74. The Emmerich Siblings
Jakarta, Indonesia
December 2026
"Nicky, tolong bukakan koper yang di-wrap itu."
Nicholas Hanan hanya mengiyakan dan membuka plastik wrap koper tersebut dengan gunting. Setelah membuka koper tersebut dengan membuka TSA lock-nya melalui kata sandi, ia terpanah dengan apa yang dibawa oleh ayah dan bundanya setelah dua puluh lima jam perjalanan dari New York, Amerika Serikat menuju Jakarta, Indonesia—termasuk satu kali transit di Doha, Qatar selama empat jam tiga puluh menit.
"Kalian naik apa?"
"Qatar Airways."
"Kelas Bisnis?" tanya Nicholas untuk memastikan.
"Ekonomi." Ingrid menjawab dengan singkat dan melihat anak laki-lakinya mendenyitkan dahinya dengan rasa tidak percaya. "Efisiensi waktu, Nicky. Kita mencari waktu transit yang paling cepat."
Tentu saja. Orang tuanya tidak terlalu memikirkan kelas saat melakukan penerbangan, namun mereka akan memikirkan maskapai dan waktu perjalanan sembari membandingkan dengan uang yang dikeluarkan—terutama jika berangkat mendekati peak season. Ditambah juga mereka harus transit di satu atau dua kota pemberhentian. Yang terburuknya adalah jika mereka harus transit dengan durasi di atas delapan jam dan tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tentu saja jika mereka berangkat atau pergi menuju Inggris atau negara lain selain Amerika Utara, mereka akan memesan kelas bisnis dan tetap mencari yang waktu transitnya lebih cepat.
Akhirnya Sura pun turun dari tangga kediamannya setelah beristirahat sejenak dari pekerjaannya yang ia lakukan dari rumah. Pandangannya menangkap Nicholas yang mengeluarkan semua isi koper tersebut dan menjajarkan semuanya di lantai. "Ayah sama Bunda mau buka toko kelentong, kah?"
Ingrid Ehrlich hanya terkekeh saat mendengar celotehan putrinya. Ia selalu membawakan cokelat, kudapan, vitamin, obat-obatan, dan titipan anak-anaknya. Nicholas dan Sura selalu menitip buku atau fashion items (Sura tidak bisa menitip vinyl kesukaannya karena orang tuanya tidak mau pusing kalau vinyl-nya patah di perjalanan). Nicholas mendapatkan sweater dan syal rajut dari Acne Studio, parfum dari Replica, dan dompet kulit cokelat dari Tod's (karena Bally miliknya sudah koyak, jadi Nicholas menggantinya dengan Tod's atas rekomendasi dari Sura), sementara Sura mendapatkan jaket kulit cokelat dari Acne Studio, lipstik dari Yves Saint Laurent, dan beberapa buku karya Julian Ramadhan yang terbungkus beberapa lembar dari koran The New York Times (yang sebenarnya milik bunda dan bertanda tangan).
"Wow akhirnya aku bisa mengganti dompetku! Terimakasih Bunda!" Nicholas bersorak kegirangan begitu ia membuka kotak jingga berukuran kecil khas rumah mode Italia tersebut.
"Ayahmu yang membelikan." Ingrid menjawab dan melihat putrinya langsung mengambil bungkusan oleh-oleh yang ditujukan untuknya dari koper tersebut. "Sura, kukira karya Julian Ramadhan bukan seleramu?"
Ingrid hanya terheran karena sebelum kepergiannya menuju Jakarta, Sura memintanya untuk membawakan beberapa buku yang ditulis oleh Julian Ramadhan. Ingrid tahu pasti kebiasaan membaca anak-anaknya—Hanneli hanya membeli buku dan lupa bahwa ia membelinya, Nicholas yang lama sekali dalam menghabiskan satu buku, dan Sura yang membaca buku dalam waktu cepat.
"Ya, seumur hidup aku belum pernah membacanya. Fabian yang sudah membacanya sejak umur enam belas tahun dan selalu mengatakan bahwa bukunya bagus. Baru kali ini ia menyarankan aku untuk membacanya. Buku Cardigan dan The Emmerich Siblings itu. Terima kasih Bunda untuk bukunya." Sura menceritakan pada Ingrid dan sebenarnya perasaannya tergerak setelah direkomendasikan oleh Fabian untuk membacanya. Begitu tahu Bundanya menyukai The Emmerich Siblings, tampaknya Sura tidak perlu mengikuti omongan Fabian untuk menyuruh orang tuanya membaca buku tersebut.
"No worries, Sura. Bacalah pelan-pelan. Buku-bukunya Julian merupakan buku yang harus kamu baca perlahan dan annotate—untuk menangkap pesannya."
"Ayah juga membaca karya-karyanya Julian Ramadhan?"
"Yup, ia membaca semuanya, namun Ayahmu menyukai Cardigan. Mungkin karena Cardigan relevan atau memang Cardigan adalah tulisan Julian Ramadhan paling hits karena banyak pembaca yang menggembor-gemborkan buku tersebut."
Nicholas yang mencuri dengar percakapan antara Ingrid dan Sura pun langsung mendenyitkan dahi. "Cardigan? Jadi yang di dalam bungkus koran The New York Times itu karya-karyanya Julian Ramadhan?"
"Yup." Ingrid menjawab.
"Banyak yang membahas bukunya Julian Ramadhan. Bahkan Andrew yang membacanya pun mengaku bahwa Cardigan 'menyembuhkan' ayahnya!" Nicholas berujar dengan perasaan antusias.
"Andrew menyuruh ayahnya—Si Menteri Pertahanan untuk membaca Cardigan?" Ingrid bertanya pada Nicholas dengan heran.
"Adiknya, 'kan, meninggal dan ayahnya mengalami fase depresi."
Sura menganggukkan kepalanya. "Bahkan tidak berhenti-hentinya Andrew pamer bahwa ia mendapatkan 'testimoni asli' itu kepada employee India. Bosku juga merekomendasikan semua employee untuk membacanya saat sharing session—yang membuat para staff langsung mencari buku tersebut."
"Wow, Sura, kalau begitu apa boleh aku baca salah satunya?"
Ingrid menggelengkan kepala. "Untuk memahami bagaimana orang tuanya bahagia sebelum salah satu anaknya meninggal, kalian harus membaca The Emmerich Siblings terlebih dahulu dan setelah itu Cardigan dan Sunshine Protector. Sebenarnya bukan keharusan—karena Andrew pun bisa menyuruh ayahnya membaca Cardigan, Namun akan lebih baik jika diurutkan seperti itu."
"Kukira bisa dibaca terpisah seperti itu," gumam Nicholas.
"Bebas saja, namun Bunda merekomendasikan seperti itu karena karakternya dan pembangunan karakternya sama saja. Cuman pembahasannya saja beda—makanya ada beberapa pembaca yang bisa membacanya tanpa mengikuti urutannya."
"Apa yang bisa aku baca sembari menunggu Sura menyelesaikan trilogi itu?" Nicholas bertanya.
"Deutschland 93." Akhirnya Remus Wiradikarta, Sang Ayah, bersuara setelah pergi menuju dapur untuk mengambil air dingin. "Lagipula...yang kutahu dari penerbitnya, Moon Rabbit, Julian akan menerbitkan satu buku penutup Serial Emmerich Bersaudara pada 2027. Sura, tolong berikan Deutschland 93 kepada Nicky. Kamu masih kecil untuk membaca sesuatu yang manis seperti itu."
"Ayah bahkan umurku dua puluh enam."
"Dua puluh lima tahun. Kamu belum berulangtahun."
"Bahkan aku akan menikah...."
"Ah, tentu saja. Aku dan Bunda selalu menganggapmu anak bayi." Remus mendenyitkan dahinya saat merespon. Pikirannya berusaha untuk memikirkan pertanyaan lanjutan.
Nicholas pun menyalakan TV dengan remote dan terlihat jelas kanal berita dari perusahaan penyiaran swasta di Indonesia. Pembawa berita tampak memberitakan pernyataan dari pria berseragam hijau, berlatar latar biru, dan berbicara dari podium—juru bicara militer. Tangan Nicholas memilih untuk mensenyapkan suara televisi setelah mendengar pernyataan juru bicara yang semakin tidak masuk akal.
"Jadi Sura, bagaimana hasil medical check-up-mu?" tanya Remus sembari memalingkah wajah dari layar televisi yang membisu tersebut. Ia ingat pasti bahwa ia sudah mengatur jadwal medical check-up untuk putrinya yang akan menikah dan seharusnya Sura sudah mendapatkan hasilnya.
"Aman, kok, Yah."
"Alright." Remus menanggapi putrinya dan kembali melihat Nicholas yang malah membuka ponselnya. "Demi Allah, Nicholas Hanan! Lebih baik kamu mematikan TV dibandingkan hanya mensenyapkannya. Ayah tidak mau melihat manusia licik itu."
Lelaki muda tersebut langsung mematikan televisinya dengan cepat saat melihat wajah kesal ayahnya dan memilih untuk beranjak sembari membawa barang-barangnya. "Sudah, Yah."
"Mau pergi kemana kamu?" tanya Remus begitu melihat Nicholas berusaha pergi dari pemandangannya.
"Mau pergi ke Bandung. Besok malam ada acara."
"Orang tuanya datang dari Amerika dan udah lama enggak ketemu sama anaknya bukannya diajak pergi makan...malah punya agenda sendiri."
"Ya Allah, Ayah, Bunda. Pertama, aku minta maaf dan kedua, aku akan kembali sebelum ulang tahunnya Sura. Mungkin tanggal 20-an sekian."
"Lama sekali kamu perginya?!"
"Lagipula aku tidak akan sampai tahun baruan di Bandung juga. Aku akan pulang sebelum ulang tahun Sura. Aku janji."
Sang Bunda hanya menghembuskan nafasnya dengan kasar saat melihat ayah dan putra mulai saling menaikkan suara. "Give me your car key. Kamu pergi naik online transportation saja menuju stasiun kereta atau naik mobil travel sekalian—Bunda tidak peduli. Biar Ayah, Bunda, sama Sura pergi makan malam ini."
"Bunda!"
"What?!" Ingrid berjalan menuju Nicholas sembari membawa sepatu Prada miliknya yang baru saja ia beli. "Kalau acaramu besok malam, kamu masih bisa pergi besok pagi. Kamu mau lari dari apa, Nicholas Hanan? Cepat berikan Bunda kunci mobilmu."
"Bukannya ada mobilnya Sura?"
Menyadari bahwa Ingrid sudah memberikan tatapan tajam yang seakan-akan dirinya sedang merespon dengan kalimat janganmenjawabjikaakumemerintah saat berjalan mendekati putranya, Nicholas langsung merogoh kunci mobilnya dari kantongnya dan memberikannya pada Ingrid. Lelaki itu memutuskan untuk berjalan dengan pasrah menuju ke kamarnya untuk menaruh oleh-oleh dan mengatur kembali perjalanannya. Sura tidak ambil pusing dengan huru hara itu dan langsung mengambil cetakan pertama The Emmerich Siblings (atas rekomendasi bunda) dari buntalan koranThe New York Times tersebut.
TBC
nas's notes: sebelumnya aku minta maaf karena aku up part 73 dalam bentuk ss, namun beberapa menit kemudian aku menghapusnya karena ingin mengubah kelanjutannya. akhirnya aku publish ss baru untuk part 73 dan publish part 74 ini. but, hiii terimakasih banyak yaa kalian sudah bertahan denganku sampai part 70-an ini! bahkan kalian sampai qrt, mengirim tellonym, merekomendasikan cerita ini, hingga menaruh ke thread rekomendasi kalian. aku tersentuh. terimakasih banyak! :")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top