10 || Renjana
❃❃❃
MATAHARI tak terasa sudah tergelincir di ufuk barat. Menyebarkan semburat jingganya ke langit senja. Kemarin dia dan Aetius sudah mengelilingi Cadmea seharian hingga lelah. Meraki sebuah ingatan yang rasanya ingin sekali ia ulangi berpuluh-puluh kali lagi.
Malam ini, lampu-lampu minyak sudah kembali menerangi ruang makan mereka. Meja oak panjang yang berlapiskan telapak kulit itu dipenuhi oleh berbagai hidangan hangat. Tercium menggugah selera ketika aroma sedapnya menguar ke seluruh ruangan.
Leora yang duduk di kursinya sedang mengunyah sebutir anggur dengan perlahan. Pikirannya kembali berkelana ke suatu tempat, apakah dia benar-benar akan melihat Daphnephoria bersama Aetius? Kenapa detak jantungnya belum kunjung melambat sejak memikirkan hal itu? Apa dia perlu memeriksakan diri kepada tabib sehabis ini?
"Leora," panggil Arsen yang membuatnya terkesiap.
"Ya?" tolehnya dengan raut bingung.
"Apa yang kau lamunkan?"
"Tidak ada," deham Leora seraya mengambil sepotong roti. "Aku hanya memikirkan hadiah yang akan aku berikan kepada utusan Athena besok lusa," alibinya.
"Kau mengingatkanku untuk menyiapkan hadiah tambahan," desah Arsen.
"Bukankah biasanya memang begitu? Untuk Calista dan suaminya?"
"Bukan hanya untuk mereka, tapi untuk adiknya Theron juga."
Alis Leora terangkat. "Dia akan ikut ke Thebes?"
Arsen mengangguk lalu memperhatikan adiknya sebentar. "Tapi ke mana saja kau seharian kemarin?"
Makan Leora langsung terhenti. Roti yang ia telan itu seolah terganjal di tenggorokan. Dia pun buru-buru meneguk segelas air untuk melegakannya. Setelah berhasil menelannya, dia pun menjawab lirih.
"Hanya berkeliling Cadmea."
"Benarkah? Pergi ke mana saja? Dan dengan siapa? Helota bilang kau pergi dengan seseorang, tapi aku tidak kenal dengan orang yang dia maksud," berondong Arsen dengan banyak pertanyaan sekaligus.
"Aku sedang mengantar seorang tamu ...," jawab Leora yang menjeda kalimatnya cukup lama karena sedikit ragu untuk menjawab semua pertanyaan kakaknya, "namanya Tuan Aetius. Dia seorang pemburu dari Kyklades."
"Dari Kyklades?" Tanda tanya itu tercetak semakin besar di wajah Arsen.
"Dia jauh-jauh datang ke Thebes untuk melihat Daphnephoria, jadi aku menawarinya tempat singgah di istana," ungkap Leora sembari melanjutkan santapannya, berharap kalau Arsen tidak akan bertanya yang aneh-aneh padanya.
"Apa kalian saling kenal, atau dia hanya sebatas tamu saja?" selisik Arsen dengan mata elangnya.
"Bisa dibilang kenal," cicit Leora.
"Kalian pernah bertemu sebelumnya?"
"Ya."
"Kau kenal dia di mana dan kapan?"
"Phocis," jawab Leora sedikit tertunduk, "saat Elaphebolia."
Arsen melebarkan matanya. "Jadi ini yang kedua kalinya?" sergahnya.
Anggukan Leora seketika membuat Arsen kehilangan kata-katanya. Dia terdiam sambil mengamati gestur canggung adiknya. Sepertinya, ada sesuatu yang belum ia ketahui di balik sana.
"Seharusnya kau bilang padaku kalau ingin mengajak tamumu berkeliling Cadmea," desah Arsen berat sambil memotong dagingnya keras-keras, menyalurkan sedikit kekesalannya kepada makanan yang tak bersalah. "Aku kan bisa menemanimu."
"Kau terlalu sibuk akhir-akhir ini."
Piring Arsen berdentang cukup keras ketika pisau makannya sedikit meleset. "Tidak baik bagi seorang gadis untuk berkeliling sendirian dengan orang asing. Lain kali kau bisa meminta Helota atau Timon untuk menemanimu."
Leora hanya mengangguk kecil oleh teguran kakaknya. Jujur saja menuruti sarannya tidaklah buruk, tetapi kadangkala dia ingin pergi sendirian saja. Tanpa dayang atau pengawal yang selalu membuntuti langkahnya.
Selepas kenyang dengan wejangan Arsen yang panjang lebar, Leora memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar ke taman. Menikmati remang-remang cahaya obor sambil merenung tidak jelas. Mengulas kembali beberapa memori yang ia tempa belakangan ini.
Leora berhenti sejenak saat melintasi kanopi kemerahan itu. Ia menengadahkan kepalanya untuk melihat bunga bugenvil yang diterpa cahaya rembulan. Menilik sedikit kenangan hangat yang tertinggal di sana.
"Apa aku akan bertemu denganmu di sini?" gumamnya berandai dengan sedikit ragu.
Leora menggenggam jemarinya ketika perasaan kembali bergumul. Apakah hal semacam ini masih termasuk normal? Ataukah dia mengidap sebuah kelainan? Dia sudah berdoa kepada dewa agar mendapatkan ketenangan, tetapi sepertinya mereka tidak lantas menjawab permohonannya.
Ketika dia masih menyusuri taman dengan langkah kecilnya yang gontai, denting lembut itu membuatnya terpegun. Memecah keheningan malam dengan nada yang akrab. Menggetarkan hatinya yang belum kunjung menemukan ketenangan.
"Apa ada sesuatu, Putri?" tanya Helota yang mengekor di belakangnya.
Leora mengedarkan pandangannya, mencari-cari suatu keberadaan di antara kegelapan yang merambah. Meskipun dia tidak dapat melihat keberadaannya dengan jelas, tetapi ia cukup yakin kalau dia sedang berada di sana. Notasi nyaring yang terdengar saat ini, sama seperti notasi yang pernah ia buat bersama Aetius waktu itu.
"Tidak ada," jawab Leora yang lantas berbalik arah sebelum mereka melihat pipinya yang merona. "Kita kembali saja."
"Tapi Anda bilang ingin jalan-jalan sebelum tidur."
"Anginnya sedikit kencang, aku tidak ingin sakit sebelum melihat festival," dalihnya yang langsung melangkah dengan cepat sebelum debaran itu menguasai hatinya.
❃❃❃
Di bawah remang-remang cahaya bulan, Aetius menggerakkan jari gemulainya di atas dawai. Merangkai nada-nada lembut sambil memandangi hamparan malam. Bersenandung lirih bersama taburan bintang-bintang yang gemerlap di angkasa.
"Biru laut yang dalam itu semakin menenggelamkan diriku," gumamnya lirih ketika mimpi-mimpi itu kembali bermuncul dalam penglihatannya beberapa waktu terakhir. Merangkainya ke dalam melodi yang sempat mereka gubah waktu itu.
"Kilau matahari tidak akan membakarnya, tetapi akan membuat cahayanya semakin terang di cakrawala."
Nada-nada indah masih berdansa di jemari Aetius meskipun setitik kekeruhan menyambangi benaknya. Dia berusaha untuk tetap fokus merangkai sajaknya yang indah, tetapi petikan liranya justru terhenti begitu saja. Saat napas beratnya berembus, dia pun merebahkan tubuhnya ke rerumputan dengan kasar. Merasa sudah menyerah untuk menyangkal semua hal yang sudah mengobrak-abrik pikirannya.
"Sepertinya aku harus berkonsultasi," gumamnya merasakan semua kebimbangan yang berputar di sekelilingnya. Setidaknya, jika dia bisa berbagi sedikit ceritanya kepada orang yang terpercaya, dia bisa mengurangi beban yang mengganjal hatinya.
Tangan Aetius terangkat ke atas, menutupi sebagian wajahnya yang menghadap gemintang. Ia membalikkan punggung tangannya, seperti hendak meraih semesta. Namun, apa yang ia lihat saat ini sepertinya tidak akan mudah untuk didapatkan meskipun sudah berada di depan mata.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Pikirannya tiba-tiba terhempas ke kejadian kemarin. Jujur saja gadis itu sangat cocok dengan warna cerah yang membalut tubuhnya. Apalagi saat dipadukan dengan senyum hangat yang terpatri manis di bibirnya tipisnya, rasanya ia hampir jatuh berlutut karena jantungnya seketika berdebar tak karuan.
Apa Leora menyadari sikapnya yang aneh? Apa dia sempat menangkap wajahnya yang merona kala itu? Aetius menutupi pipinya yang memerah lalu mengusap wajahnya kasar. Konsentrasinya memang selalu terganggu hanya dengan memikirkannya.
"Fokus. Kau harus mencari ramalan lain sebelum Daphnephoria," desahnya berat.
Dia hampir kehabisan waktu. Jika sampai belum ada penglihatan yang menggantikannya, dia tidak tahu harus berbuat apa. Berbohong pun rasanya tidak akan ia lakukan meskipun berada di jalan yang buntu.
Aetius kemudian memejamkan matanya sambil memegangi dadanya yang berdebar. Setelah memeriksanya berulang kali pun, penglihatan itu selalu sama. Dia yakin kalau perasaan yang tumbuh ini bukanlah kepalsuan dan tipu daya, melainkan sesuatu yang murni yang mengalir semakin deras dari hari ke hari.
Dia kemudian membuka matanya, memandangi rembulan dengan kilatan mata emasnya. Baru imi dia sadar kalau pemandangan dari bawah sini ternyata sama indahnya dengan di atas sana. "Artemis, aku harap kau tidak membuat malam ini menjadi terlalu panjang."
❃❃❃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top