18 || Sebuah Sajak

❃❃❃

LEORA langsung bergidik ketika sensasi pahit itu menyentuh lidahnya. Obat herbal itu ternyata tidak seenak baunya. Dia bahkan harus memakan beberapa donat madu sebagai penawarnya.

Meskipun demikian, apa yang dikatakan Aetius kemarin memang benar. Salep wangi yang dioleskan ke lukanya memang bekerja dengan baik. Buktinya sekarang, lecetnya sudah mulai mengering dan tidak terasa perih lagi, padahal dia baru mengoleskannya dua kali.

Paginya pun kali ini terasa lebih menyenangkan karena laki-laki itu menepati janjinya kemarin. Dia sudah datang pagi-pagi sekali sambil menenteng tas rajutnya. Tersenyum cerah sambil duduk di kursi sebelahnya.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Jauh lebih baik," jawab Leora yang bergeser ke pinggir ranjang. "Tabib bilang aku sudah bisa kembali besok lusa!"

"Itu sangat bagus!"

Leora mengangguk cepat lalu melirik Aetius yang merogoh tasnya. "Itu liranya?"

"Benar!" Aetius mengeluarkan liarnya lalu menggenjrengnya sekali sehingga mengeluarkan suara yang nyaring. "Katakan, apa yang ingin kau dengar."

Leora berpikir sejenak sambil memegangi dagunya. "Apa kau tahu Philoneos?"

"Tentu saja tahu," balas Aetius serentak memainkan dawainya.

Petikan demi petikan yang terlempar ke udara mulai merangkai nadanya. Mengalirkan dinamika yang cepat dan melodi yang ceria. Ketika Aetius mulai menyenandungkan bait-bait sang pujangga, mata Leora pun kembali tenggelam dalam keterpesonaan. 

Tidak. Kali ini dia bukan terpesona oleh musiknya, melainkan oleh sesuatu yang lain. Suara madu Aetius berpadu harmonis dengan getaran dawainya. Terdengar sangat candu hingga menghanyutkan perasaannya jauh lebih dalam.

Leora yang sedari tadi berada di sampingnya pun mulai mengeratkan tangan ke depan dada. Bagaimana kalau detak jantungnya terlalu keras hingga Aetius dapat mendengarnya? Dia tidak yakin bisa memberikan jawaban yang tepat jika sampai laki-laki itu menanyakan alasannya. Sejurus kemudian, kerisauan itu teralihkan oleh senyum di bibirnya, lembut dan hangat yang terpatri untuknya.

"Apa kau mau mendengar sebuah sajak, Leora?"

"Sajak semacam apa?"

"Dengarkanlah."

Tempo Aetius mengalun lebih lambat, tidak sedih maupun sendu. Setiap larasnya menggema halus, mampu merasuk sampai ke kalbu. Kemudian bersamaan dengan melodi yang lembut itu, dia mulai menyenandungkan sajak dengan suaranya yang cenderung berat, tetapi lembut.

"O, wahai cahayaku.

Ketika aku menatap matamu

Saujana Aegea yang dalam dan biru

Menghanyutkanku dalam deru

Laksana Dirce yang kalis

Senyummu indah terpatri

Sehangat rekahan musim semi

Mengobati lara hati

Bagai bangsi buluh perindu

Ambrosia pun rebas oleh melodimu

Meraki renjana yang candu

Merengkuh seluruh semestaku."

Leora sedikit memalingkan wajahnya setelah Aetius mengakhiri sajaknya. Napasnya tertahan dengan pipi yang hampir merona. Dia tidak tahu harus berlaku seperti apa karena sekarang perasaannya membuncah.

"Itu sangat indah, Aetius," pujinya setelah bersusah payah menetralkan perasaannya. Namun, bukan ketenangan yang ia dapatkan setelahnya, melainkan debaran yang lebih kencang ketika Aetius serempak membelai surainya.

"Puisiku mungkin terdengar indah, tapi dirimulah keindahan yang sebenarnya."

❃❃❃

Hari yang terasa luar biasa berlalu dengan cepat, tetapi gemuruh itu tetap tidak menghilang meskipun Aetius sudah pergi dari tempatnya. Sekarang dia hanya berdiam diri di dekat jendela, memijat-mijat jarinya sambil meyakinkan apa yang sudah terjadi di sana beberapa jam yang lalu. Namun, pipinya tiba-tiba memanas lagi saat mengingat kalimat manis yang sempat melelehkan benteng hatinya tadi.

"Itu tidak mungkin puisi cinta," sangkalnya bergumam.

"Dia sudah biasa membuat puisi seperti tadi."

Leora kemudian mondar-mandir di dalam biliknya. Dia ingin menyangkal maksud tersembunyi yang ia tangkap. Namun, hal itu justru semakin menimbulkan kerisauan dirinya.

"Aku akan jalan-jalan sebentar," helanya merasa kalah lalu beranjak keluar.

Mencari udara segar di sekitar Asklepion rasanya tidak terlalu buruk. Melihat kolam ikan dan kebun herbal ternyata cukup membantu untuk mengalihkan perasaannya. Meskipun demikian, api yang terpercik di dadanya itu tidak mau padam, mereka seolah semakin besar setiap kali dia mengingatnya.

"Kenapa dia harus membuat sajak semacam itu?" desah Leora seraya duduk di pinggir stoa dekat pot mawar.

Dirimulah keindahan yang sebenarnya.

Kalimat yang terngiang-ngiang di kepalanya itu membuat Leora menggeleng cepat. Dia sama sekali tidak bisa keluar dari deru hatinya. Mereka terlalu kencang dan memabukkan untuk ia terjang. Seolah berusaha menerbangkannya ke suatu tempat yang akan menjeratnya dalam nektar.

Ketika Leora sudah mengatur napasnya yang memburu, dia pun memetik salah satu mawar itu dan mendekapnya di dada. "O Aphrodite. Dewi terkasih dari semua cinta dalam segala bentuk dan keinginan yang paling murni. Tolong bimbinglah aku mengenai perasaanku ini."

Keresahan itu semakin memenuhi relung hatinya. Apakah dia benar-benar sudah jatuh cinta kepada Aetius? Leora masih belum yakin dengan hal tersebut meskipun semua gejalanya sudah mengarah ke sana.

Bagaimana kalau Aetius tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana kalau dia hanya menganggap Leora sekadar teman dekat saja? Leora yang sama sekali belum pernah menyerahkan hatinya kepada seseorang, cukup takut merasakan patah hati untuk yang pertama kalinya.

Saat Leora masih meminta dewinya memberikan petunjuk dengan khusyuk, tiba-tiba saja seekor hewan berbulu melompat ke kakinya. Dia tersentak ke belakang, matanya mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan penglihatannya.

"Hare?" gumam Leora yang kembali mengamati terwelu berbulu coklat yang sedang memandanginya dengan mata yang bulat. "Kau datang dari mana?"

Merasa diperhatikan oleh Leora, terwelu itu pun melompat ke pangkuannya. "Apa ada tabib yang memeliharamu?" tanyanya dengan mengelus bulunya pelan, sementara terwelu itu menggosok-gosokkan badannya ke dekapan Leora.

Tawa kecil Leora mengudara, meredakan jantungnya yang sempat berpacu keras. "Aku rasa tidak?" tanyanya lagi yang dibalas terwelu itu dengan goyangan telinganya, seolah dia memahami pertanyaannya.

"Jika tidak ada yang mencarimu, mungkin aku bisa merawatmu."

Leora memeluk terwelu itu erat-erat. Perasaannya menjadi lebih tenang setelah ia mengutarakan doanya. Sekarang dia tinggal berharap kalau dewa akan segera memberinya jawaban.

❃❃❃

Kelopak mawar merah yang diterbangkan oleh Anemoi—para dewa angin—memenuhi halaman. Menjadi pertanda musim semi di bumi yang menjadi waktu favorit bagi dewa bersayap itu. Di sana, dia tidak hanya melihat bunga-bunga yang bermekaran saja, tetapi juga dapat melihat banyaknya hati yang merekah oleh cinta.

Eros langsung melesat ke kebun Dewi Chloris seperti biasa. Dia memetik bahan-bahan ramuan yang akan ia balurkan di panah cintanya. Bulan ini adalah jatahnya untuk menunaikan tugas mulia dari ibunya untuk memanah hati sebanyak-banyaknya.

Kemampuannya dalam memanah hati memang cukup ditakuti. Eros bisa menundukkan perasaan mereka hanya dengan satu tembakan saja. Manusia fana maupun dewa yang kekal, dia tidak pandang bulu saat menyebarkan jerat asmara. Dia akan terbang dan menjahili orang-orang dengan cinta yang ditaburkan seenak jidat.

Eros baru menjadi lebih dewasa setelah menikah dengan Psyche. Mulai saat itu, dia lebih banyak melimpahkan tugas kehormatannya kepada para Erotes, dewa cinta bersayap yang lain, daripada turun tangan sendiri. Selain mengurangi intervensinya secara langsung, sekarang pun dia lebih memilih menstimulasi cinta dengan metode pendekatan lain dan hanya akan menggunakan panahnya di saat-saat tertentu saja. Meskipun hasilnya tidak langsung terlihat, tetapi cara tersebut terbilang efektif dan terasa lebih manusiawi ketimbang harus memaksakan cinta kepada orang lain.

Akan tetapi, hal yang sempat ia lihat di Thebes tempo hari kembali menerbangkan pikirannya. "Aku masih merinding saat mendengarnya," gumamnya bergidik. "Dia bahkan melantunkan bait seromantis itu tanpa ragu. Pantas saja gadis itu seketika menjadi mentega," kekehnya yang masih keheranan.

Dahulu, Eros pernah menggores hati Apollo dengan panahnya. Hal itu Eros lakukan lantaran dia merasa sakit hati setelah Apollo meremehkan kekuatannya. Satu-satunya cara untuk membalaskan dendamnya adalah menggunakan sesuatu yang Apollo remehkan sebagai senjatanya, yakni panah cintanya.

Tanpa berpikir panjang, Eros menciptakan tragedi asmara antara Apollo dengan Daphne. Panah yang ia lesatkan ke hati mereka, menyebabkan Apollo diterbangkan dan dihempaskan oleh cinta dalam sekejap. Membuatnya tersenyum bangga setelah melihat salah satu dewa terkuat Olympus bisa ia jatuhkan dengan panah yang diremehkan. Namun, prestasi gemilangnya tersebut tak berlangsung lama karena Eros lambat laun dihantui oleh rasa bersalah. Efek balas dendamnya itu ternyata tidak kunjung hilang, tetapi justru menjadi awal kepahitan asmara Apollo berikutnya.

Eros sangat syok dengan fenomena langka yang menimpa Apollo. Apa jangan-jangan oplosan ramuan yang ia tembakkan kepada Daphne adalah efek sampingnya? Ataukah diam-diam Daphne sudah mengutuk Apollo dengan kesialan akibat perbuatan gegabahnya?

Eros masih terdiam dengan setangkai mawar merah di genggamannya. Dahinya mengerut tipis karena berpikir terlalu keras. Jika dia bisa memutar waktu, mungkin dia tidak akan melakukan hal yang sama.

"Cupid?" panggil lembut seorang wanita.

"Oh istriku, Psyche." Istrinya itu memang lebih suka memanggilnya Cupid daripada Eros setelah resmi menikahinya di Olympus.

"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Aku sedang memikirkan masalah percintaan yang cukup rumit."

Psyche mendesah pelan. "Sudah aku katakan, kau harus lebih sering memikirkan diriku."

"Iya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan hal ini."

Psyche kemudian memegangi lengan suaminya sembari tersenyum lembut. "Oleh karena itu, aku akan selalu berada di sisimu."

Perkataan manisnya memang selalu berhasil menenangkan hatinya. "Tapi di mana Cupid kecilku? Bukankah dia selalu bersamamu?" tanyanya yang lanjut mencari keberadaan terwelu Eros.

Psyche sangat menyukai terwelu. Dia bilang kalau hewan berbulu itu terlihat sangat imut. Oleh karena itu, Eros berusaha membuatkan peternakan kecil terwelu di rumah mereka dengan bertanya kepada Aristaios, tetapi dewa itu hanya tahu cara beternak lebah bukannya mamalia. Akhirnya, dia pun bertanya kepada Pan dan belajar menjadi peternak terwelu amatiran demi istrinya.

"Dia aku tinggal di Thebes," jawab Eros berdehem kecil. "Ada seorang gadis yang hatinya sedang resah. Jadi aku memberikan terwelu itu untuk menghiburnya," jelasnya yang membuat tanda tanya di mata Psyche semakin besar.

"Apa kau ingin menjahili seseorang lagi?"

"Tidak. Aku tidak mungkin berani menjahili kekasih Apollo," jawab Eros yang membuat istrinya terkesiap. "Atau mungkin masih calon kekasihnya? Aku belum yakin," koreksinya meringis.

Psyche memegang dahinya berat. "Bagaimana kalau Phoebus Apollo menyalahkanmu lagi jika yang ini tidak berhasil?"

"Cinta itu memang rumit, Psyche," desah Eros yang sekilas teringat dengan lika-liku kisah cinta mereka yang awalnya tidak direstui oleh Aphrodite.

'Pakaikan dia (Psyche) dengan gaun pengantin hitam, lalu tempatkan dia ke puncak gunung sendirian. Makhluk yang ditugaskan kepadanya, seekor ular bersayap, sosok mengerikan serta tak berperasaan dan kejam, yang tak bisa dilawan oleh satu pun makhluk dan bahkan lebih kuat dari para dewa sekalipun. Makhluk itulah yang akan datang untuk mengambilnya sebagai istri,'— titah Apollo melalui orakelnya ketika ayah Psyche berkonsultasi mengenai putrinya yang tidak kunjung mendapatkan jodoh meskipun wajahnya cantik jelita.

Saat itu, Apollo memang mendeskripsikan Eros dengan sangat buruk karena masih sakit hati oleh perbuatan Eros sebelumnya. Namun, Apollo yang cukup bijaksana itu bersedia mengesampingkan masalah pribadinya untuk menurunkan ramalan tersebut kepada orakelnya. Jika tidak, mungkin Eros tidak akan bisa mempersunting Psyche sebagai istri abadinya. Rasa bersalah dan hutang budinya akan terasa semakin berat jika Eros hanya berpangku tangan terhadap masalahnya sekarang.

"Aku akan berusaha melakukan sesuatu untuk membantu mereka," ungkap Eros.

Sejak menangkap kejadian di taman Thebes, dia selalu mengintai perkembangan mereka diam-diam. Dia bahkan melihat seberapa besar perasaan Apollo terhadap putri Thebes itu ketika sang dewa rela melompat ke dalam sungai hanya demi menyelamatkan nyawa manusia yang rapuh. Sejauh ini, hal tersebut merupakan pembuktian yang terjauh yang pernah Eros lihat darinya.

"Ini akan berakhir bahagia!" serunya cerah.

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top