17 || Konsolasi

❃❃❃

PARA Musai merangkai melodinya di atmosfer Olympia. Terdengar semanis madu dan seterang mentari yang terbit di langit. Meskipun bermandikan kehangatan harmoni, tetapi raut muram kembali mengaburkan cahayanya. Terlihat semakin kelam tatkala ia memandangi bunga terkutuk yang berada di dalam genggamannya.

"Berani-beraninya orang itu memakainya kepada Leora," desisnya geram sambil meremasnya hingga hancur.

Dia tidak suka dengan trik pendek semacam itu, apalagi digunakan kepada orang yang ia sayangi, cahayanya! Rasanya ia tidak akan puas hanya dengan menghancurkan bunga cantik yang mengandung ilusi itu. Kalau diperlukan, dia bisa meluluhlantakkan polis orang itu sebagai gantinya.

Sayangnya, sekarang dia harus sedikit meredam amarahnya dan membiarkan sisanya terbakar menjadi abu di perapian. Dia tidak ingin membuat keributan di waktu yang tidak tepat. Setidaknya, dia bisa menundanya sebentar hingga ramalan itu ia wujudkan.

"Apa dia belum datang?" tanyanya kepada Calliope.

"Sepertinya sebentar lagi," jawab dewi minor itu.

Apollo menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia berusaha menenangkan emosinya yang masih berada di puncak. Berusaha keras untuk menurunkan mereka sebelum tamu pentingnya datang. Ketika suara tapal kuda itu mulai terdengar dari gerbangnya, dia pun sudah berhasil mendinginkan kepalanya dalam sekejap. 

"Chiron! Kemarilah!" seru Apollo yang langsung menghamburkan pelukannya.

Chiron pun terkekeh hingga janggut putihnya bergetar. Dia memang terlihat lebih tua karena keriput dan rambut berubannya. Namun, usianya yang sesungguhnya jauh lebih muda daripada Apollo, mengingat dewa itulah yang sudah merawat dan membesarkannya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Apollo menepuk pundaknya, seperti orang tua yang tidak berjumpa dengan anaknya dalam waktu yang baik.

Titan Kronos dan Oceanid Philyra memanglah orang tua Chiron. Namun, penampilannya yang terlahir sebagai setengah manusia dan setengah kuda—centaur—itu membuat ibunya jijik. Dia pun dibuang ke Gunung Pelion karena Philyra tidak mau menanggung aib dan gunjingan para dewa setelah melahirkan makhluk tak beradab, liar, dan tidak berbudaya seperti kebanyakan satyr dan centaur.

Chiron yang ditelantarkan pun tidak memiliki siapa-siapa. Dia tidak diterima di kalangan para centaur maupun para dewa, hingga pada akhirnya Apollo mengambilnya dan merawatnya seperti anaknya sendiri. Dengan ajaran Apollo dan saudari kembarnya, Artemis, dia pun berhasil bangkit dari sifat alamiahnya.

Chiron pun menjadi centaur yang cerdas dan berpengetahuan luas. Dia menguasai berbagai macam hal dan paling bijaksana di antara semua centaur dan makhluk abadi. Oleh karena itu, dia kemudian dipercaya sebagai guru bagi banyak pahlawan, seperti Achilles, Jason, Asklepios, Herakles, dan lainnya. 

"Kabarku luar biasa. Bagaimana denganmu?"

"Aku cukup baik," balas Apollo tersenyum kecil seraya duduk di kursi panjang bersama Chiron.

"Aku merasa sangat terhormat bisa datang ke Olympus lagi. Untung saja Hermes berhasil membujuk istriku agar mengizinkanku datang kemari."

"Chariclo ternyata bisa luluh dengan mulut manisnya," ujar Apollo yang membuat mereka terkekeh.

"Jadi apa yang ingin dikonsultasikan? Aku masih tidak menyangka kalau kau ingin meminta nasihatku."

"Apakah itu salah, meminta nasihat kepada salah satu orang terbijak yang aku kenal?"

"Aku tidaklah sebijak Dewi Athena, Phoebus. Beliaulah yang paling bijaksana di Olympus," jawab Chiron merendah.

Apollo tertawa bagai dawai lira yang ditekan tipis. "Athena memang bijak, tapi metodenya yang ekstrim dan aneh itu sering membuatku bingung. Rasanya, pikiranku dan pikirannya sedikit berbeda."

Apollo masih mengingat dengan jelas ketika Athena mengubah pengikut setianya menjadi gorgon. Medusa, wanita malang yang diubah menjadi manusia separuh ular. Dia menjadi salah satu monster yang ditakuti oleh orang Yunani karena tatapan mampu mengubah daging menjadi batu.

Athena berdalih kalau yang  dilakukannya tersebut merupakan bentuk perlindungan untuk Medusa yang sudah dilecehkan oleh Poseidon. Namun, Apollo menganggapnya sudah di luar batas. Seharusnya dengan gelar kebijaksanaannya, Athena bisa memilih alternatif yang lebih berbelas kasih.

Kalaupun Athena tidak bisa menghukum dewa, seharusnya dia tidak membiarkan Medusa menjadi makhluk yang dibenci oleh semua orang. Terlebih lagi dia justru membiarkannya mengubah orang-orang menjadi batu dan berakhir dipenggal oleh Perseus. Menurutnya, Athena tidak jauh bedanya dengan penyihir Circe yang sesuka hatinya mengubah Scylla menjadi monster.

"Aku tersanjung mendengarnya. Semua kebijaksanaanku adalah berkat ajaranmu."

Apollo tersenyum bangga lalu menuangkan nektar ke cawan perak mereka. "Sebenarnya ada yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini," ungkapnya yang terhenti sejenak ketika isinya sudah penuh, "perasaanku sudah mengambil alih logikaku."

"Sepertinya Aphrodite akan lebih cocok menjadi konselormu," seloroh Chiron yang terkekeh bersama Apollo. "Jadi, apa yang telah mengambil alih logikamu itu?"

Dewa itu menerawang kembali ingatannya. "Setelah kembali dari Hyperborea, aku melintasi Laut Aegea yang biru dan melihat riak ombak yang menari di atasnya. Baru kali ini aku memperhatikan pantulan matahari di permukaannya dengan lebih detail. Ternyata cahaya mereka tidak goyah meskipun sudah tersapu ombak, tetap berkilauan dan terasa hangat walau hanya secercah."

Chiron berusaha mencerna kalimat manisnya. "Jadi, cahaya ini tampaknya istimewa karena berhasil memenangkan perhatianmu dalam sekilas pandang."

Apollo tersenyum tipis. "Aku rasa begitu. Anehnya, pantulan cahaya di sana terlihat lebih terang dan jelas ketika aku memejamkan mataku."

"Tidak ada cahaya yang bisa menyamai matahari, kecuali cahaya itu sudah membakar dirimu."

"Bukan hanya membakarku, tapi juga meleburkan akal sehatku. Apa menurutmu aku—"

"Sedang jatuh cinta?"

Pertanyaan Chiron membuat pipi Apollo bersemu merah. Dia tidak menduga kalau Chiron akan menebaknya secepat ini. Apakah memang kelihatan sangat jelas? Padahal dia tidak mengatakannya secara gamblang.

Chiron mengelus janggutnya sembari menerawang. Tidak bisa dipungkiri kalau Apollo memang sudah biasa memiliki hubungan dengan beberapa wanita. Namun, hal yang baru saja ia tangkap hari ini terlihat tidak seperti biasanya.

"Jika aku boleh tahu, siapa dewi ini?"

Apollo sedikit menunduk untuk menyembunyikan rasa malunya. "Bukan dewi. Dia ... manusia."

Jawaban Apollo memang mencengangkan, tetapi Chiron berusaha menjaga ekspresinya. "Kalau begitu, dia gadis yang beruntung."

"Akulah yang beruntung karena menemukannya," koreksi Apollo yang kembali membuat centaur itu terperangah.

"Perbedaan kalian sangatlah jauh, tetapi ini tetap menjadi peningkatan yang bagus. Kenapa tidak langsung membawanya?" pancingnya yang masih melihat reaksi Apollo selanjutnya.

"Membawanya bukanlah jalan keluar karena aku berencana menikahinya, Chiron," jawabnya sambil meremas kedua tangannya yang basah.

Rahang Chiron hampir jatuh setelah mendengar pernyataannya. Meskipun Apollo dikenal sebagai dewa yang mempunyai banyak teman wanita seperti Zeus, tetapi kegelisahannya kali ini terasa baru dan sungguhan. Dewa yang biasanya penuh logika dan idealis itu seketika menjadi sentimental.

"Apa alasanmu ingin menikahinya? Setahuku standarmu cukup tinggi hingga sekarang," selisik Chiron yang sebelumnya tahu kalau Apollo hanya berniat menikahi sesama kalangan dewa, bukannya makhluk fana. 

Kenapa pendiriannya sekarang goyah hanya karena gadis manusia? 

Alasan? Apollo yakin alasannya terdengar tidak masuk akal di telinga Chiron. Namun, hanya itulah yang menjadi pegangannya sejak awal.

"Aku mencintainya."

"Hanya itu? Cinta?"

"Bayangannya selalu muncul di benakku. Setiap inchi dirinya selalu berhasil menggetarkan jiwaku, membuatku ingin terbang ke matahari dan membakar hatiku hanya untuknya," papar Apollo.

"Kau yakin ini cinta, bukannya obsesi?" tanya Chiron yang berhasil memusatkan perhatian Apollo. "Mungkin saja ini ulah Eros seperti biasa."

Apollo menggigit bibir bawahnya. Dia sudah pernah merasakan pahitnya panah Dewa Cinta. Bagaimana mungkin dia tidak bisa membedakan debaran yang jelas-jelas terasa berbeda?

"Jika ini ulah Eros, aku pasti sudah menjadi makhluk tak beradab," jawab Apollo tersenyum miris.

"Seperti saat kau mengejar Daphne?"

Bibir merah Apollo melengkung masam. "Itu yang baru dinamakan obsesi yang liar. Mengacak-acak hati dan logikaku dengan panah yang pahit itu sangatlah tidak berbudaya."

Setelah mengalahkan Python, Apollo digadang-gadang sebagai pemanah paling handal di Olympus. Pemilik busur emas yang tak pernah meleset bidikannya itu merasa tinggi dan bangga. Sampai pada satu waktu, Apollo meremehkan Eros yang juga membawa busur panahnya dengan berkata bahwa panah adalah senjata para prajurit, bukannya mainan anak-anak.

Dewa Cinta yang merasa sakit hati pun langsung mengangkat busurnya untuk balas dendam. Kali ini bukan untuk mengalahkan Apollo dalam pertarungan berdarah, tetapi untuk mengalahkannya dalam pertarungan yang indah. Eros yang kala itu merentangkan busurnya, lantas menembak Apollo dengan panah emasnya agar dia jatuh cinta kepada seorang nimfa pengikut Artemis, Daphne yang jelita. Sebaliknya, dia kemudian menembak Daphne  dengan panah timahnya sehingga nimfa itu tidak menyukai dan mengabaikan perasaan Apollo.

Apollo yang dipanah hatinya pun terus meminta Daphne agar mau menjadi kekasihnya. Namun, nimfa itu berkali-kali menolaknya karena dia sama sekali tidak memiliki perasaan kepadanya. Perasaan mereka yang saling bertolak belakang itu pun menjadi panggung balas dendamnya Eros, menggoreskan kepahitan cinta yang tidak akan dilupakan Apollo seumur hidupnya.

Hasrat yang berbalut cinta yang semu itu pun berubah menjadi obsesi. Tidak mau menerima penolakan karena sudah dibutakan perasaannya, Apollo pun terus memohon kepada Daphne. Ketakutan oleh sang dewa yang belum menyerah untuk mengejarnya, nimfa itu pun itu berlari menuju ayahnya, Dewa Sungai Peneus. Dia kemudian memohon kepadanya untuk dibebaskan dari belenggu cinta Apollo agar bisa hidup dengan damai. Melihat tidak ada jalan keluar untuk menyelamatkan Daphne dari incaran Dewa Olympus, Peneus pun dengan berat hati mengubah wujud putrinya yang jelita.

Ketika jari Apollo hampir meraih Daphne, kulitnya yang halus berubah menjadi kayu yang kasar. Jari-jarinya yang lentik seketika memanjang, menjadi ranting pohon yang ditumbuhi dedaunan lebat. Tubuhnya pun menjadi kaku, kaki jenjangnya kini terbenam ke dalam tanah layaknya akar. Sekarang Daphne sudah tidak bergerak, berubah menjadi pohon laurel yang masih bernapas.

Kabut yang menutupi logika Apollo seketika menguap ketika merasakan patah hati itu. Semua kewarasan yang sempat menghilang dari otaknya kini sudah kembali, menyisakan penyesalan dan rasa bersalah kepada sang nimfa yang tertimpa petaka. Cintanya mungkin telah hilang, tetapi sebagai penghormatan terakhirnya, Apollo kemudian menjadikan pohon laurel Daphne sebagai simbol sucinya.

"Kali ini berbeda, Chiron."

"Kenapa kau sangat yakin kalau yang ini berbeda dari yang sebelumnya?"

"Aku bisa merasakannya," balas Apollo menelan ludahnya. "Setiap embusan napas dan setiap degup jantungnya, membuatku ingin menghabiskan hidupku bersamanya."

Keseriusan yang dilontarkan oleh dewa itu cukup membuat Chiron merinding. "Lalu apa yang mempersulit dirimu? Apa yang kau tunggu?"

Chiron sangat yakin kalau gadis itu tidak akan menolak sosok Apollo. Dewa itu sangat sempurna dari sisi mana pun. Semua gadis pasti akan langsung jatuh hati kepadanya, kecuali mereka ditembak dengan panah yang menumpulkan hati seperti Daphne.

"Aku ingin tahu bagaimana perasaannya kepadaku sebelum melangkah lebih lanjut. Aku ingin dia memandangku sebagai pria yang mencintainya, bukannya sebagai dewa yang menginginkannya," ungkap Apollo dengan memandang ke kejauhan untuk membebaskan perasaan berat yang mengganjal di hatinya.

"Aku ingin dia menerimaku dengan senyuman hangat, bukannya rasa segan ataupun takut."

"Dan apakah kau bersedia menerima segala kekurangannya yang rapuh?"

Detail kecil itu kembali membuat Apollo merasakan pahit di lidahnya. "Itulah yang aku takutkan. Ada sesuatu yang memburuku, tetapi aku tidak tahu kapan datangnya. Aku takut jika sampai kehabisan waktu sebelum berhasil menyelesaikannya," ungkapnya cemas.

Chiron mengangguk paham kemudian menyeruput sedikit nektarnya. "Mengikat seseorang untuk hidup bersamamu pasti akan menimbulkan konsekuensi yang besar," tanggapnya  berhati-hati, "apalagi waktu manusia sangat terbatas dan tidak abadi."

Pernyataan itu membuat tulang punggungnya terhenyak. "Jangan mengingatkanku terus mengenai mana yang fana dan kekal, Chiron."

"Memang itulah poinnya sekarang, Phoebus. Kau juga tidak bisa mengabadikan seseorang seenaknya, itulah aturannya," kekeh centaur itu seraya menatapnya serius. "Sekarang di waktu yang singkat ini, mana yang akan kau utamakan, tugasmu atau gadis itu?"

"Ramalanku tidak bisa kutinggalkan—"

"Jika kau masih mengutamakan posisimu yang agung itu, bisa ku pastikan kau tidak akan mendapatkannya," potong Chiron yang terdengar pedas.

Tenggorokan Apollo tercekat dengan wajah keruh penuh pertimbangan. Neraca pikirannya nyaris tidak berfungsi dengan baik untuk mengukur hal tersebut. Ramalan adalah hal esensial dari posisi dewanya, tetapi dia terancam kehilangan sesuatu yang lain jika tidak melepaskannya.

Tidak. Dia tidak mau merasakan ketakutan setengah mati seperti di Daphnephoria tempo hari. Dia tidak mau kehilangan gadis itu sebanyak apapun harganya.

Hanya saja, kapan tepatnya ramalan itu terjadi sangat sulit untuk diprediksi. Mungkin saja mereka terjadi besok, lusa, setahun kemudian, atau bahkan berbelas hingga berpuluh-puluh tahun kemudian setelah ia mendapatkan penglihatannya. Hal ini semakin mempersulit keputusannya yang masih mengambang di permukaan.

"Untuk meraih sesuatu pasti memerlukan sebuah pengorbanan," ujar Chiron yang membuat Apollo menatapnya harap-harap cemas. "Apalagi jika yang kau inginkan adalah hal yang berharga, mungkin kau harus mengorbankan sesuatu yang sepadan atau yang lebih besar sebagai gantinya."

"Aku tahu itu. Oleh karenanya, aku tidak boleh bertindak gegabah," ungkap Apollo yang kemudian menatap Chiron dengan dahi yang berkerut dalam. "Bagiku, dia lebih penting dari segalanya, melebihi ramalanku maupun diriku sendiri."

Dia menghela napas panjang sambil mengepalkan tangannya. "Aku sudah memikirkan semua kemungkinannya. Dari yang terburuk hingga yang baik," paparnya sungguh-sungguh. "Meskipun nantinya aku harus melewati badai sebelum melihat matahari terbit lagi, rasanya aku tidak akan menyesalinya."

Centaur itu tersenyum simpul, dewa itu memang penuh perhitungan seperti yang ia kenal. "Jika sudah tidak ada keraguan maka lakukanlah mana yang menurutmu benar, Phoebus," ujarnya sambil menepuk bahu Apollo.

❃❃❃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top