PART. 9 - MOVING
Akhirnya, lapak ini bisa diupdate 😅
Maaf jika sudah membuat kalian menunggu terlalu lama.
Happy reading.
"Obaa-Chan!" seru Ally dengan rasa haru yang menyeruak sambil berlari menghampiri neneknya dengan dua tangan yang terbuka lebar.
Sama sekali tidak menyangka jika neneknya akan hadir, Ally menangis terisak sambil memeluk erat Mariko Yoshizawa, nenek dari pihak ibunya, dan juga satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini. Kini pertanyaan tentang Ashton yang pergi tanpa kabar pun terjawab. Ashton datang menjemput Mariko secara pribadi dan menjadikan kehadirannya sebagai kejutan.
"Aku merindukanmu. Kau tidak tahu jika aku begitu berduka dan aku sudah yatim piatu," isak Ally dalam bahasa jepangnya yang fasih.
Bersama Mariko, Ally akan menggunakan bahasa ibunya untuk berkomunikasi. Itulah caranya menghargai keragaman budaya yang ada dalam keluarganya.
"Aku tahu, maaf jika aku baru mendatangimu," jawab Mariko penuh kasih.
"Apa kau mencemaskanku?" tanya Ally sambil melepas pelukan dan membungkuk perlahan untuk menyamakan posisi kepala.
"Tentu saja, Cucu Bodoh! Mendengar kabar dari Bams saja aku sudah tidak tenang tapi keadaan menuntutku harus menunggu. Sampai akhirnya, calon suamimu menjemputku," jawab Mariko dengan nada ketus.
Tertegun, juga tidak percaya. Seumur hidupnya, Ally tahu jika Mariko tidak pernah mau menginjakkan kaki ke Lawrenceville oleh karena dia tidak menyetujui putri semata wayangnya menikah dengan Jonathan Smith. Meski begitu, Ally diterima dan diakui sebagai cucu oleh Mariko meski wajahnya lebih condong ke wajah ayahnya. Dan hari ini adalah pertama kalinya Mariko datang dan itu membuat Ally bahagia.
"Kenapa kau sampai mau datang kesini, Obaa-Chan? Kupikir kau akan menolak keras tentang hal ini," tanya Ally kemudian.
"Aku selalu memiliki cara, Sayang," celetuk Ashton sambil merangkul pinggang Ally dan mencium pipi Mariko dengan hangat.
Terkesiap, Ally menoleh pada Ashton dan melirik pada Mariko dengan tatapan waspada, sebab Mariko tidak menyukai kedekatan seperti ini bahkan memberi aturan pada ayahnya untuk tidak berdiri kurang dari tiga meter darinya.
"Tentu saja dengan bantuanku, Ally," cetus Bams sambil terkekeh.
"Pantas saja kau tidak terlihat dan ternyata bersekongkol dengannya," ucap Ally sambil menggelengkan kepala.
"Ini adalah kejutan untukmu karena aku tahu kau merindukan nenekmu. Lagi pula, ini adalah acara penting dan aku menginginkan Mariko datang sebagai saksi pertunangan kita, bukan begitu, Obaa-Chan?" ucap Ashton sambil melebarkan senyuman.
Alis Ally terangkat saat mendengar Ashton bisa berbahasa jepang dan berkomunikasi dengan Mariko seolah sudah kenal begitu dekat.
"Aku turut senang dengan pilihanmu, Ally-Chan. Dia sangat sopan dan meminta ijinku terlebih dahulu, tidak seperti Jonathan yang membawa putriku diam-diam dan kembali datang padaku dengan kau yang sudah ada dalam kandungan ibumu," cetus Mariko dingin.
Ally terdiam mendengar ucapan Mariko yang sepertinya tidak akan bisa memaafkan ayahnya meski sudah tidak ada sekalipun. Seperti menyadari sikap diam Ally, Bams mengarahkan Mariko dan yang lainnya untuk menikmati makan malam. Ashton pun demikian.
"Maafkan aku jika membuatmu sedih," bisik Ashton saat mereka sudah duduk bersisihan di meja makan.
"Bisakah kau melakukan sesuatu untukku?" tanya Ally dengan ekspresi penuh harap dan Ashton mengangguk sebagai jawaban.
"Aku tahu jika kau dan nenekku tidak menyukai ayahku, tapi bagiku, dia sangat perhatian dan penyayang dalam keluarga. Kumohon, setidaknya hargai dirinya dengan tidak terus berkata jahat agar dia bisa tenang dalam istirahat panjangnya," ucap Ally dengan suara gemetar.
Ashton langsung mengangguk dan meraih satu tangan Ally untuk mengecup punggung tangannya dengan dalam. "Maafkan aku."
Acara pertunangan itu masih berlangsung sekitar dua jam kemudian dan diakhiri dengan pesta kembang api yang meriah. Ally tidak menyukai pesta yang dibuat disaat dirinya masih berduka. Tidak mengerti dengan niat Ashton untuk membuat semua ini. Meski demikian, Ashton terus mendampinginya untuk menghadapi para tamu undangan yang kebanyakan tidak disukai Ally.
"Ms. Smith, Anda diminta untuk segera kembali ke kamar saat ini," ucap Paul yang ternyata sudah ada di belakang Ally.
Ally menoleh dan menatapnya selama beberapa saat, lalu kembali melihat Ashton yang tampak sedang berbicara tidak jauh darinya dengan seorang tamu yang bernama Bobby Richardson di sana.
"Apa kau mengenal tamu itu, Paul? Aku tidak menyukai kesan yang ditampilkan," tanya Ally kemudian.
"Jika kau berpikir demikian, maka kembalilah ke kamar," balas Paul datar.
"Bagaimana dengan Ashton? Sepertinya dia..."
"Dia akan baik-baik saja. Kuharap kau bisa bekerjasama, silahkan," sela Paul tajam sambil mengarahkan tangan agar Ally segera berjalan.
"Nenekku..."
"Dia sudah diantar ke kamar tamu untuk beristirahat," sela Paul lagi.
"Dan tidak memberitahuku? Di kamar mana?" tanya Ally lagi.
Paul membalas pertanyaan Ally dengan tatapan dingin dan sorot mata seolah tidak ingin dibantah. Hal itu membuat Ally terdiam dan segera berjalan tanpa pertanyaan lagi.
"Apakah harus seperti ini penjagaan yang kalian lakukan? Aku merasa seperti penjahat," ucap Ally dengan suara nyaris berbisik oleh karena rasa cemas yang mulai menghinggap, terlebih lagi melihat sikap dingin yang ditampilkan Paul saat ini.
"Kami melakukan semua ini untuk keselamatanmu, Ms. Smith," jawab Paul dalam suara rendah sambil berjalan mendampingi Ally untuk menuju ke kamarnya.
Ally bahkan tidak mengerti dengan semua perlakuan ini. Jawaban yang diberikan selalu berurusan dengan keselamatan, keamanan, dan perlindungan. Apa yang terjadi sebenarnya? Batin Ally cemas. Berbagai pikiran tentang rencana pembunuhan, bisnis dan politik, juga balas dendam mengisi kepala Ally.
"Apa aku menjadi incaran dan sedang terancam?" tanya Ally sambil menghentikan langkah.
Paul tampak mendengus dan menatap Ally tanpa ekspresi. "Kami tidak wajib untuk menjawab pertanyaan, sedangkan Anda wajib untuk bekerjasama tanpa perlu bertanya, Ms. Smith. Lanjutkan untuk menuju ke kamar sekarang."
Ally kembali melanjutkan Langkah untuk menuju ke kamar dengan berbagai macam pikiran sekarang. Satu-satunya cara adalah bertanya pada Ashton secara langsung, karena itu dirinya langsung mendapatkan ide agar pria itu mau memberikan jawaban, yaitu menggoda pria itu karena hanya itu satu-satunya cara yang sanggup dipikirkannya.
Begitu tiba di kamar dan Paul mengatakan jika Ashton akan menyusul, Ally segera menutup pintu dan membersihkan dirinya secepat mungkin. Rasa lelah mulai menghinggap karena dia merasa kurang tidur tapi dia perlu tetap sadar untuk mendapatkan jawaban yang diperlukan.
Setelah mengeringkan tubuh dan melilitkan handuk, Ally segera menuju ke ruang kloset untuk mengambil pakaian. Keningnya berkerut saat melihat lemari itu kosong dan tidak ada satupun pakaiannya yang tersisa. Dia sangat yakin jika lemarinya masih terisi penuh sesaat sebelum dirias tadi siang.
Menggeram pelan, Ally membuka semua lemari di ruangan itu dan mendapatinya kosong. Melihat sekeliling dan terlihat sebuah pakaian yang diletakkan di sofa besar yang ada di sudut ruang kloset itu.
Segera mendekat, Ally mendapati sebuah terusan yang sesuai ukurannya, berikut dengan pakaian dalamnya. Ally merutuk sambil memakai pakaian itu dengan berbagai rapalan yang akan dia semburkan saat melihat Ashton nanti. Lagi=lagi pria itu melakukan sesuatu yang membuatnya harus terus merasa kebingungan.
Begitu selesai berpakaian dan memakai krim malamnya, Ally segera keluar dari ruangan itu dan tersentak saat mendapati sosok Ashton sedang berdiri menjulang dengan posisi menghadap jendela.
Seperti merasakan kehadiran Ally, Ashton berbalik dan menatap Ally. Mengerjap cepat, Ally memperhatikan penampilan yang begitu berbeda. Pria itu sudah melepas tuxedo-nya dan memakai pakaian serba hitam dengan jaket kulit yang menambah prnampilannya menjadi rupawan sekaligus bahaya disaat yang bersamaan.
Ally bertanya dalam hati apakah Ashton memang sudah mempesona seperti itu karena saat ini, jantungnya berdegup kencang sekali dan napasnya memberat.
"Aku sudah bisa menduga jika kau akan semakin cantik jika mengenakan gaun itu," ucap Ashton sambil tersenyum miring.
"Apa yang kau lakukan pada semua pakaianku, Ashton? Dan kenapa hanya gaun ini yang ada di dalam sana? Apa maumu? Apa aku juga tidak diijinkan untuk sekedar beristirahat karena sudah merasa lelah menjadi badutmu seharian?" tanya Ally dengan setumpuk emosi yang tertahan.
Ashton hanya menyeringai dan mulai melangkah untuk mendekatinya dimana Ally langsung mundur menjauh.
"Jangan mendekat!" seru Ally sambil menunjuk kasar.
Berhenti sejenak, Ashton menatap Ally dari atas hingga ke bawah, lalu kembali menatapnya sambil tersenyum miring untuk melangkah mendekatinya dengan langkah besar. Memekik pelan, Ally tidak mampu menghindar dari cengkeraman Ashton yang langsung menariknya dan jatuh dalam dekapannya.
"Sudah berapa kali kubilang untuk tidak marah padaku? Karena setiap kali kau marah, aku semakin bernafsu dan menginginkanmu, Cantik," bisik Ashton dengan suara dalam.
Ally menahan napas saat bibir Ashton menyusuri lekuk lehernya dan mulai mencium disana sambil mengusap lembut punggung, pinggang, lalu berlanjut ke bokong dan meremas lembut disana. Sentuhan Ashton mulai membuatnya limbung dan ciumannya semakin liar, Ally berusaha kuat untuk tidak mengerang.
"Ashton, tolong hentikan, kita perlu bicara," ucap Ally dengan suara terengah dan beruasha menarik diri untuk sekedar mengambil napas.
"Itu bisa menunggu," ucap Ashton sambil mengadukan kening dan menatapnya dalam. "Kau membutuhkan istirahat."
"Dengan pakaian seperti ini?" tanya Ally bingung.
"Hanya sementara karena kita akan segera berangkat ke Chicago," jawab Ashton lugas.
"Apa maksudmu? Aku tidak akan meninggalkan mansion ini sebelum urusanku selesai," desis Ally cepat.
"Urusanmu sudah selesai karena kita sudah bertunangan. Kau harus ikut kemanapun aku pergi dimulai dari sekarang. Aku tidak akan meninggalkanmu sejengkal pun, Ally," balas Ashton.
"Mansion ini adalah peninggalan orangtuaku dan..."
"Mansion ini sudah menjadi milikku dan kau tidak perlu tinggal disini lagi. Dimanapun aku berada, kau pun berada," sela Ashton tajam.
"Aku tidak menyukai ketentuan seperti itu," sahut Ally.
"Sayangnya, hanya itulah satu-satunya pilihan terbaik untukmu, Sayang. Jangan memulai, aku tidak menyukai adanya argumen yang membuang waktu. Kau tidak mempunyai pilihan, ingat?" tegas Ashton dengan ekspresi tidak suka.
Ally menatap Ashton dengan perasaan campur aduk dan tidak tahu harus berbuat apa karena pria ini terlalu sulit untuk digoyahkan. Menghela napas, Ally memberanikan diri untuk kembali mendekatkan diri dan memeluk pinggang Ashton yang dibalas dengan tatapan penuh curiga dari Ashton.
"Bisakah kita bernegosiasi dengan aku mengajukan syarat?" tanya Ally dan membuat Ashton langsung tergelak hambar.
"Sudah kukatakan kau tidak mempunyai pilihan, apalagi bernegosiasi, Ally. Dan sikap manismu seperti ini sama sekali tidak berguna, maaf sekali," ucap Ashton sambil merangkul Ally dengan erat. "Kau milikku, dan aku berhak melakukan apa saja padamu."
"Aku hanya ingin mencoba menyampaikan satu syarat saja. Jika kau menyanggupinya, aku akan menurut padamu," balas Ally langsung.
"Katakan saja," ujar Ashton yang tampak tidak senang dengan uluran waktu yang dilakukan Ally.
Menarik napas, Ally tampak gugup sambil mengawasi ekspresi Ashton saat ini.
"Aku ingin kau bersikap layaknya seorang kekasih yang baik, yang akan mengabariku kemanapun kau pergi, dan jika ingin melakukan sesuatu, kau bisa memberitahuku sebelumnya tanpa harus kebingungan dan merasa cemas seperti ini. Sebagai balasannya, aku akan menurut padamu," ucap Ally dengan suara bergetar.
Ashton mengerutkan kening lalu memiringkan kepala sambil menatap Ally dengan penuh penilaian, hal itu membuat Ally semakin gugup.
"Kau adalah orang yang keras kepala dan tidak pernah tunduk pada siapapun, Tuan Puteri. Jadi, bagian darimananya aku bisa percaya padamu tentang menjadi penurut?" tanya Ashton dengan nada menyindir.
Ally merasa tersinggung dengan keraguan yang ditampilkan Ashton padanya. Berbicara dengan pria itu membuatnya semakin merasa lelah.
"Seperti yang kau katakan jika aku tidak mempunyai pilihan, dan aku bukan orang yang mengingkar ucapan, jadi mari kita lihat siapa yang bisa memegang ucapannya," desis Ally geram.
Ashton memberi senyum setengah yang terlihat begitu menyebalkan di mata Ally seolah mengejeknya. "Tekad yang cukup mengerikan tapi aku tidak harus menyetujui hal itu. Saatnya berangkat, Sayang."
Ally menghela napas sambil mengikuti Ashton yang sudah menggandengnya untuk keluar dari kamar itu. Suasana mansion sudah tidak ramai dan begitu hening seperti biasanya. Begitu cepat dibereskan dalam waktu singkat untuk setiap dekorasi yang tadinya masih terlihat oleh Ally sekitar sejam yang lalu.
"Dimana Obaa-Chan?" tanya Ally saat mereka menuruni anak tangga.
"Sudah kembali ke Tokyo bersama dengan Bams," jawab Ashton yang membuat Ally tersentak dan menghentikan langkahnya.
"Kenapa Obaa-Chan sudah pulang? Aku bahkan belum sempat mengobrol banyak dengannya dan...aku yakin jika tadi Paul mengatakan bahwa Obaa-Chan sedang beristirahat!" seru Ally.
"Kita akan berkunjung kesana nantinya, Ally. Saat ini, kita harus segera berangkat ke Chicago," ucap Ashton dengan nada tidak sabar.
"Kenapa kau terus melakukan hal yang membuatku seperti orang tolol yang harus mengikuti kemauanmu?" tanya Ally lirih.
Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan menyeka airmatanya dengan kasar. Emosinya sudah tidak terbendung untuk setiap hal yang terjadi secara mendadak dan terlalu banyak kebetulan yang tidak masuk akal.
Untuk itu Ally melanjutkan langkahnya untuk menuruni tangga dengan cepat dan tidak mengindahkan Ashton yang masih dibelakangnya. Dia sudah sangat lelah dan merasa begitu muak. Saat sudah tiba di lobby, Ally melihat Bernadette dan segera memeluknya erat sambil menumpahkan isak tangisnya disana.
"Jangan menangis, ikutlah dengan Ashton, aku akan menjaga mansion ini untukmu," ucap Bernadette menenangkan.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi," bisik Ally lirih.
Bernadette menarik diri dan mengusap airmata di kedua pipi Ally dengan lembut sambil menatapnya sendu. "Kau akan baik-baik saja, Ally. Maafkan aku jika tidak bisa menemanimu dan membawamu dalam situasi seperti ini."
Ucapan Bernadette dalam suara rendah yang hanya bisa didengar Ally membuatnya semakin tidak mengerti. Meski begitu, Bernadette tersenyum sambil mengusap naik turun sisi wajahnya dengan penuh kasih.
"Kau sudah sebesar dan secantik ini, Ally. Aku menyayangimu," ucap Bernadatte hangat.
Ally kembali terisak dan mengangguk sebagai balasan. Dia memeluk Bernadette sekali lagi dalam pelukan yang lebih erat dari sebelumnya, kemudian berbalik untuk menuju ke mobil dengan pintu belakang yang sudah terbuka untuknya.
Melihat Paul yang menganggukkan kepala tepat di sisi mobil itu, langkah Ally terhenti untuk menatap pria bertubuh besar dan berkepala plontos itu.
"Apa kau akan ikut dengan kami?" tanya Ally.
"Tidak, aku akan berjaga disini. Akan ada Lion yang ikut serta dengan Anda, Ms. Smith," jawab Paul datar.
Ally kembali merasa emosional dengan terisak pelan dan langsung melakukan sesuatu yang membuat napas Ashton tertahan, begitu juga dengan Paul. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat Ally memeluknya dan Ashton yang melotot geram padanya.
"Terima kasih untuk semuanya, kuharap aku bisa bertemu kembali denganmu," ucap Ally serak dan melepas pelukan sambil menatap Paul dengan ekspresi cemas. "Jaga dirimu baik-baik."
Paul mengangguk dan masih dengan ekspresinya yang begitu datar. "Sudah merupakan tugasku."
Ally berbalik dan mendapati Ashton menatap tajam dirinya dan Paul bergantian, terlihat ingin segera menumpahkan amarah tapi Ally sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman yang cukup dalam.
"Ayo kita berangkat, Bajingan," desis Ally setelah menyudahi ciuman itu dan segera masuk ke dalam mobil itu.
"Aku tidak percaya jika calon istriku memeluk kepala penjaga di depan mataku sendiri," omel Ashton saat mereka sudah masuk dan duduk bersisihan di kursi belakang.
"Apa kau kaget dan tidak percaya, Ashton?" tanya Ally dengan pelan.
"Kaget? Tidak percaya? Aku justru ingin menghajarnya habis-habisan!" balas Ashton dengan ekspresi tidak terima.
"Seperti itulah rasanya jika kau bersikap semaumu padaku," sahut Ally dengan satu alis terangkat dan membuang tatapan keluar jendela saat mendengar Ashton mengumpat pelan.
Dengan perasaan yang tidak nyaman, juga pikiran yang berkecamuk, Ally melihat jalan Lawrenceville yang entah kenapa terlihat menakutkan baginya saat ini. Keberadaannya di kota kelahirannya justru membahayakan dan membuatnya tidak aman, apalagi posisi dirinya yang menjadi satu-satunya yang tersisa dari Smith.
Mencoba mengingat silsilah keluarga ayahnya, dia sudah tidak lagi memiliki kakek dan nenek. Ayahnya hanya memiliki seorang adik yang bernama Jeremiah dan itupun sudah tiada. Anak dan istri dari pamannya entah kemana sejak kematian pamannya itu, mereka seolah menghilang begitu saja. Sudah tidak begitu mengingat oleh karena hal itu sudah lama sekali dan Ally tidak bisa mengingatnya.
Memeluk diri sendiri, Ally merasakan rasa cemas yang kembali menyerang, juga rasa takut yang tiba-tiba menghinggap. Dia menjadi tidak nyaman dan gelisah.
"Hey, kau baik-baik saja?" tanya Ashton yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya dan memeluknya begitu saja. "Apa kau kedinginan?"
Ally menggeleng pelan dan tetap menatap keluar jendela dalam diam. Tertegun dan segera menegakkan tubuh saat mobil yang mereka tumpangi melewati perkebunan Smith. Dia melihat perkebunan yang bekas terbakar kini sudah dibersihkan dan ditanam bibit sawit baru, juga adanya pemasangan lampu sehingga area perkebunan menjadi terang dan tidak terlihat menakutkan.
"Apa kau melakukan semua ini?" tanya Ally sambil menoleh pada Ashton.
Ashton menatap perkebunan sambil mengangguk. "Sudah kubilang jika aku akan mengurus perkebunan sialan ini, bukan? Tenanglah, aku akan menjaga apa yang sudah seharusnya menjadi milikmu, Ally."
Tanpa sadar, Ally bersingsut mendekat dan memeluk Ashton sambil menggumamkan terima kasih dengan rasa haru yang memenuhi hatinya. Mereka berpelukan selama sisa perjalanan sampai pada ujung perkebunan yang menjadi landasan jet pribadi milik Ashton.
Ally mengikuti Ashton yang keluar dari mobil, menunggu beberapa saat ketika Ashton mengucapkan beberapa perintah pada para penjaga yang mengikuti mereka, kemudian membimbingnya masuk ke dalam jet itu. Lion mendampingi mereka kali ini.
Saat sudah masuk ke dalam jet itu, Ally tidak melihat kesan pesawat di dalamnya, melainkan seperti suasana rumah yang menyenangkan dengan ruang duduk yang lengkap dengan sofa, televisi, dan perlengkapan lainnya. Melewati ruangan itu, ada sebuah pintu dan Ashton membuka untuknya. Tampak sebuah kamar tidur yang dengan dekorasi hitam dan abu disana.
"Aku tidak pernah melihat hal seperti ini dalam hidupku," ucap Ally dengan tatapan takjub saat melihat sekelilingnya.
"Biasakanlah mulai dari sekarang, Sayang," ujar Ashton sambil memeluknya dari belakang. "Semua hal ini adalah milikmu juga."
Ally berbalik dan menatap Ashton heran. "Kenapa aku harus ikut denganmu ke Chicago? Dan apa yang terjadi sekarang? Apa kau sama sekali tidak ingin mengatakan alasannya? Atau selamanya aku tidak akan tahu apapun mengenai hal ini?"
"Kau akan tahu nanti tapi tidak untuk hari ini. Namun yang pasti, Chicago adalah rumahku dan kau ikut denganku. Aku membawamu pulang," jawab Ashton serius.
Ally terdiam. Entah kenapa perasaan senang tiba-tiba menghinggap saat Ashton mengucapkan kalimat terakhir. Ashton membawanya pulang ke rumah, yang berarti dia akan melihat sisi personal pria itu lebih jauh.
Ditambah lagi, sosok Ashton yang terlihat lebih menarik saat ini dengan sepasang mata birunya yang memikat, alisnya yang tegas, hidungnya yang tinggi, dan bibirnya yang penuh. Ally mendekat tanpa sadar sambil menyentuh bakal jenggot tipis yang memenuhi rahang kokoh itu. Perasaannya menghangat.
"Apa kau mulai menyukaiku, Sayang?" tanya Ashton lembut.
"Entahlah," jawab Ally jujur.
Ashton tersenyum dan mencium kening Ally dengan dalam. "Istirahatlah, Sayang. Sesampainya di Chicago, kita akan berbicara."
Ally mengangguk saja karena dia sudah sangat lelah. Matanya terasa memberat dan membiarkan Ashton menurunkan risleting gaunnya, melepaskan terusannya, dan hanya menyisakan pakaian dalam saja. Ashton membimbingnya untuk ke ranjang dan menyelimutinya dengan selimut yang hangat.
"Beristirahatlah lebih dulu, aku akan menemanimu setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di ruang kerjaku," bisik Ashton lembut dan mencium pipinya.
Mengangguk pelan sebagai balasan, Ally memejamkan mata dan langsung terlelap begitu saja.
Semoga aku bisa rajin buat update untuk kedepannya ya.
Semoga juga ini bukan PHP.
Have a good night, Fellas. 💜
31.10.23 (22.50)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top