24 || Tertangkap Tangan

❃❃❃

ANGIN malam menembus tirai tipisnya. Menghantarkan hawa dingin yang menusuk kulit mereka. Namun, tubuhnya yang terbaring di atas ranjang sama sekali tidak bisa merasakan apa pun. Dia hanya terpejam damai dalam alam mimpi.

Akalle masih tampak gelisah di sebelahnya. Baru sore tadi mereka melempar candaan, tetapi malamnya dayang justru membawa kabar yang tidak mengenakkan. Mereka bilang, Leora sudah ditemukan tidak sadarkan diri di ruang pemandian.

Beberapa kali Akalle menyeka tubuh Leora yang terkulai dengan lembut. Tabib bilang mereka tidak perlu khawatir karena Leora hanya kelelahan dan akan bangun sendiri setelah energinya pulih. Namun, Akalle tidak berpikir demikian karena pertanda itu belum kunjung datang hingga matahari tergelincir dan hari nyaris berganti. Jika sampai besok gadis itu masih belum sadarkan diri maka dia akan langsung melaporkan hal ini ke ratu.

Helaan panjang terlepas dari bibir Akalle. "Kau harus beristirahat malam ini dan bangun besok pagi, Leora," ujarnya lirih sembari menaikkan selimut Leora. "Jika kau tidak bangun, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."

Akalle kemudian menyalakan lilin penerangan lalu beranjak menuju ke kamar sebelah. Tidak lama setelah pintunya ditutup, pemuda bersayap yang terbang secepat kilat itu mendarat lagi di kamar Leora. Kali ini dia tidak datang sendirian, melainkan bersama teman tabibnya.

"Kenapa kau menyeretku ke sini!" decak Asklepios yang tampak compang-camping setelah dibawa terbang tanpa permisi.

Eros memohon sambil terengah-engah. "Ayolah, Asklepios. Tolong bantu aku menyembuhkannya."

Dewa berjanggut itu memindai orang yang ditunjuk Eros. "Kau tahu kalau Zeus sudah melarangku untuk membangunkan orang mati."

"Dia tidak mati! Hanya pingsan!"

"Kalau begitu, bangunkan saja sendiri."

Eros mengusap wajahnya kasar. "Masalahnya tidak segampang itu."

"Memangnya apa yang sudah kau lakukan?" selisik Asklepios dengan tatapan curiga.

Jari-jari Eros tertekuk dalam. "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memberinya eliksir," cicitnya rendah.

"Eliksir cinta? Untuk apa?"

"Jangan banyak tanya. Cepatlah periksa dia dulu," desaknya dengan menarik lengan Asklepios agar mendekati gadis yang masih tertidur pulas itu.

"Aku ini dokter penyakit, bukannya dokter cinta. Kenapa tidak minta bantuan ibumu saja?"

"Kau kan dokter terbaik di Olympus. Jika ibuku sampai tahu perbuatanku, dia tidak cukup memukulku dengan sandal, tetapi juga akan memecatku sebagai Dewa Cinta."

"Apa ini kekasihmu? Kau berselingkuh diam-diam?" tanya Asklepios yang langsung dibungkam oleh Eros.

"Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku ini suami yang setia!" dengusnya seraya memandangi gadis itu dengan lesu.

"Dulu Psyche juga pernah pingsan karena membuka kotak kecantikan Persephone. Apa kita ke Dunia Bawah saja? Mungkin kita bisa meminjam salah satu kotak itu untuk menyadarkannya," usul Eros sehingga Asklepios menjitak jidatnya dengan keras.

"Kau jangan mengada-ada! Aku tidak mau terkena masalah lagi."

"Kalau begitu, coba bantu aku sekali ini. Pokoknya aku akan bertanggung jawab untuk semuanya," mohon Eros lagi sambil memegangi tangan Asklepios erat-erat. "Nyawaku bergantung padanya."

Asklepios mengernyitkan dahinya. Dia sama sekali belum tahu apa hubungan Eros dengan gadis di hadapan mereka. Namun, ketakutan yang terpancar di mata pemuda itu bukan main-main. Jadinya dia tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya karena sudah berada di sana.

"Baiklah, beri aku waktu sebentar," hela Asklepios seraya memulai anamnesanya dengan cermat.

Perhatiannya terpusat pada gadis itu. Napasnya terdengar halus, tetapi masih dalam batasan yang normal. Denyut nadinya juga masih stabil meskipun sekilas teraba lemah. Namun, ketika Asklepios memeriksa gadis itu dengan lebih mendalam, sebuah residu yang ia temukan di aliran darahnya itu justru membuatnya tercengang.

"Siapa dia sebenarnya?" tanya Asklepios mengantisipasi.

Eros mendengus gusar. "Itu tidak penting sekarang."

"Jawab aku dengan jujur, Eros," desaknya.

Dewa bersayap itu berlutut di sebelahnya. Lidahnya terasa kaku untuk melontarkan jawabannya. "Dia ... Putri Thebes. Kekasih belum resminya Apollo," ungkapnya lirih.

"Apa!" sergah Asklepios bagai disambar petir Zeus untuk kedua kalinya. Matanya terbelalak lebar ketika mengetahui fakta ini. Ternyata residu itu memang ramuannya yang beberapa waktu yang lalu ia berikan kepada Apollo.

"Kau gila! Kenapa mencari masalah dengan ayahku?" tandas Asklepios.

"Aku hanya ingin membantunya!"

"Sebenarnya ramuan macam apa yang kau berikan padanya?"

"Itu eliksir ibuku," ungkap Eros yang terjeda beberapa saat, "tapi aku memberinya terlalu banyak." 

"Jadi dia pingsan karena overdosis?" telusur Asklepios yang dibalas anggukan lemah oleh Eros.

Pantas saja dia bersikeras menyuruhnya untuk memeriksa gadis itu. Sekarang dia ikut bingung harus mengatasi masalah ini dengan cara apa. Jangan sampai ayahnya mengetahui hal ini atau mereka semua akan habis tak bersisa.

Sayangnya, saat Asklepios hendak memikirkan jalan keluarnya, tubuhnya tiba-tiba membeku ketika menyadari sosok yang mereka takuti itu sudah menampakkan batang hidungnya. Aura dewa itu terasa gelap dan mencekam. Tenggorokannya langsung terasa kering hanya untuk bersuara.

"Ayahanda," sapanya seraya membungkuk dalam untuk menghindari tatapan mautnya.

Eros berjingkat ketika menyadari kehadirannya. Tubuhnya tampak gemetaran dengan deru napas yang dangkal. Sementara itu, Apollo melangkah maju dengan wajah dingin yang tajam.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sehingga kedua dewa itu sedikit memundurkan tubuhnya.

"Kami—"

"Aku bertanya kepada Eros, bukan padamu, Asklepios," potong Apollo yang membuat putranya merinding.

Kaki Eros berubah menjadi jeli. Suaranya langsung tergagap. "Aku ...." Dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan kalimatnya.

Apollo meliriknya sinis lalu mendekati ranjang di depannya. Dia kemudian duduk di sisi kepala Leora. Memandangnya sayu dengan dahi yang berkerut dalam. Gadis itu memang terlihat terlelap dengan tenang, tetapi justru hal tersebut yang menjadi puncak kekhawatirannya.

Dia kemudian menyentuh dahi Leora lembut, mengelusnya sambil mengerahkan sebagian kekuatan penyembuhannya untuk membuatnya tersadar. Perlahan tapi pasti, dia masih terus mencobanya. Namun, sebanyak apapun dia berusaha, akhirnya dia justru mengangkat tangannya dari sana.

Apollo meremas kepalan tangannya. Rahangnya mengetat hingga garis wajahnya menjadi jelas. Pandangannya yang mulai berkabut, semakin terasa meluap oleh kegusaran.

"Asklepios!" panggil Apollo hingga putranya terlonjak.

"Iya?"

"Tolong rawat dia sebentar."

"Baik, Ayahanda!" jawab Asklepios serentak melaksanakan perintahnya.

Kini mata Apollo hanya tertuju kepada pemuda bersayap itu. Terasa seperti bilah tajam yang mampu membelah Eros menjadi dua. Tanpa basa-basi lagi, Apollo langsung menarik sayapnya hingga pemuda itu jatuh berlutut di depannya.

Apollo menaikkan dagunya, menciutkan sisa keberanian Eros dengan tatapan intimidasinya. "Overdosis eliksir katamu?" desisnya tajam.

Bulu kuduk Eros seketika meremang. "Aku bisa menjelaskannya!"

"Kau mau mengelaknya?" geram Apollo.

"Aku tidak akan mengelak!"

"Jadi kau memang sengaja melakukannya?" tuding Apollo sambil mengeratkan tarikannya.

"Itu hanya kecelakaan!" sergah Eros yang membuat suasana menjadi hening selama beberapa saat sebelum Apollo menyeretnya pergi dari sana.

"Tidak! Tunggu dulu!" pekik Eros sebelum menghilang di angkasa.

Sementara itu, Asklepios hanya bisa tertegun oleh pemandangan itu. Dia tidak terlalu yakin tentang keselamatan temannya itu. Semoga saja Apollo tidak langsung menjebloskannya ke Tartarus.

Dia balik memperhatikan gadis yang menjadi penyebab mata sembab ayahnya beberapa waktu yang lalu. "Syukurlah kau tidak melihatnya, Putri. Mungkin kau akan langsung lari tunggang-langgang setelah melihat sisinya yang mengerikan," gumamnya.

❃❃❃

Beberapa nimfa tampak bersantai di taman Olympus. Duduk di rerumputan sambil bertelanjang setengah tubuh di antara tarian bunga myrtus. Mereka bak mawar manis yang baru saja mekar. Berusaha memikat para dewa yang lewat dalam nektar hasrat dan gairah, seperti kantong semar yang menunggu mangsanya.

Akan tetapi, suasana syahdu itu tiba-tiba diguncang oleh dobrakan keras. Nimfa yang tadinya menggelar tubuh menggodanya, langsung lari terbirit-birit menuju dewinya. Mereka tidak menduga kalau sosok yang tampak menakutkan itu ikut terundang datang. Dia berjalan dengan gusar sambil menyeret pemuda yang tampak memelas.

Aphrodite serentak berdiri dari singgasananya, membulatkan matanya ketika melihat putranya ditarik ke hadapannya. "Apa yang terjadi?"

Ares yang tadinya berbaring santai sontak beranjak geram. "Apa yang kau lakukan pada putraku, Apollo!"

Apollo melepaskan sayap Eros hingga pemuda itu terhuyung ke depan. Untung saja dia dengan sigap menumpu tubuhnya dengan kedua lengannya. Jika tidak, mungkin saja wajah tampannya akan mencium lantai marmer dengan keras.

"Aku hanya ingin memulangkan anak nakal ini," jawab Apollo dengan nadanya yang tenang.

"Siapa yang kau panggil nakal, huh! Kau memaki putraku? Dia itu sudah bertobat!" sahut Ares membela Eros yang berlari dan bersembunyi di belakang ibunya.

Apollo hanya melirik Ares datar dari ekor matanya. "Aku hanya ingin berbicara dengan Aphrodite, jadi pergilah," ujarnya dingin.

"Kau mengusirku? Mau bertarung denganku?" berang Ares yang sudah memegang palu perangnya.

"Aku tidak mau bertarung dengan dewa yang pernah terkurung di dalam kendi," balasnya sarkas.

"Apa katamu!" geramnya yang semakin berapi-api.

Aphrodite langsung menarik lengan kekasihnya. "Jangan membuat keributan di sini," ingatnya sebelum Ares melayangkan palunya secara barbar.

"Tapi dia menghinaku, Aphrodite!"

"Kau memang pernah dikurung di dalam kendi," balasnya yang membuat Ares cemberut.

"Sekarang pergi dulu ke belakang dan aku akan menyusulmu setelah semuanya selesai," minta Aphrodite dengan suara lembutnya sehingga Ares melunak.

"Baiklah," desah kekasihnya pasrah lalu pergi dengan perasaan yang kesal.

Apollo menaikkan sebelah alisnya. Seekor singa buas yang haus darah ternyata bisa berubah menjadi kucing rumahan di tangan Aphrodite. Rahang Zeus dan Hera pasti akan langsung jatuh ke bawah jika mereka melihat pemandangan ini secara langsung.

"Eros kau tetap di sini!" perintah Aphrodite yang melihat putranya hendak melipir pergi.

"Baik, Ibunda," jawabnya tertunduk.

Aphrodite kemudian mendekati Apollo sambil tersenyum ramah. "Mau duduk dulu? Kita bisa membicarakan masalahnya dengan kepala dingin."

"Tidak perlu, aku ingin menyelesaikannya dengan cepat," jawabnya yang kemudian berterus terang dengan masalahnya. "Dia mendatangi Thebes."

"Aku yang mengutusnya setelah kau meminta berkatku."

Eros tampak kebingungan dengan jawaban Aphrodite. Memangnya kapan Apollo meminta berkat ibunya? Sepertinya bukan seperti itu cerita aslinya.

"Kalung mutiara itu terlampau berharga. Mana mungkin aku tidak membalasnya," imbuh Aphrodite lagi.

Eros langsung menutupi mulutnya. Jadi teman dekat ibunya yang memberikan kalung mutiara itu Apollo? Dia tidak yakin kalau Ares tidak akan meledak-ledak setelah mendengar hal ini.

"Tapi aku tidak meminta eliksirmu."

"Apa?" sergah Aphrodite seraya menoleh kepada putranya. "Kau tidak mengambil mawarku, tapi eliksirku?"

Pemuda bersayap itu semakin gelagapan. Keringat dingin sudah mengucur deras ke seluruh tubuhnya. Membasahi dirinya yang sudah terpojok di sudut.

"Aku hanya ingin membantu," akunya dengan suara bergetar. "Aku tidak bermaksud menciptakan kekacauan ini."

Aphrodite memegang kedua pundak Eros lalu menatapnya lekat-lekat. "Berapa tetes yang kau berikan? Tidak lebih dari satu, kan?" tanyanya cemas.

Eros menggigit bibir bawahnya lalu menggeleng lemah. "Aku bersumpah tidak sengaja melakukannya. Tanganku tergelincir, lalu semua isinya tumpah—"

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Eros!" potong Aphrodite yang sudah menjewer telinganya.

"Ah! Lepaskan, Ibunda!" ringisnya.

"Kau tahu kalau setetes saja efeknya sudah besar, apalagi lebih dari itu!" Sandalnya pun sudah melayang ke pantat Eros.

Apollo berdeham saat melihat persekusi kecil tersebut. "Jadi, apa aku bisa meminta penawarnya sebelum terlambat?"

Aphrodite kembali menatapnya dengan alis yang bertautan. "Aku ingin memberikannya," jawabnya yang terdengar ragu, "tapi eliksir itu tidak punya penawar."

Tubuh Apollo seketika membeku. Kakinya terasa mati rasa dan tak bisa digerakkan. "Dia kemungkinan akan tertidur selamanya setelah meminumnya dalam dosis yang banyak," lanjut Aphrodite lagi yang berhasil membuat mata mereka terbelalak.

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top