27 || Di Bawah Konstelasi

❃❃❃

LEORA masih bersolek di depan cermin. Menata penampilannya untuk malam yang dinantikannya. Tidak banyak yang ia kenakan di wajah selain pemerah bibir yang samar dan rona alami yang menghiasi wajahnya. "Aku harap ini tidak berlebihan," gumamnya sebelum memakai himation berwarna biru debu itu.

Leora serentak keluar dari kediamannya, menyusuri blok-blok batu sambil bergumam kecil. Melewati jalan setapak yang terpapar cahaya redup sambil mengantisipasi pertemuan mereka dengan hati yang meletup-letup. "Kau harus tampak tenang, Leora. Bertindaklah sewajarnya," ingatnya sambil meremas telapak tangannya pelan. Jangan sampai dia berekspektasi terlalu tinggi untuk sesuatu yang belum pasti.

"Tapi, dia sempat mengatakan kalau dia juga rindu ...."

Leora sontak menepisnya. "Tidak. Dia memang suka membalas ucapakan dengan manis."

Aetius memang ramah sejak awal pertemuan mereka. Dia tidak mau menyalahpahaminya sebagai bentuk perasaan yang berbalas. Meskipun pertemanan mereka memang dekat, tetapi hubungan mereka masih berada di batas abu-abu, bukannya hijau atau merah.

Langkahnya sedikit melambat ketika ia melewati atap bugenvil itu. Mengenang kembali ingatan kecil yang sempat terpatri di sana. Rasanya baru kemarin mereka tak sengaja bertemu dan saling mengenal. Namun, baru sekarang dia benar-benar menyadari bahwa hatinya sudah terseret jauh hingga ke enigma perasaan.

Dia menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba melemaskan otot-ototnya yang menegang sebelum melanjutkan lagi jalannya. Tepat ketika langkahnya sudah lengkap ke tujuan, senyum lembut kembali terulas di bibir merahnya.

"Apa aku terlambat?"

Aetius yang baru saja membenahi tikarnya langsung menoleh kepadanya. "Oh! Kau sudah datang?"

Mata Leora menyapu ke sekitar. "Kau menyiapkan semua ini sendirian? Kenapa tidak bilang padaku dulu? Aku bisa datang lebih awal untuk membantumu."

"Ini kejutan," jawab Aetius sambil tersenyum lebar.

"Kejutan?"

Titik yang Aetius pilih memang berada di ruang terbuka. Tikar berlapis karpet beludru itu digelar tepat di tengah rerumputan. Sama sekali tidak ada ranting atau pepohonan yang menghalangi, memperlihatkan seberapa jelasnya langit yang tak terbatas di atas sana.

"Duduklah, Leora."

Gadis itu serentak menempati posisinya. Dia mengelus lembut alasnya sambil mencari tekstur yang tersembunyi di baliknya. "Kau mengajakku mengamati bintang?" terkanya.

Aetius menganggukkan kepalanya antusias. "Langit malam sedang cerah hari ini!" Dia kemudian menengadahkan kepalanya. "Aku ingin berbagi pemandangan indah ini bersamamu."

Leora pun mengikuti arah pandangnya, menatap ke langit hitam yang tak berawan. Debu emas tampak bertaburan di angkasa, berkelap-kelip di atas jubah Dewi Nyx yang terhampar luas. Pupil matanya tampak melebar, tertawan oleh gemerlap yang dipandangnya.

"Indah sekali," gumam Leora.

"Mereka selalu indah dilihat dari mana pun," tanggap Aetius sambil menopang tubuhnya ke belakang. "Tahukah kau, kenapa bintang-bintang di letakkan di sana?"

Leora menoleh padanya. "Bintang adalah simbol kebenaran dan navigasi. Selain menunjukkan kebesarannya melalui mereka, para dewa juga menjadikannya sebagai petunjuk dan pelajaran bagi manusia," jawabnya mengingat beberapa pengetahuan yang sempat ia baca dari papirus di kamar kakaknya.

Apalagi lagi yang tampak menakjubkan dan sulit untuk diraih selain api yang bersinar di angkasa? Para Dewa Olympus pasti ingin membuat manusia kagum dengan menaburkannya di atas mereka. Apalagi api itu tidak pernah padam dan akan semakin berkilauan ketika dunia diselimuti kegelapan.

"Itu benar, tetapi sedikit kurang tepat."

Leora mengangkat alisnya lalu bergerak mendekat. "Lalu apa yang tepat?"

Aetius mengulas senyum kecilnya. "Para dewa menyimpan kenangannya di sana. Mereka tidak ingin melupakannya sehingga memilih untuk mengabadikannya dalam gugusan langit yang tak lekang oleh waktu."

Leora meresapi nostalgia yang tersemat dalam kalimatnya. Terdengar hangat dan sedu di saat bersamaan. "Mengingat dan merindukan sesuatu yang tak tersentuh dalam keabadian mereka terdengar menakjubkan sekaligus menyedihkan."

Tawa Aetius mengalun seringan kapas. "Itu tidak seburuk yang kau bayangkan." Dia kemudian menunjuk salah satu cahaya di langit. "Kau lihat gugusan bintang yang berbentuk seperti huruf sigma kapital itu, Leora?"

"Ya," angguknya.

"Itu sang ratu, Cassiopeia. Dia istri Raja Cepheus yang berada di gugusan sebelahnya."

"Siapa dia?" tanyanya yang sekilas mengingat-ingat syair para pujangga.

"Dia ibunya Andromeda, dikenal angkuh setelah membual tentang kecantikan putrinya," terang Aetius menghela napasnya panjang. "Dia mengucapkannya dengan lantang bahwa Andromeda adalah gadis yang lebih cantik daripada para nereid."

"Dia membuat para dewa marah setelahnya," tambah Leora.

"Bukan sekadar dewa biasa, melainkan Poseidon yang sudah dibuatnya murka," balas Aetius yang masih disimak serius oleh Leora. "Amphitrite adalah salah satu dari nereid yang menjadi istrinya. Dengan berkata demikian maka Cassiopeia sudah menghinanya secara terang-terangan," paparnya yang kemudian menunjuk salah satu konstelasi di barat laut. "Sebagai hukumannya, Poseidon kemudian mengirim monster laut Cetus untuk menghancurkan kerajaan mereka."

Mata biru Leora melebar saat menangkap titik-titik berkelip yang saling berhubungan. Pola angkasa itu tidak hanya lebih besar, tetapi juga menyerupai bentuk binatang raksasa. Gugusan bintang itu terlihat seperti seekor paus yang sedang melompati permukaan cakrawala.

"Raja merasa cemas akan nasib mereka yang berada di ujung tanduk, tetapi sang ratu tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Mereka pun memutuskan untuk berkonsultasi kepada peramal, berusaha mencari solusi untuk meredakan amukan sang monster yang ingin mengibaskan ombaknya. Namun, hanya ada satu cara yang bisa mereka tempuh, yakni dengan mengorbankan Andromeda."

Leora tersentak oleh ceritanya. "Itu tidak adil. Seharusnya dewa langsung menghukum ibunya, bukannya kerajaan mereka maupun Andromeda."

"Mungkin seharusnya memang begitu, tetapi para dewa lebih tahu apa yang tidak kita ketahui," balas Aetius sambil tersenyum simpul.

"Tanpa ragu, mereka pun merantai Andromeda yang tak bersalah ke batu dan menempatkannya di tepi lautan badai. Ketika mereka meninggalkannya untuk dilahap oleh Cetus, di saat itulah Pegasus melintasi langit bersama sang pahlawan," jelas Aetius lagi sambil menerangkan gugusan yang berada di atasnya. "Perseus dengan gagah berani datang bersama kuda bersayapnya. Dia mengalahkan Cetus dan menyelamatkan Andromeda yang terantai. Dia kemudian membawa Andromeda ke Yunani lalu menikahinya. Perseus bukan hanya menyelamatkan Andromeda dari monster yang hendak melahapnya, tetapi juga dari perlakuan tak acuh kerajaannya." 

Leora masih mengamati jajaran bintang itu dengan penuh kekaguman, seakan kehangatan cahayanya ikut meluluhkan dirinya. "Setidaknya, dia hidup bahagia setelahnya."

"Itu benar. Ikatan mereka kemudian dirangkai dalam keabadian konstelasi. Perseus dan Andromeda, dua kekasih yang tak pernah terpisahkan di langit," imbuh Aetius mengakhiri ceritanya.

Leora masih berdecak kagum dengan mata yang memantulkan gemintang. "Ini sangat luar biasa! Bagaimana kau tahu hal-hal seperti ini?"

"Aku mendengar banyak cerita ketika mengembara," deham Aetius yang lantas berdiri dari tempatnya.

Leora pun bertanya-tanya dengan tindakannya yang tiba-tiba. Baru beberapa detik mereka membahas bintang, tetapi dia dengan cepat beranjak begitu saja. "Kau mau ke mana?"

Sayangnya, laki-laki itu masih belum menjawab pertanyaannya. Dia hanya diam membisu dalam keheningan sambil membelakangi tubuhnya. Melihatnya yang tanpa respon, membuat Leora turut berdiri sambil masih mengamati punggung tegap Aetius dalam kegelisahan.

"Apa ada sesuatu?"

Apa dia salah bicara? Apa ada satu perkataan yang sudah menyinggungnya? Melihat Aetius yang mengabaikannya sebentar saja sudah membuatnya cemas setengah mati.

"Sebenarnya ada hal yang ingin aku sampaikan," ungkap lemah Aetius.

Leora meremas ujung jubahnya lebih keras. Berusaha mengantisipasi kata perpisahan ataupun hal buruk yang mungkin akan ia dengar. Sekarang maupun nanti, dia sama sekali tidak siap untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal kepadanya. Namun, ketika Aetius membalikkan tubuhnya dan kembali menghadapnya, di saat itu pula Leora tertegun tanpa sepatah kata.

Aetius berjalan maju ke arahnya sambil menggenggam setangkai mawar yang entah dari mana asalnya. Napasnya tampak memberat ketika mata mereka saling bertemu pandang. Seakan tekanan besar itu terus ditambahkan ke atas dadanya tanpa jeda.

Tanpa mengalihkan pandangannya, Aetius kemudian berlutut di hadapannya. "Sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak lama, tetapi aku baru menemukan keberanianku malam ini," ucapnya yang terdengar cukup putus asa. "Aku pikir akan lebih mudah untuk melupakannya dan pergi tanpa jejak. Namun, hal itu ternyata tidak semudah yang aku bayangkan."

Jantung Leora seakan berhenti berdetak untuk beberapa detik. Dia terlihat menggigit bibir bawahnya untuk melawan keringat dingin yang mulai membasahi telapak tangannya. Namun, kehangatan yang ia rasakan ketika Aetius meraih tangannya itu mulai mengaburkan deraan kegelisahannya. 

Laki-laki itu menyematkan setangkai mawar itu ke dalam genggaman mereka. "Bagaimana aku bisa melupakanmu, sedangkan kau sudah mengobrak-abrik duniaku seenaknya sejak awal pertemuan kita? Setiap aku terjaga maupun terpejam, hanya dirimulah yang aku lihat. Suaramu, bayanganmu, bahkan aromamu selalu menghantuiku hingga aku tidak bisa beristirahat dengan tenang. Aku nyaris gila karena tidak bisa berpaling darimu meskipun hanya sebentar." 

Ungkapan yang terdengar frustrasi itu membuat Leora tercengang. Semua antisipasinya seketika runtuh dalam sekejap mata. Getaran yang tersalurkan dari sentuhannya pun sekali lagi memacu degup jantungnya lebih cepat dan lebih keras.

Aetius kemudian menatapnya hangat. "Pada awalnya aku mengira ini hanyalah kekagumanku pada pandangan pertama. Namun, aku tidak mengira bahwa hal ini akan menggerus hatiku lebih dalam."

Senyum lembut itu kembali menghiasi bibirnya. "Kau bukan hanya merubah duniaku, tetapi membuatnya lebih berwarna, Leora. Setiap detik, setiap menit, bahkan di setiap embusan napas, aku ingin selalu melihatmu berada di sisiku," ujarnya sambil mengeratkan tautan tangan mereka. "Aku selalu takut jika matahari tidak akan terbit lagi dan aku akan kehilanganmu karena aku sudah jatuh cinta padamu, Leora. Setiap hari, aku berulang kali jatuh cinta padamu lagi hingga aku sudah tidak takut untuk jatuh yang kesekian kalinya."

Gadis itu sama sekali tidak berkutik oleh penyataannya. Matanya bahkan tak kuasa untuk mengerjap sekali saja dan hanya bisa membulat sempurna. Nadinya yang berdenyut kuat ikut meningkatkan pompa jantungnya yang sudah tak karuan. Membuatnya kesemutan sehingga otaknya kesulitan untuk mencerna kata mengagumi hingga jatuh cinta itu dengan segera.

Waktu masih terasa stagnan di sekeliling mereka. Hanya degup jantung yang terasa semakin cepat karena meningkat berkali-kali lipat. Gravitasi yang menahan tubuh Leora pun seakan tak terasa lagi tarikannya, membawa tubuhnya melayang dalam awan renjana.

Aetius kemudian menarik napasnya dalam sebelum mengutarakan kalimat terakhirnya. "Sekarang di bawah langit yang berbintang ini, maukah kau menjadi pelitaku? Untuk menuntun dan menerangi hidupku selamanya?"

Leora masih terpana hanya untuk berbicara. Dia berusaha menyelami mata Aetius yang memantulkan sebuah pengharapan. Di antara mimpi dan realita, apakah ini adalah jawaban atas doanya tempo hari? Dia sama sekali tidak mampu berpikir karena tertawan oleh buncahan nektar yang meledak di hatinya. Apa yang bisa ia ikuti mulai sekarang hanyalah kata hati yang bergema kuat dalam dirinya.

"Aku bersedia."

Jawaban itu berhasil membuat mata Aetius membulat binar. Debaran hebat yang melandanya malam ini ternyata sudah menenggelamkan semua logikanya. "Aku bersedia menjadi cahaya hidupmu," ulang Leora lagi yang membuat laki-laki itu tersenyum haru penuh kebahagiaan.

"Cahaya hidupku," ucap halus Aetius seraya mencium punggung tangannya dengan lembut.

Dia serentak berdiri dari posisi berlututnya lalu merogoh jubahnya. Sebuah gelang emas dengan rangkaian laurel dan lima butir mutiara yang ia keluarkan kemudian ia pasangkan ke pergelangan tangan Leora. Token itu menjadi penanda akan persetujuan Leora atas lamarannya mulai malam ini dan selamanya.

"Mutiara adalah air mata kebahagiaan Aphrodite, sedangkan kau adalah kebahagiaanku," ucap Aetius dengan membelai lembut rambutnya. "Jantung hatiku," bisiknya halus sebelum dia memperpendek jarak di antara mereka.

Leora yang terlena, mulai merasakan deru napasnya yang hangat. Memanaskan aliran darah tubuhnya dan mengembangkan pipinya yang terbakar akibat kecupan lembut yang menyambut bibir ranumnya. Dia merasakan kemanisan desiran yang mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Membiarkan dirinya direngkuh dalam keharuman ribuan bunga yang sedang bermekaran dalam dirinya.

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top