PART. 18 - ARGUMENT.
Ally mengerutkan kening saat memperhatikan beberapa bercak merah yang ada di sekujur tubuh. Semalam, Ashton menyetubuhinya seperti singa yang kelaparan dan tidak memberinya jeda untuk sekedar bernapas. Dia terbangun saat merasa kedinginan karena selimutnya terjatuh dari ranjang dan Ashton sudah tidak lagi berada disampingnya.
Menghela napas lelah, Ally kembali merasakan kesedihan mendapati Ashton yang masih bersikap dingin dengan tidak membangunkannya untuk mengucapkan selamat pagi tapi meninggalkannya begitu saja. Meski pria itu cukup lembut saat bercinta dengannya tapi ada perasaan yang menjanggal tentang pria itu yang melakukan hal tidak baik.
Enggan untuk tenggelam dalam kesedihan, Ally segera bergegas untuk membersihkan diri dan kembali melebur dalam kesedihan berupa tangisan yang teredam oleh pancuran air karena merindukan orangtuanya.
Kesepian, juga merasa sendirian, Ally seolah kehilangan arah tujuan mengingat dirinya sudah tidak lagi punya keluarga. Seumur hidupnya, dia mendapatkan kasih sayang dan kecukupan yang membuatnya merasa menjadi anak paling beruntung di dunia, berbanding terbalik dengan Ashton dan Petra.
Mengingat dua orang itu membuat kesedihan Ally bertambah karena hidupnya tidak berarti apa-apa dibandingkan kedunya yang harus mengalami momen terberat dalam hidup dengan tidak memiliki orangtua di usia yang begitu dini. Seharusnya dia bisa lebih bersyukur tanpa terus mengasihani diri dan terpuruk seperti ini.
Setelah mengeringkan diri dan berpakaian, Ally bergegas untuk keluar kamar dan hendak menyiapkan keperluan Petra untuk sekolah di hari itu. Tapi saat pintu kamar dibuka, Ally tertegun menatap sosok tingi besar yang berdiri tepat di hadapannya. Sedetik, dua detik, tiga detik, dan Ally berseru kencang sambil memeluknya erat begitu saja.
"Paul!" seru Ally kencang.
Pria itu masih berdiri tegap dan bergeming tanpa melakukan apa-apa selain memberikan ekspresi datar kemudian melepaskan diri dengan sopan dan membungkuk hormat pada Ally.
"Ms. Smith," panggilnya.
"Kau kembali!" seru Ally sambil melebarkan senyuman dan tampak begitu senang.
"Aku..."
"Aku senang sekali!" seru Ally yang kembali memeluk Paul dengan erat sebagai luapan kebahagiaannya.
"Hmmm," ujar Paul sambil berdeham dengan tatapan mengarah pada belakang tanpa mengubah ekpsresi datarnya sama sekali. "Bisakah kau melepasku sebelum ada kejadian yang tidak menyenangkan?"
"Kejadian tidak menyenangkan seperti apa?" tanya Ally sumringah sambil melepas pelukan.
"Seperti aku yang akan memenggal kepalanya di hadapanmu, Ally," jawab Ashton dengan nada dingin dari arah belakang yang membuat Ally segera menoleh padanya.
"Kupikir kau sudah pergi," gumam Ally pelan sambil melihat Ashton berjalan mendekat padanya. Pria itu mengenakan pakaian santai.
"Kau tidak sedang berpikir jika aku pergi meninggalkanmu yang masih tertidur, bukan?" tebak Ashton sambil mengangkat alisnya. "Aku memang bajingan tapi aku bukan tipe yang seperti itu, Ally."
Ally merengut cemberut dan segera berlari kecil menghampiri Ashton untuk memeluknya erat. "Kupikir kau masih kesal dan melakukan hal itu untuk membuatku marah."
"Aku memang masih kesal padamu," balas Ashton tenang.
Ally mengurai pelukan sambil mendongak untuk menatap Ashton dengan seksama. "Aku..."
"Mulai hari ini, Paul akan menjagamu dan Petra," sela Ashton yang membuat Ally kembali sumringah dan menoleh untuk menatap Paul yang masih bergeming disana.
"Kita akan bersama lagi," ucap Ally senang.
Terdengar dengusan kesal Ashton sambil menatap Ally tidak percaya. "Aku tidak percaya jika kau bisa sesenang itu melihat Paul kembali."
"Apa kau cemburu padanya?' tanya Ally langsung.
"Tentu saja tidak. Aku tidak suka jika kau lebih senang melihat kedatangan orang lain dibandingkan aku. Semalam, kau memberi ekspresi masam saat aku tiba di rumah, tapi dia? Kau bahkan langsung menubrukkan dirimu padanya dan itu menjengkelkan!" jawab Ashton dengan nada tidak suka. Sangat tidak suka.
"Aku selalu senang melihatmu tapi semalam kau membuatku kesal dengan dirimu yang berganti pakaian sehingga aku berpikir kau pergi dengan wanita lain," ujar Ally menjelaskan. Tidak menyangka jika menjelaskan hal itu di pagi hari terasa lebih ringan dibandingkan semalam.
"Aku memang tidak memiliki kesan baik sampai kau terus berpikir buruk padaku," desis Ashton.
"Jika kau bisa menjelaskannya padaku, maka kesalahpahaman ini tidak akan terjadi," balas Ally sambil memicing tajam.
"Saat aku bertemu dengan klien, ada seorang pelayan yang tidak sengaja menumpahkan minuman ke pakaianku. Jadi, aku menyuruh Lion untuk membeli setelan baru agar tidak terlihat memalukan," tukas Ashton santai.
"Klien? Kupikir kau akan mencari pelaku yang melakukan kejadian kemarin," tanya Ally dengan kening berkerut.
"Aku memang melakukan hal itu tapi tidak sampai menyita waktuku dengan lama," jawab Ashton sambil membimbing Ally untuk berjalan menuju ruang makan dengan Paul yang mengikuti dari belakang.
"Jadi, apa alasannya melakukan itu pada kami?" tanya Ally dengan ekspresi ingin tahu. Tidak menyangka jika Ashton akan begitu santai dalam menjelaskan hal seperti ini padanya. Tidak seperti biasanya, pikirnya.
"Dia adalah salah satu pengagummu di Lawrenceville dan tidak terima jika kau akan menikah denganku. Kau tahu jika ada banyak preman jalanan di kota kecil itu, bukan? Untuk itulah aku meminta Paul datang dan dialah yang memberitahuku segalanya, bukan begitu, Paul?" tukas Ashton sambil mendelik tajam pada Paul.
"Yes, Sir," balas Paul langsung.
Kening Ally berkerut dan terlihat bingung tapi tidak bertanya karena masih mencerna penjelasan Ashton yang tidak masuk akal. Meski begitu, dia mengikuti Ashton yang membimbingnya ke meja makan, menarik kursi untuknya, dan duduk tepat di sebelah kanannya.
"Kau tidak sedang berbohong padaku, bukan?" tanya Ally akhirnya.
Ashton menoleh dan menatapnya tajam dengan ekspresi tersinggung. "Kau tidak percaya padaku?"
Ally membuang muka sambil mendesah malas karena sudah jelas jika pria itu sedang mengarang cerita. Entah kenapa dia bisa merasakan kapan pria itu berbohong dan jujur padanya. Kali ini, dia yakin jika Ashton tidak terbuka padanya. Karena jika yang sebenarnya, pria itu tidak akan tampak beitu santai dalam menyampaikan penjelasannya seperti tadi, malahan ada kesan mengejek dari nada suaranya.
"Dimana Petra?" tanya Ally kemudian. Hendak beranjak tapi Ashton menahannya untuk tetap duduk di kursi.
"Dia masih tidur," jawab Ashton.
"Bukankah seharusnya dia sudah bangun dan bersiap untuk ke sekolah?" tanya Ally spontan.
"Dia tidak sekolah hari ini dan aku sudah menyampaikannya pada guru. Nantinya akan ada perwakilan dari sekolah untuk memberinya tugas dan biarkan anak itu menikmati tidurnya," jawab Ashton lagi.
"Kenapa dia tidak sekolah dan harus diberi perlakuan khusus untuk mendapatkan tugasnya?" tanya Ally tidak mengerti.
"Karena Petra kelelahan," jawab Ashton sambil meraih cangkir dan menyeruput kopinya dengan santai.
"Apa maksudmu? Seorang murid sudah seharusnya bangun pagi dan mengikuti jam pelajaran di sekolah. Kau tidak bisa memanjakan Petra dan bertindak sesuka hati dengan meminta perwakilan dari sekolah untuk memberi tugas secara khusus seperti itu," balas Ally dengan nada menegur.
"Aku tidak memanjakannya. Sebaliknya, aku melindunginya. Setelah kejadian kemarin, aku tidak ingin Petra mendapatkan serangan seperti itu hanya karena aksi penggemarmu yang gila-gilaan dan hampir mencelakai anakku," tukas Ashton tegas dan menatap Ally dengan ekspresi menantang. "Atau apa kau kesenangan mendapatkan perhatian lebih dan tidak peduli dengan keselamatan anakku? Begitu maksudmu, Ally?"
Ally membelalakkan mata saat mendengar ucapan Ashton sampai membuatnya tidak mampu membalas karena tidak percaya dengan tuduhan yang menyakitkan seperti itu.
"Kau tidak bisa menuduhku dengan sembarangan seperti itu," ucap Ally dengan suara gemetar karena menahan emosi yang mulai menguar saat ini sambil mengepalkan dua tangannya kuat-kuat.
"Aku tidak menuduh, tapi aku berbicara tentang fakta!" desis Ashton tajam. "Sebelumnya, Petra baik-baik saja dan menjalani kehidupan sekolahnya dengan baik meski seringkali perwakilan sekolah harus datang untuk memberi tugas jika dia berhalangan untuk hadir, untuk itulah sekolah dibayar dan kau tidak perlu merasa terganggu akan hal itu. Jika kau berpikir yang tidak-tidak, perlu kau ketahui jika gurunya adalah seorang pria, bukan wanita!"
Ally tertegun dengan rasa nyeri yang merambat di dalam hati. Melirik singkat ke arah Paul yang masih memberi ekspresi datar, dia merasa jika pria itu sempat melihat padanya dan memalingkan wajah untuk menghindari tatapan.
"Aku tidak lapar dan ingin kembali tidur saja," putus Ally kemudian.
"Kau sudah cukup tidur dan nikmati sarapanmu karena setelah ini kau harus mengepas gaunmu karena lusa adalah hari pernikahan kita," tegur Ashton sambil menahan Ally yang hendak beranjak dari kursi.
"Aku harus bersiap-siap dan aku tidak menginginkan apapun yang tersaji di meja ini!" balas Ally tidak mau kalah.
Tatapan Ashton semakin tajam dan dingin, tampak tidak suka dengan perlawanan dari Ally.
"Aku tidak ingin dibantah dan lakukan apa yang kuinginkan, Ally!" ucap Ashton dengan penuh penekanan.
"Aku tidak..."
"Sir," sela Paul tiba-tiba yang membuat keduanya menoleh kearahnya. "Ada panggilan darurat dan kurasa kau harus segera menerimanya."
Ashton segera beranjak dan Paul membisikkan sesuatu yang membuatnya semakin kesal disana. Tanpa permisi, Ashton segera berlalu menuju ke ruang kerja tanpa menoleh pada Ally.
Dengan debaran jantung yang cepat karena emosi yang menjalar, juga tubuh yang mulai gemetar, Ally mencoba menarik dan mengembuskan napas sambil berhitung dalam hati, berusaha untuk tidak lagi menangis karena dia sudah lelah untuk terus merasa kecewa.
"Ms. Smith," panggil Paul yang membuat Ally tersentak dan mendongak untuk menatap padanya.
"Terima kasih," ucap Ally dengan suara tercekat. Dia merasa jika pria itu sudah membantunya untuk menghindari amarah Ashton yang tiba-tiba.
"Aku tidak melakukan apa-apa karena memang ada panggilan darurat," balas Paul datar.
Mengangguk saja, Ally mendapati kesamaan antara Paul dan Ashton yang suka berbohong dan menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.
"Aku sarankan agar kau segera menikmati sarapanmu. Kau harus menjaga kondisi tubuh karena akan segera melangsungkan pernikahan lusa nanti," ujar Paul kemudian.
Ally menatap apa yang tersaji tanpa minat. Dia sama sekali tidak lapar dan hanya ingin melihat keadaan Petra saat ini.
"Apakah kau menginginkan sesuatu? Aku akan meminta pelayan untuk membuatkannya," tanya Paul menawarkan.
Mengembangkan sedikit senyuman, dia tidak menyangka jika Paul yang datar itu mulai memperlihatkan sedikit perhatiannya dan itu menghangatkan hatinya.
"Aku ingin semangkuk yogurt dengan potongan strawberry yang banyak," jawab Ally dan Paul mengangguk mengerti.
"Sembari menunggu, bisakah aku melihat Petra di kamarnya? Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja dan setelah itu aku akan kembali untuk menikmati sarapanku," lanjut Ally dengan nada penuh harap.
Paul terdiam dan menatap Ally dengan penuh penilaian, kemudian mengangguk pelan yang sukses membuat Ally menghela napas lega dan segera beranjak untuk menuju ke kamar Petra.
Anak itu masih tertidur lelap dengan dengkuran halusnya. Kamar itu masih remang dengan hanya sebuah lampu meja yang ada di nakas sebagai penerang disitu. Saat Ally masuk, hawa dingin menyambut kedatangan Ally yang membuatnya mendesah lega.
Menyelinap masuk ke bawah selimut, Ally membawa Petra dalam pelukan sambil mengusap kepala anak itu dengan penuh sayang. Petra menggeliat malas dan membuka matanya setengah untuk melihat Ally selama beberapa saat lalu tersenyum.
"Mommy," panggilnya dengan syara mengantuk dan memeluk Ally dengan erat.
Ada ketenangan yang menguar saat mendapatkan pelukan yang begitu hangat dari Petra. Juga rasa kantuk yang entah kenapa tidak tertahankan meski dia sudah cukup mendapatkan tidurnya, akhirnya Ally ikut terlelap sambil berpelukan dengan Petra.
Sampai dimana Ashton menyusulnya untuk segera menariknya kembali ke ruang makan tapi hanya terdiam melihat kebersamaan Ally dan Petra yang membuat hatinya terasa hangat. Medekat perlahan, Ashton duduk di sisi ranjang kosong untuk menatap keduanya dari dekat dan melayangkan satu tangan untuk mengusap kepala Ally dengan lembut.
"Sekalipun aku terlihat keras namun sebenarnya aku rapuh. Kalian berdua akan menjadi kekuatanku dan aku tidak akan membiarkan kalian disakiti. Sebentar lagi. Yeah, sedikit lagi aku akan segera menyelsaikan masalah sialan ini dan kita akan hidup tenang setelahnya. Ini adalah janjiku pada kalian," ucap Ashton pada keduanya dalam nada suara yang begitu pelan.
Dan dalam keremangan kamar itu, Ally yang terbangun karena usapan lembut dikepalanya itu mendengar ucapan yang disampaikan Ashton barusan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Ada rasa jenuh dalam hal menunggu, apalagi jika itu di ruang tunggu
dengan degup jantung yang memburu.
Iya, itu aku, yang sedang menunggu panggilan untuk segera masuk karena penerbangan selalu jadi kecemasan yang cukup mengganggu dan meluangkan waktu untuk posting cerita ini sebagai pengalihan yang cukup membantu. 💜
Hello, Semuanya, apa kabarmu?
15.06.24 (16.16)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top