22 || Eliksir
❃❃❃
MERPATI menari dengan selaras di udara. Bergerak meliuk di antara dahan myrtus dan rekahan mawar. Burung itu merendahkan terbangnya lalu hinggap ke atas juluran tangan. Kepalanya bergerak kecil, membisikkan sesuatu ke telinga sang dewi dengan suara berdekutnya yang halus.
Tawa dewi itu mengalun manis ketika mendengar apa yang disampaikan. Jemarinya kemudian mengelus bulunya lembut sebelum membiarkannya terbang kembali. "Sekarang, pergilah."
Matanya menatap angkasa, sejernih air laut yang berkilauan. Gerakannya begitu gemulai, mendekati singgasananya yang berbentuk cangkang kerang raksasa. Polesan ringan itu ia bubuhkan ke wajah porselennya, menyempurnakan paras abadinya yang tanpa cela.
Aphrodite yang lahir dari buih lautan di Pulau Siprus. Dialah Dewi Cinta dan Kecantikan, istri Dewa Hephaestus dan kekasih Dewa Ares. Meskipun Helen dari Sparta dan Psyche sempat dielu-elukan menjadi wanita paling cantik, tetapi kenyataannya mereka belum mampu menyaingi sejengkal keindahan Aphrodite.
Dewi itu masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Tentu saja pesonanya itu bisa dengan mudah membuat semua orang terbius. Jika tidak, mana mungkin Zeus sampai kebakaran jenggot hingga memaksanya menikahi Hephaestus yang cacat.
"Ibunda sangat cantik hari ini!" puji Eros yang baru saja mendarat serentak mengatupkan sayap lebarnya.
"Terima kasih. Kau pun sama menawannya," balas Aphrodite dengan mencubit pipinya gemas.
Pemuda itu tersenyum bangga. "Tentu saja, aku kan putramu."
Aphrodite menepuk tempat di sebelahnya. "Duduk di sini! Adakah kabar manis yang kau bawa?"
Eros bergumam kecil dengan dahi yang berkerut. "Tidak ada yang baru," ucapnya yang terjeda sebentar, "tapi ada sesuatu yang menarik di bumi ...," bisiknya ke telinga ibunya untuk menceritakan temuannya beberapa waktu yang lalu.
"Itu terdengar tidak biasa," tanggap Aphrodite dengan mata yang membulat.
"Benar, kan!"
"Apa kau mau melakukan sesuatu?" selisiknya.
"Jika Ibunda mengizinkan, aku ingin membantunya," jawab Eros dengan pancaran mata yang cerah.
Aphrodite menatapnya lekat. Putranya itu terlihat memiliki kesungguhan yang besar. Sayangnya, jawaban tegasnya sedikit membuat Eros kecewa. "Dia tidak akan suka kalau kau ikut campur."
Dewa Cinta menunduk lemah. Embusan kasar ia keluarkan sembari berlutut di depan ibunya. "Tolong izinkan aku," mintanya dengan mata memohon. "Kalau pertolongan ini bisa membalaskan hutang budiku maka aku pun akan turut berbahagia."
Aphrodite mengernyit tipis. Niatnya memang terdengar tulus sejauh ini. Rasanya dia pun tidak tega untuk menolak keinginan putranya yang menyentuh. "Kalau kau memaksa, aku tidak bisa mencegahmu," jawabnya sambil menangkup pipi Eros.
"Tapi ingat, jangan sampai ketahuan atau kau akan tertimpa masalah," imbuhnya dengan mengedipkan sebelah matanya. "Ambil mawarku lalu berikan kepada gadis itu."
Mendapatkan lampu hijau dari ibunya, Eros pun bangkit dengan antusias. "Terima kasih banyak, Ibunda!"
Aphrodite mengembangkan bibir ranumnya lalu beralih ke meja riasnya. Dia meraih sebuah kotak dan menyisihkan surat yang tersemat di dalamnya. Saat dia membukanya, terlihat sebuah kalung mutiara yang indah.
"Seleranya bagus juga," gumam Aphrodite sambil memasangkan kalung itu ke leher jenjangnya.
Mutiara itu memiliki bentuk bulat sempurna dengan ukuran yang lebih besar dari biasanya. Warnanya putih bersih dengan kilauan yang tajam. Hanya dengan sekali melihatnya, Eros bisa tahu kalau mutiara itu berasal dari tiram yang langka.
"Apa itu pemberian Ayahanda?" tanyanya sambil ikut mengaguminya.
"Bukan, ini hadiah dari teman. Hermes yang mengantarkannya kemarin."
"Hermes datang ke sini?" sergah suara menggelegar yang berhasil membuat Eros terlonjak dari tempatnya.
"Pelankan suaramu, Ares! Apa kau tidak melihat putramu?" tegur Aphrodite kepada sang kekasih yang baru saja menginjakkan kakinya dengan gusar.
Ares pun seketika melunak saat melihat wajah Aphrodite yang kusut. "Maafkan aku," sesalnya seraya mencium kekasihnya lembut.
Eros memutar bola matanya ketika melihat adegan romantis itu. "Aku masih di sini, tolong kondisikan!"
"Kau pergi saja sana," ketus Ares.
Aphrodite terkesiap. "Jangan mengusir putraku."
"Dia mengganggu," cicit Ares yang kembali berang saat teringat dengan hal yang sempat ia dengar tadi. "Aku akan membuat perhitungan dengan kurir pesan itu," desisnya.
Dewa itu pasti akan memberikan pelajaran kepada orang yang berani bermain api dengan kekasihnya. Tidak akan ada ampunan yang ia berikan. Minimal dia akan memenggal mereka menggunakan kapak perangnya atau menusuk mereka dengan tombaknya.
"Jangan mencari masalah dengan Hermes, kau saja kalah saat lomba lari dengannya," balas Aphrodite sambil memijit pangkal hidungnya.
Eros menahan tawanya sehingga Ares langsung memelototinya. Harga diri ksatrianya langsung tergores oleh fakta itu. Namun, dia tidak bisa marah kepada dewi cintanya.
"Baiklah, tapi kapan kau akan menyelesaikan perceraianmu dengan Hephaestus?" helanya panjang menerima kekalahan.
"Kata Zeus, aku harus mencarikannya calon istri dulu sebelum bercerai," jawab Aphrodite yang membuat bahu Ares merosot.
"Harus berapa lama lagi aku menunggunya?" tanyanya dengan wajah memelas dan mata bulat yang berkaca-kaca.
Aphrodite kemudian mengelus pipinya. "Tidak lama lagi, aku sudah menemukan calonnya."
"Jika seperti itu, ayo segera beritahu Zeus!" seru Ares yang kembali bersemangat.
"Aku sudah punya rencana yang bagus," ujarnya yang kemudian bergelayut manja di lengan kekasihnya, "tapi sebelum itu, apa kau mau mengantarku ke Siprus?"
Tindakan manis itu kembali membuat Ares keranjingan sampai senyumnya semakin melebar. "Tentu saja, cintaku."
"Kalian mau meninggalkanku?" tanya Eros yang sedari tadi hanya menonton aksi mesra kedua orang tuanya.
"Pulang saja kepada istrimu," ejek Ares dengan menjulurkan lidahnya hingga membuat putranya kesal.
Aphrodite langsung menarik tangan Ares sebelum dia membuat keributan. "Kami pergi dulu!" pamitnya dengan melambaikan tangan.
Eros menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cinta itu aneh sekali. Aku masih tidak percaya kalau mereka adalah orang tuaku."
Kombinasi pasangan itu memanglah mencengangkan. Aphrodite yang terkenal sangat anggun, lembut, dan manis itu justru terpikat kepada Ares yang barbar, keras, dan kadang sedikit kasar. Kepribadian mereka yang saling bertolak belakang memang seperti kutub magnet yang tidak sejenis, tetapi saling tarik-menarik satu sama lain.
Melihat orang tuanya sudah pergi bermesraan, Eros pun beranjak untuk memetik mawar yang dimaksudkan ibunya tadi. Setangkai mawar merah yang menjadi berkat dari Dewi Cinta untuk para pasangan yang kasmaran. Namun, langkahnya justru terhenti saat melewati wadah transparan berbentuk hati di atas meja.
Wadah itu berisikan cairan merah muda yang menguarkan aroma manis vanila. Eliksir buatan ibunya yang paling manjur se-Olympus. Hanya dengan satu tetesnya saja, hati seseorang bisa langsung terikat, mungkin untuk selamanya?
Seringai kecil terbit di bibir Eros saat mendapatkan ide cemerlang itu. Dia cepat-cepat mengambil botol kecil dari sakunya lalu mengambil sedikit eliksir itu. "Mari kita coba, aku harap kali ini akan bekerja dengan baik."
❃❃❃
Menunggu merupakan hal yang cukup tidak ia sukai. Entah mengapa rasanya hari terasa begitu lambat ketika dia menunggu dengan segenap hatinya, tetapi justru berjalan lebih cepat ketika dia terlena. Apakah dia harus melupakan penantiannya sejenak agar waktu dapat segera berlalu?
Leora mengembuskan napasnya pelan seraya menenggelamkan pipinya ke bantal. "Akalle, apa kau pernah bosan menunggu?"
"Tidak selalu. Itu tergantung dengan apa yang ditunggu. "Memangnya apa yang kau tunggu?" tanya Akalle sembari mengamatinya gadis yang tampak lesu itu. "Pasti pemburu itu ya?" terkanya lagi hingga Leora buru-buru memalingkan wajahnya.
"Bukan!" elak Leora yang sontak duduk sambil memeluk bantalnya. "Aku sedang menunggu Arsen kembali dari Delphi."
"Benarkah?" Akalle menyeringai kecil seraya berbisik, "Tapi wajahmu yang memerah itu berkata lain."
"Akalle!" sergahnya dengan melemparkan bantalnya kepada Akalle yang tertawa puas.
"Jangan membohongiku, Leora. Bilang saja kalau kau merindukannya."
Semburat rona di pipi Leora semakin tercetak jelas. Dia sudah tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah meskipun sudah menutupinya dengan kedua tangannya. Rasa malunya itu seketika menyeruak di depan Akalle.
Apakah seperti ini rasanya merindukan seseorang?
Leora ingin menepisnya, tetapi dirinya sudah terlanjur hanyut dalam perasaan. Mereka bahkan tidak punya hubungan apa pun selain kenalan yang menjadi teman. Rasa getir itu kembali muncul saat dia teringat dengan batasan di antara mereka.
Sebelum Leora memilih alibinya, suara ketukan pintu yang terdengar berhasil memecah perhatiannya. "Masuklah!"
Helota yang baru saja datang kemudian menyampaikan pemberitahuan. "Putri, air mandinya sudah siap."
"Baik, aku akan mandi dulu."
"Kau mau menghidariku?" protes Akalle.
Leora kemudian berdiri lalu langsung mendorong tubuh Akalle agar keluar dari kamarnya. "Kau pergi saja daripada berspekulasi yang tidak-tidak!"
"Kau mengusirku? Baiklah, kita lanjutnya nanti saja setelah makan malam," pungkasnya sambil tersenyum nakal dan lari duluan sebelum Leora kembali memukulnya dengan bantal.
Setelah kepergiannya, Leora lantas mengusap wajahnya kasar. Pertahanannya porak-poranda akibat perbuatan singkat Akalle. Dia mungkin akan benar-benar menjadi tomat matang jika Akalle masih terus menggerecokinya.
"Berendam sepertinya tidak buruk," helanya yang kemudian menuju ke pemandian.
Aroma wangi mulai tercium di antara uap hangat. Berbalut minyak orris dan kelopak mawar yang ditaburkan ke atas kolam pemandiannya. Berendam di dalam sana sepertinya terlihat menyenangkan sekaligus bisa menjernihkan pikiran dan hatinya yang buyar.
"Tolong, ambilkan aku minum dulu," minta Leora yang merasakan tenggorokannya yang kering.
"Akan saya ambilkan."
Leora mengangguk kecil lalu berjalan duluan ke bilik pemandian. "Aku tunggu di dalam."
Dayang itu mengambil sebuah cawan lalu menuangkan air dari amphora. Sesekali dia melirik ke pintu masuk bilik, memastikan kalau putri Thebes itu benar-benar sudah berada di dalam sana. Saat dirasa semuanya sudah aman, dia pun bergegas mengambil sebuah botol kecil dari balik bajunya.
"Baik, penyamaranku tidak akan sia-sia," gumamnya menyeringai sambil membuka tutup botolnya. "Setetes, hanya setetes saja," ujarnya lirih sambil menuangkan cairan wanginya dengan hati-hati.
"Helota?" Panggilan tak terduga itu justru mengacaukan konsentrasinya hingga isi botolnya tumpah semua ke dalam cawan. Tidak menyisakan setetes pun cairan yang ada di dalamnya.
Dayang itu membeku selama beberapa detik sebelum berbalik dan menyembunyikan botolnya. "Ya, Putri?" tanyanya tergagap.
"Aku lupa membawa minyak wangi, bisa tolong kau ambilkan?"
"Baik, Putri. Tunggu sebentar," jawab Helota yang hendak pergi bersama cawannya, tetapi dicegah oleh Leora.
"Minumanku?"
Helota tersenyum kaku dan hanya bisa mengulurkan cawannya dengan berat hati. "Terima kasih," ucap Leora seraya meneguk minumannya.
"Oh! Tidak!" pekik dayang itu dalam hati.
Dayang itu menggigit bibir bawahnya sembari memastikan keadaan Leora dengan harap-harap cemas. "Putri tidak apa-apa?"
"Memangnya aku kenapa?" tanyanya yang hendak beranjak dari sana, tetapi langsung berhenti sesaat setelah merasakan sengatan kecil yang mencubit dadanya.
Dahi Leora mengerut tipis ketika kepalanya menjadi ringan. Pusing yang berputar-putar itu menghantamnya, membuat matanya menyipit karena rasa nyerinya. Sebelum dia mencerna situasi yang sedang menimpanya, tubuhnya yang lemas itu sudah limbung duluan.
"Putri!" sergahnya seraya meraih tubuh Leora yang jatuh dengan gerakan yang sigap. Sebelum Leora mencium lantai, wujud aslinya sudah terbuka akibat kepanikan. Sayap putihnya pun seketika terbentang, menjadi bantalan empuk bagi sang putri yang tidak sadarkan diri.
"Oh tidak!" pekik pemuda bersayap itu yang hampir terkena serangan jantung. "Demi jenggot Zeus! Apa yang sudah aku lakukan! Dia tidak mati, kan?" sergahnya takut-takut sambil memeriksa deru napas Leora yang masih terasa.
Eros sedikit mengguncang tubuh Leora agar gadis itu kembali tersadar. "Ayolah, Putri Thebes, bangunlah! Kau bodoh sekali, Eros!" rutuknya.
Sayangnya, semuanya sia-sia karena Leora sama sekali tidak memberikan respon. Padahal dia hanya ingin membantu dengan memberikan eliksir cinta, tetapi kecerobohannya itu justru berakibat fatal. Keringat dingin mulai mengucur deras saat kemungkinan yang buruk tu terbesit di benaknya, terlebih lagi ketika mengingat orang yang memperhatikan gadis itu.
Apollo pasti akan marah besar saat mengetahui hal ini. Dewa bersayap itu langsung bergidik ngeri saat tahu kalau riwayatnya akan tamat di tangan Dewa Ramalan. Sudah bisa dipastikan 200 persen kalau Apollo akan langsung memburunya, menyeretnya ke dalam Tartarus, dan menyiksanya seumur hidup tanpa ampun jika tahu kalau Eros yang menjadi dalangnya.
Dia menelan ludahnya susah payah. "Ini gawat."
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top