03 - The Triumph

Jelas dalam ingatan Susan, bagaimana ia mendapatkan busur dan anak panah pertama kali di Narnia. Meskipun tidak sekalipun pernah memanah, dirinya saat remaja mendapatkan traditional bow. Seolah mengabaikan kapasitasnya.

Kini, setelah 15 tahun —di bumi, lebih dari 1000 tahun Narnia— berlalu, kembali ia dihadapkan pada deretan busur panah yang tergantung di atas perapian besar.

"Apakah kau tahu cara memilih busur?" tanya John. Sembari memperhatikan beberapa busur yang terpajang di dinding, ia melanjutkan, "Aku pernah ikut club di Lancaster dan kata pelatihku, kau bisa rentangkan tanganmu dan ukur dalam satuan inchi—"

"Kita tak punya banyak waktu," sela pengrajin senjata yang sejak tadi sibuk menempa.

Pria itu menghentikan pekerjaannya dan beranjak untuk mengambil beberapa busur yang tergantung. Diletakkannya busur-busur tersebut di atas meja setelah memperhatikan Susan dari kepala sampai kaki.

"Aku yakin —ukuranya— akan cocok dengan tubuhmu, tapi kau perlu mencoba tarik kering mereka dan pilih yang paling sesuai. Perbedaannya sangat tipis. Semua karyaku adalah yang terbaik karena aku hanya menggunakan kayu keras, seperti maple ataupun ek. Kau tak akan menemukan busur terbaik selain buatanku," papar pengrajin tersebut dengan jumawa.

Susan menggigit bibir dalamnya, mencoba menelaah ucapan pria tersebut. Ia melempar pandang pada John yang memperhatikannya. Refleks, koleganya hanya menggeleng.

"Tarik kering? Aku benar-benar tak ingat bagaimana cara memanah dan apa yang harus kulakukan dengan ini semua," keluh Susan jujur.

Tak hanya Susan, kini sang Pengrajin ikut menatap John. Dengan gaya tak peduli, ia berkata, "Aku hanya tahu cara membuat busur, bukan menariknya. Ini harus menjadi tanggung jawabmu, Bung!"

John menjauhkan Susan dari busur yang diberikan oleh pengrajin.

"Kita ke sini hanya untuk mengawasi kesiapan persenjataan. Okay? Kau tidak perlu mendengarkannya. Your Majesty. Tetaplah di tempatmu."

Bibir Susan sedikit terbuka. Semenjak mendengar penjelasan John, ia terus berpikir, sebenarnya.

"Kita hanya perlu menunggu sang Pemanah. Dari penjelasan di kitab tersebut, tidak ada yang mengatakan mereka orang yang berbeda 'kan?"

Helaan napas John terdengar berat. Kalaupun sosok The Majesty kadang masih diperdebatkan oleh sejumlah orang. Satu hal yang diyakininya, hanya Susan yang berhak menyandang gelar tersebut.

"Anda seorang wanita. Sebaiknya kita pulang sekarang," ujar John mewanti-wanti.

"Bagaimana kalau kau mengajariku memanah lagi?"

Pria itu tetap konsisten dengan opininya bahwa seorang wanita tak boleh pergi berperang. Ia menggeleng dan berlalu meninggalkan Susan di dalam gubuk reot tempat pengrajin.

"Baiklah. Aku tidak akan berperang, tapi aku rindu memanah. Bisa kau ajari aku lagi?"

Tak ada respon dari John yang masih berjalan lurus.

"Kau tega sekali. Hanya mengajariku memanah. Memang, apa susahnya?"

***

Tash.

Anak panah yang ditarik melesat jauh sampai ke pepohonan, melewatkan sebuah apel yang seharusnya menjadi sasaran. Wajah sang Pemanah pun tak lagi sumringah.

"Kalau kau ikut perang, kau sudah menambah risiko kekalahan pasukan kita tiga kali lipat," ejek John ketika memungut sepuluh anak panah yang meleset dari target.

Bola mata Susan berotasi. Apapun yang terjadi di masa lalu dan sehebat apa cerita orang akan Ratu Susan dalam memanah, tak berarti apa-apa hari ini.

Ia masih mendapat banyak koreksi dari John akan posisi siku kanannya serta tangan kirinya yang kerap tidak stabil. Lebih baik memang kedua tangannya bergerak di lantai dansa yang tak mempermasalahkan sudut ataupun getaran.

"Sudah belasan tahun aku tak memanah. Wajar," celetuk Susan tekekeh.

"Kabarnya, kau adalah pemanah terbaik sepanjang sejarah, aku pikir kita bisa menambah 10 sampai 20 rambahan lagi pagi ini."

Dalam benak John, pria itu bersyukur Susan tak memaksa lagi mencantumkan namanya pada sederet pasukan bersenjata untuk perang nanti. Kemampuan wanita itu tak bisa kembali hanya dalam seminggu. Tubuhnya bicara banyak kali ini.

"Sepuluh rambahan. Tidak lebih," tegas wanita itu mengakhiri. Ia mengangkat tangan kanannya, menunjukkan ketiga ruas jarinya yang lecet setelah lebih dari 300 kali jari-jarinya menarik string berbahan linen. Apa gunanya melatih fisik kalau tubuhnya terluka?

***

Dari balik jendela kayu, Susan memperhatikan bagaimana para prajurit berlatih menarik satu per satu anak panah. Meskipun tak terbesit sedikit pun niatan untuk menelan kembali kata-katanya, senjata tersebut punya kesan mendalam yang tak pernah bisa dijelaskan.

"Polos dan bodoh memang bedanya tipis," keluh Susan seraya mengusap busur berbahan ek—pemberian sang Pengrajin.

"Siapa yang bodoh?" celetuk suara yang sudah lama tak terdengar olehnya.

Pertanyaan singkat tersebut membuyarkan renungan Susan. Wanita itu terkesiap. Kepalanya menoleh dan netranya menangkap sosok dengan rambut cokelat keemasan di sekitar wajah.

"As- As- Aslan," ucapnya terbata.

Sesosok singa bertubuh besar melangkah maju berhadapan dengan Susan.

"Seburuk-buruknya dunia mengubahmu, kau tetap mengingatku, Ratu Susan."

Kaki Susan terpaku di tempatnya berdiri. Sosok di hadapannya adalah simbol keagungan Narnia.

Perlahan, air matanya kembali mengalir dari pelupuk mata. Hatinya mencelus di waktu yang sama. Wanita itu berhamburan memeluk Aslan. Membelai surai keemasan bercahaya terang yang dilupakannya bertahun-tahun lamanya.

"Aku merindukanmu Aslan."

"Sangat," imbuhnya.

Senyum Aslan terukir di bibir. Ketidakhadiran Susan di perang terakhir sudah menjadi garisnya. Wanita itu ditakdirkan untuk masa ini. Menjadi mentari terbit di reruntuhan Narnia.

"Aku pikir, kau yang akan melupakanku setelah aku tak bisa kembali ke negeri ini."

"Sudah kubilang bukan, aku akan selalu membersamaimu di mana pun berada. Bagaimana bisa aku melupakanmu?"

Sekalipun Susan tak lagi percaya pada Aslan dan negerinya, singa itu tak lantas mencoret nama Susan dari Narnia. Peter boleh menyimpulkan kalau Susan bukan lagi sahabat Narnia, tapi hanya Aslan yang berhak memutuskan siapa-siapa saja yang berhak kembali ke negeri ini.

"Bangsa ini tetap punya dua kemungkinan. Hancur atau bangkit."

Aslan tidak pernah berubah. Singa itu tetap memberikan pilihan pada bangsanya.

"Ramalan yang mereka percaya ada benarnya, tapi semua bergantung pada kalian. Seberapa besar kalian menginginkan kebangkitan dan persatuan di Narnia," tutur Aslan bijaksana.

Susan mengangguk, tak hanya dirinya, sebagian bangsa Narnia menginginkan perdamaian dan itu dapat diwujudkan hanya dengan persatuan dari berbagai ras di negeri ini. Bukan terkotak-kotak.

"Ratu Susan, bukankah kau merasa ada yang salah dengan tempatmu berada sekarang?" tanya Aslan retoris. Ia lebih tahu bagaimana perasaan Susan untuk bisa terlibat dalam perjuangan Narnia.

"Aku harap kau tak lagi ragu untuk menarik anak panahmu. It's your turn, The Grey Archer."

***

Langit kelabu tak menyurutkan semangat pasukan perang yang dipimpin John pagi ini. Barisan kurcaci berdiri di garda terdepan. Beruntungnya mereka tak sendiri, kawanan satyr, faun, dan kentaur ikut berbaris dengan senjata mereka masing-masing di tangan kanan. Keinginan mereka sama. Persatuan dan perdamaian.

"Mereka datang, Yang Mulia. Persenjataan mereka sangat banyak," ujar seekor burung merpati melapor pada John, sebagai panglima perang.

"Pasukan kita berlipat-lipat, Yang Mulia," pungkas Thomas menenangkan.

John mengangguk mantap, "Aku rasa, sudah waktunya."

Pedang perak berkilauan diangkatnya tinggi, perintah untuk sang Peniup Terompet menyiarkan dimulainya perang ke seluruh penjuru negeri.

Pasukan berkuda yang dipimpin oleh John berpacu ke medan perang dengan semangat berapi-api. Kawanan burung mengikuti, terbang melampaui sang Pemimpin, menjinjing batu-batuan besar yang dihantamkan mengenai garda depan pasukan lawan.

Mereka bisa bersorak untuk sedikit sinyal kemenangan. Namun, semua tak berlangsung lama, pasukan lawan di belakang berhasil menembus barier yang dibangun dalam seminggu hingga beberapa kurcaci tersungkur. Mau tak mau, mereka harus menjalankan plan B.

"Mundur! Arahkan mereka ke bukit!"

***

Dialog Susan dan Aslan beberapa hari lalu tak serta merta membulatkan tekad Susan maju ke medan perang. Wanita itu masih bimbang. Terlebih peringatan John pagi tadi membuatnya segan, kalau-kalau ia hanya mengacaukan konsentrasi para prajurit.

Hingga suara terompet sampai ke gendang telinganya. Hatinya terusik. Ia tak boleh diam.

Susan beranjak ke markas, mengalungkan busur dan quiver miliknya, mencari sisa pakaian zirah yang muat di tubuhnya. Berkawan dengan seekor kuda selama persiapan perang membawa keberuntungan, kuda putih itu tak berontak saat ditungganginya menuju perbukitan tempat para pemanah berkumpul.

Kuda putih tersebut berpacu dengan kencang, menyusuri hutan dan menanjak menuju bukit. Panglima tambahan itu tentu mengejutkan pasukan berbusur. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk percaya bahwa ia adalah sosok The Grey Archer yang ditunggu.

"Sepertinya mereka masih di lembah. Kita tunggu mereka," ucap Susan masih menyisakan wajah takjub pemanah lain.

Dari tempatnya berada, Susan bisa melihat, pasukannya berbalik mundur ke arahnya berada. Seekor kentaur pun datang melapor, "Mereka diarahkan ke bukit."

Susan mengangguk mengerti, "Ini kesempatan kita."

Masing-masing dari mereka mengarahkan anak panak ke arah lawan, menunggu instruksi sang Pemimpin.

Tash.

Satu panah Susan melesat menusuk dada seorang pasukan lawan, disusul oleh tarikan yang sama dari para pemanah di sampingnya.

Tash. Tash. Tash.

Ratusan pasukan lawan berhasil gugur di perjalanan menuju bukit akibat lesatan anak panah yang ditarik. Panglima perang ikut tersenyum dalam perjalanan kembali ke bukit. Kemenangan mereka tinggal selangkah.

"Hidup The Grey Archer! Hidup The Grey Archer! Hidup The Grey Archer!"

Samar-samar suara tadi menyusup ke telinga sang Panglima. Senyum John perlahan luntur. Ia tahu dengan pasti sosok yang disebut dalam ramalan. The Majesty dan The Grey Archer adalah sosok yang sama. Tuan Breen mengatakannya semalam, sekaligus memohon izin untuk melibatkan Susan, yang tentu ditolaknya mentah-mentah. Netranya pun menangkap seorang dengan pakaian zirah berbahan metal dengan gestur distingtif di atas bukit.

Pria itu menghela napas berat. Ia bertekad membawa Susan pulang sebelum semua menjadi runyam. Damien bisa bertindak nekat jika tahu ada Ratu Narnia di sana.

Namun, semua tak semudah rencananya.

Wush.

Damien, raja sekaligus panglima perang kubu lawan, sudah berada di hadapannya bersama beberapa pasukan. Berusaha menghunuskan pedangnya. Refleks John menangkis serangan tersebut dan bergerak maju. Ia akan menjauhkan Damien dari bukit. Sekarang.

"Mau ke mana lagi kau manusia penghianat?" ujar Damien. Pria itu menganggap John seharusnya menjadi pengikutnya bukan lawan.

John sedikit terkesiap ketika sekali lagi Damien menyerangnya. Kelabakan karena bertarung sendirian di titik tersebut, perut bawahnya sampai tergores oleh serangan pedang lawan. John terjatuh dari kudanya.

Ia bangkit, mengangkat perisai besi lantas mengibaskan pedang. Nahasnya, pedang tersebut tak berhasil melukai Damien. Tirani itu handal dalam berperang.

Wush.

Giliran Damien yang menyerangnya kembali. Dua pedang dikibaskan menyilang, mengapit leher John. Beruntungnya ia bisa bergerak mundur meskipun terpojok di dinding batu.

"Kau sudah tak punya tempat sembunyi," imbuh Damien.

John mengibaskan pedangnya untuk melawan. Nahasnya, pedang itu terlempar dengan sekali tangkisan Damien. Terlebih, lengannya mengucurkan darah yang membasahi pakaiannya. Tak ada satupun pasukan yang melihat ke arahnya. Ia tak lagi punya harapan hidup.

Seorang prajurit lawan datang mendekat dan bicara pada Damien, "Yang Mulia, sebagian besar pasukan kita mati akibat pemanah di atas bukit. Sebaiknya kita mundur dan menarik pasukan pemanah kita."

Sontak John menoleh ke arah Susan dan pasukannya yang terus menerus menarik anak panah mereka, menghabisi tentara lawan.

"Sepertinya ada yang menarik di sini," tutur Damien sinis.

"Biarkan aku habisi panglima mereka dulu."

Damien menarik pedang besarnya, bersiap menghunuskan ke dada John yang terpojok.

Tash. Tash.

Belum sempat pedang Damien tertancap di tubuh John, pria itu tergeletak tak berdaya di hadapan John. Dua buah anak panah yang Susan lesatkan menghujam perut dan dadanya.

Jatuhnya Damien membuat pasukannya mundur. Sudah tak ada lagi harapan untuk menang.

Menahan rasa sakit, John berusaha bangkit. Kemudian, sebuah tangan berjari lentik menariknya.

"Sudah kubilang—"

"Untuk tetap bersembunyi di markas? Sayangnya kau masih butuh bantuanku, Tuan," jawab Susan mengerti maksud John.

John tersenyum tipis, "Sejak kapan pria dilindungi wanita?"

Dug.

Refleks kaki Susan menendang tulang kering pria itu hingga mengaduh kesakitan. Sudah susah payah ia berlari mendekat mencari sudut yang aman agar bisa melemparkan anak panahnya tepat di bagian vital Damien. Bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, justru teguran dari temannya.

"Tak ada hubungannya gender dengan melindungi ataupun dilindungi."

***

Penduduk Narnia bersorak gembira sepanjang jalan menuju markas, menyambut kemenangan pasukan yang dipimpin oleh panglima perang mereka. Tak hanya oleh rakyat, kedatangan mereka juga dinantikan oleh sosok agung negeri ini. Aslan.

Ketika langkah kaki John membawa pria itu lebih dekat pada Aslan, tubuhnya membungkuk. Pasukan perang yang dipimpinnya melakukan hal serupa, memberikan salam pada Aslan sebagai simbol keadilan dari Narnia.

"Terima kasih. Kalian sudah membawa perdamaian negeri ini," tutur Aslan memulai ucapannya.

"Ini semua berkatmu, Aslan. Terima kasih sudah mengizinkanku kembali Narnia," jawab John masih dengan satu lututnya menopang tubuh. Aslan melangkah mendekat.

"Berdirilah, Anak Adam dan Hawa. Raja Caspian X. Ratu Susan."

John berdiri dari tempatnya menatap Aslan dengan syahdu. Sementara itu, Susan masih bergeming di tempatnya, apakah ini akhir cerita yang John maksudkan waktu itu?

"Ratu Susan, The Grey Archer, berdirilah," ulang Aslan sekali lagi.

Wanita itu bangkit dalam kebingungan. Melirik pria yang bangkit bersama. Hampir tidak mungkin mengklaim pria itu sebagai sosok yang tak mungkin ditemuinya lagi setelah bertahun-tahun berpisah.

"Tanpamu apa yang mereka sebut sebagai ramalan hanya akan sebatas dongeng. Kedatangan dan keberanianmu berhasil meruntuhkan tembok pembatas di negeri ini. Narnia memang kuciptakan untuk mengajarkan makna kehidupan bagi anak-anak Adam sebelum beranjak dewasa. Namun, semua tidak selalu berjalan demikian ...."

Kedatangannya dan John adalah sebuah anomali. Seharusnya tak ada orang dewasa yang bisa mengunjungi Narnia.

"Ada kalanya Narnia yang memerlukan kalian seperti sekarang."

Aslan pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria yang pernah menjadi Raja Caspian karena telah membawa pahlawan mereka kembali.

"Setidaknya, kau bisa kembali percaya akan keberadaanku dan negeri ini, Ratu?"

Samar-samar Susan mengangguk. Bukan sekedar sihir. Dunia ini memang benar adanya dan Aslan akan selalu memperhatikan bangsanya.

"Keluargamu pasti bangga padamu."

Mendengar kata keluarga membuat hati Susan ngilu. Air matanya menggenang, tapi mati-matian ditahannya.

"Apakah mereka bahagia bersamamu?" tanya Susan yang diam-diam sangat merindukan keluarganya.

"Tak hanya keluargamu, Ratu, keluarga dan keturunan Raja Caspian X juga berkumpul di negeriku. Mereka hidup dengan tenang di sana."

Senyum Susan terkembang. Mungkin sekarang belum waktunya mereka bersama lagi. Akan tiba saatnya, ia bisa berkumpul kembali dengan keluarganya dan para penduduk Narnia.

Kehadiran Susan tentu membawa dampak besar bagi bangsa Narnia. Namun, dalam setiap pertemuan, akan selalu ada perpisahan, termasuk kedatangan Susan kali ini.

"Apakah aku boleh melihat negeri ini sekali lagi sebelum berpisah?" pinta Susan terakhir kali. Aslan tak menolak. Singa itu mempersilakan Susan untuk menikmati negerinya sampai ia siap pergi. Ketetapan tetaplah ketetapan. Anomali tak bisa selamanya terjadi.

Susan beranjak kembali ke tempat peristirahatannya. Mendekati pria yang disebut sebagai Raja Caspian oleh Aslan.

"Kau berhutang penjelasan lagi, Tuan Douglass," desis Susan dengan suara yang hanya bisa pria itu dengar.

Senyum hangat kembali terukir di bibir pria yang dikenalnya sebagai John Arthur Douglass, "Dengan senang hati, Ratuku."

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top