19 || Epifani
❃❃❃
SETELAH beberapa hari yang lalu merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan, akhirnya Leora sudah dapat menenggelamkan dirinya ke kasur sutranya yang hangat. Dia meletakkan kepalanya ke atas bantal sembari berpikir mengenai apa yang akan ia lakukan mulai sekarang. Cukup banyak hal yang harus ia kejar karena sakitnya kemarin.
"Aku senang kau pulih dengan cepat, Leora," ungkap Akalle yang membuat Leora melirik ke arahnya.
Dia kemudian beranjak dari posisinya lalu duduk di meja rias dengan tersenyum lebar. "Ini semua berkat Dewa."
"Kau pasti sudah bosan minum obat."
Leora terbahak, dia memegangi perutnya yang bergetar. "Tidak terlalu. Aku sudah cukup terbiasa dengan rasanya."
Leora kemudian menyisir rambutnya pelan, memandangi pantulan dirinya yang kembali segar. Setidaknya, obat yang diberikan Aetius tidak terlalu buruk di lidahnya. Ramuan dan salep itu benar-benar manjur sehingga ia berangsur pulih dengan cepat.
"Jadi beberapa utusan Athena masih di sini?"
Akalle kemudian berdiri di belakang Leora untuk membantunya mengepang rambut. "Aku dengar begitu, termasuk juga adik ipar Calista. Katanya, mereka akan kembali setelah konsultasi Orakel Delphi."
Leora mengerutkan dahinya. Dia kira mereka akan kembali bersama Calista dan suaminya kemarin lusa. Ternyata masih ada yang tinggal di Thebes hingga waktu konsultasi. Mungkin agar tidak bolak-balik? Jarak dari Thebes ke Athena, lalu dari Athena ke Delphi juga tidak bisa dibilang dekat.
"Kenapa?"
Bahu Leora sedikit turun. "Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit canggung kalau ada tamu yang lama-lama di istana."
Akalle mengangguk kecil sambil menyematkan jepitan ke kepangan rambutnya. "Tapi tidak dengan Aetius, kan?"
Leora nyaris kelabakan. Untung saja dia berhasil menyamarkannya dengan beralih kepada terwelu yang melompat ke bawah kakinya. Dia langsung mengambil terwelu itu lalu menyuapinya dengan sayuran.
"Bukankah dia imut sekali?" Leora mendekapnya gemas.
"Benar." Akalle ikut mengelus bulunya. "Aku jadi ingin memeliharanya. Apakah boleh kuajak jalan-jalan?"
"Kenapa tidak minta kepada ayahmu saja? Aku yakin dia tidak akan keberatan."
Akalle menghela napasnya. "Dia pasti akan menyuruhku untuk segera menikah daripada memelihara seekor terwelu."
Leora terkekeh pelan. Kenapa kehidupan mereka hanya berputar pada kata menikah dan rumah tangga? Apakah tidak ada pencapaian lain bagi seorang wanita selain menjadi istri seseorang?
"Kau berusaha menghindari pembicaraan, Leora," dengus Akalle.
"Tidak," kilahnya.
"Jadi bagaimana perkembanganmu dengan pemburu itu?"
Leora segera memalingkan tubuhnya sebelum rona kemerahan itu tertangkap oleh Akalle. "Apa maksudmu?"
"Apa dia sudah menyatakan perasaannya padamu?" godanya lagi.
"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?" tanya Leora balik yang berusaha bersuara netral.
"Aku sering melihatnya keluar masuk dari Asklepion saat kau dirawat," jawab Akalle yang kemudian menyeringai nakal. "Menurutmu, apa alasan seorang pria sering menghampiri seorang gadis? Apa kalian sudah menjadi sepasang kekasih? Apakah terwelu itu juga hadiah darinya? Ayo katakan padaku, Leora!"
Leora mengedipkan matanya dengan cepat oleh berondongan pertanyaannya. Pipinya semakin memanas akibat jantungnya yang berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang akan Akalle lontarkan padanya lagi jika dia tidak menghentikannya sekarang.
Leora sontak memberikan terwelu yang sedang ia gendong kepada Akalle. "Ini! Lebih baik kau mengajaknya jalan-jalan."
"Oh! Kau mau menyuapku dengan hewan imut ini?"
"Sekarang pergi sebelum aku merubah pikiranku."
"Baiklah! Tapi jangan salahkan aku kalau aku mengadopsinya," kekeh Akalle.
"Kembalikan nanti sore."
"Tenang saja, aku pasti akan mengembalikannya," balasnya yang kemudian tersenyum nakal lalu mengedipkan sebelah matanya. "Aku dengar para musisi sedang berkumpul di theatron hari ini. Aku pergi dulu!"
Sementara itu, Leora masih terperangah pada tempatnya. Wajahnya mulai berseri karena petunjuk yang Akalle beritahukan. Tanpa menunggu waktu yang lama, kakinya pun langsung melangkah untuk menuju ke tempat yang sedang ia pikirkan.
"Putri, tolong hati-hati dengan jalannya!" seru Helota yang hampir tertatih-tatih karena Leora melangkah dengan gesit.
"Aku sudah pelan-pelan, Helota," kekehnya.
Ketika dia sudah sampai di tengah jalan, tiba-tiba saja suara yang memanggilnya itu langsung membuatnya terhenti. "Adelfi!"
Leora langsung berbalik. Dia menggenggam kedua tangannya ke depan tubuhnya lalu tersenyum lembut. "Ya, Adelfos?"
Arsen berjalan mendekatinya bersama beberapa pejabat yang mengekor di belakangnya. "Kau terlihat buru-buru, mau ke mana? Tidak istirahat di kamarmu?"
"Aku hanya ingin ke theatron sebentar," jawab Leora mendelik.
"Theatron? Apa ada pertunjukan hari ini?" tanya Arsen kepada penasihatnya, Pylas.
"Hari ini para musisi sedang berkumpul di sana. Mungkin Putri ingin menghibur diri karena terlalu bosan berdiam di kamar," jawab Pylas.
Arsen balik menatap Leora sambil menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa tidak mengundang beberapa ke kediamanmu saja daripada harus berjalan ke sana?"
Leora tersenyum kecil. "Aku tidak mau merepotkan siapa pun."
"Kau memang sudah sembuh, tapi jangan sampai kelelahan," ujar Arsen dengan menepuk puncak kepala adiknya lalu mendekatkan bibirnya untuk berbisik, "Kau pasti ingin menemui pemburu itu, kan?"
Sementara mata Leora membulat sempurna, Arsen pun langsung tertawa nyaring olehnya. Para pejabat yang berada di belakang mereka pun tampak keheranan. Mereka sama sekali tidak mendengar apa yang tengah dibicarakan oleh keduanya.
"Dia pasti sibuk berlatih, mungkin butuh penyemangat," dehem Arsen menggodanya.
Leora meremas jarinya yang saling bertautan. Meskipun merasa tersipu, dia memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang sebelumnya belum sempat ia ucapkan.
"Terima kasih, sudah mengizinkannya masuk ke kelompok itu untuk sementara waktu, Adelfos," ucapnya malu-malu.
"Itu bukan apa-apa. Setelah melihat penampilannya di Daphnephoria, aku pikir dia memang berbakat," jawab Arsen yang kemudian menepuk pundak Leora. "Apalagi dia melakukan sesuatu yang lebih besar untuk adikku. Jadi, tolong sampaikan salamku padanya."
Leora mengangguk. "Aku akan menyampaikannya nanti."
"Kalau begitu, sampai jumpa besok lagi di agora. Ayo Tuan Pylas, kita harus kembali ke balai kota untuk membahas konsultasi Orakel Delphi."
Leora membungkuk kecil kepada Arsen yang beranjak dari sana. Dia sebenarnya merasa aneh dengan sikap kakaknya yang sedikit longgar dan terkesan tidak biasa. Namun, dia memilih untuk mengabaikannya sejenak dan kembali melanjutkan tujuannya.
Dari kejauhan, tampak bangunan setengah lingkaran yang luas dan tinggi. Patung Dewa Teater, Dionysus, berdiri di sebelah kanan pintu masuk. Sementara di sebelah kirinya berdiri patung Dewa Musik, Apollo, yang sedang memegang lira di tangan kanannya. Mereka berdua adalah dewa yang selalu dipuja oleh para seniman. Penginspirasi karya seni, musik, drama dan teater di Yunani.
Mata biru Leora tampak melebar ketika melihat pekerja seni yang memenuhi tempat pertunjukan itu. Perlahan-lahan dia mulai mengedarkan pandangannya, memastikan keberadaan kelompok musik yang sedang dicarinya. Setelah beberapa lama, akhirnya dia menemukan mereka di sudut kanan.
Leora lantas menghampiri kelompok yang masih sibuk berlatih itu. Beberapa dari mereka tampak terkejut oleh kedatangannya yang tiba-tiba. "Putri, kami tidak menyangka Anda akan datang ke sini," sapa ketua pemusik.
"Aku kebetulan sedang lewat di sekitar sini, jadinya aku memutuskan untuk mampir sebentar," jawab Leora sembari mengamati aktivitas mereka, atau lebih tepatnya tertuju kepada Aetius yang sedang duduk di belakang sana sambil memegang kithara.
"Apa aku boleh melihat latihannya?" tanya Leora seraya menempati salah satu tempat duduk penonton.
Wajah mereka tampak antusias. "Tentu saja boleh. Kami merasa sangat tersanjung."
Kelompok musik itu langsung mengatur posisi mereka sesuai arahan ketua. Alat musik yang mereka pegang pun mulai memainkan nadanya. Merangkai notasi musik yang terdengar merdu dan harmonis di telinga pendengarannya.
Senyum Leora merekah sempurna. Dia bertepuk tangan kecil sambil menyesuaikan ritme yang mengalun. Kemudian dia kembali menatap Aetius yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya dengan senyuman hangat.
Sudah sering Leora melihatnya, tetapi dia masih saja terbius oleh eksistensinya. Leora sama sekali tidak merasa bosan meskipun ia harus memandangi laki-laki itu berkali-kali. Saat pikirannya masih mengangkasa dalam melodi yang bergema, Aetius yang sudah menyelesaikan bagiannya pun sekarang datang menghampirinya.
"Apa kau mau menari bersamaku?" tawarnya sambil mengulurkan tangan.
Leora menerimanya, merasakan sengatan kecil yang menggelitik permukaan kulitnya. "Tentu saja."
Langkah demi langkah, Aetius mengarahkan gerakan mereka. Dia menuntunnya seperti Matahari yang menjaga Bumi agar tetap berada pada porosnya. Tetap konsisten untuk berotasi mengikuti musik yang sedang berkumandang di antara mereka.
Tubuh Leora seolah bergerak sendiri untuk menyesuaikan irama yang berdendang. Padahal sebelumnya dia tidak terlalu percaya diri untuk menari di depan umum. Namun, kenapa sekarang dia seakan tidak memedulikannya?
"Kau menari dengan baik," puji Aetius.
Leora menunduk sebentar karena merasa tersipu. "Terima kasih."
Dia bahkan tidak tahu harus menjawabnya dengan apa. Apa yang baru saja ia lontarkan justru terdengar konyol? Saat ini dia tidak bisa berpikir lurus untuk menemukan jawaban yang tepat.
"Jika Dewa Musik mendengarnya, aku ingin dia selalu menginspirasi musisi Thebes dengan musik yang indah," ujar Leora lirih sebelum Aetius kemudian menuntunnya untuk melakukan gerakan terakhir.
"Semoga dia mengabulkan permintaanmu."
Aetius kemudian melangkah lebih dekat ketika alunan musiknya sudah berhenti. Membuat mereka saling berhadapan satu sama lain. "Jika Phoebus Apollo mendengarnya, aku ingin dia merangkaikan melodi yang indah dalam hidupmu, Leora," ujarnya yang sekali lagi berhasil meluluhkan pembatas hatinya.
❃❃❃
Semburat jingga di ufuk barat tampak menyambut matahari yang nyaris tenggelam. Udaranya tidak terlalu kering ataupun panas sehingga terasa pas bagi Leora untuk bersantai di bawah pohon zaitun di taman kediamannya. Namun, ketenangan itu ternyata masih belum bisa mendamaikan perasaannya yang berdesir.
Leora menoleh ke samping kirinya, menatap Aetius yang tidak bosan-bosannya memainkan lira untuk menemani waktu senjanya. Dia sampai hafal dengan setiap nada halus yang berloncatan itu, tetapi sekilas dia sempat menangkap suara pekak di salah satu nadanya. Alisnya pun saling bertautan sambil memperhatikan Aetius. "Apa ada masalah? Kenapa kau kelihatan gundah?"
Laki-laki itu mendesah pelan lalu mengakhiri permainannya. "Sebenarnya aku sedang memikirkan beberapa hal akhir-akhir ini."
"Apa itu?" tanyanya yang kemudian mendekat. "Kalau mau, kau boleh membicarakannya denganku. Mungkin aku bisa membantumu?"
"Benarkah? Kau bisa membantuku?"
"Tentu saja, jika itu sesuai dengan kemampuanku."
Aetius sedikit menyeringai nakal. "Bagaimana kalau masalah yang aku pikirkan itu adalah kau?"
"Aku?" sergah Leora dengan mata yang membulat.
"Kau yang memenuhi pikiranku setiap hari," ungkap Aetius dengan ekspresi sedih yang dibuat-dibuat. "Jadi bagaimana caraku mengatasi hal ini, Leora?"
Leora belum bisa menanggapinya dengan segera. Pasalnya, dia tidak tahu apakah Aetius sedang bercanda ataukah sedang mengatakan hal yang sejujurnya. Dia terlalu awam untuk memecahkan teka-teki kalimatnya. Mungkin saja, dia memang murni mengkhawatirkannya akibat kemalangan yang sempat menimpanya waktu itu.
Aetius tertawa kecil saat melihat ekspresi bingung Leora. Dia kemudian menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Leora hingga membuat gadis itu kembali terkesiap.
"Apa yang kau lakukan?" sergah Leora.
"Cuacanya sedikit panas, ya?" tanyanya yang menangkap wajah Leora yang mulai memerah. "Untung saja kau tidak demam."
Leora pun menjawabnya dengan gelagapan sambil melambaikan tangan ke depan muka. "Tenang saja, sepanas ini tidak akan membuatku demam."
"Syukurlah."
Leora sebenarnya tidak terlalu mengerti maksud Aetius. Dia pun juga tidak paham dengan apa yang ia rasakan saat ini. Apakah rasanya memang menyenangkan saat tahu kalau kita sedang diperhatikan oleh seseorang?
"Aku dengar, besok lusa ada acara di agora?" tanya Aetius.
"Besok ada musyawarah untuk konsultasi dengan orakel. Kalau kau mau melihatnya, kau boleh datang ke sana."
Aetius merebahkan tubuhnya ke atas rerumputan. "Pasti ada banyak sekali keluhan," gumamnya lirih. "Kalau boleh tahu, apa yang menjadi masalah di Thebes?"
Leora memegangi dagunya sendiri dengan mata yang berkerut. "Sepertinya konflik yang paling utama ada di perbatasan polis, terutama di wilayah Plataea," jawabnya yang tidak terlalu yakin.
"Attika beberapa kali ingin mencaplok wilayah Boeotia meskipun kakakmu menikah dengan salah satu anak rajanya?"
"Itu dulu. Sekarang hubungan kami sudah lebih baik setelah perjanjian disetujui."
Aetius menghela napasnya panjang. "Athena, Thebes, Sparta." Dia merapalkan nama-nama polis yang masih saling berlomba untuk menduduki puncak kekuasaan Yunani. "Jika perang sering terjadi, seharusnya Dewa Apollo menambah frekuensi konsultasinya menjadi 3 kali sebulan, bukan hanya sekali sebulan."
Leora tersenyum kecil sembari duduk dengan menopang tubuhnya ke belakang. "Dia harus mendengar permohonan itu."
"Mungkin, kita juga bisa meminta Ares untuk libur berperang," usul Aetius.
"Sebenarnya kami jarang berdoa kepadanya, tapi itu bisa dicoba."
"Atau kita akan berdoa kepada Aphrodite saja, memintanya mencegah kekasihnya agar tidak membuat kekacauan lagi."
Leora terkekeh. "Aku pikir Dewa tidak semudah itu untuk dirayu."
Aetius yang masih berbaring kemudian mendongakkan kepalanya untuk menatap Leora yang duduk di sebelahnya. "Aku dengar Aphrodite memiliki hati yang lembut. Dia pasti bersedia mengabulkannya."
"Dunia pasti akan terasa damai jika tidak akan ada perang," balasnya yang dengan senyum kecil. "Tapi laki-laki tetaplah laki-laki. Secantik apa pun istri maupun kekasih mereka, jika kesenangan mereka adalah mengayunkan pedang dan menebas orang maka tidak ada yang bisa menghentikannya," lanjutnya yang kemudian menerawang ke langit. Dia yakin kalau Dewa Ares tidak akan memahami hal itu dengan kepala panasnya.
"Ya," hela panjang Aetius. "Prajurit tangguh pun akan lebih memilih kehormatannya daripada mundur dari medan perang."
"Itu keputusan yang gegabah," komentar Leora. "Apa gunanya sebuah kehormatan jika mereka melepaskan sesuatu yang lebih berharga?"
Aetius mengangkat alisnya sedikit sambil memijit buku-buku jarinya yang lembab. "Itu sudah menjadi kebiasaan mereka, bertaruh untuk sebuah kehormatan abadi."
"Jika Achilles mengesampingkan sedikit harga dirinya untuk kembali berperang, mungkin dia tidak akan kehilangan sahabatnya, Patroclus."
"Itu sudah takdirnya."
"Atau jika Odysseus tidak mengejar kemasyhuran dengan pergi ke Troya, mungkin dia bisa menikmati momen-momen berharganya lebih lama bersama Penelope dan Telemachus."
"Dia keras kepala dan terlalu percaya diri," kekeh Aetius yang terjeda sejenak, "dan Athena tidak mungkin melepaskan jagoannya begitu saja."
"Tapi dia bisa memilih untuk tidak pergi, terlepas dari sumpah yang sudah diucapkan." Jawaban Leora membuat Aetius tercenung dalam. Dia menyimak hal apa lagi yang akan diutarakan oleh gadis itu.
"Pergi dengan 600 prajurit, tapi hanya kembali seorang diri. Bukankah para dewa terlalu kejam karena menghukumnya seperti itu?"
"Tidak," jawab Aetius tersenyum miris. "Mereka sudah mengampuninya dengan membiarkannya kembali ke Ithaca. Dia sudah belajar banyak melalui semua kepahitan itu dan harus mengingat pelajarannya seumur hidup."
"Mungkin mereka terharu setelah melihat penderitaannya," imbuh Leora yang kemudian balik menatap Aetius, "jadi mereka membiarkan Odysseus kembali ke keluarganya meskipun membutuhkan waktu yang lama."
Mata mereka saling terkunci. Leora bisa merasakan kehangatan yang terpancar ke seluruh tubuhnya saat menyelami irisnya yang mengkilat. Meskipun keheningan menyelimuti kebersamaan mereka, tetapi senyum Aetius berhasil mengukir kedamaian.
"Terima kasih, Leora."
Leora menatapnya bingung. "Untuk apa?"
"Karena sudah menghabiskan waktumu bersamaku hingga sore dan bertukar pikiran denganku," jawab Aetius yang masih menatapnya dengan hangat. "Waktu yang kulalui jadi terasa menyenangkan karenamu."
"Aku pun juga," balas Leora yang terlihat sedikit ragu untuk melanjutkan ucapannya. Namun, pada akhirnya dia tidak bisa menahannya lagi. "Hariku juga menjadi lebih berwarna saat bersamamu, Aetius."
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top