119. Obituary
"Bunda, hari ini rapi sekali. Mau pergi kemana?"
Pandangan Fabian tampak tertarik dengan pakaian serba hitam yang dikenakan oleh bundanya. Tampak tidak biasa karena ibunya selalu terlihat modis dengan warna-warna cokelat dan hijau yang cocok pada tone kulitnya. Sebelumnya, Sabine dan Andrian telah menginstruksikan putranya untuk mempersiapkan diri dan mengenakan pakaian terbaiknya.
Sabine menarik Fabian agar anak lelakinya segera bangkit dari sofa di ruang tengah dan bergegas memberikan chesterfield coat berwarna hitam kepada Fabian. Awal tahun di Eropa memang masih terasa dingin bagi Sabine, jadi ia terpikir bahwa membiarkan putranya mengenakan chesterfield coat sebagai luaran adalah hal yang pantas.
"Ayo Fabian kita pergi ke London."
Pikiran Fabian tampak memproses apa yang terjadi sembari supir ayahnya membawa Fabian dan orang tuanya menuju bandar udara. Selama perjalanan, Fabian memperhatikan langit yang begitu cerah dan melihat detail yang jelas dari awan-awan yang ia lihat. Sampai saat ini, ia masih belum menyadari apapun hingga ia menuruni anak tangga dari pesawat pribadi keluarganya.
Tampak seorang pria yang menyambut keluarga kecil tersebut dan mengantarkan mereka menuju Kensington Street yang ikonik. Deretan pemukiman mewah di London tersebut mendadak ramai oleh orang-orang yang mengenakan pakaian hitam dan memasuki salah satu rumah. Pandangannya melihat seorang pria muda mengenakan kippah dan jas hitam serta perempuan dengan terusan dan tudung hitam yang berjalan dengan cepat sembari mengenggam sapu tangan.
Hidungnya menangkap wangi bunga melati dan sedap malam—alami, bukan parfum atau pewangi ruangan yang biasa ditangkap hidungnya. Fabian bergegas masuk untuk memastikan dan pandangannya menangkap sosok tubuh yang dibentangkan telah tertutup kain putih. Ayah dan bunda terlihat menyapa orang tua yang berwajah tegar dan bertahan sembari membaca banyak doa.
"Baru saja keponakan terkecilku memutuskan untuk pindah ke London setelah bekerja di Jakarta. Aku dan Pat berencana untuk membuat kue kesukaannya untuk menyambut kepulangannya. Entahlah setelah ini aku harus membuat babka atau chocolate chip cookies untuk siapa karena Nicky pun jarang ke London." Seorang lelaki berumur dengan penampilan rapi tampak bercerita ke salah satu keluarga dan suaranya agak parau. "Auf Wiedersehen, Meine Liebste."
"Onkel, bahkan aku sangat menyesal karena reschedule pertemuanku dengan sahabatku. Padahal aku sudah mempersiapkan hadiah pernikahan untuknya." Salah seorang lelaki muda dengan helai rambut cokelat tua tampak menunjukkan raut wajah penuh penyesalan.
Pikirannya bingung dengan apa yang didengar dan dilihatnya saat ini, namun bunda berusaha untuk mengajaknya melihat sosok yang berada di dekat orang tua tersebut. Bunda tersenyum sembari menahan tangisannya dari matanya yang berkaca dan meremas tangan anak lelakinya. Fabian berusaha untuk memperhatikan siapa yang ia lihat. Ia terkejut saat melihat wajah cantik sosok perempuan yang kini terlihat pucat dan sudah tidak bernyawa.
Perempuan yang akan ia nikahi telah meninggalkannya. Kekasihnya yang paling ia cintai di antara semua hal di dunia.
Sudah meninggal dunia.
"Liebchen—" Fabian memanggil kekasihnya dengan nada lirih. Pikirannya tak mampu melanjutkan kata-katanya karena ia merasa perasaannya tercampur dengan beragam emosi.
Mata Fabian hanya berkaca-kaca saat ia memandangi tubuh kaku kekasihnya dalam waktu lama. Ayah dan bundanya tidak bertanya atau mengatakan apapun padanya. Tampaknya ia sedang diberikan ruang untuk berduka.
Lelaki muda itu tampak berusaha untuk menahan tangisannya dan perasaannya masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ia melihat keluarga masih membacakan doa dan duduk merendah, namun salah seorang keluarga, Nicholas, melihatnya dan lelaki itu langsung meraih tubuhnya Fabian. Nicholas berusaha untuk mendekap Fabian didekat jantungnya—agar Fabian tidak melihat apa yang baru saja dilihatnya.
Nicholas berusaha untuk menahan Fabian agar tidak menjerit, namun Fabian tak bisa menahan perasaannya yang telah tercampur—marah, sedih, bingung dan memilih untuk berteriak sembari membiarkan tangisannya turun bagaikan air hujan.
Suasana yang tadinya tenang dan hanya mendengarkan doa pun semakin terasa gelap setelah Fabian mulai histeris dengan apa yang ia lihat. Seorang pria berumur mengatakan bahwa ia akan memulai ibadah pemakaman beberapa menit lagi dan Nicholas menatapnya sembari menuntunnya untuk mengambil nafas perlahan.
"Aku juga, Fabian. Aku bahkan masih tidak percaya, meskipun aku sudah beberapa kali membacakan surah dihadapannya."
Untuk memastikannya, Fabian melihat obituary yang tertulis dan terpasang dari dalam frame kaca. Berita kematian tersebut diletakkan berdekatan dengan foto berukuran besar dengan wajah kekasihnya—yang ternyata foto yang digunakan adalah foto yang Fabian ambil saat ulang tahun perempuan tersebut.
Nayantara Sura Ramadhanty Wiradikarta
(Madrid 2000 - London 2027)
Beloved daughter and sister
Parents— H.E. Remus Wiradikarta and Ingrid Ehrlich
Brother—Nicholas Wiradikarta
Fabian membaca obituary tersebut dengan perasaan mengganjal dan masih tidak percaya. Ia menaruh tangan untuk menutupi mulutnya. Apa yang ia lakukan pun akhirnya menarik perhatian seorang wanita muda yang mengenakan tudung hitam. Wanita dengan hidung tingginya itu tampak memandangi Fabian dan raut wajah prihatinnya dengan tatapan tajam. Tatapannya tanpa kedipan selama beberapa detik itu mengisyaratkan sebuah intimidasi untuk Fabian.
"Jadi kamu laki-laki yang membatalkan pertunangan dengan sahabatku? Ia meninggal setelah mengejarmu dan kamu masih menampilkan wajahmu di pemakamannya? Dasar tidak tahu malu! Busuk sekali hatimu!"
Fabian langsung membuka matanya dan melirik ke sekitarnya. Matanya berhasil menangkap tirai berwarna hijau zaitun, lampu tidur yang pernah ia beli di IKEA, buku Cardigan dari Julian Ramadhan yang terbuka lebar, dan piyama biru yang ia kenakan—menandakan bahwa Fabian masih terlelap di kamar lamanya yang berada di kediaman orang tuanya. Aku masih di kamar lamaku di Munich dan yang tadi hanyalah mimpi. Aku lega bahwa yang tadi benar-benar mimpi—meskipun aku merasa mimpi itu benar-benar terjadi. Batinnya sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi. Fabian langsung meraih ponselnya yang masih tergeletak pada meja samping kasur.
Jika aku hubungi sekarang, Sura tidak akan menjawab. Seharusnya di Jakarta sudah jam sepuluh dan Sura sedang bekerja di jam-jam tersebut. Lagi-lagi Fabian membatin dan tampak mengurungkan niatnya. Ia kembali menaruh ponselnya pada tempat semula.
Karena sudah terlanjur terbangun, Fabian langsung beranjak dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Ia menghela nafas pelahan-lahan dan, lagi-lagi, ia berusaha mengingat mimpi yang baru saja ia alami. Apakah ini peringatan untukku bahwa sebenarnya aku payah dalam menjaga 'sparks' menjelang pernikahanku? Bahkan akhir-akhir ini aku banyak berpikir yang tidak seharusnya aku pikirkan? Lelaki itu tetap membatin dan menggelengkan kepalanya.
Perasaannya masih gelisah dan ia harus menghubungi seseorang. Ia ingin menghubungi Benedikt, namun Fabian memilih untuk mengurungkannya. Lelaki itu memilih untuk kembali menuju ranjangnya dan menghubungi satu nama yang memungkinkan untuk dihubungi saat ini. Satu nama lelaki yang setia dan dapat dihubungi saat Fabian mengalami hari atau mimpi buruk.
Rayan Pradana
Berdering....
TBC
nas's notes: terima kasih banyak yang sudah menantikan kelanjutan cerita ini hingga ke part yang sekarang. mohon maaf jika setelah update pun dirasa kurang memuaskan hati dan jiwa kalian. namun, apapun itu tanggapan kalian atas part ini dan sebelumnya, boleh disampaikan lewat tellonym atau rep wattpad supaya aku bisa menjangkau perasaan kalian? aku akan tetap menunggu hal baik, koreksi, atau pengingat dari kalian sembari melanjutkan hidup di rl. terimakasih banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top