15 || Kelesah
❃❃❃
SENSASI dingin yang mencekam telah tergantikan oleh perasaan damai. Rasanya Leora ingin terpejam lebih lama. Namun, matanya memilih terbuka untuk melihat langit biru yang dilukiskan oleh awan-awan tipis.
Leora sedang terbaring di antara bunga-bunga yang bermekaran. Merasakan kelembutan kelopaknya yang teraba halus di kulit. Ketika dia duduk di antara mereka, padang bunga yang terhampar luas itu membuat matanya terpesona. Dia seakan sedang melihat taman surgawi yang sebenarnya, begitu indah dan damai.
Apakah dia sedang bermimpi? Ataukah dia sudah berada di Padang Elisian? Sepertinya Dunia Bawah tidak akan secerah ini, kecuali Persephone mengambil alih tugas Hades.
Leora kemudian bangkit untuk menyusuri jalan setapak yang memanjang di depannya. Tangannya terulur untuk menyentuh bunga-bunga yang menghiasi tepiannya. Bukan hanya putik dan benang sari saja yang menghiasi bagian tengahnya, melainkan juga butiran emas yang bertaburan di atasnya.
Ketika Leora sudah sampai di ujung jalan, dia pun menangkap sebuah istana yang berdiri di balik awan. Pilar-pilar marmer yang sangat besar itu menyangga kubahnya, masing-masing dipoles dengan emas dan permata yang akan berkilauan ketika tersorot cahaya. Jalinan antara laurel dengan cakram matahari terpahat detail dan rumit disetiap marmernya. Semakin menonjolkan istana megah yang tampak agung di matanya.
Saat Leora mendekati halamannya, kakinya yang telanjang merasakan perbedaan tekstur yang signifikan. Sekarang dia tidak merasakan kasarnya rerumputan, melainkan merasakan lembutnya karpet lily lembah di sepanjang lantainya. Karpet bunga itu seperti beludru yang wangi, terasa nyaman dan halus di telapak kakinya.
Leora yang merasa penasaran, memutuskan untuk masuk ke dalam istana yang lengang itu. Di sana terasa sangat sunyi untuk tempat yang memiliki banyak serambi dan lorong yang luas. Apakah ada orang yang mendiami tempat menakjubkan tersebut? Dia ingin tahu jawabannya.
Saat Leora melintasi salah lorongnya, terlihat sebuah pintu besar yang terbuka setengahnya. Leora pun memutuskan untuk memeriksa bagian dalamnya. Berharap kalau dia akan menemukan seseorang di sana. Dan benar saja, di ruangan yang redup itu dia pun menemukan satu sosok yang sedang duduk membelakanginya.
Orang itu sedang memetik liranya dengan suara yang sumbang. Terlihat putus asa meskipun dikelilingi oleh emas dan berlian. Sayangnya ketika Leora hendak mengulurkan tangannya untuk menepuk bahunya, tiba-tiba saja kilapan cahaya itu membutakan penglihatannya.
Leora tersentak dari kesadarannya. Dia terbangun dengan rasa berat di dada bak ditimpa godam. Ketika mata beratnya sudah terbuka semua, samar-samar dia melihat lukisan dewa berjanggut dengan tongkat yang dililit ular di langit-langit serambinya.
"Asklepion?" gumamnya lirih dengan bibir pucatnya.
"Leora?" sergah Arsen dengan mata yang berlinangan.
Mata Leora sedikit menyipit, merasakan pusing yang masih tersisa. Aroma pekat rempah-rempah di tempat perawatan dan kuil Dewa Pengobatan itu menyeruak ke indra penghidunya. Mempertajam kesadarannya agar tidak jatuh lagi ke dalam kenyamanan yang gelap.
"Adelfos," panggil Leora dengan senyum lemahnya.
"Oh Dewa! Terima kasih banyak!" seru haru Arsen penuh rasa syukur. "Aku akan segera memanggil tabib!"
Beritanya sudah sampai ke istana. Raja dan ratu langsung bergegas menuju ke Asklepion untuk melihat keadaan putri mereka. Semua orang merasakan kelegaan yang luar biasa ketika mengetahui Leora sudah kembali kepelukan mereka.
Tabib mulai mengkaji tubuhnya dari atas kepala hingga ke ujung kaki dengan hati-hati. Memastikan tidak ada cidera lain yang ia alami. Setelah melakukan pemeriksaan yang mendalam, akhirnya tabib pun mengabarkan temuan akhirnya.
"Untuk saat ini, Putri dalam keadaan yang baik. Luka di kakinya memang masih basah, tapi beliau hanya perlu beristirahat secukupnya dan meminum ramuan obatnya."
"Kalau begitu, buatkan ramuan terbaik untuk putriku. Dia harus segera pulih seperti sediakala," minta Eneas.
"Baik, Yang Mulia."
Tabib itu pergi bersama ayah dan kakaknya untuk membicarakan hal lebih lanjut. Sedangkan Ratu Dimitra yang masih bersama Leora langsung memeluknya erat-erat, meluapkan rasa harunya hingga ia menitikkan air mata. "Dewa sudah mendengarkan doa kami dan membawamu kembali."
Leora tersenyum sendu lalu memegangi tangan ibunya, "Ibunda tidak perlu khawatir lagi. Berkat Dewa, aku sudah di sini."
Dimitra kemudian membelai rambutnya. "Sekarang kau harus mengisi energimu lagi."
Setelah dayang membawakan bubur hangat ke serambi Leora, Dimitra pun mulai menyuapkannya sedikit demi sedikit kepada putrinya. Meskipun rasanya memang hambar, tetapi Leora tetap menelannya. Dia tidak mau berlama-lama di Asklepion dan ingin segera sehat seperti sebelumnya.
"Tapi, di mana Adelfi?" tanya Leora yang menyadari kalau Calista tidak ada di antara mereka.
Padahal dia baru sehari tidak sadarkan diri. Apakah dia sudah kembali ke Athena tanpa berpamitan?
"Dia sedang beristirahat di istana," jawab ibunya tersenyum lembut.
Leora mengangguk kecil lalu lanjut menghabiskan buburnya hingga tak bersisa. Dimitra kemudian membantunya meminum obat, lalu berpamitan kepada putrinya untuk kembali ke istana. Sekarang Leora yang kembali sendirian bisa melanjutkan perawatan dan istirahatnya lagi.
Sayangnya, Leora sama sekali tidak bisa memejamkan mata karena sekujur tubuhnya terasa remuk. Dia meringis kecil saat tungkai bawahnya kembali terasa perih. Dia kemudian duduk bersandar di ranjang sambil memandangi luka-luka yang terpatri di kakinya, mendesis saat nyeri kembali mencubitnya.
"Padahal aku sudah memakai obat," gumamnya, "ini pasti akan berbekas."
Ketika dia menikmati rasa sakit dalam keheningan, otaknya pun berusaha untuk mendobrak kembali ingatannya tentang kejadian itu. Seingatnya, dia sedang melihat final perlombaan musik di dekat panggung. Kemudian semua ingatannya terputus dan dia sudah terlempar ke sungai itu. Rasanya ada beberapa kepingan yang hilang, tetapi ia belum bisa menemukan apa itu.
Leora menghela napasnya berat setelah memahami insidennya di Daphnephoria. Bagaimanapun juga, dia sudah menyinggung Apollo dengan merusak perayaannya yang sakral meskipun tanpa sengaja. Sembilan tahun mereka menantikan festival besar itu, tetapi sekarang justru pupus dalam sekejap. Sekarang dia takut kalau sang dewa akan menunjukkan ketidakpuasannya terhadap Thebes akibat kelalaiannya.
"Sepertinya aku harus melakukan pemujaan dan pengorbanan tambahan," ucapnya lemah sembari memijit pelipisnya. "Aku akan memikirkannya setelah keluar dari Asklepion nanti."
❃❃❃
Sementara di suatu tempat yang luas, aroma rempah merasuk kuat hingga ke dalam paru-parunya. Suara mortar terdengar nyaring dan cepat saat saling bertumbukan. Dewa berjanggut yang tengah meracik ramuan herbal itu terlihat sangat serius dan penuh ketelitian. Namun, sosok yang menyambanginya hari ini membuatnya merasa gelisah.
Asklepios sedikit melirik ke arah tamu yang tak diundang tersebut, merasa takut oleh kedatangannya yang tiba-tiba. Apa Zeus mengungkit masalahnya lagi? Selama bertahun-tahun mereka tidak saling bertemu setelah Zeus melemparkan petirnya lalu mengangkat Asklepios sebagai dewa.
"Jangan gugup di depanku," tegur Apollo dengan nada yang terkesan lemah dan tidak sehangat biasanya.
Asklepios tersenyum kecil. "Aku gugup karena kita sudah lama tidak berjumpa," ungkapnya sembari menumbuk obatnya.
"Aku ke sini untuk meminta bantuanmu."
"Apa yang bisa aku bantu untuk Dewa Penyembuhan?" tanyanya merendah.
Jujur saja, hubungan mereka berubah jauh sejak peristiwa itu. Saat itu Asklepios yang diberkati dengan keahlian pengobatan oleh ayahnya, Apollo, berhasil menjadi dokter terbaik di Yunani. Ilmu pengobatannya berkembang dengan pesat hingga mampu menyembuhkan segala penyakit. Namun, semuanya berakhir buruk ketika Asklepios mulai bisa membangkitkan orang dari kematian.
Hades yang tidak suka kematiannya diganggu pun mengadu kepada Zeus. Dia ingin Asklepios dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Oleh karena ingin menjaga tatanan keseimbangan, Zeus pun kemudian menyambar mati Asklepios dengan petirnya.
Sayangnya, Apollo tidak terima dengan hukuman yang diterima oleh putranya. Dia melakukan protes keras dan berseteru sengit dengan Zeus. Kemudian sebagai pembalasan dendamnya, Apollo pun langsung membantai para kiklops tetua sehingga tidak ada lagi yang bisa menempa petir untuk Zeus.
Murka oleh perbuatan nekad Apollo, Zeus pun langsung mengasingkannya ke bumi selama sembilan tahun. Dia menyuruh Apollo menjadi budak dan mengabdikan dirinya kepada salah satu raja manusia di Pherae, Thessalia. Zeus bertitah, bahwa dia harus menebus kesalahannya terlebih dahulu jika ingin kembali ke Olympus.
Meskipun hukuman Raja Olympus cukup keras, tetapi Apollo berhasil menyelesaikan tugasnya seperti biasa. Tidak mau permasalahan mereka menjadi lebih panjang sekembalinya Apollo ke Olympus, Zeus pun menghidupkan kembali Asklepios sebagai dewa dan menjadikannya Dewa Pengobatan. Namun, putra Apollo itu lebih memilih menyepi di rumah sederhana yang jauh dari Olympus. Rasa bersalahnya terhadap Apollo yang ikut terkena getah akibat ulahnya, membuat Asklepios menjaga jarak di antara mereka.
"Kebun herbalmu adalah yang terbaik. Aku ingin meminta beberapa tanaman obat saja," balas Apollo sembari memperhatikan aktivitas Asklepios dengan saksama. "Kau sudah mengembangkan teknikmu."
"Terima kasih. Aku giat mempelajarinya akhir-akhir ini," jawab Asklepios tersenyum simpul. "Kau bisa mengambil apa saja yang kau butuhkan."
Apollo mengangguk pelan lalu meraih lidah buaya dan bunga yarrow. Memasukkannya ke dalam mortar porselen lalu membuatnya menjadi salep dengan cepat. Kemampuannya dalam meracik obat memang tidak bisa diragukan lagi.
"Aku kira matahari akan bersinar cerah mengingat Daphnephoria baru selesai digelar, rupanya mendung sedang menutup cahayanya," ujar Asklepios yang berusaha mencairkan suasana di antara mereka.
"Apa ada yang mengecewakanmu?" tanyanya lagi yang mencoba menebak isi hati Apollo.
"Tidak. Mereka begitu dermawan seperti biasanya," jawab dewa itu yang kembali bungkam.
Asklepios menoleh, dia baru menyadari mata Apollo yang tampak bengkak dan sembab. Kesuraman itu menggores wajahnya yang sempurna. Memantulkan kecacatan Apollo yang nyaris tidak pernah terlihat.
"Seseorang terluka karenaku," ungkap Apollo dengan mata emasnya yang berkabut. "Aku dapat melihat segala hal, tapi aku selalu gagal untuk mencegah apa yang akan terjadi setelahnya. Mungkin jika aku bisa menahannya lebih keras, gadis itu tidak akan merasakan dinginnya arus yang mencekam."
Dahi Asklepios mengernyit tipis ketika menghubungkan titik demi titik yang diutarakan Apollo. Biasanya dia tidak mau ikut campur dengan urusan pribadi ayahnya, tetapi gadis yang disebutkannya itu tampak sekali memiliki posisi khusus di hatinya. Kira-kira siapa dia?
"Setidaknya kau sudah berusaha. Kau mungkin juga sudah melakukan sesuatu untuknya setelah itu," tanggap Asklepios.
"Aku memang berhasil menyelamatkannya, tapi rasa bersalahku tidak bisa hilang."
"Mungkin kau tidak bisa mengubah hal yang sudah terjadi, tapi kau bisa memperbaikinya mulai dari sekarang. Fokus dengan keadaannya saat ini adalah hal terbaik yang bisa kau lakukan untuk masa mendatang," ujar Asklepios.
"Kau terdengar sangat bijak sekarang," kekeh Apollo hingga air mata jatuh di ekor matanya.
"Aku belajar darimu dan juga Chiron," jawab Asklepios seraya mengambil salah satu botol ramuan dan mengulurkannya pada Apollo. "Campuran akar manis, jahe, dan thyme cukup bagus untuk pemulihan tubuh. Kau bisa menambahkan bahan pelengkap lain sebelum memberikan ramuan ini padanya."
"Kau adalah dokter terbaik, bahkan lebih baik daripada aku," ucap Apollo dengan menepuk pelan pundak putranya. "Terima kasih, Nak."
Asklepios tahu bahwa hal ini terlihat aneh jika dilihat dari kacamata dewasanya, tetapi dia merasakan sebuah nostalgia yang membuat sudut bibirnya tertarik ke atas. "Sama-sama."
"Kita bisa berjumpa dan berbincang lagi kapan saja," ujar Apollo tersenyum lembut. "Aku harus pergi sekarang."
❃❃❃
Seharian beristirahat ternyata belum cukup untuk memulihkan seluruh tenaganya. Dadanya masih terasa sesak saat menarik napas dan rasa nyeri juga masih melengkapi luka di kakinya. Padahal tabib sudah memberinya obat dan merawat lukanya dengan baik, tetapi dia belum kunjung merasakan perubahan yang signifikan.
Untung saja Akalle datang menjenguknya hari ini. Jadinya dia tidak perlu melalui hari-hari yang membosankan. Meskipun harus melalui tangisan drama lebih dulu, tetapi Akalle yang baik hati membawakannya semangkuk sup lentil dan madu yang bagus untuk kesehatan.
"Kau benar-benar membuat jantungku nyaris copot," adu Akalle sambil mengelap sisa air matanya.
Leora terkekeh pelan lalu menikmati sup hangatnya. Dia meniup pelan sendoknya yang masih mengepul sebelum menyeruput isinya. Terasa hangat dan enak.
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu."
"Aku tahu musibah ini memang bukan salahmu, tapi kenapa kau bisa sampai di sana?"
Helaan napas terlepas begitu saja dari bibir Leora. "Entahlah, aku hanya ingin melihat bunga di sebrang sungai dan berakhir jatuh di sana."
"Itu aneh, sangat aneh," tanggap Akalle yang kemudian mendekat padanya dengan senyum lebarnya. "Tapi aku senang kau sudah baikan sekarang. Semuanya berkat pemburu itu."
Leora menghentikan makannya. "Siapa?"
"Kau belum tahu? Pemburu itu yang menyelamatkanmu dari sungai."
"Aetius maksudmu?" sergah Leora.
Akalle mengangguk cepat. "Aku belum pernah melihat orang yang seberani itu. Dia langsung melompat ke dalam air tanpa ragu," paparnya menggebu-gebu. "Saat itu benar-benar seperti keajaiban Dewa. Kakakmu saja sampai tidak percaya saat dia berhasil membawamu keluar dari sana."
Leora kehilangan kata-katanya dalam sekejap. Bahunya sedikit merosot saat baru mengetahui kelengkapan ceritanya. Kini dia semakin merasa bersalah karena memikirkan betapa kecewanya Aetius karena ia sudah merusak rencananya dengan kecelakaan yang ceroboh itu.
"Aku mengacaukan semuanya," sesalnya dengan menarik sedikit rambutnya.
Apa sekarang Aetius masih di Thebes? Leora tidak tahu bagaimana caranya untuk meminta maaf atau berterima kasih padanya. Dia bukan hanya berhutang budi lagi, melainkan juga berhutang nyawa padanya.
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top