16 || Debaran
❃❃❃
HARI ini, Leora berusaha untuk menggerakkan tubuhnya lebih banyak. Awalnya memang terasa kaku, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja. Apalagi sekarang Calista sedang berkunjung ke Asklepion, membuat Leora tambah bersemangat.
"Apa kau sudah baikan?" tanya Calista sembari menggenggam tangan adiknya erat.
"Seperti yang kau lihat, aku sudah mulai membaik, Adelfi."
"Aku lega mendengarnya. Saat itu memang sangat menegangkan."
"Aku dengar kau juga sempat pingsan. Apa kau tidak apa-apa?" tanya Leora dengan alis yang bertautan.
"Aku baik-baik saja. Itu hanya gejala ringan."
Leora semakin mengerutkan dahinya. "Apa kau sakit?"
Calista kemudian mengembangkan senyumnya lebih lebar. "Kau akan segera menjadi bibi, Leora," ungkapnya.
Mata Leora membulat cerah. "Benarkah? Itu luar biasa!"
Calista mengangguk antusias lalu mengelus perutnya yang masih datar. "Aku juga tidak menduganya. Karena semua ini, rencananya jadi sedikit mundur," gumamnya.
"Rencana apa?" tanya Leora penasaran.
Calista sedikit terperangah. Dia tidak sadar karena bicara kelepasan. "Ah, bukan apa-apa," balasnya cepat mengalihkan pembicaraan mereka. "Yang terpenting kau harus segera pulih."
Leora tampaknya tidak terlalu menghiraukan ucapannya yang terhenti. "Baiklah."
"Oh, ya! Aku membawa sebuah titipan untukmu." Calista mengulurkan sebuah kotak perak yang di bawanya dari istana.
"Apa ini?"
"Hadiah dari Jonas," bisiknya yang membuat kedua alis adiknya terangkat penuh tanda tanya. "Kau bisa membukanya nanti saja. Sekarang waktunya kita menghabiskan waktu bersama."
Leora mengangguk menurut. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan ceritakan kepada Calista. Bagaimana suasana di Athena? Seperti apa akropolis mereka yang terkenal itu? Apa saja kegiatan yang dia lakukan di sana? Dia ingin tahu hal-hal yang belum pernah ia lihat atau dengar sebelumnya.
Sayangnya, waktu mengalir lebih cepat daripada keingintahuannya. Calista yang menjenguknya pun ternyata sekalian ingin berpamitan. Dia bilang, mereka akan kembali ke Athena nanti sore jika tidak ada halangan. Leora pun hanya bisa mengharapkan keselamatan kakaknya selama perjalanan pulangnya.
Sekarang dia kembali sendirian, hanya ditemani oleh Helota yang sedang menyeduh teh herbalnya. Gadis itu kemudian bersandar ke ranjang sambil menghirup aroma teh yang menenangkan. Setidaknya, dia harus menikmati ketenangan ini sejenak agar pemulihannya lebih maksimal.
"Apa kau sudah menyampaikan pesanku kepada Tuan Aetius?" tanyanya sembari menyeruput teh yang mengepul itu.
"Sudah, Putri. Tapi ...."
Leora menaruh cawannya ketika Helota menjeda kalimatnya cukup lama. "Katakan padaku."
"Beliau kebetulan datang bersamaan dengan kakak Anda."
Gadis itu terhenyak. "Jadi dia sudah menunggu selama itu?" sergahnya.
Helota mengangguk kecil. "Beliau bilang tidak ingin mengganggu Anda dan memilih menunggu di luar saja."
Leora mengusap wajahnya sambil menghela napas. "Kalau begitu, panggil dia sekarang."
"Baik, Putri," balas Helota yang bergegas melaksanakan perintahnya.
Sementara itu, kegugupan mulai melingkupi Leora lagi. Bagaimana dia akan memulai pembicaraannya dengan Aetius? Dia tidak mau terlihat canggung ketika berhadapan dengannya.
"Sepertinya aku akan meminta maaf terlebih dulu."
Ketika dia sedang berusaha menata kalimatnya, kotak perak yang ditinggalkan oleh Calista itu tiba-tiba jatuh ke pandangannya. Leora kemudian meraihnya lalu membuka tutupnya yang tersegel. Di dalamnya terdapat kalung emas berukiran khas Athena dengan setangkai lily putih yang diletakkan di sebelahnya.
"Kenapa dia memberikan hadiah semacam ini?" gumam Leora dengan dahi yabg berkerut.
Bunga itu kembali memenangkan perhatiannya. Leora kemudian menelitinya lebih dekat karena merasa familiar dengan lily putih yang sempat ia lihat beberapa waktu yang lalu. Sayangnya, sesuatu yang aneh tiba-tiba saja melingkupinya, memenuhi benaknya dengan tiupan nama sang pengirim yang terus menggema di pendengarannya.
Kabut itu terasa semakin tebal. Leora terjerembab dalam sebuah tarikan yang semakin merongrong indranya. Untung saja, samar-samar suara yang terdengar akrab itu berhasil mendobrak kesadarannya kembali sebelum ia terjatuh lebih dalam.
"Leora!"
Dia masih bergeming, masih berjibaku dengan sensasi berat yang menghantamnya. Ketika matanya terpejam dalam-dalam untuk menjernihkan isi kepalanya, sebuah sentuhan yang teraba hangat di tangannya itu langsung menyadarkannya. Matanya pun seketika membulat tak percaya ketika menangkap raut khawatir yang terpatri jelas di depannya.
"Kau tidak apa-apa, Leora?" tanya Aetius.
"Kapan kau datang?" tanya Leora yang meragukan dirinya yang sempat mengangkasa. Sejak kapan Aetius berada di sana? Apakah sedari tadi dia melamun hingga tidak menyadari kedatangannya?
"Baru saja," jawabnya tersenyum kecil seraya melepaskan sentuhannya.
Leora menggeleng pelan karena dilanda kebingungan. "Maaf, aku tidak menyadari kedatanganmu."
"Tidak apa-apa," ungkap Aetius dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku senang bisa melihatmu lagi."
Leora kembali menatapnya. Menangkap keredupan yang terpantul di matanya yang sedikit memerah dan sembab. Apa yang terjadi padanya? Kenapa hatinya ikut pilu setelah melihatnya seperti itu?
"Maafkan aku," ujar mereka secara bersamaan hingga membuat keduanya sama-sama tertegun.
"Maaf, kau harus tertimpa kemalangan karena diriku," ungkap Aetius duluan yang membuat Leora terperangah. "Jika saja aku tidak memintamu untuk menemaniku melihat Daphnephoria, mungkin hal itu tidak perlu terjadi."
Gadis itu menahan napasnya sejenak. "Aku yang seharusnya meminta maaf karena sudah merusak rencanamu, Aetius," sesalnya. "Karenaku, kau jadi tidak bisa menikmati festivalnya."
Aetius menarik sebuah kursi lalu duduk di sebelah ranjangnya. "Tidak. Berkesempatan melihat Daphnephoria bersamamu adalah hal yang paling menyenangkan, Leora," ungkapnya dengan mata yang nyaris berkaca-kaca. "Bagiku, yang terpenting sekarang bukanlah festival itu, melainkan keadaanmu."
Leora terharu saat mendengarnya. Apakah dia memang sekhawatir itu dengan keadaannya? Ketika Leora berusaha menerka jawabannya, getaran itu kembali mengguncang hatinya lebih kencang.
"Tanpamu, mungkin aku tidak akan berada di sini lagi," ujar Leora yang menatapnya lebih lekat. "Aku berhutang banyak padamu, Aetius."
Aetius menggelengkan kepalanya pelan lalu merogoh kantong jubahnya. "Kau tidak berhutang apa pun padaku, tapi aku yang berhutang padamu."
"Loukoumades!" seru Leora dengan mata yang berbinar ketika Aetius menunjukkan hadiahnya. "Kau berhasil!"
"Keadaannya memang cukup krusial, tapi aku berhasil mendapatkannya sesuai janji," ujarnya sambil memberikan sekantong penuh bola donat itu kepada Leora.
"Jadi kau juga mendapatkan liranya?"
"Tentu saja!" serunya seraya mengambil sesuatu dari tas rajutnya. "Tapi, aku membawakan sesuatu yang lebih penting untukmu sekarang," ujarnya dengan menunjukkan salep dan ramuan obat yang masih terbungkus rapi.
"Aku harap kau mau menerimanya. Obat ini dari kenalan tabibku yang handal. Aku bisa menjamin kalau kau akan sembuh dengan cepat."
"Sekali lagi, terima kasih banyak," ucap Leora yang merasa tersentuh.
"Kau bisa meminum ramuannya dua kali sehari. Rasanya memang sedikit tidak enak, tapi kau bisa memakan donat-donat itu sebagai penawarnya," jelas Aetius sembari mengeluarkan membuka cepuknya.
"Lalu untuk salep ini, kau bisa mengoleskannya sehari sekali," paparnya lagi sambil melirik tungkai lecet Leora yang tidak tertutupi. Terlihat beberapa luka besar di antara kulit lecet yang dalam. Bahkan beberapa lapisannya tidak hanya memerah, tetapi juga menggerus lapisan kulit yang lebih dalam hingga bagian putih dan merah mudanya terlihat
"Bolehkah aku mencontohkan pemakaian pertamanya?"
Leora sedikit menggigit bibir bawahnya. Dia sebenarnya sedikit takut setelah tabib mengoleskan beberapa ramuan yang terasa perih di kakinya. Namun, laki-laki itu masih berusaha meyakinkannya.
"Aku janji kalau ini tidak akan sakit."
"Baiklah, tolong," jawab Leora menghela napas penuh penyerahan.
Aetius tersenyum kecil seraya mengambil tas perlengkapannya. Ketika dia membukanya, isinya terlihat seperti perlengkapan pengobatan milik tabib. Terdapat beberapa lembar kain bersih berbentuk segi empat, gulungan panjang, bulatan-bulatan kapas, dan beberapa perlengkapan kecil lainnya.
"Apa kau selalu membawa benda-benda semacam itu bersamamu?"
"Biasanya untuk keadaan darurat saja."
Aetius kemudian mencuci tangannya dengan air bersih sebelum melakukan intervensinya. "Bisakah kau bergeser ke pinggir?"
"Baik." Leora kemudian duduk di pinggir ranjang sehingga kakinya bisa menjuntai ke lantai.
"Aku akan membersihkan lukamu terlebih dulu," ujar Aetius seraya membasahi segumpal kapas dengan cairan bening yang ia tuangkan dari botol kecil.
Leora yakin itu bukanlah air biasa karena tercium seperti obat. "Apa itu?"
"Ini larutan garam," balasnya yang kemudian mulai menepuk-nepuk luka Leora menggunakan kapas basah itu dengan perlahan.
Leora yang tadinya menutup matanya karen tegang kini mulai menenang. Dia sama sekali tidak merasakan perih maupun panas ketika larutan itu menyentuh lukanya. Rasa dingin dan menenangkan itu membuat Leora memberanikan dirinya untuk mengintip Aetius.
"Tidak sakit, kan?" tanya Aetius memastikan.
Leora menggeleng kecil. Ketika dia masih terpukau dengan teknik Aetius, laki-laki itu lantas menakar salepnya menggunakan ujung telunjuknya. "Aku mengoleskannya sekarang."
Sekali lagi, hawa dingin itu terasa nyaman di kulitnya. Leora yang sedari tadi mengamati Aetius dari jarak yang sedekat itu baru sadar kalau rautnya tampak serius saat memberikan perawatan, seperti seorang tabib sungguhan yang telaten. Namun, bukan itu yang membuat jantung Leora berpacu lebih cepat, melainkan sentuhan hangat Aetius yang teraba di kulitnya.
Leora menahan napasnya ketika Aetius mulai menutup dan membalut kakinya dengan kain yang ia bawa. Dia benar-benar belum bisa mencerna aliran deras yang membanjiri pembuluh darahnya. Seakan memaksa jantungnya agar terpompa lebih cepat.
"Sudah selesai."
Mata Leora mengerjap takjub. "Dari mana kau belajar teknik perawatan semacam ini?"
Dia tersenyum lebar. "Entahlah, mungkin Phoebus Apollo sedang merasukiku," selorohnya hingga Leora tertawa lepas.
"Ini luar biasa! Kau benar-benar berbakat dalam banyak hal." Leora kemudian memajukan duduknya. "Ucapan terima kasih saja rasanya tidak akan cukup. Katakan, apa yang bisa aku berikan sebagai gantinya?"
"Sepertinya tidak perlu memberiku apa-apa."
Bibir Leora sedikit mengerucut. "Jika kau tidak mengatakan apa keinginanmu, aku tidak ingin memakan donat dan obat itu."
Aetius terkekeh oleh ancaman kecilnya. "Aku tidak punya pilihan lain kalau kau tetap memaksa," balasnya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan hingga ia menangkap kotak perak yang terbuka di atas nakas.
"Bagaimana dengan lily yang cantik itu?"
"Jika kau menginginkannya, kau boleh mengambil bunganya," jawab Leora sembari menyerahkan lily itu kepada Aetius.
"Aku akan mengambilnya dengan senang hati," balasnya dengan mata yang cerah. "Sekarang, kau harus segera beristirahat karena besok aku akan kembali bersama liranya."
"Kau masih di Thebes?" sergah Leora yang terbelalak.
"Bisa dibilang begitu. Aku akan di Thebes lebih lama," jawab Aetius dengan menyunggingkan senyum lembutnya sebelum dia mengulurkan sebelah tangannya kepada Leora. "Bolehkah aku?"
Gadis itu mengeratkan sedikit selimutnya untuk menyembunyikan perasaan yang meledak-ledak. Setelah membaca niatnya yang cukup jelas, dia pun mengulurkan tangan kanannya kepada Aetius. Selanjutnya, kecupan lembut yang dilayangkan ke punggung tangannya itu berhasil menerbangkan kupu-kupu yang hinggap di perutnya.
"Kalau begitu, besok aku akan menantimu."
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top