116. Schwarze Katze

Jakarta, Indonesia
December 2026

"Adek, kalau udah selesai, langsung hubungi kakak, ya. Nanti kakak jemput lagi."

Perempuan yang duduk di kursi belakang pun tampak mengangguk mengerti. "Terima kasih, ya, Kakak dan Mas Andrew, kalian sudah mengantarkan aku. Tampaknya aku sudah mengacaukan agenda kalian."

"Jangan begitu. Daripada kamu menyetir sendirian, lebih baik kita antarkan."

Nicholas Hanan memberhentikan mobilnya yang membawa dirinya, Sura, dan Andrew ke dalam kediaman pribadi dari Presiden Republik Indonesia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sebenarnya Nicholas dan Andrew memiliki agenda mereka sendiri, namun mereka mendengar bahwa Sura dan Fabian diundang makan malam oleh Rayan dan ayahnya, jadi mereka berinisiatif untuk mengantar Sura dan sekaligus mengintip sedikit kediaman yang tampak jauh dari gerbang depan tersebut.

Sebenarnya ini akal-akalan mereka saja karena mobil Nicky, apalagi mobil Andrew, tidak memiliki masalah apapun.

"Permisi Pak, aku ingin mengantar tamunya Rayan." Nicholas menyapa salah satu petugas keamanan setelah menurunkan kaca mobil.

"Baik, tunggu sebentar, ya, Mas." Petugas keamanan tersebut tampak menghubungi penjaga bagian dalam melalui portofonnya. Tampaknya petugas tersebut sudah mengangguk setelah mendapatkan jawaban. "Baik, Mas, silahkan masuk, ya."

"Terima kasih, Pak!"

Lelaki tersebut langsung melajukan kendaraannya melewati gerbang tinggi dan menyusuri area perkebunan. Tampaknya usaha Pak Presiden sebelum mendapatkan posisi sebagai RI 1 benar-benar sukses, sehingga beliau dapat membeli tanah dan bangunan klasik di jantung ibu kota. Nicholas menghentikan mobilnya perlahan begitu melihat Fabian dan Rayan berdiri sembari menggendong kucing berwarna hitam.

"Hai Sura, Kak Nicky, dan Mas Andrew!"

Mereka bertiga membalas sapaan Fabian dengan sopan, namun Andrew langsung melirik pada Nicholas sembari berbisik. "Itu tunangan Sura? Bagaimana bisa dia tahu aku Andrew?"

"Dia, 'kan, calon adik ipar aku! Pasti dia tahu karena anak kecil ini menceritakan kamu padanya sebagai temanku." Nicholas membalas Andrew sembari mengecilkan suaranya.

"Sudah, ya. Nanti aku berkabar lagi." Sura langsung memotong pembicaraan dua lelaki tersebut lalu turun dari kendaraan yang ia tumpangi.

Rayan pun berjalan menghampiri Nicholas dan Andrew yang masih duduk di kursi depan. "Loh, Mas Nicholas dan Mas Andrew, kalian tidak mau mampir dulu, kah?"

"Tidak usah, Rayan. Terima kasih. Kita hanya mengantar Sura sekalian lewat." Nicholas menolak ajakan Rayan dengan sopan dan menyalakan mesin kendaraannya. "Kita pamit dulu, ya. Karena sudah telat juga dan sudah ditungguin oleh teman-teman.Tschüss, adik-adik!"

Kak Nicky bicara, apa, sih? Agenda mereka, 'kan, hanya mau ngopi sore berdua di kawasan SCBD. Batin Sura sembari melihat Nicholas dan Andrew yang sudah meninggalkannya.

Sembari menggendong kucing persia berwarna hitam, Rayan mengajak Sura dan Fabian untuk masuk ke kediamannya. "Semenjak aku lebih banyak menghabiskan waktu di Yogyakarta dan orang tuaku tidak tinggal di sini, rumah ini sesekali kugunakan jika aku datang—atas perintah ayahku. Karena semua saudaraku sudah tinggal pisah rumah jadi hanya saat akhir pekan atau jika ada acara baru datang ke sini. Ngomong-ngomong, mereka akan bergabung bersama kita saat makan malam."

"Tampaknya aku harus mengabari Kak Nicky agar menurunkan Mas Andrew seratus meter dari gerbang sebelum menjemputku."

"Ah, Sura. Kita juga mengetahuinya," sambung Fabian sembari berjalan mengikuti Rayan.

Saat mereka berjalan memasuki bagian selasar rumah, mata Sura tampak teralihkan oleh salah satu lukisan yang tergantung di pada salah satu sisi tembok berwarna krem. Sura menghentikan langkahnya untuk mengamati lukisan tersebut, sementara Rayan dan Fabian turut menghentikan langkahnya.

"Sur, kudengar kamu menyukai lukisan, ya?"

Perempuan tersebut hanya menganggukkan kepalanya. "Ini bagus. Apakah ayahmu membelinya di Christie's?" Sura bertanya sembari menyelidiki tiap warna dari lukisan tersebut. Tentu saja ini Shihab, namun terlihat lukisan ini seperti pesanan khusus karena tidak ada yang membahasnya di internet.

Rayan tertawa dengan pelan sembari mengusap kepala kucingnya. Matanya melirik sebentar ke arah lukisan yang dimaksud. Sura memperhatikan bahwa gaya lukisannya benar-benar tidak asing dan sedikit mengingatkannya dengan lukisan lanskap di salah satu kediaman temannya di London. Penglihatannya juga menilai bahwa lukisan ini telah dilukis sekitar dua puluh tahun yang lalu. "Bukan, Sura. Ayahku tidak sekaya itu untuk membeli lukisan di Christie's. Ini lukisannya Shihab yang dipesan secara khusus. Ibuku tidak pernah menyukainya dan sebelum tinggal di Istana bersama ayah, ibuku lebih banyak tinggal di Solo, jadi ayah memilih untuk memajangnya di rumah ini."

Ah, Shihab. Aku tidak salah. Pantas aku dapat mengenali salah satu karyanya di rumah keluarga Giske yang berada di pemukiman elit Knightsbridge. Tetap saja Rayan belum tahu kalau satu lukisan Shihab, terutama yang dipesan secara khusus, bisa memasuki harga jutaan. Tentu saja jutaan dollar Amerika Serikat. Sura membatin sembari kembali memperhatikan lukisan tersebut.

"Selain Shihab, ayahku juga memajang karya dari fotografer Arinya Channarong. Channarong sendiri memotret ayah dan ibuku di awal 2000-an, ayahku memajangnya dengan penuh kebanggaan di ruang tamu. Kita tidak perlu melihatnya karena ibuku tampak angkuh. Lebih baik kita melihat karya Cho Sungkyung atau Nandito Thiar saja di landing room. Yuk kita naik."

Mereka bertiga menaiki anak tangga untuk mencapai landing room. Fabian terpikir untuk membuka suara, namun ia memilih untuk menahannya. Pada saat yang bersamaan, anggota keluarga Rayan—para saudara dan ipar, telah sampai dan mereka memanggil namanya. Akhirnya mereka bertiga turun dan Rayan berjalan lebih dulu untuk membukakan pintu. Rayan menaruh kucing hitamnya di lantai dan membukakan gagang pintu tersebut. Begitu daun pintu kediaman tersebut terbuka, mereka langsung melihat dua pasangan muda mudi sudah menunggu depan rumah.

Fabian dan Sura hanya mengamati Rayan yang menyapa para saudara dan saudara iparnya dengan perasaan biasa saja. Tampaknya Fabian bisa menebak kakaknya Rayan sebagai lelaki yang datang mengenakan batik dan celana hitam dan istrinya yang mengenakan pakaian pesta—tampak modis dan seperti seseorang yang berpamitan lebih dulu dari sebuah acara. Sementara adik dan suaminya datang mengenakan pakaian tersantai karena terlihat seperti seseorang yang meluncur dari rumah.

"Mas, Mba, ini Fabian. Tentu kalian sudah tahu Fabian yang temanku di FK dulu, tapi sekarang Fabian tinggal di Jerman. Ini Sura, dari Inggris dan bekerja di Indonesia di salah satu Tech Company."

Hampir saja Fabian tersedak karena Rayan tampaknya tidak memperkenalkan Sura sebagai pasangannya Fabian. Lelaki itu memilih untuk tidak menanggapi apapun soal perasaannya dan melihat pemandangan yang ada dihadapannya.

Sang kakak lelaki tampak memandang Sura dengan penuh penilaian. Jadi ini putri dari Remus Wiradikarta. Sama-sama modis seperti keluarganya. Yang menarik perhatianku adalah karyawan Tech Company mana yang datang mengenakan jaket dari Acne Studios dan membawa Bottega Veneta ukuran large? Aku belum sempat menggali soal pekerjaan perempuan ini, jadi aku akan mencarinya sendiri.

"Hai, aku Akbar dan ini istriku, Alya." Lelaki yang bernama Akbar tersebut memperkenalkan dirinya dan istrinya sembari saling menjabat tangan dengan sopan.

Sementara adik perempuannya memilih untuk memandangi Fabian. Aku masih tidak menyangka selama Mas Rayan kuliah di FK UGM, ia bisa bersahabat dengan seseorang seperti ini. Mas Rayan menceritakan bahwa temannya ini ringan tangan, loyal, baik, dan tentu saja kaya. Aku hanya heran bagaimana dia bisa memperoleh kekayaannya lebih banyak hanya dari bisnis hotel di beberapa negara? Dengan kekayaan sebanyak itu, ia memilih untuk berkuliah di UGM? Terlihat orang ini memperlakukan hidupnya dengan sesuka hatinya, padahal dia bisa pergi ke Harvard.

"Aku Nilam dan ini suamiku, Dion." Perempuan muda tersebut juga mulai memperkenalkan dirinya dan suaminya.

"Yuk kita duduk di ruang tengah." Rayan mengajak semua orang untuk duduk di ruang tengah yang begitu luas. Seorang pelayan pun langsung menyajikan beberapa jenis kudapan dan minuman dingin di salah satu meja berukuran besar.

"Jadi Sura, kantormu itu tech company jenis apa? Apakah E-Commerce?"

"Online Travel Agent, Cobalt Blue."

"Menarik. Posisi apa?" Akbar kembali bertanya. Cobalt Blue ini salah satu start-up yang sudah decacorn dan sudah melebarkan sayap ke beberapa negara di Asia. Dia benar-benar serius, namun dari penampilan dan merek yang ia kenakan, pasti anak ini bekerja di divisi marketing atau technology yang jabatannya sudah tinggi.

"HRBP." Sura menjawab dan Akbar hanya terlihat tidak terkesan dengan jawabannya. Kurasa dia akan bertanya soal asal kekayaan keluargaku atau hal lain. Namun, tampaknya dia sudah menyerah.

Nilam menoleh kepada Sura yang sedang ditanyai oleh Akbar. Tampak Nilam terpikir oleh sebuah pertanyaan setelah mendengar jawabannya Sura. "Berarti, apa kamu mengenal Andrew Karel?"

"Ya, dia user-ku."

Mendengar fakta bahwa anak dari menteri yang bekerja di kabinet ayahnya dan lelaki muda yang tidak disenangi oleh ibunya, Andrew Karel, adalah atasannya Sura. Akbar dapat mengambil kesimpulan bahwa gajinya Sura di Cobalt Blue tidak sebanyak ekspektasinya. Tampaknya anak perempuan memang ini di fasilitasi uang saku dari gaji ayah dan ibunya mengingat gajinya yang tidak seberapa itu. Batin Akbar sambil melirik dengan tatapan biasa saja.

"Kenapa tidak menjadi diplomat?" tanya Akbar sembari mendenyitkan dahinya.

Santai dulu, ya. Kita baru bertemu hari ini. Sura membatin dengan perasaan jengkel lalu memikirkan jawaban yang pantas. "Setelah mencoba kedutaan besar Inggris untuk Norwegia kayaknya enggak dulu, deh."

Salah satu menantu, Dion, tampak merespon semua yang terjadi dengan memutar bola matanya. Ia langsung melirik ke arah Fabian dan Rayan yang mengobrol berdua, lalu memutuskan untuk bergabung. "Jadi, apa yang kamu lakukan di Jerman, Fabian?"

"Pulang ke rumah untuk melanjutkan studi spesialis."

"Tidak salah karena Fabian ini orang Jerman, Mas. Dia tinggal di Munich dan ayahnya seorang surgeon." Rayan menambahkan.

Dion mengangguk mengerti. "Ambil spesialis apa di Jerman?"

"Spesialis Bedah Anak."

Alya tidak tertarik untuk membahas pekerjaan orang lain, namun memiliki ketertarikkan dengan latar belakang keluarga. "Jadi Fabian, yang orang Jerman itu ayah atau ibu kamu?"

"Dua-duanya. Ayahku dari Munich dan ibuku dari Frankfurt. Aku masih ada garis keturunan Indonesia dari kakek nenekku." Fabian menjawab dengan sopan. Astaghfirullah, ini pertanyaan sulit untuk anak keturunan sepertiku. Jika diperhatikan lagi, aku tidak ada apa-apanya dibandingkan Sura yang harus menjelaskan percampurannya.

"Ayahnya menikah dengan Sabine Amari," imbuh Rayan yang membuat Alya mendenyit.

"Ya Allah, pantas saja aku familiar saat melihat wajahmu," ucap Alya sembari menutup mulutnya dengan perasaan tidak percaya, "apa kamu punya adik?"

"Ya, begitulah." Fabian menjawab sembari menggaruk sedikit kepalanya. Lelaki muda tersebut hanya berusaha untuk tertawa sopan. "Aku anak tunggal."

"Sayang sekali kamu anak tunggal." gumam Alya dengan perasaan prihatin.

"Sura, kamu sudah ada pacar?" Nilam bertanya kepada Sura. Perempuan tersebut hanya tertawa sedikit dan melirik ke arah Fabian, namun Fabian tampak sedikit kaget dengan pertanyaan tersebut. "Karena Rayan pernah membawa Kanaya Sukmaranta dan Shadira Salih ke rumah ini dan ibuku tidak terkesan. Mungkin ibuku akan terkesan denganmu."

"Memangnya bagaimana reaksi ibumu saat Kanaya dan Shadira datang ke sini?" Sura bertanya setelah mendengar nama dua temannya disebutkan. Fabian juga ikut menyimak bagaimana obrolan ini mengalir ke arah mana. Tak ketinggalan jantungnya Fabian berdetak semakin kencang.

"Ibuku tidak ingin putranya dikatikan dengan orang terkenal atau pewaris tunggal. Menurutnya, dua jenis perempuan itu akan menyulitkannya dan tidak bisa 'dimanipulasi'." Nilam menambahkan. "Mungkin kamu cocok, Sura."

Sura hanya tertawa sopan dan memikirkan jawaban yang terdengar 'aman' untuk diberikan. "Kurasa, namun sayangnya aku juga masuk ke dua kelompok itu."

"Sayang sekali, padahal ibuku pasti menyukaimu."

Telinga Rayan pun menangkap percakapan yang mulai mengalir tidak menentu arahnya. "Nilam, sudahlah. Aku juga belum selesai PPDS." Rayan memotong kata-kata adiknya dengan sopan.

"Carilah kekasih, Rayan," imbuh Akbar sembari mendenyitkan dahinya, "jangan banyak menghayal dan memilih. tolonglah diingat kalau ibu kita itu ribet, tahu."

"Ibu!"

Semua mata menoleh begitu Nilam menaikkan suaranya saat melihat seorang perempuan berusia lanjut yang datang bagaikan hantu. Sementara di belakang perempuan tersebut terlihat seorang pria yang merupakan ayahnya Rayan alias Presiden RI. Suasana terlihat canggung begitu wanita tersebut tidak membalas panggilan putri bungsunya, namun ia diam sejenak saat memandang lurus pada seorang perempuan tinggi yang duduk dengan anggun dan terlihat sopan seperti Putri Diana. Terlihat dari wajahnya yang familiar, terutama tatapan matanya, membuat wanita tersebut agak terintimidasi, terutama oleh suasana di sekitarnya yang terasa menganggunya.

"Agnia?"

"Bu, perempuan yang ibu lihat itu bukan Agnia Wiradikarta, tapi Sura." Suara suaminya tampak terasa dingin di telinganya. Wanita lanjut usia tersebut hanya diam tidak merespon. "Sura putrinya Remus. Dahulu kita pernah menemuinya di kediamannya keluarga Wiradikarta dan dulu Sura masih kecil sekali. Sekarang kita baru bisa melihatnya sekarang begitu Rayan dan Fabian menemuinya."

Perempuan yang dipanggil ibu nampak menghiraukannya, namun Sura tetap memandanginya seperti pemandangan menarik. Sementara Fabian dan Rayan memandangi kucing hitam peliharaan Rayan yang berjalan dari sisi kiri menuju sisi kanan. Rayan menghiraukan, namun Fabian merasakan hal yang janggal dari penglihatannya.

TBC

published on 22 November 2023

nas's notes: terima kasih banyak semuanya yang sudah menunggu part ini. maaf ya kali ini banyak banget wordingnya. berhubung aku baru memiliki rutinitas baru dan akan sibuk, aku akan update narasi setelah part ini mendapatkan 10 votes dan 5 feedbacks (bisa berupa reaksi atau apresiasi). Supaya aku tetap tahu para pembaca masih berkenan untuk menunggu atau tidak (karena untuk sekarang aku takut tenggelam padahal sudah kutargetin). terimakasih yaaa dan semangat diriku sendiri :")

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top