PART. 20 - THE WEDDING.
Harusnya aku update kemarin tapi ternyata aku udah tepar jadi baru bisa sekarang hehe...
Aku nggak sempet revisi lagi ya, jadi kalau ada typo tolong bantu komen aja biar aku nanti betulin.
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Semakin gelisah, itulah yang dirasakan Ally dengan perasaan tidak menentu. Dia masih tidak percaya jika dalam hitungan menit, dia akan menjadi istri dari Ashton. Kenyataan hidup yang dijalani saat ini masih terasa seperti mimpi karena begitu cepat.
"Ally," panggil Bernadette yang membuatnya spontan menoleh.
"Bernadette," balas Ally dengan suara gemetar. "Sebentar lagi, aku akan menikah."
Saat dirinya membuka suara, rasa panik menghantam dirinya hingga membuat perutnya bergejolak. Mencoba mengalihkan perhatian dengan mengobrol apa saja dengan Petra, tapi itu tidak berhasil. Dia bahkan belum melihat Ashton sejak kemarin karena pria itu begitu sibuk dengan urusannya.
"Tenanglah," kata Bernadette pelan. "Bukankah kau mencintainya dan sudah menyiapkan hatimu untuk menerimanya?"
"Aku tidak tahu," balas Ally sambil menggelengkan kepala dengan ekspresi seperti yang dia katakan.
Bernadette tersenyum menanggapi sambil membelai pipi Ally dengan lembut. "Aku juga tidak menyangka jika hal ini bisa terjadi karena kukira dia hanya menjadikan wanitanya tanpa diresmikan seperti ini. Apa kau tidak merasa ada yang janggal disini?"
"Ashton pernah bilang jika dia menikahiku karena..."
"Mrs. Tristan," sela Paul yang membuat ucapan Ally terhenti dan membuat keduanya menoleh padanya.
"Sudah waktunya," lanjut Paul tegas sambil mendelik tajam pada Bernadette tanpa ekspresi, kemudian kembali menatap Ally dengan tajam.
Ally kembali panik dan berusaha menarik napas untuk menghilangkan kepanikannya. "Apa kau menemaniku berjalan kesana untuk menggantikan ayahku?"
"Tentu saja," balas Paul sambil mengangguk.
Ally membiarkan Bernadette membantu untuk merapikan gaunnya sementara Paul memperhatikan Bernadette yang tampak diam dengan sibuk menunduk untuk membetulkan letak gaun Ally disana.
"Apakah nenekku hadir?" tanya Ally dengan wajah penuh harap dan langsung mendesah kecewa saat melihat Paul langsung menggelengkan kepala.
"Beliau akan menyaksikan secara langsung lewat panggilan video yang dilakukan oleh salah satu penjaga karena kurang sehat. Kau tidak perlu mencemaskannya karena nanti beliau akan menghubungimu," jawab Paul kemudian.
"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Ally cemas.
"Tidak usah cemas karena beliau baik-baik saja," balas Paul datar sambil menatap sekeliling dengan delikan tajam.
Tentu saja, Ally merasa sedih karena tidak adanya kehadiran dari pihak keluarganya untuk acara pernikahannya. Dia kembali merasa sendirian dan tidak memiliki siapapun di dunia ini.
"Ada apa, Ally? Kenapa kau melamun?" tanya Bernadette sambil membelai pipinya kembali.
"Aku merasa sebatang kara karena tidak adanya keluarga yang menemaniku," jawab Ally lirih.
Kembali tersenyum, Bernadette memperhatikan Ally dengan seksama. "Jika kubilang kau masih memiliki keluarga, apa kau percaya?"
Mata Ally melebar kaget sambil menatap Bernadette tidak percaya.
"Siapa maksudmu?" tanya Ally.
"Ayahmu memiliki seorang adik yang Bernama Jeremiah Smith," jawab Bernadette kemudian.
Kening Ally berkerut sambil mengingat sosok paman yang sudah tiada sejak dirinya masih kecil. Seingatnya, paman itu memiliki istri dan seorang anak tapi mereka pergi meninggalkan Lawrenceville sepeninggal pamannya itu.
"Bukankah dia sudah tidak ada?" tanya Ally ragu.
"Tapi anak dan istrinya masih ada. Mungkin kau lupa jika kau masih memiliki sepupu bernama Adelle, dia seumuran denganmu dan dia sudah menikah," jawab Bernadette senang.
"Adelle? Dimana mereka?" tanya Ally yang semakin bingung dengan adanya berita yang baru didengarnya.
"Mereka..."
"Mrs. Tristan, waktunya sudah tiba!" sela Paul yang tahu-tahu sudah ada di sisi Ally dan menariknya pelan untuk menjauh dari Bernadette sambil menatap wanita tua itu dengan tajam.
"Tunggu, Paul, aku masih berbicara dengan Bernadette," balas Ally sambil menatap Paul.
"Itu bisa nanti," sahut Paul tegas dan kemudian mendelik tajam pada Bernadette sebelum akhirnya bersuara dengan penuh penekanan. "Dan kau tidak seharusnya masih disini mengingat acara sudah dimulai. Duduklah di kursimu dan kita lihat apa yang akan terjadi nanti."
Ally terlihat bingung dengan sikap sinis Paul yang dilayangkan pada Bernadette padahal Wanita tua itu berusaha ramah dan tersenyum kepada para penjaga.
"Kau tidak boleh bersikap kasar padanya," tegur Ally sambil menatap Paul tegas.
"Tidak apa-apa, Ally. Dia benar, aku seharusnya kembali ke kursi. Kuucapkan selamat untuk pernikahanmu. Dan, maafkan aku," ujar Bernadette hangat sambil mencium pipi Ally dan membiarkan seorang penjaga membawanya keluar dari ruangan itu.
Ally menatap kepergian Bernadette dengan bingung dan perasaan yang campur aduk. Perlahan, emosinya menguar dengan amarah yang entah datang darimana. Dia merasa perlu melakukan sesuatu tapi cekalan di lengannya membuatnya tersentak dan menoleh Paul dengan ekspresi marah.
"Lepaskan aku!" desis Ally tajam.
"Tidak! Aku tidak akan melepasmu! Kau tidak tahu apa yang sedang ada di hadapanmu, jadi berhentilah memberontak karena itu akan merugikan dirimu sendiri. Penyesalan memang selalu datang terlambat tapi bisa dicegah dengan mengikuti apa yang ditunjukkan padamu," balas Paul dingin.
"Bagaimana aku bisa tahu jika tidak ada yang memberitahuku selain terus menyuruhku untuk waspada seperti ini? Aku benci dengan kebohongan yang ditutupi dariku dan..."
"Bernadette, pelayan tua yang kau hormati itu sudah mengkhianatimu dan itulah kenyataan yang akan kau sangkal, Ally! Itulah alasannya dia meminta maaf padamu dan dengan sengaja memberitahukan tentang masih adanya keluarga yang kau miliki agar kau memberontak dan mengacaukan pernikahan. Saat ini, dia sudah diamankan dan tidak usah cemaskan wanita tua itu. Kini kau sudah mengetahuinya dariku, lantas apa yang akan kau lakukan? Tidak percaya padaku dan berniat untuk kabur sekarang? Sekali-kali jangan lakukan itu karena aku tidak akan tinggal diam," sela Paul dengan suara tenang tapi tatapannya menusuk sambil memicing tajam dan penuh penekanan.
"I-Itu tidak mungkin," balas Ally dengan suara tercekat.
"Yeah, sangat normal jika kau tidak percaya tapi aku tidak peduli. Saat ini, bekerja samalah dengan kami karena aku sudah menjawab pertanyaanmu untuk berjalan ke altar. Perlu diingat jika telingaku sudah berdenging karena suamimu adalah orang yang tidak sabaran," sahut Paul sambil menarik pinggang Ally untuk berjalan disisinya sambil keluar meninggalkan ruangan itu.
"Tapi..."
"Dengar baik-baik, Ally!" sela Paul tajam. "Lihat sekelilingmu. Kau pikir untuk apa kami semua berkumpul dengan semua atribut dan penjagaan ketat seperti ini jika tidak ada sesuatu? Aku yakin jika kau tidak bodoh dan cobalah untuk mencerna apa yang terlihat didepanmu saat ini. Kesampingkan ego dan perasaan, tapi biarkan akalmu bekerja. Saat ini, dirimu sedang terancam dan oknum yang mengincarmu adalah orang yang ingin membalaskan dendam pada orangtuamu."
"A-Apa yang membuat mereka mengincarku, Paul? Orangtuaku sudah tiada," balas Ally dengan suara yang nyaris berbisik saat melihat sekelilingnya dengan panik.
"Karena kau adalah satu-satunya keturunan Jonathan Smith yang masih hidup. Mereka tidak ingin ada yang bersisa darinya di bumi ini. Tenangkan dirimu dan bersikaplah seolah tidak terjadi apa-apa," tukas Paul dengan nada peringatan saat pintu menuju altar sudah dibuka dan mereka berdua menjadi pusat perhatian.
Menarik napas dengan dalam, Ally berusaha terlihat tenang dan bersikap biasa saja meski kedua kakinya terasa lemas dan mencengkeram lengan Paul dengan erat sebagai penguatnya. Dia benar-benar tidak ingin berada disana dan langkahnya terasa semakin memberat saat sudah memasuki ruangan itu.
"Kau akan mendapatkan semua penjelasan dari Sir Ashton, Ally. Meski dia terlihat kejam dan keras kepala, tapi dia sangat peduli dan ingin melindungimu sepenuhnya. Jadi, jalani pernikahan ini dan kau akan aman bersamanya," bisik Paul dengan suara menenangkan.
Ally terdiam dan tatapannya mengarah pada sosok Ashton yang sudah berdiri dengan angkuh di depan sana. Memakai setelan tuksedo seolah pakaian itu tercipta untuknya karena membalut pas di tubuhnya yang atletis. Meski tampan, tapi sorot mata birunya membiusa tajam, ekspresinya sangat datar tapi penuh kendali, terkesan menakutkan tapi tidak membuat Ally gentar. Sebaliknya, dia merasa aman dan perasaannya menghangat.
"Apa kau akan terus menjagaku jika Ashton sibuk dengan urusannya. Paul?" tanya Ally sambil mengikuti langkah Paul dan menoleh padanya.
Paul masih mengedarkan pandangannya dengan ekspresi datarnya tapi mengangguk sebagai respon dari pertanyaan Ally. "Dengan sepenuh hati dan nyawaku sebagai taruhannya."
Ally mengangguk dan kembali menatap Ashton yang tampak tidak suka melihat Paul disana.
"Kenapa dia terlihat tidak senang?" tanya Ally dengan suara berbisik pelan.
"Karena dia cemburu padaku," jawab Paul dengan sorot mata geli.
Ally tersenyum pelan. "Tidak masuk akal."
"Memang, tapi baginya, itu sangat masuk akal," balas Paul ringan.
Sepanjang mereka berjalan menuju altar, mereka terus berbincang dalam suara rendah seolah tidak ada siapa-siapa disitu. Terlihat keakraban yang terjalin meski ekspresi keduanya begitu kontras.
"Apa kau sudah menikah, Paul?" tanya Ally.
"Menikah tidak ada dalam daftar hidup seorang pekerja yang berhadapan dengan hal berbahaya sepertiku, Ally," jawab Paul langsung.
Tadinya Ally berpikir jika Paul akan menolak untuk menjawab pertanyaan itu, tapi ternyata pria itu menjawab tanpa beban. Ini adalah hal yang cukup langka, pikirnya.
"Kurasa kau cocok dengan Naomi, tetangga nenekku yang adalah teman kecilku di Tokyo. Dia hebat dan kuat sepertimu," usul Ally kemudian.
Paul memutar bola matanya mendengar ucapan Ally barusan. "Aku tidak tertarik dengan wanita Asia. Maaf sekali."
"Kupikir kau menyukai wanita dengan tipe apa saja asalkan memiliki nyali yang cukup kuat untuk menghadapimu," sahut Ally dengan ekspresi meringis.
"Sudahi pembicaraan ini dan ucapkan sumpahmu. Suamimu seperti ingin memakanku hidup-hidup." tukas Paul sambil menepuk pelan punggung tangan Ally yang melingkar di lengannya.
Ally bisa melihat wajah Ashton yang mengeras dengan ekspresi yang semakin tidak suka. "Kurasa wajahnya memang seperti itu. Tidak ada yang bisa diubah."
Paul tidak menjawab lagi karena mereka sudah tiba di altar dan berhadapan dengan Ashton yang begitu menjulang di hadapannya. Petra segera memeluk Ally dengan erat dan Ally mengusap kepalanya dengan penuh sayang.
"Berani-beraninya kau mengobrol dengan pria lain di depanku," bisik Ashton dingin.
Paul menyeringai. "Aku adalah wali pengantin wanita, Sir. Bukan pria lain. Ayo, Petra, ikut aku."
Ashton menahan nafasnya sambil melotot tajam ke arah Paul yang sudah mengangkat Petra ke dalam gendongannya, kemudian menatap Ashton dan Ally secara bergantian.
"Kuucapkan selamat untuk kalian," ujar Paul santai, kemudian berjalan menuju ke kursi depan dan kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dengan tatapan menilai.
Berhadapan dengan Ashton, Ally mengamati ekspresi Ashton yang masih tidak senang.
"Apa kau tidak bahagia menikah denganku?" tanya Ally kemudian.
"Kenapa kau bilang seperti itu?" tanya Ashton balik.
"Kau bahkan tidak menggenggam tanganku dan mencium keningku, lalu meminta maaf karena sudah bersikap kasar padaku," jawab Ally.
Spontan, Ashton meraih satu tangan Ally dan menariknya ke dalam pelukan, kemudian mencium kening Ally dengan dalam lalu berbisik, "Maafkan aku. Semua begitu rumit hingga aku cukup kewalahan."
Ally tersenyum dan mengangguk saja. "Aku tahu."
Ashton menoleh pada Pastor yang berdiri di mimbar yang tampak bergeming melihatnya saat tatapan tajam Ashton tertuju padanya. "Lewatkan bagian kalimat panjang tentang kehidupan pernikahan dan semacamnya, aku sudah tahu mengenai hal itu, jadi langsung pada bagian memberkati kami dan tukar cincin saja."
"A-Apa?" tanya Ally kaget dan mengerjap menatap sekelilingnya yang terlihat biasa saja dan tidak menampilkan ekspresi apapun.
Suasana begitu hening dan seperti sudah penuh persiapan tentang acara pernikahan itu.
"Kita hanya memiliki waktu tidak kurang dari lima menit, Sayang. Dengarkan dan ikuti apa yang kulakukan," bisik Ashton dalam suara rendah sambil menatapnya tajam.
"Tapi..."
Ucapan Ally terhenti saat Pastor sudah berdiri diantara mereka dan mempersilakan Ashton untuk mengucapkan sumpah pernikahan, bersamaan dengan beberapa tamu yang mulai serempak berdiri seakan mereka hendak menyingkir dari situ. Tunggu dulu, batin Ally panik. Apakah ini benar-benar acara pernikahan?
"Lihat aku, Ally," ucap Ashton yang terdengar seperti perintah.
Ally spontan menatap Ashton dengan bingung. Pria itu mengambil buket bunga yang dipegangnya sedaritadi dan seorang penjaga yang berada didekatnya segera mengambil alih buket itu. Ashton menggenggam dua tangan Ally begitu kuat tanpa mengalihkan tatapannya.
"Ashton," ucap Ally dengan suara yang hampir berbisik karena rasa panik mulai merayap di sekujur tubuhnya.
"Apa kau percaya bahwa aku akan menjaga dan melindungimu dalam segala hal? Apa kau percaya jika aku akan mencintai dan menerima dirimu dalam suka atau duka, sampai maut memisahkan kita?" tanya Ashton yang tidak terdengar seperti pertanyaan tapi justru seperti sebuah perintah yang harus diterima Ally.
"Aku..."
"Cukup jawab ya atau tidak," potong Ashton sambil merndesis tajam.
"Ya, tentu saja iya," balas Ally dengan nada frustrasi.
Ashton mengangguk dan mengeluarkan sebuah kotak dari saku jas, mengambil cincin yang berkilau indah dari sana, dan segera menyematkan jarinya di jari manis Ally dengan pas. "Ini adalah bukti bahwa kau sudah menjadi istriku dan tidak diperkenankan untuk melepas cincin ini sedetik pun."
Semakin tidak mengerti dengan kebingungan yang semakin banyak karena Ally merasa pernikahan ini terkesan terburu-buru dan melirik pada sekelilingnya dimana Sebagian tamu tampak sudah meninggalkan acara, bahkan Petra yang bersama Paul sudah tidak ada. Apa yang terjadi, batin Ally mengerang kencang.
"Dengan begitu, kalian resmi menjadi sepasang suami istri. Silakan mencium istrimu untuk pertama kali," ucap Pastor yang sukses membuat Ally menoleh padanya dengan ekspresi tidak percaya.
Tidak sempat bertanya atau melakukan aksi protes, Ashton sudah menariknya untuk mencium bibirnya dengan singkat. Sesingkat itu.
"Hello, Mrs. Tristan, selamat datang dalam duniaku, Sayang. Mulai saat ini, kau sudah menjadi milikku sepenuhnya dan tidak ada yang bisa mengambilmu dariku. Jadi, persiapkan dirimua karena kau akan mengalami hal yang tidak pernah kau inginkan dalam hidup," ucap Ashton serius dan ekspresi yang begitu dingin.
"Apa maksudnya?" tanya Ally dengan suara gemetar. Dia sudah mulai ketakutan.
Tidak ada balasan lagi karena Ashton tiba-tiba menarik Ally ke belakang mimbar dimana Paul yang entah datang darimana sudah berada di belakang dan menyuruhnya untuk bertiarap. Disitu, Ally bisa melihat jika Ashton dan Paul sama-sama mengeluarkan pistol yang terselip di balik pinggang dan mengarahkannya ke arah berlawanan.
Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan terdengar saling bersahutan memenuhi isi ruangan, sementara Ally berteriak histeris sambil menutup telinga dalam posisi tiarap. Dia yakin jika dirinya tidak sedang bermimpi dengan tubuh yang sudah bergetar hebat sambil terisak dan meracau seperti anak kecil.
Ketakutan Ally tidak sampai disitu saja karena lantai yang dipijaki olehnya tiba-tiba amblas bersamaan dengan dirinya yang berteriak kencang seolah saat dia terjatuh dalam kegelapan yang menggulungnya dan... BRUK! Dia terjatuh diatas landasan empuk seperti karpet tebal disitu.
Kembali menangis dengan rasa gemetar yang kian hebat, dia belum sempat melakukan apapun karena Ashton tiba-tiba mendarat di tempat yang sama tapi tidak terjatuh. Dia seperti melompat dari sana dan Ally sudah tidak mampu untuk bertanya.
Keduanya saling bertatapan tapi tidak ada pembicaraan karena Ashton segera bergegas untuk mengangkat Ally dan menggendongnya seperti memikul karung beras di bahu untuk segera memasuki sebuah mobil yang tidak jauh dari situ. Area itu seperti terowongan bawah tanah.
"Ashton..."
Tidak menjawab, Ashton mendudukkan Ally di kursi penumpang bagian belakang dan memakaikan pengaman dalam diam dengan gerakan yang begitu cepat, kemudian dia mengambil kursi penumpang bagian depan dengan sudah adanya seorang penjaga yang duduk di kursi kemudi. Menjerit ketakutan, Mobil itu melaju dalam kecepatan tinggi dan mendecit nyaring saat membelokkan kemudi.
Ashton tampak begitu sibuk dalam melakukan sesuatu didepan sana dan penjaga mengemudi dalam kecepatan yang membuat Ally ingin melompat keluar saja. Dia melihat Ashton tiba-tiba beranjak dari kursi depan ke kursi belakang, dan Ally segera mencengkeram lengan Ashton gemetar untuk bisa menenangkannya. Tapi, bukannya menenangkan, Ashton justru mengambil lengan Ally dan menusuknya dengan suntikan.
"A-Ashton!" pekik Ally parau.
"Maaf, Sayang, untuk saat ini lebih baik kau tidur saja. Aku akan menjelaskannya setelah kau sudah sadar nanti. Selamat bermimpi," ucap Ashton dingin.
Sebuah kecupan ringan mendarat di kening Ally seiring dengan rasa lemas yang perlahan mengerubungi tubuhnya dan rasa pusing yang memenuhi kepala. Tiba-tiba saja dia merasa tidak bertenaga dan matanya memberat hingga tanpa sadar menjatuhkan diri yang langsung ditangkap Ashton begitu saja.
Dia ngantuk sekali dan ingin tidur yang panjang.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Definisi nikah sat set ala Ashton.
Yang penting sah 🙈
Apa kabar kalian?
Masih dengan doa dan harapan yang sama dariku yaitu semoga kalian baik2 saja dengan kesehatan yang selalu menyertai, bahu yang dikuatkan,
hati yang dimampukan, dan jiwa yang diteguhkan.
Borahae, Yeorobun. 💜
07.08.24 (11.11)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top