117. The Ladies and Their Teacups
Jakarta, Indonesia
Last day of 2026
"Bagaimana semalam?"
"Ya, biasa saja, sih. Hanya makan malam dan mengobrol sembari makan kudapan." Sura membalas pertanyaan dari kakaknya, Nicholas, sembari mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Nicholas tampak merebahkan dirinya di atas ranjang adiknya dan Sura hanya duduk menghadap meja rias. "Menurutku, manusia yang paling normal di antara semuanya adalah Rayan dan Ayahnya. Kakak, adik, dan para iparnya agak lepas kendali. Yang di luar dugaanku adalah ibunya yang memanggilku dengan namanya nini."
Nicholas menutup mulunya dengan tangan untuk menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Sura dan kemiripannya dengan seorang wanita Sunda, Agnia Wiradikarta, dan seorang wanita Jerman keturunan Arab, Haniya Ehrlich, benar-benar mengejutkannya. Bahkan mendengarkan adiknya dipanggil sebagai Agnia Wiradikarta oleh ibu negara adalah hal yang paling konyol yang pernah ia dengar.
"Apakah ada yang lebih parah?"
"Tentu saja ada!" Sura menyahut sembari menaikkan nadanya. "Seketika ibunya Rayan langsung tantrum kepada suaminya dan mengatakan 'dulu kamu hampir ingin menikahkan Rayan dengan perempuan itu?! Kamu benar-benar ingin menyiksaku?! Lagipula Rayan akan mendapatkan yang jauh lebih baik. Katakan pada anak kesayanganmu itu untuk berhenti menyukai perempuan itu!' dari semua intonasinya, aku merasa bahwa wanita itu benar-benar kerasukan. Yang sekarang aku khawatirkan adalah Fabian sudah mendengarnya."
Nicholas menghela nafasnya dengan kasar. Tampaknya dari nada bicara Sura, Nicholas merasa bahwa adiknya sedang mencemaskan hal yang sebenarnya bukan salahnya. "Well, ini, 'kan, tidak sepenuhnya salahmu, Adek. Bukan salah Fabian dan Rayan juga. Lagian kenapa, sih, mereka berani mendebatkan masalah anak sendiri saat ada tamu di rumahnya?" Nicholas mengeluh sembari memeluk bantalnya Sura yang beraksen bunga dan berenda tersebut. "Apalagi mereka Presiden dan Ibu Negara. Memangnya tidak ada penyadap standar CIA apa yang terpasang di kediaman itu?"
"Kenapa kamu bisa mengira ada yang memasang penyadap di kediaman pribadi presiden? Mungkin kalau Istana Negara tampak masuk akal."
"Karena ayahnya Rayan, The President, begitu memikirkan perekonomian negara yang membuat Amerika Serikat cukup cemas selama beberapa minggu ini," jawab Nicholas dengan jawaban paling ala kadarnya, "atau enggak, ada pengadu. Karena ayahnya Rayan ini memang sudah kaya dan tidak mungkin dikaitkan dengan masalah keuangan, makanya sasaran empuk media adalah keluarganya. Leonardo Hutabarat sering sekali memuat artikel soal ibu negara, namun ibu negara nampak tidak suka, jadi Leo sering dibayar untuk menghapus artikelnya sendiri. Jujur saja, Leo tidak pernah membahas artikel yang mengaitkan nini dengan ibu negara."
"Sebenarnya tidak masuk akal jika ibu negara memiliki ketakutan terhadap nini," gumam Sura sembari mematikan pengering rambut dan menatanya rambutnya dengan jemarinya.
"Akan lebih masuk akal kalau bunda yang memiliki masalah dengan ibu negara. Aku ingat wajah bunda yang kesal saat beliau bad mouthing soal anak-anaknya —tepat di depan batang hidung bunda." Nicholas menambahkan sembari memberikan ekspresi wajah saat menceritakan situasi tersebut. "Kita juga tahu bahwa bunda tidak terlalu memusingkan hal seperti itu. Tidak perlu diragukan lagi kalau bunda memang tidak begitu mendengarkan orang lain."
"Semakin jelas bahwa memang nini yang ia takutkan. Sesuai apa yang dikatakan orang bahwa 'jangan pernah bicara sembarangan soal anak orang lain kalau tidak mau anakmu terkena masalah.'"
Akhirnya Nicholas dan Sura bergegas untuk turun ke ruang makan di kediaman mereka. Pandangan mereka mencari sosok ayah dan bunda mereka yang seharusnya sedang di meja makan dan ternyata tidak ada. Mereka berdua berpikir bahwa ayah dan bunda sudah pergi, namun penciuman mereka terhadap keju panggang yang berasa dari dapur ternyata tidak salah. Ingrid datang dengan membawa nampan berisi cheese manakish dan mediteranian salad.
Sesi brunch kali ini hanya ditemani oleh teh mint yang disajikan panas dan mereka tampak menikmati apa yang disajikan di atas meja. Nicholas sendiri memiliki cara menyantap cheese manakish yang berbeda yakni digulung dengan menambahkan sayuran seperti tomat, timun, dan daun mint.
"Sura, aku dengar kamu membuat ibu negara syok. Apakah itu benar?" Ingrid bertanya dengan suara lembutnya. Tampaknya Ingrid sudah mendengar berita ini dari suaminya.
Menyadari bahwa orang tua dan kakaknya sedang menantikan jawabannya, Sura hanya tertawa kecil. "Justru aku yang dibuat syok karena ibu negara melihatku seperti melihat hantu. Dia mengira aku nini."
"Aku sudah menduganya." Ingrid mengatakan sembari menuang teko berisi teh mint panas ke cangkir putihnya. "Masuk akal karena terakhir kamu menemui ibu negara saat kamu masih kecil. Saat itu, beliau masih menjadi sosialita karena suaminya masih menjadi pebisnis dan beliau datang ke kediaman ini bersama ibunya."
Nicholas mendenyitkan dahinya. Ia tahu bahwa presiden saat ini berasal dari latar belakang pebisnis properti. Keluarganya dikenal sebagai orang kaya lama di Indonesia dan pria baik-baik. Hanya saja ia merasa bahwa istrinya ini agak aneh (menurut penuturan dari Sura, Andrew, dan Leonardo Hutabarat yang ia temui saat ada event). Kejanggalannya terbaru berasal dari penuturan adiknya yang dimana tidak ada yang menyadari bahwa ibu negara sudah datang lalu memanggil Sura dengan Agnia.
"Tapi jujur saja, aku masih sensitif saat melihat beliau. Ia menyinggungku hanya karena aku tidak bisa Bahasa Indonesia. Padahal dulu aku masih sangat kecil." Sura mulai angkat bicara dengan nada datarnya. "Tanpa nini tahu, sebenarnya aku masih menyimpan kenangan sedih ini, tahu."
"Sura, ana aydaan."
.
.
.
Sabine, aku benar-benar jengkel saat mendengar putri dirut maskapai penerbangan di Indonesia menghina keluargaku. Bahasa Indonesiaku bukan yang terbaik, namun aku mudah mengetahui beberapa kata dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Arab. Pendengaranku tidak salah, namun pengasuh Sura memperjelasnya untukku. Aku tidak perlu melawannya karena perempuan itu bodoh. (Kutipan surat elektronik yang ditulis oleh Ingrid Ehrlich untuk Sabine Amari tahun 2006)
Jakarta, Indonesia
January 2006
"Bu Agni, bagaimana dengan cucumu paling kecil? Bukankah dia tidak fasih berbahasa Indonesia? Bahkan dia lebih fasih dengan bahasa dari asal ibunya daripada bahasa ayahnya."
Wanita berumur tersebut datang ke kediaman Wiradikarta bersama anak perempuannya. Seperti biasa, para wanita tampak berbincang dengan Agnia Wiradikarta sembari meminum teh dan makan kue. Agnia selalu menyajikan beberapa jenis teh dan kudapan tradisional jika ada tamunya atau tamu dari suaminya, Rashad Wiradikarta, datang berkunjung. Namun, kedatangan mereka tampak berbarengan dengan kedatangan anak cucunya Agnia dari luar negeri.
"Ya, tidak apa-apa. Saya tidak pernah mempermasalahkan cara Remus dan Ingrid berbicara dengan anak-anak mereka. Bahkan Remus lebih senang berbicara dengan Bahasa Jerman." Agnia menjawab dengan santai sembari mengangkat cangkir tehnya. Kali ini, ia meminta asisten rumah tangganya untuk menyajikan teh mint saat menjamu ibu dan anak ini.
"Bu Agni, bagaimana bisa Bu Agni mengizinkan anakmu satu-satunya untuk menikah dengan perempuan yang berasal dari keluarga asing?" tanya perempuan muda tersebut sembari mengambil salah satu kuenya.
"Ayolah, aku dan Rashad tidak peduli soal asal keluarga putriku. Ingrid sangat memperhatikan pendidikan dan penampilannya. Putriku cepat belajar, lihatlah sekarang Bahasa Indonesianya semakin bagus."
"Bahkan dia tidak secantik itu. Wajahnya terlihat seperti wanita dari keluarga bankir Eropa yang terkutuk itu." Perempuan muda tersebut berbisik pada dirinya sendiri.
"Ada apa?"
"Tidak apa-apa."
Ingrid dan pengasuh putrinya tampak masih mendengarkan percakapan tersebut dari balik tembok, namun Sura kecil tampak berlari dan membuka pintu. Ia berhasil menarik perhatian para wanita dan cangkir tehnya, serta menghentikan perempuan muda untuk melanjutkan hinaan lainnya.
"Nini, can I have your chocolate cake?"
"Sure, My Dear." Agnia menjawab sembari menepuk lembut pipi cucu termudanya. "Mbak."
Pengasuh cucunya tampak muncul dari balik pintu setelah Agnia meninggikan suara untuk memanggilnya. "Kenapa Ibu?"
"Sura mau makan kue cokelat saya di kulkas. Tolong potongkan satu slice untuknya, ya."
"Baik, Bu." Wanita tersebut membalas dan menggandeng tangan kecilnya Sura. "Ayo, Non."
"Thank you, Nini!"
"Benar-benar bocah londo, bahkan sama neneknya saja, anak itu memilih berbicara dalam bahasa penjajah. Berbeda sama kakak-kakaknya yang bisa bahasa Indonesia. Jika sudah besar, pasti ia akan hidup dengan logat asing dan akan menyusahkan suami dan keluarganya." Lagi-lagi wanita muda tersebut mengucapkan dan memutar matanya.
Agnia melirik ke arah pintu yang telah ditutup oleh pengasuh dan kembali meminum tehnya. "Tidak semua hal harus disamakan seperti orang tua Indonesia lainnya. Lagipula saya orang tua Indonesia yang lama tinggal di luar negeri dan wajar kita berbicara dengan bahasa penjajah. Jika Belanda berkenan untuk mengajarkan bahasanya saat penjajahan, kita akan fasih berbahasa Belanda. Seharusnya kamu bisa menahan, karena Sura bisa mendengar ucapanmu dan mengingatnya sampai dewasa. Kamu tahu kalau anak sekecil itu bisa membedakan yang mana manusia, yang mana iblis?"
Wanita muda tersebut hanya meremas tangannya sendiri. Meninggalkan ekspresi serasa tertampa. Sementara ibunya, wanita tua, tidak menanggapi apapun.
.
.
.
Jakarta, Indonesia
October 2024
"Sekalipun kamu dan Presiden tampak dekat, tolong jangan nikahkan putri kesayanganmu dengan keluarga itu." Agnia Wiradikarta menegaskan ucapannya saat mendengar Remus dan Ingrid sedang berbicara soal pertemuan di Istana Bogor itu.
"Mama," ucap Ingrid lirih saat menoleh ke sosok wanita berumur yang memasuki ruangan kerja yang kerap digunakan oleh Remus untuk bekerja atau menulis.
Remus hanya memalingkan matanya saat Agnia mengejutkannya dan memprotes dari yang wanita itu dengar. Meskipun Agnia hidup lebih lama dibandingkan dirinya dan Ingrid, namun Agnia lebih tahu banyak soal keluarga-keluarga orang kaya lama dan high profile Indonesia—terutama keluarga dari Presiden sekarang yang beristrikan seorang perempuan yang merupakan putri dari teman lamanya.
"Ingrid, kamu masih ingat, 'kan, bagaimana Ibu Negara dulu membicarakanmu dulu? Aku tidak ingin Sura mendapatkan perlakuan yang sama." Agnia mendesak Ingrid dan menatapnya. Tentu saja berharap Ingrid akan memberikan penjelasan lebih masuk akal kepada suaminya, Remus, meskipun Remus juga berada di tempat yang sama. "Tidak semua orang tua Indonesia sepertiku dan Papa, Ingrid."
Remus tidak bisa mengatakan 'Ma, kamu terlalu emosional' untuk menanggapi kata-kata mamanya sendiri. Tampaknya lelaki tersebut berusaha untuk berpikir dengan bijak tentang apa yang ditawarkan kepadanya—ralat, putrinya.
"Ingrid, apa kamu masih dihubungi oleh Sabine untuk menjodohkan Sura dengan Fabian?"
Ingrid hanya mengangguk saat Remus menanyakan sahabatnya, Sabine, yang kerap memintanya untuk menerima rencana perjodohan ini. Bahkan sampai Sura menerima perasaannya Fabian dan berpacaran pun, Ingrid belum menanggapi apapun kepada Sabine. Hanya mengatakan bahwa ia akan menanyakan Sura. Bagaimana pun juga, ini menyangkut dengan pilihan pria yang akan menikah dengan putrinya dan keluarga mana yang akan menerima Sura sebagai bagian dari mereka.
"Sudah saatnya kita menerima perjodohan Sura dengan Fabian. Setidaknya aku akan merasa lebih tenang jika Sura menikah dengan Fabian." Akhirnya Remus memberikan keputusannya kepada istri dan mamanya. "Aku akan bicara dengan Presiden dan menolak permintaannya. Sura juga tidak boleh mengetahui rencana perjodohan ini."
TBC
ana aydaan (arabic) : me too
nas's notes: HAAAAI AKHIRNYA AKU BALIK LAGI dan agak lama updatenya karena aku sibuk rl juga. kali ini wordingnya juga masuk ke 1,6k jadi yuk boleh memberikan tanggapan yaaah! kuharap juga kalian akan terus bersama denganku sampai ceritanya berakhir. bantu doa dan remind juga yaa semoga aku bisa selalu update karena dengan rl-ku sekarang, aku hanya bisa mencicil dan post sedikit-sedikit. Aku berharap yang terbaik. Terimakasih banyak semuaaa <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top