95. Chital Deer
Bogor, Indonesia
October 2024
Tiga hari yang lalu saat Remus Wiradikarta selesai mengobrol dengan Sura dari ruang kerja di kediamannya, ia menerima telepon langsung dari istana untuk menemui Presiden. Secara tidak terduga, Presiden mengajaknya untuk bertemu dan makan siang di salah satu dari enam Istana Kepresidenan Republik Indonesia yakni Istana Bogor. Awalnya selama menyusuri Jalan Tol Jagowari, Remus hanya berpikir bahwa Presiden ingin menemuinya untuk makan siang biasa, hingga ia ingat dengan candaan Nicholas yang membuatnya agak senewen.
"Ya, Ayah, kurasa makan siangnya hanyalah pembukaan dan selanjutnya Pak Presiden akan bertanya soal New York atau beliau ingin mempertemukan putra keduanya dengan putri kesayangan Ayah itu."
Setelah mobil yang ia kendarai memasuki kawasan Istana Bogor, mata Remus hanya memandangi beberapa ekor rusa yang dilewatinya. Remus sangat menyukai hewan, namun ia tidak dapat memelihara hewan di kediamannya. Ia senang karena kali ini ia dapat melihat rusa totol yang bermukim di Istana Bogor. Rusa totol didatangkan dari perbatasan India-Nepal selama tahun 1808-1811—saat Willem Daendels masih menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda. Setelah lebih dari dua ratus tahun, rusa-rusa tersebut bermukim dan dikembangbiakkan yang membuat populasi rusa di Istana Bogor meningkat dan menjadi magnet tersendiri saat masyarakat melintasi Istana Bogor.
Sekarang yang dilakukan oleh Presiden dan Remus adalah berjalan kaki di sekitar istana negara. Mereka terlihat diikuti oleh dua petugas Paspampres dari kejauhan. Beruntunglah cuaca pada saat itu tidak terlalu terik dan udaranya cukup sejuk. Tampak dari postur tinggi badan antara Presiden dengan Remus yang sebenarnya tidak jauh, namun tinggi badan (dan latar belakang) Remus tampak sering kali mengintimidasi pejabat lain—baik yang melewatinya atau yang hanya mendengar namanya.
"Apa yang akan Bapak lakukan setelah ini?"
"Saya akan pergi ke New York, Amerika Serikat, Pak Presiden."
"Jadi anda menolak untuk melanjutkan pengabdian lagi sebagai Menteri Luar Negeri di kabinet saya karena anda ingin pergi ke Amerika Serikat?"
"Salah satunya itu, Pak."
"Bapak benar-benar di luar dugaan saya. Rakyat Indonesia selalu mengapresiasi kinerja bapak, namun dunia Internasional cocok untuk anda, Pak. Saya selalu bangga dan kagum dengan pencapaian Bapak. Semoga sukses dengan pengabdian Bapak selanjutnya di tempat baru."
"Saya tersanjung, namun semua tidak dapat terwujud tanpa Bapak. Terima kasih, Pak."
"Saya serius. Bapak banyak membantu saya selama satu periode ini."
"Baik, Pak." Remus membalas dengan sopan tanpa membantah.
"Apakah anak-anak Bapak juga ikut ke New York?"
"Tidak, Pak Presiden. Mereka tetap tinggal dan bekerja di Indonesia—Nicholas akan tetap di Kemlu dan Sura bekerja di salah satu Start-up."
Pak Presiden pun hanya mengangguk paham. Tampaknya sedang memikirkan sesuatu yang menarik. "Kalau begitu, apakah saya boleh mengajak anak Bapak untuk bertemu dengan anak saya? Ah, tidak, saya ingin langsung ke poinnya saja, apakah saya dapat melamar anak Bapak untuk anak saya?"
Candaan Nicholas tidak salah. Batinnya sembari melangkahkan kakinya dan melihat Presiden mendekati salah satu rusa totol. Sebenarnya Remus hampir saja tersedak, namun ia memikirkan jawaban yang pantas untuk diberikan. Remus tahu pasti bahwa yang dimaksud oleh Presiden adalah Rayan, putra kedua Presiden yang sedang menempuh Program Co-Assistant sebagai mahasiswa Kedokteran di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Karena hanya Rayanlah yang saat ini masih lajang dibandingkan kakak laki-laki dan adik perempuannya yang sudah menikah (dan dinikahkan dengan anak dari public figure lainnya).
Sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Pak Presiden dikenal sebagai pebisnis properti sukses yang masuk ke panggung politik. Oleh karena itu, Remus tahu pasti bahwa kriteria pasangan dari anak-anak Presiden ini adalah orang Jawa totok, seseorang dengan jiwa nasionalisme yang tinggi, berasal dari keluarga yang berpengaruh—bisa ayahnya yang menjadi ketua partai, menteri, atau pengusaha, dan pribadinya baik. Menantu pertamanya pemenang kontes GADIS Sampul, aktris, dan putri pengusaha, sedangkan menantu keduanya adalah seorang insinyur dan putra dari pengusaha. Jika melihat dari runtutan ini, Remus dapat mengambil sebuah keputusan untuk menjawab tawaran ini.
"Sebelumnya saya berterimakasih kepada Bapak karena telah tertarik untuk melamar putri saya untuk putra Bapak. Saya merasa bahwa putri saya jauh dari kata sempurna—ia sering disalahpahami karena asal usul saya dan bundanya, fasih enam bahasa dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu, namun Bahasa Indonesianya seperti buku teks, dan putriku bukan Warga Negara Indonesia karena ia mengikuti WN ibunya. Maka dari itu, saya akan serahkan kepada putri saya untuk menjawabnya."
"Saya kira putrimu akan melanjutkan karier sebagai diplomat sepertimu dan kakaknya—saya merasa bahwa ia memiliki skillset seorang diplomat yang lebih oke."
"Sebenarnya kalau saya boleh jujur, lebih baik anak saya mencari profesi yang lain. Namun, mereka berinisiatif untuk mendaftar." dan kalau boleh saya jujur lagi, Pak, jangan sampai ada Wiradikarta ketiga yang akan menjadi Menteri Luar Negeri. Batinnya sembari tersenyum sedikit.
Pak Presiden hanya tertawa mendengar jawaban Remus. "Saya mengerti, Pak Remus. Sebenarnya saya memang tertarik untuk menjodohkan putrimu dengan putra saya karena mereka seumuran juga. Anak saya juga tidak luput dari kekurangan yang ada pada dirinya. Mungkin Bapak bisa berdiskusi dengan keluarga terutama Sura, dan saya juga harus berdiskusi dengan istri saya dan Rayan. Bapak bisa memberikan jawaban melalui telepon dari New York."
"Baik, Pak Presiden. Saya sangat mengapresiasi waktu dan lamaran yang Bapak berikan." Remus memberikan jawabannya dan kemudian ia menyadari bahwa seekor rusa totol menghampirinya. Perasaannya ia ingin menyentuh rusa tersebut, namun ia belum tahu bagaimana caranya. "Tentu saja di New York tidak ada rusa totol yang tiba-tiba datang seperti sekarang, jadi saya hanya mendapatkan pengalaman ini di Istana Bogor."
Pak Presiden hanya terkekeh. "Ya, karena yang akan Bapak lihat di New York ialah Golden Retriever atau Samoyed."
.
.
.
Saat pulang, Remus langsung menceritakan apa yang ia alami hari itu kepada istrinya, Ingrid, sembari duduk di sofa ruang keluarga. Kebetulan anak-anak mereka belum pulang dari luar, jadi dirasa dapat menjadi sikon yang ideal untuk membicarakan tentang lamarannya Pak Presiden untuk putri bungsunya. Mereka berdua benar-benar bingung dan tidak dapat membayangkan apapun yang terjadi jika nantinya menerima lamaran tersebut.
"Ya, aku membicarakannya denganmu sebelum mengatakannya kepada Sura." Remus mengatakannya sembari memandangi istrinya. "Aku tidak bingung, namun aku harus mengatakannya padamu."
Ingrid pun mendengarkannya perlahan-lahan dan menyadari bahwa putrinya sedang dilamar oleh Presdien untuk putranya. "Jangan khawatir, Sura akan memutuskan pilihannya. Memang alangkah baiknya segera agar Pak Presdien dapat memilih calon untuk anaknya yang lebih ideal untuk keluarga mereka."
"Ya, kamu benar. Sejujurnya juga, aku begitu menginginkan Fabian. Ia mengingatkan aku pada diriku sendiri." Remus menanggapi dan memilih untuk bersandar pada kursinya. "Tidak terasa Sura kita sudah memasuki fase menjalin hubungan dengan pria, namun secara bersamaan juga mendapat lamaran dari pria lain."
"Tampak persis seperti Sabine dulu," gumam Ingrid sembari mengambil salah satu bantal di sofa tersebut dan memeluknya. Sementara Remus pun mengangguk paham karena mengerti dengan konteksnya.
TBC
nas's notes: haii maaf sebelumnyaa, apa aku boleh mendapatkan feedback atau komentar untuk part ini dan part sebelumnya pada tellonym atau kolom reply? anyway, terimakasih banyak yaa kalian sudah berkenan untuk membaca ceritaku. mohon doanya semoga aku dapat update dan dilancarkan dalam penulisan cerita ini. terimakasih yaaa <33
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top