79. Drawing Room

Munich, Germany
March 2010

Mata Fabian memandangi foto kedua orang tuanya saat mereka mengumumkan pertunangan setahun sebelum pernikahan mereka. Pikirannya tampak heran dengan ekspresi ibunya yang tampak biasa saja. Telinganya menangkap suara langkah kaki dari seorang wanita tua yang datang menghampirinya. 

"Mutti-mu tidak mencintai anakku. Bahkan aku jarang melihatnya ada di rumah untuk membantuku." Wanita tua tersebut membuka percakapan sembari menatap Fabian. "Meskipun kamu jelek, bahkan saat dewasa, kamu akan tetap dikejar karena kamu pewaris tunggal. Kamu kaya. Maka carilah pasangan yang menurut dan selalu ada di rumah. Jangan menikahi perempuan sombong seperti mutti-mu."

"Kenapa mereka menikah."

"Karena mutti-mu hanya mau hidup dengan harta anakku. Aku masih menyayangkan kamu lahir dan tumbuh besar sejelek ini. Bahkan kamu tidak mirip dengan—"

"Oh, Karen, berhenti mendoktrin putraku!" Andrian Hafiyyan memotong omongan wanita tua begitu ia melihat wanita tua alias ibu tirinya sedang mendekati anak laki-lakinya dan berbicara hal yang buruk tentang istrinya dan putranya. "Setidaknya Sabine bekerja untuk ayahku disaat aku tidak ingin dan kamu hanya ingin dilayani seperti ratu dengan harta ayahku."

"Aku bukan Karen."

"Dan aku juga bukan anakmu. Lihatlah dirimu! Bahkan kamu hanya menyerahkan aku pada pengasuh karena kamu tidak bisa merawat anak." Andrian membalas tanpa memandangi wanita tua tersebut dan menatap putranya. "Fabian, ayo kita pergi dari sini. Aku akan membawamu."

"Kamu membawa Fabian ke mana?!" tanya wanita tua yang tampaknya sudah terlanjur kesal dengan kata-kata dari anak tirinya. Wanita tua tersebut berpikir bahwa Andrian akan membawa Fabian menuju apartemen Joshua Amari, adiknya Sabine, yang menurut wanita tua itu bukan seorang gentlemen dan tidak beradab. "Apa kamu akan membawa Fabian ke Joshua Amari?!"

"Aku ayahnya dan aku bisa membawa Fabian sesukaku!" Andrian meninggikan suaranya hingga membuat Fabian beranjak dari kursi dengan membawa foto tersebut dan berdiri di dekat ayahnya. "Ayo Fabian." 

"Aku akan melaporkan perilakumu ini pada ayahmu, Andrian!"

"Ayahku adalah dokter dan pemilik kekayaan yang kamu nikmati itu! Jangan mengadu seakan-akan ayahku adalah manager! Aku ingat bagaimana kamu meninggikan suaramu depan ayahku dan mengatakan anakku terlihat seperti babi. Sampai kiamat pun, aku tidak terima gunjinganmu soal istri dan anakku!"

.

.

.

Jakarta, Indonesia
23 December 2026

"You look good."

Fabian tersenyum lebar begitu mendengar Sura memujinya dengan suara pelan. "Danke."

Sekarang mereka sudah berpindah menuju Drawing Room dari Presidential Suite yang telah diatur sedemikian rupa oleh Fabian. Pengaturan tersebut diupayakan dengan menaruh lukisan dan bunga warna warni kesukaan Sura. Mereka duduk pada salah satu sisi sofa dan Sura terlihat duduk pada lengan sofa berwarna merah marun tersebut. 

Nandito Thiar pun tampak kegirangan karena ia mendapat banyak foto bagus dari kedua pasangan ini. Beruntung juga ia membawa beberapa asistennya untuk membantunya mengerjakan proyek ini (dan Nandito tetap mengkuliahi mereka tentang kerahasiaan klien yang satu ini). Menurutnya, Presidential Suite dari The Imperial Garden benar-benar mengingatkannya pada hotel-hotel klasik eropa yang memiliki tembok berwarna cokelat dan pintu yang menjulang tinggi. Bahkan gaya furniturnya mengingatkannya pada rumah-rumah orang kaya lama yang ia datangi saat open house.

Tampaknya, Nandito sudah memiliki penilaiannya sendiri. Semua yang dilakukan oleh Fabian pun tampaknya membuat Nandito berpikir bahwa Sura akan menikah dengan pria yang memujanya. Saat Nandito secara tiba-tiba mengatakan (dengan nada bercanda) bahwa Fabian tampak mirip dengan Sabine Amari, supermodel kesukaannya, dan Fabian terkekeh sembari menjawab bahwa Sabine adalah ibunya Fabian. Masuk akal karena menurut Nandito, Fabian tumbuh menjadi pria idaman ayah-ayah untuk dijadikan menantu: kaya, dokter, tampan, dan anak tunggal.

"Sudah selesai! Terima kasih banyak Sura dan Mas Bian." Nandito menurunkan lensa kameranya dan menghampiri Sura dan Fabian untuk menyalami mereka. Sementara tampak para asistennya sedang merapihkan perlengkapan memotret yang telah digunakan.

"Terima kasih banyak Nandito! Senang akhirnya bisa bekerja denganmu setelah aku banyak mendengar tentangmu dari Kanaya dan Shadira." Sura membalas sembari beranjak dari sofa dan menyalami Nandito. Perempuan tersebut terlihat puas dengan apa yang mereka lakukan hari ini.

"Justru aku yang berterimakasih karena kamu memilihku. Aku begitu ingin bekerja sama denganmu dan akhirnya diwujudkan sekarang. Aku akan mengabarimu untuk hasil editannya dan jika kalian suka, aku bisa mengirimnya pada kalian."

Fabian memberikan senyuman ramahnya. Tampak perasaannya masih senang saat bertemu dengan pria yang begitu baik dan merangkul, terutama Nandito juga membaca buku yang sama dengannya. "Aku akan mengabarimu jika kita sudah menikah agar kamu bisa mempublikasikannya ke publik. Jujur saja, aku senang bertemu denganmu dan kita berbicara banyak, Dit."

"Siap! Aku jauh lebih senang bisa bertemu dengan pasangan seperti kalian. Kalian tampaknya sudah siap jika seandainya menikah besok!" Nandito berceloteh sembari merapihkan kembali kameranya dan memasukannya ke dalam tas khusus dengan sekat. "Semoga lancar, ya, untuk persiapan pernikahannya Mas Bian dan Sura."

"Terima kasih Nandito!"

Setelah Nandito dan asistennya pergi dengan menutup pintu kamar suite tersebut dengan sopan, Fabian memilih untuk melepas jas cokelat keabuan tersebut dan menaruhnya terlipat pada salah satu lengannya. Sementara Sura memilih untuk duduk pada bagian sofa dan menarik nafasnya. Fabian pun langsung bergabung dan bersandar pada bahunya Sura. 

"Bunganya bagus." Fabian memuji begitu ia melihat bunga yang dibaa oleh Sura untuk pemotretan sebagai bagian dari foto prewedding-nya. Tampak Fabian melihat bahwa bunganya menyesuaikan keinginan Sura. 

"Benar, Sayang. Aku senang saat Shadira mengejutkan aku dengan pilihan bunganya yang benar-benar sepertiku," jawab Sura yang kembali memandangi buket bunganya yang berada di atas meja, terutama dendrobium ungu yang merupakan salah satu dari keluarga anggrek. "Aku jarang mendapatkan bunga anggrek di buketku, namun dendrobium ini cantik."

Fabian hanya bisa memandangi Sura saat perempuan muda tersebut membicarakan buket bunganya, namun yang menjadi fokusnya adalah Sura terlihat cantik. Sura selalu cantik baginya, namun hatinya terasa penuh saat kembali bertemu dengannya. "Kamu cantik sekali. Jujur, aku bimbang untuk mendeskripsikan dirimu hari ini sebagai lukisan atau bunga atau keduanya karena kamu indah."

Perempuan tersebut hanya tersenyum dan membiarkan wajahnya memerah saat mendengar cara Fabian memujanya. Pikirannya berusaha untuk mengalihkan pujiannya Fabian. 

"Ngomong-ngomong, aku baru menyelesaikan The Emmerich Siblings."

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Puji aku juga."

"Tadi aku sudah memujimu, tahu."

"Tidaaaak."

"Kamu hari ini jauh lebih tampan daripada biasanya dan rasanya aku ingin menikah denganmu sekarang. Terima kasih, ya."

"Pujian apa itu? Maksudmu aku di hari-hari biasanya tidak tampan, ya?"

"OK, aku tidak mau ngomong apa-apa lagi," gumam perempuan muda itu sembari mengalihkan pandangannya dari lelaki yang duduk di sebelahnya. 

Fabian meninggikan sudut bibirnya sembari tertawa dan kemudian ia mulai mengecup pipinya Sura. Tangan perempuan tersebut juga diraihnya dan mengecup punggung tangannya dengan lembut. "Aku tahu maksudmu. Terima kasih, ya, Cantik."

Perempuan tersebut tidak membalas apapun dan masih memalingkan pandangannya—tentu saja dengan spontan ia tersenyum saat mendengar ucapan kekasihnya.

"Kenapa kamu menyelesaikannya dengan cepat?" tanya Fabian yang langsung mengganti topiknya. Ia heran karena ia sendiri ingat dulu ia menghabiskan buku tersebut dalam beberapa minggu—sama seperti saat ia menghabiskan buku-buku Julian Ramadhan yang lainnya.

"Aku tidak sabar ingin menyelesaikannya. Aku membaca terlalu cepat."

"Semakin jelas bahwa kamu benar-benar speed reader, Sayang. Tidak apa-apa, kamu bisa membaca ulang, kok." Fabian mulai mengusap kepala Sura dengan lembut. Tangannya bisa merasakan helaian rambut berwarna cokelat gelap yang masih tertata rapi.  

Tangannya mengambil tangan Fabian dari kepalanya dan menghempaskannya. "Jangan mengusap kepalaku. Nanti aku mengantuk."

"Kalau begitu apa kamu membawa bukumu? Kita baca bersama saja, bagaimana?"

"Boleh! Namun aku masih membawa The Emmerich Siblings, sementara Nicky sedang membaca Deutschland 93. Apakah aku boleh meminjam punyamu?"

"Boleh!" Fabian berujar sembari mengeluarkan Deutschland 93 miliknya dari tasnya yang dicetak dalam Bahasa Jerman. Sementara Sura memberikannya The Emmerich Siblings. Saat Fabian mulai membuka halaman pertamanya, ia melihat coretan tinta yang sangat ia kenali —tulisan dan tanda tangan dari penulisnya, Julian Ramadhan. "Ini cetakan pertamanya, ya?"

"Ja."

"Aku bisa mengerti kenapa bundamu memiliki banyak koneksi bagus—bahkan Julian Ramadhan berterimakasih pada bundamu."

Sura berpikir sejenak. Ia belum menanyai bundanya soal ucapa terima kasih dari Julian Ramadhan untuk bundanya itu. "Kurasa bundaku membantunya mencari beberapa narasumber terpercaya untuk mencari informasi untuk bukunya," gumamnya dengan jawaban yang sekiranya memungkinkan. Ia akan berencana untuk menanyai bundanya nanti jika ada waktu, "menurutmu Deutschland 93 ceritanya seperti apa?"

"Kisah cinta dua orang asing yang bertemu di Oxford. Lucu, deh, cocok untuk para dewasa muda yang ingin jatuh cinta atau mempersiapkan pernikahan yang pasangannya beda budaya." Fabian menjelaskannya dengan singkat sembari memandangi jemari Sura yang mulai membuka halaman-halaman dari Deutschland 93 miliknya. "Mereka memang bertemu di Inggris, namun pas pertengahan menuju akhir kamu akan mengerti kenapa judulnya Deutschland 93. Karena dulu saat aku membacanya aku juga akan bingung, namun lama-lama aku mengerti mengapa negaraku terdengar sangat spesial di buku ini."

"Pantas saja orang tuaku menyuruh Kak Nicky membacanya—ayahku tidak mengatakannya secara langsung, namun sebenarnya itu adalah peringatan pertama untuk Kak Nicky sebelum ayah bundaku ingin membuangnya ke salah satu negara karena ia masih belum menemukan pasangannya."

Fabian tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

TBC

nas's notes: hii guys! terima kasih banyak yaa karena kalian sudah membaca part ini. kalau aku boleh, apakah aku bisa mendapatkan feedback dari kalian? entah aku ingin membaca tanggapan kalian yang sudah membaca karyaku di sini dan di pinned twitter-ku. kalian bisa menganggapi part ini atau part sebelumya lewat tellonym aku, ya. kalian mau nanya atau kirim support ke aku juga boleh! :") terimakasih banyak yaaah <3 semoga november ini aku bisa mengejar banyak hehehe





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top