2 - Introducing Gaia Bari


"Those men are idiots!"

Tawaku langsung menggema begitu mendengar Gaia meluapkan kekesalan. Sepuluh menit sudah berlalu sejak kami meninggalkan Sandstone, tetapi Gaia belum juga berhenti memborbardir telingaku dengan teman kencannya tadi. Dia jelas tampak kesal, dan sebagai sahabat yang baik, aku memberinya kesempatan untuk menumpahkan semuanya.

"Udah berapa kali aku bilang buat nggak mengiyakan tawaran kencan buta yang diatur sama Mama dan Tante kamu?"

Dari sudut mata, aku menangkap Gaia memutar bola mata. Dia lantas memiringkan badan untuk menatapku. "Kenapa sih kita nggak nikah aja, Sam? Aku nggak harus pergi ngabisin waktu sama pria-pria yang otaknya kosong itu. Plus aku janji nggak akan keberatan kalau kamu mau pacaran sama cowok mana aja. Our marriage will solve all of our problems."

Jika aku disudutkan dan diancam untuk menikah tanpa punya pilihan lain, Gaia berada di urutan teratas. Aku memang mencintai Gaia, tetapi ngak berada dalam koridor romantis. She's my best friend and my soulmate. Aku nggak mungkin merenggut kebebasannya demi rencana konyol yang disusun orang tua kami saat aku dan Gaia masih berumur delapan tahun. Menurut mereka, pernikahan kami akan menjadi titik puncak penyatuan tiga bisnis besar. Mengingatnya saja membuatku ingin muntah. I don't know if there is anything more fucked up than that. More about that story later.

"Kalau sekali lagi lagi kamu bahas soal nikah, nggak usah telepon aku buat minta tolong, ya."

Sebuah ancaman kosong, tetapi selalu berhasil menghalau Gaia agar menghentikan percakapan mengenai pernikahan kami. Aku tahu Gaia nggak pernah serius dengan permintaannya itu karena dia hanya mengucapkannya setiap kali kencannya berakhir dengan buruk.

"Nggak lucu banget ancemannya," gerutu Gaia. "Gimana tadi acaranya?"

"Nggak ada yang baru buat diceritain," tukasku.

"Siapa korban Tante kali ini?"

"A girl named Jessica or Jennifer. I don't remember."

"Kenapa sih kamu masih di sini, Sam? Why don't you just move abroad? Kamu punya semua yang dibutuhin buat tinggal di luar negeri. Kamu akan bebas dari tuntutan buat menikah dan bisa jadi diri kamu sendiri."

Meninggalkan Indonesia serta menanggalkan seluruh atribut yang menempel pada namaku adalah sebuah mimpi yang tampak sederhana. Namun merealisasikannya nggak sesimpel yang dipikirkan Gaia atau beberapa orang yang peduli denganku. Ada banyak pertimbangan yang masih belum mampu aku temukan solusinya.

"I wish it was that easy, Ya."

"Apa kamu takut?"

Tanpa mengalihkan tatapan dari jalan, aku menelan ludah. "Aku punya tanggung jawab di sini. Aku nggak bisa ninggalin semuanya gitu aja."

"Jinggakala bisa kamu urus dari mana aja, Sam. Kalau memang alasan kamu nggak bisa ninggalin Indonesia karena itu."

"I know, but ...." Nama Jinggakala justru membuatku semakin nggak ingin meninggalkan Indonesia.

"Kamu belum siap?" sergah Gaia sambil sedikit memiringkan tubuhnya. "Takut dicoret dari daftar warisan? Atau takut kepindahan kamu jadi berita?"

Pertemananku dan Gaia sudah mendekati dua dekade hingga dia punya kemampuan membaca isi pikiranku dengan presisi jitu. Sebenarnya daftar yang disebutkan Gaia masih berlanjut hingga membuatku belum berani mengambil keputusan pindah ke luar negeri.

Diamku tentu saja diartikan Gaia bahwa tebakannya mengenai sasaran.

"Sam, aku nggak perlu mengingatkan bahwa apa yang ada di diri kamu—your brain, your body, your mind, your dreams—bukan milik keluarga kamu. Aku nggak ragu kamu bisa survive dengan usaha kamu sendiri. You've proven that with Jinggakala."

"Masih banyak yang mau aku capai dengan Jinggakala. Untuk itu aku harus tetap di Indonesia."

Dari semua yang pernah aku capai, Jinggakala berada di urutan teratas hal yang paling aku banggakan. Merestorasi film-film Indonesia lama supaya bisa dinikmati generasiku serta membantu produksi film-film independen adalah dua hal yang sangat dekat denganku. Masih panjang jalan yang harus ditempuh Jinggakala, tetapi aku sungguh nggak sabar merealisasikan semua rencana tersebut.

"Kamu bisa tetap melakukan itu semua tanpa harus tinggal di sini."

Gaia nggak salah. Dia hanya belum bisa memahami bahwa sikap bertahanku dengan semua batasan yang mengelilingi adalah demi tujuan yang lebih besar: kebebasanku.

"Even when you find the love of your life, who asks you to move abroad with him?" tambahnya.

Gaia nggak cuma bisa membacaku seolah dia adalah ensiklopedi bertajuk Understanding The Inside Minds of Cakrawala Sampurna, tetapi dia tahu mimpi terbesar sekaligus paling mustahil dalam hidupku. Namun membayangkannya terjadi sanggup membuat bibirku tersungging.

"Gaia, kamu tahu itu nggak akan pernah kejadian."

Gaia terkesiap sembari menutup mulut, seolah dia baru saja menyadari sesuatu. Dia lantas memandangku tajam. "I need to set you up on a date!" serunya. "You need to get laid! ASAP!"

Mendengar itu, aku tergelak. "Gaia, kamu tahu aku nggak bisa nge-date di sini. I only date when I'm on vacation abroad."

Alasanku sederhana. Ketika berada di negara orang, nggak ada yang mengenalku sebagai Cakrawala Sampurna Tedja. Aku menyimpan semua yang melekat dengan namaku dalam sebuah kotak dan menguncinya. Aku menjunjung tinggi anonimitas saat berlibur.

Hal itu memberiku kesempatan menjelajah banyak kemungkinan yang absen saat berada di Indonesia. I meet guys for date and I do one night stand. Strictly for fun and no strings attached. Namun bukan lantas aku kehilangan kendali. Ada satu aturan yang aku pegang dengan erat, yaitu aku harus menyukai pria yang bisa menyeretku ke tempat tidur. There has to be a connection, no matter how miniscule that connection is.

Aku menikmati dan memikirkan seks seperti pria pada umumnya, tetapi aku harus yakin ada ikatan di antara kami. Aku bukan penggemar seks tanpa identitas.

Usul Gaia mengatur kencan untukku bukan hanya nggak mungkin, tapi punya potensi jadi kabar buruk. People talk, and they will eat up a story about my sexuality. Akan muncul skandal besar. Aku nggak yakin punya kekuatan buat menghadapi itu sekarang.

"Then we need to have a vacation together. As simple as that."

Gaia memang nggak punya pekerjaan, dalam artian, dia nggak harus ke kantor atau memikirkan tentang strategi marketing apa yang paling manjur. She just enjoys life with all the privileges that she has. Sebenarnya aku dianugerahi privilese yang sama, tetapi ada Jinggakala yang harus aku urus. Belum lagi 'tugas' dari Mama atau Papa yang mengharuskanku hadir di acara-acara tertentu tanpa bisa mangkir.

"Mau ke mana memangnya?" tanyaku.

"Europe, of course! You love Italian men, don't you? So that's where we should go."

"I love men, period. No matter where he comes from."

Munafik jika aku mengatakan fisik nggak masuk dalam daftar alasan ketertarikanku dengan seorang pria. I'm a gay man and I love seeing beautiful men. Hanya saja tampilan sempurna akan membuatku kehilangan nafsu dan rasa tertarik jika nggak diimbangi dengan substansi. Mengandalkan fisik adalah cara paling cepat membuatku ilfeel.

"Coba ingetin aku lagi, kamu nyari cowok yang seperti apa. Siapa tahu dari dari daftar katalog yang aku punya, ada yang cocok."

Aku menggeleng pelan mendengar menyamakan pria dengan barang yang bisa dipilih dengan gampang. Namun aku juga nggak bisa menahan senyum. "Selama dia mau diajak susah dan nggak peduli dengan nama keluargaku, buatku itu udah cukup."

Kening Gaia mengerut. "Kenapa harus mau diajak susah?" Dia terlihat bingung dengan satu kata itu.

"Gaia, rencana besar dalam hidupku adalah menanggalkan semua atribut Tedja yang aku punya. Itu berarti ninggalin semua privilese dan kenyamanan yang selama ini melekat kepadaku. Sebelum itu, aku juga harus yakin bahwa dia nggak peduli dengan latar belakang keluargaku. Can someone see me beyond my family name and everything attached to it?" Aku berdeham pelan. "Dari yang udah-udah, mereka pasti freak out begitu tahu. Opini mereka tentangku kemudian berubah. Mereka akan lihat apa yang keluargaku punya, dan aku jadi entah nomor berapa." Aku dengan cepat mengangkat satu tangan begitu menyadari Gaia ingin menimpali ucapanku. "Itu fakta, Ya, dan aku nggak tahu apakah masih ada cowok yang bisa lihat aku ... as me."

Pergi kencan dan punya pasangan harusnya nggak serumit itu, kan? Namun menyandang nama Tedja dan menjadi satu-satunya gay di keluarga menjadikan kehidupan romantisku layaknya rumus-rumus Matematika yang sulit dipecahkan.

"Apakah kamu masih percaya akan ketemu your one true love, Sam?"

Aku menarik napas sebelum menoleh sesaat ke arah Gaia. "Kalau suasana hatiku lagi baik, tentu saja aku percaya, ta—"

"Cakrawala Sampurna, aku nggak peduli dengan situasinya," potong Gaia. "Do you still believe you will find someone or not? This is a yes and no question, Sam."

Dengan sengaja aku menggantung jawaban, membiarkan Gaia menunggu. Terlebih ketika kami akhirnya sampai di McDonalds. Begitu memarkir mobil, aku mematikan mesin dan memandang Gaia yang tampak nggak sabar menanti responku.

"Jika bersikap egois, tentu saja aku masih percaya akan menemukan cinta sejati. I'm a romantic at heart, after all. Namun aku nggak mau menutup mata bahwa fakta yang ada nggak berpihak kepadaku."

Gaia menggeram pelan seolah dia sudah bosan mendengar kalimat yang serupa dariku. Dia lantas menatapku lekat. "Sam, we've been through a lot together, and we've promised that we'll be soulmate forever. Tapi aku nggak suka lihat kamu seperti ini, Sam. Kamu jelas nggak bahagia karena harus berkompromi dengan keluarga kamu. Rasanya aku pengen bisa melakukan sesuatu, tapi aku nggak bisa apa-apa."

"Gaia, you've never given up on me. Not once." Aku memandang Gaia lembut. "Kamu selalu di sampingku ketika banyak orang meragukanku. Kamu nggak pernah sekali pun ninggalin aku sendirian. That means a lot, Gaia."

"Because we made a promise, didn't we?"

Aku tersenyum dan mengangguk. "I will never leave your side as well."

"Karena aku nggak yakin ada pria lain yang bisa bikin insecure cowok-cowok yang aku kencani selain kamu."

"Kamu pasti akan ketemu seseorang, Ya. Kalau sampai usia 50 kita belum punya pasangan, kita bisa pensiun di Maldives atau di Yunani, tinggal berdua, kemudian minum wine di teras rumah pinggir pantai setiap sore."

"Lebih baik aku tinggal sama kamu daripada sama cowok yang nggak pernah menghargai aku. And I like that idea very much."

Dengan tangan satunya, aku mengangkat jari kelingking. "Shall we make a pact?"

Tanpa ragu, Gaia mengaitkan jari kelingkingnya denganku. "Let's grow old together if we don't find any guy to grow old with."

"Janji?"

"With every beat of my heart."

Dengan itu, satu janji lagi terucap di antara kami. Aku pun lebih memilih menua bersama sahabat terbaikku daripada dengan pria yang hanya mengincar nama keluargaku. Pensiun bersama Gaia terdengar lebih menyenangkan. 

***

Hi everyone,

Maaf ya minggu kemarin nggak saya update, but fear not, the update is here!

Apakah udah punya gambaran mengenai karakter Cakrawala Sampurna? (to be honest, saya suka banget nama ini, LOL) What do you think about Gaia Bari?

Untuk musiknya sengaja saya pilih ini karena ngasih vibes Yunani, yang merupakan setting film ketiga dari Before trilogy, Before Midnight. Dan karena musik ini diputar pas adegan favorit saya. 

Semoga suka, dan selamat berakhir pekan!


Baci,

Abi

Music: Still There, Still There by Graham Reynolds from Before Midnight

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top