9. Bergantung Padamu

Suara helaan nafas itu kembali terdengar di dalam bilik toilet. Cindy memainkan jari-jemarinya dan terduduk di atas toilet dengan gelisah. Telinganya dengan waspada mendengarkan keadaan di luar sana. Takut jika ada orang yang masuk ke dalam toilet, orang- orang yang sangat dia hindari saat ini.

Demi Tuhan! Lima belas menit lagi kelas Cindy akan dimulai dan dia masih tidak berani untuk keluar sekarang. Telur busuk sudah cukup untuk mengotori rambutnya tadi dan dia tidak ingin tanah yang akan mendarat di tubuhnya.

Iya, Cindy mendapatkan kesialan itu lagi. Dia pikir teman-temannya akan jera, namun ternyata tidak. Setelah dia mulai berangkat sendiri tanpa Chris, teman-temannya mulai berbuat nekat lagi dan kali ini adalah puncaknya. Dia harus rela meninggalkan kelas pertama untuk mengunci diri di toilet guna mencuci rambutnya yang berbau busuk.

Chris di mana kau? Aku membutuhkanmu.

Cindy kembali menghela nafas kasar dan berusaha untuk tidak menangis. Dia tidak menyangka jika akan kembali menjadikan toilet sebagai tempat ternyamannya. Suara pintu yang dibuka membuat Cindy menegakkan tubuhnya tegang. Dia takut, sungguh takut. Dia diam dan menahan nafas agar siapapun itu tidak mengetahui keberadaanya, namun itu sia-sia karena Cindy langsung tersentak begitu mendengar suara ketukan keras pada bilik toiletnya.

Cindy mengkerut dan lebih bersandar pada tembok. Dia tidak berniat untuk membuka kunci itu. Masa bodoh jika dia harus tertinggal kelas lagi. Nasibnya jauh lebih penting sekarang. Dia tidak ingin mati konyol karena menjadi korban bully.

Pintu kembali diketuk dengan keras membuat Cindy gemas sendiri. Dia tidak ingin keluar, apa orang itu mengerti posisinya?!

"Cindy?!" panggil seseorang.

Cindy kembali duduk dengan tegak begitu mendengar suara yang tidak asing lagi untuknya. Alice? Wanita itu datang.

"Sialan, Cindy! Apa yang kau lakukan di dalam? Katakan sesuatu bodoh!" teriak Alice yang membuat Cindy langsung bangkit dan membuka kunci toilet.

"Aku pikir kau mati di dalam," ucap Alice khawatir begitu pintu benar-benar telah terbuka.

"Maaf."

Alice menghela nafas kasar dan menatap penampilan Cindy dengan prihatin. Dia telah lalai menjaga Cindy sampai membuat gadis itu mendapatkan kesialan seperti ini. Chris akan murka nanti, dengan pasti pria itu akan mengambil ferarri yang sudah diberikannya pada kakaknya.

"Kenapa kau berdiam di sini?"

Cindy tersenyum dan menggeleng lemah, "Kau tahu kenapa Alice, banyak orang yang tidak menyukaiku."

"Kenapa kau harus memikirkan mereka?"

Cindy berdecak, "Jika mereka hanya mengejekku aku tidak masalah, tapi sekarang mereka bermain dengan fisik Alice. Jika kau berada di posisiku apa kau tidak takut?"

"Kenapa mereka melakukannya lagi? Dan kenapa juga geng plastik bodoh itu kembali ke kampus? Bukannya mereka semua sudah dikeluarkan?" tanya Alice bingung.

"Dikeluarkan? Kau serius?" Alice tergagap dan menunduk. Dia keceplosan tadi. Cindy tidak tahu apa-apa tentang orang yang mem-bully-nya. Gadis itu pikir jika geng plastik hanya sedang melalukan liburan biasa.

"Tidak ada, sekarang ayo kita keluar. Kelas akan dimulai sebentar lagi."

Cindy menangan lengan Alice, "Tapi ak-"

"Keluar sekarang atau aku akan meninggalkanmu sendirian di sini. Aku tidak peduli jika kau pulang malam sekalipun."

Bohong! Tentus aja dia bohong. Alice tidak mungkin meninggalkan Cindy karena itu adalah pekerjaannya. Chris akan marah jika dia lalai, sama seperti sekarang ini. Alice hanya bisa pasrah jika Chris akan memarahinya atau yang paling parah dia akan mulai bermain dengan fisik.

"Santai, Cindy. Mereka tidak akan mengganggumu selama ada aku di sini. Aku pemegang sabuk hitam jika kau belum tahu."

"Serius?" tanya Cindy pelan dan mengekor di belakang Alice dengan rapat.

"Ya, jadi kau tidak perlu khawatir sekarang. Tetaplah berada dalam pandangan mataku dan kau akan baik-baik saja nanti."

Cindy mengerutkan keningnya bingung. Ucapan Alice mengingatkannya pada seseorang. Alice dan Chris tidak jauh berbeda. Perkataan yang tajam dan khas itu sama seperti milik Chris.

***

Chris menggeram dan mengepalkan tangannya erat. Dia menatap dua orang bodoh di hadapannya dengan wajah yang memerah. Alice dan Anton hanya bisa menunduk, pasrah akan kemarahan yang Chris keluarkan kali ini.

"Bodoh kalian!" teriak Chris yang entah keberapa kali, "Kenapa kau bisa lengah Alice? Bersyukurlah karena kau wanita!" Chris berbalik kembali ke mejanya dan meninjunya keras.

Alice tersentak dan memegang erat lengan kakaknya. Dia tidak pernah melihat Chris semarah ini, dan itu hanya karena seorang wanita.

"Dan kau Anton, bagaimana bisa kau diam saja dan tidak memberitahuku jika para wanita bodoh itu kembali ke kampus?!"

"Saya juga terkejut, Tuan. Sepertinya ini ada hubungannya dengan Mrs. Auredo."

Chris berbalik dan mengerutkan keningnya, "Nenek?"

Anton mengangguk sebagai balasan, "Tidak ada orang yang berhak mengeluarkan dan menerima mahasiswa selain Anda dan Mrs. Auredo."

"Kau benar, tapi Nenek? Yang benar saja? Dia tidak mingkin berani mengganggu wasiat Ayah."

"Jika wasiat itu diluar keinginan dan prinsip Mrs. Auredo tentu itu bisa terjadi, Tuan. Mrs. Auredo sempat berpikir jika Cindy adalah penghalang hubungan Anda dengan Nona Lexa. Bisa saja itu benar terjadi."

Chris terdiam dan menatap lantai ruang kerjanya dengan tatapan menerawang. Semua yang dikatakan Anton ada benarnya. Hanya dia dan Neneknya yang berhak mengatur sekolah desain itu. Namun yang masih tidak Chris percaya adalah wanita itu berani melawannya seperti ini.

Chris sudah mengeluarkan semua anak yang menghina dan mengejek Cindy, tapi sekarang mereka telah kembali dan melakukan hal nista itu lagi. Sekarang Chris harus memutar otak karena musuhnya sendiri adalah Neneknya.

Chris berdiri tegak dan merapikan jasnya. Dia menatap Alice dan Anton dengan tatapan khasnya. Kali ini Chris akan memaafkan kesalahan kakak-beradik itu. Hari ini hanya telur busuk, jika besok dia mendapat laporan yang lebih gila lagi, maka dia tidak akan segan menghabisi dua orang di hadapannya itu.

"Kali ini kalian kumaafkan tapi ingat, aku tidak suka ketidakpatuhan. Jika kalian membuatku berang lagi besok, kalian akan tahu akibatnya."

Chris meraih ponselnya dan bergegas keluar ruangan, "Dan kau Alice, aku akan menunda mini cooper-mu karena kau tidak becus hari ini."

Alice hanya mengangguk pasrah tanpa berniat membantah. Tidak ada yang bisa menghentikan kekuasaan seorang Chris. Dia memang hanya mengancamnya tentang bayaran mobilnya, tapi Alice yakin jika Chris bisa melakukan hal yang lebih parah lagi padanya.

***

Suara bentakan dan teriakan itu saling bersahutan dari dalam rumah kecil itu. Chris menghentikan langkahnya di depan pintu guna mendengar pertengkaran itu lebih jelas. Seperti orang bodoh, Chris terdiam dan mendengarkan semuanya.

"Bagaimana bisa mereka mengeluarkanku begitu saja hanya karena aku telat membayar turnamen!"

Caleb, itu suara adik Cindy. Chris sangat tahu itu.

"Aku tidak tahu, Caleb. Maafkan aku karena membuatmu menunggu dan menjadi seperti ini. Aku tidak percaya mereka mengeluarkanmu begitu saja."

Chris mengerutkan keningnya mendengar suara Cindy yang bergetar. Apa kakak-beradik itu tengah bertengkar sekarang? Bagaimana bisa Caleb membentak kakaknya seperti itu?

Tangan Chris terkepal dan akan berniat membuka pintu rumah, tapi pintu itu terlebih dahulu terbuka membuat Chris mundur. Terlihat Caleb keluar dengan wajah merahnya, Chris yakin jika itu karena kemarahannya tadi. Belum sempat Chris berbicara, Caleb langsung pergi tanpa berniat menatapnya. Sebuah panggilan melengking dari dalam rumah membuat Chris mengalihkan pandangannya. Di sana terlihat Cindy menangis dan masih memanggil adiknya.

"Caleb!" Cindy mengusap wajahnya frustasi dan terduduk di teras rumah. Dia tidak menyangka jika masalah akan datang bertubi-tubi menghampirinya seperti ini.

Chris menatap Cindy prihatin. Dia tidak ingin ikut campur atas masalah keluarga ini tapi setelah wasiat itu keluar, dia memang harus ikut campur sekarang. Tangan Chris bergerak untuk menyentuh bahu Cindy.

"Ada apa? Kenapa kau menangis?"

Cindy mengangkat wajahnya dan kembali menangis. Ini adalah puncaknya, dia lelah hidup seperti ini. Ingin rasanya dia mati dan menyusul Ayahnya yang telah tenang di atas sana.

"Cindy, katakan padaku." Chris berucap cukup keras dan mensejajarkan tingginya dengan Cindy.

"Aku lelah, Chris," gumam Cindy dengan lirih.

"Ada apa? Katakan padaku."

Cindy kembali mengusap air matanya dan menatap Chris sayu, "Aku bingung, aku sudah mendapati jalan buntu. Apa kau bisa membantuku sekarang?"

Chris terdiam mendengar itu. Perasaannya benar-benar campur aduk sekarang. Dia sedih dengan keadaan Cindy saat ini tapi di sisi lain dia juga senang karena akhirnya Cindy membutuhkannya.

"Katakan," ucap Chris singkat.

"Aku ingin keluar dari kampusmu, aku tidak kuat. Satu lagi, bantu Caleb agar kembali bersekolah."

"Apa maksudmu?!" bentak Chris tidak suka. Dia marah dengan permintaan pertama dari Cindy. Jika memang membutuhkan jalan keluar, bukan seperti itu caranya.

"Kau tahu jika mereka memperlakukanku tidak benar, Chris. Aku juga manusia, aku punya batas wajar. Aku bukan orang lemah yang bisa ditindas seperti ini."

"Kalau begitu buktikan." Tantang Chris.

"Apa maksudmu?"

Chris meraih tangan Cindy dan menggenggamnya, seolah memberikan semangat, "Buktikan pada mereka jika kau bukan orang yang lemah. Untuk adikmu, aku akan mencari tahu dalang di balik semua ini, kau tidak perlu khawatir."

"Caleb marah padaku," gumam Cindy kembali menangis.

Chris berdecak, "Seharusnya adik bodohmu itu tidak marah begitu saja. Harusnya dia ingat jika kau yang memberinya makan selama ini."

"Ini salahku," gumam Cindy kembali menunduk.

"Berhentilah menangis. Aku benci gadis cengeng."

"Kalau begitu pergi saja dari rumahku!" bentak Cindy kesal.

"Kau mengusirku?" tanya Chris tidak percaya, namun sedetik kemudian dia terkekeh kecil dan berbalik pergi meninggalkan Cindy.

Melihat Chris yang pergi, Cindy merasa bersalah dan berlari menyusul pria yang akan masuk ke dalam mobilnya itu.

"Tunggu, maaf aku tidak bermaksud mengusirmu, sungguh." Cindy menunduk masih memegang lengan Chris erat.

Chris melepas tangan Cindy dan mulai membuka pintu mobil, "Kau benar, lebih baik aku pergi dari sini."

"Kenapa kau jadi mudah marah seperti ini? Ada apa denganmu?"

"Tidak ada, lebih baik kau masuk karena aku akan pergi."

Cindy kembali meraih lengan Chris, "Kau kenapa? Kenapa jadi aneh seperti ini?"

"Aku tidak apa, Cindy!" bentak Chris pada akhirnya.

Cindy dengan cepat melepaskan lengan Chris dan mundur selangkah. Terlihat Chris kembali menutup pintu dan meraih bahu Cindy.

"Dengar, aku hanya mencoba menjaga jarak di sini. Ini semua untuk dirimu juga, selain itu aku tahu jika kau risih dengan sifat penguntitku. Benar bukan?"

"Tidak!" jawab Cindy cepat tapi sedetik kemudian dia menyesali ucapannya sendiri.

Kepalanya menunduk dalam untuk menghindari mata elang milik Chris. Cindy tahu jika pria itu masih menunggu kelanjutan ucapannya, tapi Cindy sendiri memilih untuk diam dan merutuki kebodohannya sendiri.

Apa secara tidak sadar aku sudah bergantung pada Chris?

"Tidak apa?" Pancing Chris.

Cindy menggeleng dan memilih untuk mundur, melepaskan tangan Chris dari bahunya. Chris ikut berbalik dan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Bibirnya tersenyum dengan sinis menertawakan sikap angkuh yang Cindy tunjukkan.

"Kalau begitu aku pergi. Aku harap kau akan tetap masuk ke kampus besok. Jika bolos kau akan tahu akibatnya."

Cindy menelan ludahnya sendiri begitu ingin menjawab ucapan Chris. Pria itu pergi begitu saja meninggalkannya yang terdiam seperti orang bodoh. Cindy tidak berani jika harus membantah ucapan Chris karena biar bagaimanapun juga dia sangat tahu apa yang bisa pria itu lakukan pada hidupnya jika dia berani macam-macam.

***

Aroma terapi yang keluar dari lilin yang menyala membuat kamar mewah itu terlihat sangat nyaman dan tentram. Hal itu juga membuat penghuni kamar itu merasa rileks untuk memejamkan mata. Kenyamanan itu sirna saat pintu kamar terbuka tiba-tiba membuat si penghuni kamar membuka mata.

Tidak ada orang yang berani berbuat tidak sopan seperti itu di rumahnya jika bukan cucunya sendiri dan memang benar, Chris muncul di depan pintu dengan wajah kerasnya. Nenek Chris bangkit dari tidurnya dan tersenyum menatap cucu satu-satunya keluarga Auredo yang mau datang ke rumah besarnya. Belum sempat menyapa, Chris langsung mematikan lilin dan menyalakan lampu agar kamar remang-remang itu berubah menjadi terang.

"Ada apa Chris?"

Chris bersandar pada meja dan melipat kedua tangannya di dada, "Apa yang Nenek lakukan?"

"Apa maksudmu?"

"Kau tahu jika aku tidak suka kalau mainanku diganggu." Ucapan Chris membuat senyum sinis Neneknya merekah.

"Jadi gadis itu hanya mainanmu?"

"Apa yang kau pikirkan selama ini tentang Cindy, Nek?" tanya Chris jengah.

"Dia hanya gadis bodoh, aku takut jika kau akan jatuh hati padanya nanti."

Chris tertawa dengan sinis, "Jangan gila, dia hanya wasiat titipan Ayah yang telah menjadi mainanku sekarang. Aku harap Nenek menjauh dan tidak ikut campur." Tegas Chris kembali pada wajah tegasnya.

"Jika hanya mainanmu kenapa kau begitu takut?"

"Tidak ada yang aku takutkan. Kau tahu itu." Chris berjalan mendekat ke arah ranjang di mana Neneknya duduk, "Termasuk dirimu, Nek."

Chris kembali berjalan menjauh dan mulai menyalakan lilin, "Aku tekankan sekali lagi, jangan ganggu mainanku karena kau tahu apa yang bisa aku lakukan jika ada orang yang berani mengusikku."

Chris bergerak mematikan lampu dan menatap Neneknya dalam, "Selamat tidur, Nek." Ucapnya dan berlalu pergi dengan santai meninggalkan wanita tua itu dengan amarah yang membara.

Chris berjalan ke luar rumah dengan bersiul. Tangannya dengan lihai memainkan kunci mobilnya yang sedang terparkir di depan rumah. Chris terkekeh kecil sambil membuka pintu mobil. Ingatannya kembali berputar pada kalimat tajam yang dia ucapkan untuk Neneknya.

Mainanku? Yang benar saja! Cindy lebih berharga dari pada itu.

***

TBC

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top