❃❃❃
Phaedriades yang bersinar—sepasang tebing megah di lereng Gunung Parnassus—menjulang tinggi, memantulkan cahaya keemasan saat mentari menyentuh permukaannya. Di bawahnya, Delphi terbentang bagaikan permata tersembunyi di jantung Yunani, dikelilingi oleh hamparan pegunungan hijau yang seolah tak berujung. Jajaran hutan pinus memenuhi lereng-lereng, aroma resin menguar di udara, berpadu dengan semilir angin yang membawa kesejukan dari ketinggian. Dari sudut mana pun dipandang, kota suci ini tampak seperti bagian dari alam itu sendiri, tempat di mana langit dan bumi bertemu dalam harmoni sempurna. Semua mata memuji pemandangannya yang agung dari ketinggian, tidak terkecuali bagi Apollo yang menjadikannya sebagai pusat ramalan.
Orang Yunani menyebut Delphi sebagai pusat dunia setelah Zeus menerbangkan dua ekor elang ke arah yang berlawanan dari ujung bumi. Setelah melintasi cakrawala dalam perjalanan panjang, kedua burung itu akhirnya bertemu kembali tepat di atas Delphi. Di sanalah omphalos—batu suci yang menandai pusat bumi—didirikan di Kuil Apollo, menegaskan keistimewaan kota ini sebagai tempat bersemayamnya wahyu para dewa.
Sepanjang lereng yang mengarah ke kuil, deretan rumah harta karun berdiri anggun, menyimpan perbendaharaan yang dipersembahkan bagi Dewa Ramalan. Bangunan-bangunan itu menghiasi Jalan Suci, jalur berbatu yang berkelok naik menuju puncak gunung, tempat kuil megah Apollo berdiri. Para peziarah tampak berbaris panjang, menapaki tanah menanjak dengan langkah penuh harap. Mereka adalah pencari nasihat suci yang harus mendaki seribu anak tangga sebelum diperkenankan menghadap Pythia, sang perantara wahyu.
Di celah Phaedriades, Mata Air Castalia mengalir dengan jernihnya, membelah batuan kuno dan menuruni lereng sebagai arus suci. Para peziarah yang hendak memasuki kuil membasuh diri mereka di mata air itu, sebuah ritual penyucian sebelum mereka layak bertemu dengan sang orakel. Legenda menyebutkan, di tempat itulah Apollo menancapkan panahnya untuk membunuh Python, sang naga penjaga. Setelah kemenangan itu, sang dewa membasuh dirinya di air Castalia, menyucikan segala jejak dosanya sebelum kembali ke Olympus.
Sebelum memasuki Adyton—ruang terdalam tempat ramalan disampaikan—para peziarah mempersembahkan seekor kambing sebagai korban suci serta pelanos, kue persembahan bagi dewa. Mereka lalu diarahkan menuju Pythia yang duduk di atas tripod perunggu di dalam bilik gelap yang dipenuhi aroma mistis. Dudukannya berada tepat di atas celah retakan bumi, dari mana asap suci membubung dan menghubungkannya dengan wahyu Apollo.
Pythia mulai mengunyah daun salam, kelopak matanya tertutupi oleh sehelai kain tipis. Asap membelai tubuhnya, membawa kesadarannya melayang ke alam yang lebih tinggi. Di balik tirai gaib itu, Apollo hadir dan menunggu dengan mata tajam. Jemarinya mengetuk ringan lengan singgasana, sementara aroma bakaran laurel memenuhi seluruh ruangan.
"Aku tidak bisa fokus," keluh Apollo, memegangi pelipisnya yang berdenyut.
Sejak meninggalkan Thebes, pikirannya dipenuhi kegelisahan. Sebagai Dewa Ramalan, ia tak bisa mengabaikan tugasnya, meskipun pikirannya terusik oleh sesuatu yang sulit dijelaskan. Dia kemudian menghela napas, berusaha mengusir keresahan yang menggelayut.
"Semakin cepat kuselesaikan ini, semakin cepat aku bisa pergi," gumamnya.
Tiba-tiba, suara kepakan sayap pedila membuatnya menoleh. Hermes yang baru saja selesai memeriksa antrean, kini berdiri di sampingnya. Tak ada setetes pun peluh di wajahnya meskipun ia telah bergerak secepat kilat.
"Aku kira kau tak akan bisa menyelesaikannya dengan cepat," ujar Hermes santai, merentangkan kedua tangannya. "Antreannya mungkin sekitar sepuluh stadion atau lebih!"
Apollo menegakkan tubuhnya. Sepertinya dia tak bisa lagi menunda tugasnya. "Kalau begitu, aku mulai sekarang," ucapnya mengulurkan tangan untuk menyatu dengan orakel. "Dan kau, bantu aku mempercepatnya."
"Siap, laksanakan!" Hermes memberi salut kecil, siap menjalankan tugasnya.
Di dalam Adyton, suara Pythia mulai bergema, menyampaikan nubuat dalam irama puitis yang samar. Kata-katanya mengalun seperti syair pujangga, menggoda pendengarnya dengan makna yang tersembunyi. Namun, jangan sampai terbuai oleh keindahannya karena di balik keindahan itu, ramalan Apollo kerap diselimuti teka-teki yang sulit diurai.
Apollo memang seorang pemilik kata yang lihai. Setiap nubuatnya dibungkus dalam ketaksaan, membuat manusia harus menafsirkan sendiri nasib yang tersirat. Untuk itu, para pendeta yang berjaga di sekeliling Pythia mencatat dan menerjemahkan setiap perkataan sang orakel, mencoba menjembatani makna di antara dunia fana dan ilahi.
Meskipun demikian, ramalan Apollo tetap sulit ditafsirkan dalam waktu singkat. Para penerimanya diharuskan menguraikannya dengan hati-hati, mencari makna tersembunyi dalam setiap kata agar tak salah memahami pesannya. Sebab, jika ramalan yang samar itu keliru diartikan, bukan tidak mungkin penderitaan akan menghantui mereka seumur hidup.
Satu per satu, utusan yang datang mulai menghadap Orakel Delphi. Mereka bersimpuh dengan penuh hormat, menyampaikan keluh-kesah mereka dalam nada penuh harapan, memohon bimbingan suci sebagai jalan keluar. Namun, jawaban hanya akan diberikan jika sang dewa menghendakinya.
Apollo memang dewa yang murah hati, tetapi seperti para penghuni Olympus lainnya, dia juga gemar mempermainkan nasib manusia. Melihat mereka merunduk dalam ketakutan membuatnya tersenyum tipis. Permohonan yang datang dari keterpurukan dan keputusasaan terasa lebih tulus dan berharga baginya, tidak seperti doa-doa dari manusia yang hidup berkecukupan, yang datang dengan kepala tegak dan senyum angkuh padanya.
Sekali lagi, Apollo merasuki Pythia, menyampaikan ramalan yang ditunggu-tunggu. Saat orakel itu berbicara, para pemohon segera memanjatkan puji syukur meskipun maknanya belum mereka pahami sepenuhnya. Bagi mereka, berkah telah tiba jika Dewa Ramalan sudi memberikan balasannya.
Barisan depan mulai berkurang, tetapi antrean di luar justru terus bertambah. Meskipun Hermes sudah membantunya menangani para pemohon secepat mungkin, permintaan tak kunjung habis. Mereka harus bekerja lebih keras kali ini, sebab orang-orang ini telah menunggu selama tiga bulan sejak Apollo menutup orakelnya di musim dingin.
Harum laurel yang terbakar menyeruak di udara, asapnya melingkar-lingkar di sekitar tripod Pythia. Orakel itu menghirupnya dalam-dalam, membiarkan penglihatannya terbuka oleh bisikan gaib yang membimbingnya menyingkap masa depan.
"Mereka utusan dari Thebes," ujar Hermes ketika melihat simbol gada Herakles yang tersulam di jubah rombongan itu.
"Bukan sekadar utusan," balas Apollo dengan senyum kecil. "Dia salah satu pangeran mereka."
Hermes mengangkat sebelah alisnya. Tak biasanya Apollo menunjukkan ketertarikan sebesar ini terhadap manusia. Ia bahkan menuruni singgasananya, sesuatu yang jarang ia lakukan ketika menyampaikan ramalan.
Apa ada alasan lain yang mendasari tindakannya? Hermes pun sepertinya tidak mau menginterupsi dengan pertanyaan yang tidak penting. Bisa-bisa dia mengacaukan susunan ramalan yang sudah Apollo tata sedemikian rupa di dalam kepalanya.
"Selamat datang di Delphi, Pangeran Arsen dari Thebes, polis tersohor di Boeotia," sambut Pythia dengan suara penuh wibawa, tangannya terentang dalam gestur penyambutan. "Kami senang menerimamu di tempat suci ini. Sekarang, mendekatlah dan sampaikan apa yang ingin kau ketahui."
Arsen maju, membakar daun salam sebagai persembahan, lalu berlutut dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya disatukan di depan dada, menunjukkan penghormatan tertinggi.
"Orakel Delphi, mata dan penyampai wahyu dari Phoebus Apollo Yang Agung," ucapnya penuh takzim. "Aku datang mencari nasihat suci mengenai konflik yang menimpa kami."
Pythia merapalkan mantranya, sementara Apollo menyimak setiap kata dengan saksama. Ia sudah mencuri dengar di agora beberapa waktu lalu. Hal yang akan ia tanyakan tidak lain dan tidak bukan adalah masalah yang terjadi di perbatasan mereka. Cukup sederhana, tetapi berhasil membuat Thebes was-was.
"Beberapa waktu terakhir, perang kecil berkecamuk di perbatasan Boeotia. Attika terus menyerang barak penjagaan serta desa-desa di pinggir kota, kendati perjanjian damai yang Anda sarankan beberapa tahun lalu telah disepakati oleh kedua belah pihak. Tolong, Pythia yang suci, berikanlah kami petunjuk dari Phoebus Apollo," mohon Arsen.
Pythia menarik napas dalam, memenuhi paru-parunya dengan asap suci dari celah tripodnya. Tangannya terangkat, bibirnya bergumam lirih. Para pendeta di sekelilingnya segera mencatat, mencoba menafsirkan kalimat-kalimat kabur yang mengalir dari mulut sang orakel.
"Cadmea harus mengingat kembali sejarahnya. Kelompok suci harus dikenang dan dibasuh dengan air mata bumi, tidak melebihi bunga yang gugur dan tanpa rantai yang tergantung. Di saat itulah, Phoebus Apollo akan menerangi Thebes dan merangkulnya dalam cahaya suci."
Arsen mendongak, matanya berbinar penuh harapan. Ia segera bersujud syukur, merasa telah menerima petunjuk berharga. "Terima kasih banyak atas jawaban Anda."
Setelah memberikan penghormatan terakhir, ia melangkah keluar dari Adyton. Kini, yang tersisa hanyalah menafsirkan makna ramalan itu lebih dalam. Setidaknya, ia tak kembali ke Thebes dengan tangan hampa. Namun, suasana segera berubah ketika utusan berikutnya memasuki bilik suci. Apollo yang semula tampak antusias kini kembali menaiki singgasananya, dagunya terangkat dalam ekspresi malas.
"Selamat datang di Delphi, tempat manusia ingin mengintip masa depan," ujar Pythia dingin. "Pangeran Jonas dari Athena, sampaikan pertanyaanmu, lalu segera pergilah."
Para pendeta saling pandang. Nada bicara Pythia terdengar lebih tajam. Hermes pun ikut merasakan hawa yang berubah, semakin dingin dan menekan. Dari sudut matanya, ia menangkap kilatan tajam di tatapan Apollo.
Tanpa basa-basi, Jonas langsung membakar persembahannya lalu berlutut dengan mendongakkan kepalanya menatap Pythia. "Orakel Delphi, sungai mengering dan pohon zaitun kami berhenti berbuah. Prajurit kami terserang penyakit yang sulit disembuhkan. Kami mohon, berikanlah kami nasihat suci.""
Apollo menyeringai samar, mengingat penyebab dari bencana itu. Dia hanya ingin memberikan pelajaran kepada Jonas setelah membuatnya kesal tempo hari. Masalah itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wabah yang bisa ia tembakkan kepada mereka dalam sekejap mata.
"Jika pesisir melupakan daratan, ombak akan menghempaskannya agar kembali ke tempatnya."
Jawaban rancu itu membuat dahi orang-orang dipenuhi tanda tanya. Para pendeta terdiam, mencoba memahami maksudnya. Apakah utusan Athena pernah menyinggung sang dewa? Sepertinya Jonas tidak terlalu ambil pusing dan memilih menanggapinya dengan enteng.
"Kalau begitu, kami akan melewatinya dengan lapang dada."
"Sombong sekali," desis rendah Apollo.
Dia sudah muak melihatnya di bawah sana. Namun, tugas utamanya masih belum terselesaikan. Kali ini, ia kembali merasuki Pythia. Orakel itu mendongakkan kepala, tubuhnya bergetar hebat. Gumaman lirihnya berubah menjadi pekikan tinggi, membuat seisi ruangan merinding ngeri.
Tiba-tiba, ia menunjuk Jonas dengan jari yang gemetar. "Dengarlah! Ramalan besar telah tiba!" serunya bagai sambaran petir di siang bolong.
"Air merah akan membasahi altar. Pesisir akan berderu di langit yang menyala terang. Jika keturunan Poseidon berenang melintasi dua gunung maka sebuah kerajaan besar akan runtuh. Namanya disapu ombak dan hangus menjadi abu!"
Kejutan melanda semua orang yang hadir. Mereka serentak bersujud, memanjatkan syukur dengan suara bergetar. Namun, tiba-tiba Apollo tersentak ke belakang. Ia memejamkan mata saat sengatan menyusup ke benaknya, membuat tubuhnya menggigil.
Kilasan bayangan muncul. Sesuatu yang seharusnya telah berlalu itu kembali menghampiri penglihatannya. Dia pun bergegas bangkit dengan raut nanar. "Aku harus pergi!"
Hermes terkejut, mencoba menjegalnya. "Ke mana kau akan—"
Apollo berbalik dengan tatapan serius. Dia sama sekali tidak tahu apa yang baru saja Apollo lihat. Namun, dia bisa memastikan kalau ini bukanlah hal yang bisa ia abaikan.
"Kau lanjutkan ramalannya. Aku akan bertanggung jawab untuk sisanya."
"Tapi aku hanya bisa meramal lewat dadu!"
Apollo melesat pergi tanpa menghiraukannya. Tubuh Hermes pun serentak merosot lemas sambil menatap orang-orang yang masih bersujud di hadapannya. Dia menelan ludahnya sambil memegangi petasos-nya yang terasa berat.
"Ini akan sangat sulit," desahnya pasrah seraya merogoh jubahnya.
Hermes menggenggam kedua dadunya lalu melemparkannya ke lantai. Dia berdeham kecil untuk menyesuaikan volume dan intonasinya agar mirip dengan Apollo. Namun, sepertinya Pythia pun akan mengenali perbedaan suara mereka.
"Orakel Delphi, sampaikan ramalan dari Phoebus Apollo ini dengan baik," ujarnya yang mengawali pergulatannya dengan dadu dan gumaman Pythia yang tidak jelas.
Apollo memacu kereta perangnya dengan lebih cepat. Di langit, ia melaju bagaikan kilatan cahaya menuju ke satu tempat yang kini memenuhi pikirannya. Thebes.
Riak air berderu memecah bebatuan
Suar redup dalam deraian
Kabut pekat di atas laurel yang terbakar
Menyelubungi bumi yang merambah kelam
Melesatkan bintang beralih yang tajam
Menggores elegi pada cahaya
Cahaya itu. Apollo berusaha menyelami penglihatannya sekali lagi. Memastikan hal samar yang terus-menerus muncul dibenaknya bak rekaman yang rusak. Namun, dia tiba-tiba tidak bisa menjangkau cahaya itu, cahayanya. Tidak ada satu pun hal baru yang bisa ia ramalkan lagi tentangnya.
Jantungnya berdebar kencang. Ramalan itu adalah ramalan yang pernah ia dapatkan saat berada di Daphnephoria tempo hari. Tepat sebelum Leora jatuh dan hanyut di sungai yang dingin itu.
Sebuah ramalan lama yang sudah pernah terjadi kembali menghantuinya. Sebuah penglihatan yang telah terlewati, seharusnya dia ia lihat lagi, kecuali itu memang belum terjadi.
"Apa yang terjadi?" gumamnya gamang. "Apa yang terjadi padanya?"
❃❃❃
❃Terminologi
1. Pedila : sandal bersayap Hermes, dalam bahasa latin disebut sebagai Talaria.
2. Petasos : topi bersayap Hermes.
3. Omphalos : sebuah monumen batu penanda pusat dunia yang ada di Delphi.
4. Pythia : pendeta tinggi wanita Apollo di Delphi. Dia secara khusus menjabat sebagai peramal Apollo yang dikenal sebagai Orakel Delphi.
5. Pelanos : kue persembahan.
6. Adyton : serambi khusus yang digunakan Pythia untuk menyampaikan ramalan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top