktikan kalau anggapanmu itu salah."
Artemis mendesis. Niat gila kembarannya ternyata sudah tidak bisa dicegah. "Kau akan membuat masalah besar."
"Padahal kau pernah berada di posisiku sebelumnya," gumam rendah Apollo, "seharusnya kau lebih mengerti apa yang aku rasakan."
Tatapan tidak percaya terpantul di mata Artemis. "Itu sebuah kesalahan dan seharusnya kau tidak mengulanginya."
"Jika itu sebuah kesalahan, seharusnya kau membenci langit malam, bukannya menempatkannya di atas sana."
Wajah Artemis seketika memerah akibat emosi yang tertahan. Tangannya pun mengepal untuk menyeimbangkan pola napasnya yang memburu cepat. Cara Apollo berbicara memang terdengar tajam, tetapi penuh dengan kebenaran yang pahit.
"Aku bukan dirimu, Artemis. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya."
Artemis merenungkan kalimatnya, tercerap hingga ke relung hatinya. Dia lantas mengangkat dagunya untuk menyejajarkan padangannya dengan Apollo. "Kalau begitu, yakinkan aku."
Dewa itu menatapnya lekat-lekat. Menelusuri bara yang terpantul di mata perak saudarinya. Jelas sekali kalau harga diri dewi itu sudah tersentuh oleh kalimatnya.
"Buktikan ucapan besarmu dan dapatkan restuku," ucap Artemis lagi dengan nada yang menantang.
Apollo menggeram. "Kau akan melihat dan menyesal sudah meremehkanku."
Dewi itu balas tersenyum sinis. "Kita lihat saja hasilnya nanti. Apakah Zeus akan diam saja saat melihat pembantahanmu ini," jawabnya yang kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Apollo. "Namun, perlu kau ingat. Aku akan menembak kesayanganmu jatuh jika kau gagal membuktikannya."
Kekeruhan mulai meredupkan cahaya Apollo. Tulang punggungnya yang kaku seakan merubah tubuhnya menjadi batu. Tidak ada ekspresi yang bisa ia tunjukkan selain mengepalkan tangannya lebih kuat dan tenggelam dalam deru.
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top