20 || Gayang


❃❃❃

EMBUN yang membasahi ujung-ujung dedaunan mulai menguap. Menyatu ke awan yang terhampar di cakrawala. Berkat cahaya Phoebus Apollo, Dewi Demeter dapat melakukan tugasnya dengan baik untuk menjaga kesuburan bumi.

Para nimfa masih menari dalam alunan musik yang berdendang. Bergerak gemulai bagai kupu-kupu yang beterbangan di angkasa. Menyesuaikan suasana hati sang tuan rumah yang sedang berbunga-bunga.

Hariku juga menjadi lebih berwarna saat bersamamu.

Rasanya gravitasinya hilang seketika saat kalimat itu terlontar untuknya. Ucapan lembut Leora terus terngiang-ngiang di kepalanya. Tanpa disadari, kikihan kecilnya berhasil membuat kedua saudaranya menatapnya keheranan.

"Lihat dia, Hermes. Dia kelihatan aneh," bisik Dionysus yang sedari tadi memperhatikan gelagat Apollo.

Hermes mendekat lalu balik berkomentar. "Padahal dia baru berkonsultasi dengan Chiron. Sepertinya konsultasi Orakel Delphi yang semakin dekat benar-benar mengacaukan pikirannya."

"Benarkah?" tanyanya yang dibalas Hermes dengan anggukan. "Kasihan sekali dewa tampan kita," helanya menatap iba.

Menyadari Hermes dan Dionysus yang saling berbisik, Apollo pun berdeham keras. "Apa yang kalian lihat?"

"Tidak ada," jawab mereka berbarengan.

Hermes kemudian tersenyum lebar. "Kau pasti sangat pusing ya, sampai-sampai membuat pesta di tengah hari."

"Kau tidak suka dengan undanganku?" Apollo memicingkan matanya.

"Bu—bukan begitu!"

"Dewa sok sibuk sepertimu harusnya sesekali pergi berlibur," kekeh Dionysus nyaring sambil memukul lengan Hermes hingga tersentak.

"Aku memang benar-benar sibuk!" decaknya karena teringat dengan berbagai pesan dan berita yang harus ia antarkan ke seluruh Olympus dan dunia manusia. Meskipun dia dikenal sebagai dewa yang paling cepat, tetapi dia masih kuwalahan untuk menyelesaikan tugasnya yang banyak.

"Kau bekerja terlalu keras. Perintahkan saja para dewa kecilmu," saran Apollo.

"Ada beberapa pesan yang sangat penting di sana. Aku tidak bisa mempercayakan semuanya kepada mereka," desah Hermes mengurut pangkal hidungnya.

Dionysus menenggak anggurnya. "Pekerjaanmu sebagai kurir itu sangat membosankan. Untung saja aku ditugaskan untuk bersenang-senang saja."

"Apa kau mau bertukar tugas denganku? Kau lupa siapa yang mengasuhmu dulu?"

Dionysus merupakan satu-satunya Dewa Olympus yang terlahir dari ibu manusia, dan juga menjadi satu-satunya dewa yang terlahir dua kali. Ketika Dionysus terlahir kembali dari paha Zeus, ayah mereka langsung memberikan bayi Dionysus kepada Hermes untuk dirawat dan disembunyikan dari Hera. Meskipun begitu, pada akhirnya Hera tetap mencium bangkainya.

"Tidak, terima kasih." Wajah Dionysus menjadi kusut. "Bagaimana tidak ingat? Kau saja selalu menggendongku ke mana-mana dan memperlakukanku seperti anak kecil terus."

Hermes tersenyum miring sambil mengangkat kylix-nya. "Anak kecil seharusnya tidak bermulut besar."

"Dasar tukang lawak Olympus!"

"Jangan hanya menjadi antisosial dengan duduk cantik bersama anggur saja!"

"Maaf, tapi aku tidak mau mengembara lagi. Terakhir kalinya aku justru diubah menjadi gila," alibi Dionysus yang teringat dengan perbuatan Hera.

Apollo tertawa keras mendengar perdebatan kecil mereka. Para dewa yang umurnya sudah tidak bisa dihitung dengan jari itu ternyata masih tidak bisa meninggalkan sifat mudanya. Mereka masih saja terlihat seperti adik kecilnya yang menggemaskan.

Apollo meraih sebuah kotak dari bawah meja lalu menyodorkannya kepada Hermes. "Daripada kalian ribut, lebih baik kau mengantarkan ini kepada Aphrodite."

Hermes tampak sumringah. "Nah! Lebih baik aku pergi bekerja saja!"

"Huh, kau senang karena akan bertemu Aphrodite lagi?" cicit Dionysus.

Hermes menyeringai sambil memainkan tongkat caduseus. "Kau iri?"

"Iri untuk di penggal Ares maksudmu?" cebik Dionysus.

"Aku lebih takut diborgol Hephaestus."

"Kalian bisa pergi bersama kalau mau," sela Apollo menengahi. "Hitung-hitung, reuni sebagai mantan kekasihnya."

Hermes dan Dionysus menatap satu sama lain. Mereka memang tidak bisa mengelak dari kenangan yang indah itu. Semua orang tahu kalau anak-anak Zeus memang pernah menjadi kekasih Dewi Cinta, kecuali Apollo.

"Tidak, terima kasih." Dionysus kemudian merangkul pundak Hermes. "Jangan sampai Ares menangkapmu ya."

"Aku ini lebih cepat. Kenapa juga aku harus takut kepada dewa bebal itu?" decak Hermes yang kemudian beralih lagi kepada Apollo yang sedari tadi menonton mereka dengan senyum kecilnya. "Kau harus membayarku. Aku tidak mau bekerja secara gratis."

"Baik. Kau boleh mengambil seperempat persembahanku setelah membantuku di Delphi."

Hermes mendesah berat. "Lihat! Dia pelit sekali!"

"Jika semuanya lancar, aku akan menambahnya menjadi setengah," tawar Apollo.

"Nah, begitu!" balas Hermes seraya mengenakan topi bersayapnya. "Tepati janjimu ya!" pungkasnya yang kemudian mengepak sandalnya dan melesat pergi dari sana.

"Apa pantatnya terasa gatal kalau duduk cukup lama? Pantas saja tidak ada yang mau dengannya," celetuk Dionysus mengenai saudaranya yang masih betah menyendiri itu.

"Dia memang gila kerja."

Dionysus menggeleng-geleng kecil lalu menuangkan amphora anggurnya. "Berbicara mengenai hal lain, sepertinya kau masih betah berada di Thebes seusai Daphnephoria. Apa kau sudah menemukan jawaban yang kau cari itu?"

Apollo meneguk anggurnya, merasakan sensasi manis yang mengalir di tenggorokannya. "Sudah."

"Itu bagus. Lain kali kau bisa mampir ke rumahku di Teumessos."

"Sejak kapan kau punya rumah di sana?"

Konon, Zeus sempat menyembunyikan Europa di Teumessos, sebuah desa di bukit berbatu di jalan besar dari Thebes menuju Chalcis. Tempat itu merupakan lokasi munculnya rubah Teumessian yang melegenda. Seekor rubah besar yang dikirimkan oleh para dewa untuk menghukum kejahatan dan kelalaian rakyat Thebes pada masa itu.

Pemimpin Thebes kala itu, Kreon, memerintahkan Amfitrion untuk menangkap dan membunuh rubah yang mengancam polis mereka. Dia terus memburu dan memangsa anak-anak mereka. Sayangnya, rubah tersebut ternyata diciptakan agar tidak bisa tertangkap oleh siapa pun dan apa pun.

Meskipun demikian, Amfitrion yang cerdik tidak kehabisan akal. Dia memanfaatkan Laelaps, seekor anjing hadiah dari Artemis yang dikenal mampu menangkap apa saja untuk memburu si rubah. Menciptakan sebuah paradoks karena rubah yang tidak pernah bisa ditangkap, kini sedang diburu oleh anjing yang akan selalu menangkap buruannya.

Kedua hewan itu saling mengejar, tidak pernah menangkap maupun ditangkap untuk selamanya. Melihat perburuan yang tanpa ujung, Zeus pun memutuskan untuk mengubah keduanya menjadi batu. Menempatkan keduanya sebagai konstelasi Canis Major dan Canis Minor di langit.

"Teumessos tidak terlalu jauh dari Cadmea dan aku ingin lebih bebas," jawab Dionysus seraya mengisi kembali kylix Apollo yang nyaris kosong.

"Kau tahu sendiri bagaimana kebiasaanku. Jika raja sampai tahu kalau asisten pendetanya seperti ini," paparnya sambil menunjuk pakaiannya yang sedikit acak-acakan dengan aroma anggur yang menyengat, "bisa-bisa aku dipecat dari kuil."

"Bukannya semua pengikutmu memang terlihat seperti itu?" tanya Apollo sambil mengamati penampilan Dionysus yang terlalu santai dengan kebiasaannya yang di luar nalar. "Kenapa juga kau memilih kedok itu?"

"Aku ini hanya pandai membuat anggur dan bersenang-senang, hanya pekerjaan itu yang cocok karena mereka menganggapku bisa berbicara dengan Dewa Anggur."

Tawa Apollo seketika pecah ke udara. Tentu saja mereka tidak tahu kalau orang yang mereka anggap bisa berbicara dengan dewa adalah dewa itu sendiri. Jika mereka tahu, mana mungkin mereka membiarkan Dionysus mengelap altarnya sendiri.

"Kau tidak berkaca pada dirimu sendiri, ya? Menjelma sebagai pemburu yang memainkan liranya."

Apollo terhenti ketika Dionysus melontarkan kalimatnya. Dia merasakan hawa aneh yang mulai menggelitik perutnya. Ketika dia berusaha menekan desiran yang mulai bergumul, sayangnya semua itu sudah terlambat.

"Apa yang kau lakukan?" desis Apollo yang berusaha menjaga kesadarannya.

Dionysus menyeringai kecil. "Aku hanya membantu menyalurkan perasaanmu yang terpendam. Tenang, efeknya hanya beberapa menit saja."

"Apa maksudmu?" sergahnya.

Mata Apollo terbelalak sambil meraba dadanya yang tambah berdebar kencang. Ichor terpompa deras ke seluruh tubuhnya. Membanjiri pembuluh darahnya sehingga dia tidak mampu untuk menahan tubuhnya yang gemetaran.

Bibir Apollo tertutup rapat. Perasaan yang bercampur aduk itu nyaris meledak keluar. Dia bahkan mengepalkan tangannya erat-erat ketika desiran itu sudah tak terbendung lagi di tubuhnya.

"Hentikan, Dionysus! Ini tidak lucu," desisnya memegangi dada. "Jantungku seperti mau meledak hingga aku tidak bisa berpijak, jadi hentikan sekarang."

"Berhentilah berhiperbola dan akui saja emosi yang sedang kau sembunyikan," jawab Dionysus seraya menyesap anggurnya santai. "Hermes memang lambat mencerna intensimu, tapi tidak denganku."

Apollo kembali menegang oleh kalimatnya. Ia akui, dia memang lengah dan sempat lupa kalau Dionysus punya kemampuan semacam ini. Sayangnya, ada hal lain yang ikut luput dari ingatannya.

"Kau harus ingat kalau aku punya kuasa di Thebes. Kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi di sana?"

Apollo mengetatkan rahangnya. Dia masih merasa melayang di dalam kabut yang manis. Seakan tubuhnya terbang tinggi hingga ia terlepas dari orbit.

"Kenapa kau suka sekali mencari masalah, Apollo? Kau menjelma dan berusaha mendekati seorang gadis? Dan gadis itu bukanlah gadis biasa, melainkan salah satu putri Thebes? Pantas saja kau bersikeras ingin datang ke Daphnephoria sendiri!" omel Dionysus.

Apollo menelan ludahnya kasar. Debaran di dadanya itu tak kunjung mereda. Bayangan Leora yang bermandikan semerbak wangi orris kembali membanjiri benaknya. Gadis itu bagaikan anggur manis yang memabukkan, terasa candu dan tidak bisa ia tolak.

"Dia adalah gadis paling menawan yang pernah aku lihat," ungkap Apollo dengan suara khas kasmaran yang tidak bisa direm. "Mata birunya yang dalam sudah menenggelamkan hati dan jiwaku, membuatku tak berdaya saat bersamanya."

Beberapa detik kemudian, Apollo terbelalak ketika menyadari kalimat yang ia lontarkan. Dia langsung menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Mencegah agar tidak menceploskan kalimat yang tidak-tidak tanpa sadar. Namun, Dionysus sudah terlanjur menjatuhkan rahangnya. Dia benar-benar tidak percaya kalau Apollo baru saja memuji gadis fana. Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak tertarik kepada kecantikan Aphrodite yang luar biasa.

"Ternyata kau lebih gila daripada. Apa Artemis tahu soal ini?" tanya Dionysus menggeleng-geleng tak percaya.

Apollo memelototinya dengan horor. "Pelankan suaramu, Dionysus," desisnya yang perlahan-lahan berusaha bangkit dari pengaruh anggurnya.

Saudaranya itu  masih berusaha menggodanya sambil tersenyum nakal. "Apa kau takut karena gadis itu adalah pengikutnya?" tanyanya menciptakan tekukan wajah Apollo yang terlihat semakin dalam. "Atau kau takut kalau dia akan balas dendam padamu?"

"Jika kau tidak diam maka aku yang akan membuatmu diam," gertak Apollo.

Dionysus mengedipkan sebelah matanya. "Tenang saja, aku tidak akan mengatakannya kepada siapa pun meskipun itu Artemis."

"Apa yang tidak boleh aku dengar?" potong suara yang berhasil membuat Apollo dan Dionysus tersentak hebat.

"Artemis?" sergah mereka tergagap ketika melihat dewi itu sudah berdiri di belakang mereka dengan sebelah alis yang terangkat.

"Kenapa kau datang tanpa memberi tahuku?" tanya Apollo cepat-cepat saat menangkap Calliope yang tampak terengah-engah di belakang sana setelah gagal mencegah Artemis yang masuk ke dalam.

Mata peraknya memindai mereka secara bergantian. "Apa aku orang lain yang harus mengirim pemberitahuan dulu untuk bertemu denganmu?"

"Bu—bukan begitu!"

"Kau bahkan tidak mengirimiku pesan sejak konsil itu."

"Aku belum sempat," ringis Apollo.

Melihat suasana yang sedikit tegang, Dionysus pun melesat pergi secepat kilat. "Sepertinya aku harus kembali, Ariadne pasti mencariku. Aku pergi dulu!"

"Dasar tak bertanggung jawab," decak Apollo lirih yang didengar oleh Artemis. Suasana mereka lumayan canggung sebelum Apollo mencairkannya dengan senyuman kecil. "Mau duduk?"

Artemis menempati kursi beludru itu, diikuti oleh Apollo yang duduk di hadapannya. Calliope kemudian menuangkan nektar untuknya sebelum undur diri bersama para musai yang lain. Namun, beberapa gadis pemburu yang datang bersama Artemis tampak bersiaga dari kejauhan.

Apollo meremas telapak tangannya yang lembab. Dia berusaha menjernihkan kepalanya dari pengaruh anggur Dionysus yang tersisa. Matanya sedikit melirik kepada para gadis pemburu yang sedang mengawasi mereka dalam diam.

"Apa mereka tidak akan pergi?" tanyanya risih.

"Ke mana saja kau setelah konsil itu? Terakhir kali aku mendengar dari Asklepios kau sedang menghadiri Daphnephoria, tapi kau tidak kunjung kembali ke kediamanmu setelahnya."

Dewi itu menyesap nektarnya dan lanjut berbicara. "Aku mengunjungimu beberapa kali, tapi kau tidak berada di tempat. Musaimu tidak ada yang menjawab pertanyaanku, sedangkan saudaramu pun pasti tidak akan memberitahuku meskipun mereka tahu keberadaanmu."

"Aku sedang menyepi untuk menjernihkan pikiranku, hanya itu," balas Apollo seraya mendekatkan duduknya. "Kenapa kau tidak meninggalkan pesan untukku?"

"Tidak. Aku perlu memeriksanya sendiri."

"Apa maksudnya?"

"Tidak biasanya kau seperti ini," ujar Artemis dengan kerutan dahi yang dalam.

Apollo mengernyit tidak paham. "Apanya?"

"Berantakan dan tidak fokus," komentar Artemis yang mengamati kembarannya dari ujung kaki hingga kepala. "Aku tidak melarangmu bersenang-senang dengan anggur, tapi waktunya sedikit kurang tepat."

Air muka Apollo langsung terpasang datar. Dia tahu ke mana arah pembicaraannya akan bermuara. Dia bisa langsung menebaknya mengingat hal hangat yang baru-baru ini dibicarakan oleh para dewa.

"Berhentilah bermain-main dan fokuslah pada ramalanmu dulu," tegurnya lagi.

"Aku tidak bermain-main!"

"Kau tahu kalau Zeus sedang mengawasimu karena ramalan itu."

"Jadi itu yang kau khawatirkan?"

"Aku memang tidak punya bakat sepertimu. Tapi kau juga bukan Ares yang bisa bertindak seenaknya," ingat Artemis yang membuat rahang Apollo mengetat. "Meskipun kau selalu terselamatkan saat nyaris dibuang ke Tartarus, tapi keberuntunganmu ada batasnya. Kasih sayang dan kepercayaan Ayahanda ada batasnya."

"Jangan mengingatkanku tentang hal yang aku ketahui, Artemis."

"Kau perlu diingatkan!" tandas Artemis yang kemudian memejamkan matanya sejenak untuk menahan suaranya yang nyaris meninggi. Dia memijit pangkal hidungnya sambil menghela napasnya panjang. "Ibunda mencemaskan dirimu setelah mendengar kabar dari konsil para dewa. Dia khawatir karena ramalanmu mungkin akan menyentil kesukaan Hera."

Apollo sedikit melunak lalu menunduk sebentar. Posisinya yang tinggi sama sekali tidak menjamin segalanya. Ekspektasi yang selama ini ditekankan kepadanya—putra Zeus yang paling gemilang dan ideal—selalu membuat hidupnya tidak tenang.

"Aku akan mengunjungi Ibunda nanti."

"Itu akan membuatnya lega."

Napas Apollo mengalun lambat, memikirkan sungguh-sungguh perihal itu. "Kalian tidak perlu khawatir, aku sudah punya rencana."

"Rencana apa itu?"

"Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang, tapi tunggulah hingga hari konsultasi orakel tiba," jawab Apollo berusaha meyakinkan.

"Baik," balas Artemis seraya menegakkan duduknya lalu menatap Apollo tepat di matanya, "tapi aku tidak ingin kau menyembunyikan sesuatu dariku, Adelfos." Seulas senyum lembutnya berhasil membuat tengkuk Apollo meremang.

"Tidak akan, Adelfi," balasnya tersenyum simpul.

"Bagus!" Dewi itu kemudian bangkit dan bersiap pergi.

"Kau mau kembali secepat ini?"

"Aku hanya ingin memastikan kalau kembaranku baik-baik saja dan tidak sedang tertekan," jawabnya dengan senyum yang lebar. "Oh ya! Aku belum sempat mengucapkan terima kasih untuk kebaikanmu kemarin. Persembahan Elaphebolia yang kau berikan sudah aku terima semua, termasuk pengorbanan rusa yang mereka berikan."

Apollo hanya bisa tersenyum kaku oleh kalimat terakhir Artemis, merasakan hawa dingin yang meniup tengkuknya. "Itu bukan apa-apa."

"Aku dengar bukan orang biasa yang memberikannya, tapi putri raja Thebes?" tanya Artemis lagi memastikan dengan nada penasaran. "Dia gadis yang dermawan."

"Sepertinya iya," jawab Apollo dengan menelan ludahnya ragu.

"Aku sangat menyukainya. Mungkin aku akan memeriksa kembali doanya dan mengabulkan salah satunya."

Tubuh Apollo seakan kebas. Perhatiannya terpancang oleh kalimat yang Artemis lontarkan. Tanpa perantara Hermes ataupun Iris, dewi itu bisa tahu banyak hal melalui mata gadis pemburunya yang banyak.

Sekali lagi Apollo menelisik senyum manis Artemis dengan hati-hati. Memeriksa kembali apakah ada yang ia sembunyikan di sana. Kira-kira sejauh mana dia mendengar percakapannya tadi?

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top