25 || Antidote

❃❃❃

JANTUNGNYA seolah berhenti berdetak. Apollo yang terpaku akan jawaban Aphrodite mendadak menjadi tuli. Otaknya yang semrawut berusaha untuk mencernanya sekali lagi, tetapi kesimpulan yang sama itu semakin membuatnya kelu.

"Selamanya?" tanyanya getir.

"Itu yang aku ketahui," konfirmasi Aphrodite yang sukses mematik kepanikannya.

"Tolong, Aphrodite. Apa tidak ada suatu cara untuk membangunkannya?" mohonnya dengan kedua alis yang saling bertautan.

Dewi itu menyelami kepalanya sejenak. Mencari sebuah solusi yang sebelumnya belum pernah mereka bayangkan. Sebuah jalan keluar yang belum teruji pembuktiannya.

"Sebenarnya ada satu cara, tetapi hal ini sedikit mustahil untuk dilakukan."

"Apa itu? Katakan padaku!"

"Sebuah ciuman." Jawaban itu sukses membuat mata Apollo membulat. "Tapi kau harus melakukannya dalam wujud aslimu, bukannya samaran."

Sekarang dia tahu seberapa mustahilnya hal tersebut. Berdiri di depan manusia dengan wujud asli dan bukan samaran merupakan hal tabu. Manusia bisa saja terbakar menjadi abu dalam sekejap mata ketika melihat wujud dewa yang paling asli. Tenggorokannya terasa kering saat menemui solusi bunuh diri itu.

"Apa tidak ada jalan lain?"

"Tidak ada. Jika dia memang cinta sejatimu maka dia akan bangun. Namun, kalau ternyata bukan maka kau harus merelakannya untuk tidur selamanya."

Tulang punggung Apollo seketika merinding. Angin ribut kembali meniupkan kelesah ketika dia mengingat semua ramalannya, mencetak fenomena yang belum lama menimpanya itu dengan huruf kapital dan tebal. Dia tidak bisa memprediksi Leora lagi sejak meninggalkan Delphi.

Apollo menekan jari-jarinya cukup keras hingga memerah. Pilihan tersebut sama sekali tidak menguntungkan baginya maupun Leora. Mau tidak mau, dia harus memilih salah satu risiko tersebut dalam waktu singkat. Dia harus merelakan untuk kehilangan Leora, atau harus mempertaruhkan keselamatannya demi sesuatu yang belum pasti. Waktu yang sedang memburunya itu memojokkannya ke jalan buntu.

"Baiklah, aku akan mencobanya," putusnya getir seraya melirik Eros yang masih gemetaran di belakang ibunya. "Jika ini tidak berjalan baik maka putramu harus tinggal di Tartarus," lanjutnya yang membuat dewa bersayap itu menegang.

"Baik, aku menerimanya," jawab Aphrodite yang membuat Eros cabar hati hingga tidak bisa mengungkapkan penolakan.

❃❃❃

Keadaaan belum kunjung berubah meskipun hampir menjelang fajar. Asklepios yang disuruh tinggal di Thebes masih terlihat duduk di lantai sembari meluruskan kakinya yang pegal. Berulang kali dia menengok ke jendela, berharap kalau penantiannya bisa segera terselesaikan. Namun, belum sempat dia mengganti posisi santainya, kilatan cahaya yang tiba-tiba muncul di kamar itu membuatnya tersentak hebat.

"Ayahanda sudah kembali?" sambutnya yang tergesa-gesa berdiri dari tempatnya.

Asklepios mengamati sosok Apollo sejenak, memindai tubuh dewanya yang di kelilingi oleh cahaya emas yang menyilaukan. Tidak biasanya dia datang ke bumi dengan penampilan seperti itu, wujud Olympianya yang membuat para dewa menunduk segan. Meskipun dia sudah meredam sinarnya puluhan kali lipat dan menyelubungi tempat itu dengan penghalang gaib, tetapi gemilangnya tetap tidak akan mampu untuk ditolerir oleh mata manusia. Retina mereka pasti akan meleleh seketika sesaat sebelum tubuhnya terbakar menjadi abu.

"Kau boleh pergi sekarang. Terima kasih banyak sudah menjaganya," ujar Apollo serentak mendekati ranjang gadis itu lalu duduk di sana.

Asklepios mengangguk paham. Dia hendak menanyai Apollo mengenai bagaimana nasib temannya. Namun, saat melihat rautnya yang penuh kekeruhan, Asklepios pun mengurungkan niatnya. "Baik, aku pergi dulu," pamitnya serentak pergi meninggalkan Thebes.

Apollo menghela napasnya panjang. Dia membelai rambut Leora sembari memperhatikan setiap inchi wajahnya yang terpejam dalam kedamaian. "Apa kau sedang bermimipi indah?" tanyanya lembut. "Kau sudah berjanji untuk tetap mematri senyum lembutmu saat aku kembali."

Hatinya kembali berkecamuk. "Aku," gumamnya dengan menelan ludahnya susah payah.

"Aku akan melakukannya dan langsung pergi dengan cepat."

Apakah keputusannya sudah tepat? Dia sudah tidak bisa berpikir jernih untuk meminimalkan kemungkinan terburuknya. Dia tidak ingin melukainya, tetapi dia ingin melakukan pertaruhan yang berat itu demi melihatnya kembali.

Egois?

Ya. Apollo memang egois karena tidak ingin menyerah. Dia sudah meramalkan Leora sejak pertemuan pertama mereka. Dia harus yakin kalau Leora akan bangun dan kembali ke sisinya, tepat seperti apa yang ia lihat pada ramalan pertamanya.

Apollo merendahkan kepalanya. Dia mengelus pipinya lembut sebelum mengecup bibir ranumnya. Ciuman singkat yang ia layangkan itu terasa terlalu manis untuk diakhiri dengan segera. Namun, pikiran dan tubuh Apollo ternyata sinkron karena dia justru tidak berkutik setelahnya.

Gadis itu memberikan reaksi. Bulu matanya yang panjang mulai bergetar. Perlahan=lahan iris birunya mulai terbuka. Ketika Leora benar-benar sudah membuka matanya, mereka sudah saling saling bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.

"Aetius?"

Panggilan lirih itu sontak membuat jantung Apollo berdebar kencang. Sontak dia pun tersadar dengan wujud dewata yang masih ia kenakan. Meskipun kepanikan itu melandanya, Apollo mencoba tenang dan berusaha menidurkan Leora dengan mantra lembutnya. "Tidurlah kembali, Leora."

Gadis itu kembali terlelap dalam waktu singkat. Apollo yang nyaris terkena serangan jantung itu mulai menghela lega. Dia menggigit bibir bawahnya sambil merutuk dengan suara rendah. "Bodoh sekali, Apollo."

Kenapa dia sangat ceroboh? Seharusnya dia langsung pergi, bukannya mematung seperti itu. Untung saja tidak terjadi apa-apa setelah dia ....

Alisnya serentak terangkat ke atas, menyadari hal janggal yang baru saja terjadi padanya. Dia kemudian menatap ke langit yang mulai menampilkan semburat jingga. "Apa ini perbuatanmu, Dewi Cinta?"

❃❃❃

Sementara di bumi sedang mengarungi lautan asmara, Eros pun masih mengarungi hukumannya sambil berdiri dengan sebelah kaki. Dia memegangi kedua telinganya dengan tangan yang menyilang. Menghadap pojokan sambil mendengus kesal karena lelah menjalani hukuman tersebut sejak Apollo meninggalkan mereka.

"Ibundaku yang cantik jelita! Tolong ampuni aku!" rengeknya.

"Tidak. Masih kurang 5 menit lagi," jawab Aphrodite sambil mengikir kukunya.

"Istriku pasti sedang mencari suaminya!"

"Aku sudah mengirim pesan kepada Psyche kalau kau akan terlambat pulang. Jangan mencari alasan lagi atau hukumanmu akan kutambah."

"Oh, Dewi Cintaku. Kenapa kau menghukum putra kita begitu keras? Memangnya apa yang sudah ia lakukan? Paling-paling dia memanah nimfa Apollo lagi, kan?" Ares yang sedang mengipasi kekasihnya itu tidak tahu apa yang mereka bahas di dalam sana. Dia hanya disuruh menunggu di taman belakang sambil berbicara dengan lebah. Sungguh miris karena keberadaannya seakan tidak dianggap oleh kekasihnya.

"Mendidik anak itu harus disiplin, Ares! Jika tidak"

"Jika tidak maka dia akan bandel sepertiku?" potong Ares dengan helaan panjang.

Aphrodite terkekeh pelan lalu menepuk tangannya. "Baik, waktu hukuman sudah selesai."

"Akhirnya!" seru Eros seraya berbaring di karpet untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal.

Ares berjongkok di depannya. "Aku tidak tahu apa masalahnya, tapi lain kali kau harus hati-hati. Untung saja dia membawamu ke sini dulu, bukannya langsung merantaimu di Tartarus," nasihatnya sambil menepuk pundak putranya. "Seorang prajurit tidak boleh menangis meskipun kalah berperang."

"Perang batin maksudnya?" desah Eros letih.

"Jika ibumu tidak melarangku, mungkin aku sudah memberi Apollo pelajaran," bisik Ares yang membuat putranya tersenyum datar.

"Jangan membual, Ares. Didik anakmu dengan benar," tegur Aphrodite yang mencuri dengar.

Ares langsung berdiri dengan wajah yang tertekuk. "Kau menyebalkan sekali. Aku mau pergi saja untuk mengasah pedangku," dengusnya lalu melengos pergi.

Aphrodite melambaikan tangannya. "Hati-hati! Jangan sampai salah menebas orang!" Senyumnya kemudian terukir lebar. "Paling dia akan kembali 10 menit lagi," gumamnya yang bisa menebak kebiasaan Ares saat sedang kesal.

"Kenapa Ibunda begitu santai setelah apa yang aku lakukan?" tanya Eros yang merasa bingung.

"Memangnya aku harus apa? Menangis darah?" Aphrodite menyeringai kecil lalu mengacak rambut putranya gemas. "Aku sudah mengira kau akan mengambil eliksir itu."

"Apa? Bagaimana?" sergah Eros. "Tapi aku tidak berniat mengambilnya di awal!"

"Iya, tapi aku ini ibumu. Aku tahu apa yang terbesit dalam dirimu."

Eros kembali tercengang. "Aku merasa diperdayai," desahnya panjang. Apakah insting seorang ibu benar-benar sekuat itu?

Aphrodite tertawa kecil. "Meskipun kau hanya memberinya setetes, hasilnya pun akan tetap sama. Dia akan tertidur dan Apollo harus tetap melakukannya" ungkapnya dengan mengedipkan sebelah matanya.

Lagi-lagi rahang Eros jatuh ke bawah. "Jadi ibu sengaja menjadikanku kambing hitam?"

Aphrodite mengedikkan bahunya enteng. "Harus ada yang dikorbankan untuk mewujudkan keinginanmu."

Eros menggeleng tak percaya. Sifat jahilnya ternyata memang sudah keturunan dari orang tuanya. "Bagaimana Ibunda bisa yakin kalau Apollo akan melakukannya? Bagaimana kalau tebakanmu salah dan dia justru mengurungku di bawah sana?"

"Jangan berlebihan, itu tidak akan terjadi."

Lelucon kali ini sungguh berlebihan. Seharusnya Aphrodite memperingatkan putranya dulu sebelum berskenario. Jadinya Eros tidak perlu bertindak konyol di depan Apollo, apalagi saat dia menyeret-nyeret Asklepios dengan tangisan bayinya.

Eros langsung menutupi wajahnya yang memerah. "Ah! Rasanya aku mau menghilang dari muka bumi! Kenapa tidak memberitahuku dulu?"

"Kalau kau tahu, rencananya pasti gagal. Kau saja tidak berhasil membuat Psyche jatuh cinta kepada seekor babi," kelakar Aphrodite.

Dewa bersayap itu mendengus kecil saat masa lalunya kembali diungkit. "Tapi aku berhasil membuatnya jatuh cinta kepada dewa yang tampan ini," kilahnya yang membuat Aphrodite terbahak.

Eros memicingkan mata. "Sebenarnya, berkat apa yang Ibunda berikan kepada mereka? Pastinya bukan sekadar disuruh berciuman singkat."

Aphrodite melirik cerminnya yang memantulkan bumi. "Berkatku hanya untuk mereka yang memiliki perasaan yang kuat. Sekarang dia bisa menatap mataharinya tanpa takut terbakar."

Entah mengapa Eros jadi ikut merona setelah mendengarnya. Berkat itu adalah salah satu hadiah terbesar dari Dewi Cinta. Jika dua jiwa memang ditakdirkan untuk bersama maka tidak ada yang bisa menghalanginya meskipun itu langit maupun bumi.

"Betapa romantisnya," gumam Eros.

"Jangan beritahu siapa pun tentang pekerjaan kita, termasuk ayahmu," ingat Aphrodite sambil tersenyum jahil.

Eros mengunci mulutnya dengan gerakan tangan. "Siap!"

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top