113. Brown Envelope

Jakarta, Indonesia
December 2026

"Mas, atas nama Fabian untuk tiga orang. Dua orang lagi akan menyusul."

"Baik, Kak. Mau pesan dulu di sini atau di atas saja?"

"Langsung di sini saja," balas Sura sembari melirik daftar menu dengan cepat. Pikiran dan lidahnya tampak tidak ingin menjajal menu lain dan hanya ingin memesan apa yang sering ia pesan, "iced salted caramel latte-nya satu, ya."

Setelah menyelesaikan pesanannya, ia diarahkan menuju salah satu private room berkapasitas empat orang. Biasanya Sura datang ke kedai kopi ini untuk mengerjakan pekerjaannya bersama Daniel dan Bimo, terkadang juga bersama Hana untuk menghadiri acara peringatan grup idola kesukaan, hingga datang sendiri untuk membaca dan menangis. Beruntung sekali Sura datang dengan perasaan senang dan mengenakan cashmere sweater berwarna navy dari Loro Piana dan celana hitam. Ia berencana untuk menyelesaikan Deutschland 93 yang ia pinjam dari Fabian. 

Baru saja Sura terpikir untuk mengambil perangkat jemala dari tasnya, seorang pelayan langsung datang untuk mengantarkan pesanan ice salted caramel latte-nya dan dua orang yang sudah ia nantikan kehadirannya. Fabian dan Rayan terlihat menggunakan outfit kembar—knitted sweater berwarna hitam, celana jeans biru, dan sepatu putih.

"Sudah dari tadi?" tanya Fabian sembari menarik kursi di sebelah Sura dan menaruh tas yang ia bawa ke atas meja.

Sura hanya menggelengkan kepalanya. "Enggak. Aku baru datang, kok."

"Hai Sura," sapa Rayan yang mengambil tempat duduk persis di hadapannya Sura. Pandangannya tampak tertuju pada cover buku yang pernah ia lihat sebelumnya, "sedang baca apa kamu?"

"Julian Ramadhan, Deutschland 93." Sura menjawab dan menoleh ke bagian cover saat menyadari Rayan memandangi covernya. "Ah, ini punya Fabian. Aku memang baru mengikuti Julian Ramadhan, namun setelah kuamati, cetakan Bahasa Jermannya selalu memiliki cover yang bagus. Tentu saja setelah versi Inggris yang dimiliki ibuku."

"Kurasa karena Julian mencetak versi Jermannya di percetakan milik keluarga bundaku di Frankfurt. Mereka memiliki desainer grafis dan hasil cetaknya benar-benar bagus. " Fabian menanggapi sembari mengeluarkan beberapa buku yang ia bawa, termasuk The Emmerich Siblings—yang tempo hari ia pinjam dari Sura, dari tasnya. Tak ketinggalan, Fabian mengeluarkan sebuah amplop cokelat berukuran kecil. "Yan, ini Save the Date kita."

Rayan langsung membuka amplop cokelat tersebut dan melihat selembar kertas putih yang bertuliskan 'Save the Date'. Matanya menangkap isyarat. Wah, mereka benar-benar akan menikah di Prancis. Batinnya sembari menghela nafas sedikit.

"Datang, ya, Rayan. Kalau kamu enggak datang nanti Fabian tantrum." Sura mengatakannya sembari melihat Rayan memasukkan kembali kertas tersebut kedalam amplopnya.

"Aku datang atau tidak, sudah pasti Fabian akan tantrum, Sur." Rayan membalas yang diselingi tawanya. "Aku akan datang. Terima kasih untuk Save the Date-nya. Ngomong-ngomong Fabian, yang kamu keluarkan itu buku Julian Ramadhan juga?"

"Cetakan pertama Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Penerbit Moon Rabbit di New York, milik bundanya Sura."

Fabian langsung menyerahkan buku The Emmerich Siblings kepada Rayan. Pandangan lelaki dibalik kacamatanya benar-benar terkesima. Saat tangannya membuka cover buku dan melihat halaman pertama, Rayan langsung tersita perhatiannya dengan sticky notes kuning yang ditulis oleh bundanya Sura untuk putrinya.

"Bundamu benar-benar mencintaimu, ya." Rayan bergumam saat melihat penulisan Bahasa Indonesia yang ditulis oleh bundanya Sura begitu menarik perhatiannya. "Pemilihan kata-katanya dalam Bahasa Indonesia menurutku bagus."

"Ya, bundaku senang menaruh catatan untuk ayahku dan anak-anaknya dalam beberapa bahasa. Kebiasaan itu juga berlanjut saat bundaku menandakan buku yang dibacanya." Sura bergumam sembari membuka lembaran dari buku yang dipegang oleh Rayan dan memperlihatkan salah satu halaman yang terdapat Bahasa Arab. Pandangannya menoleh pada Fabian. "Menurutmu ini apa, Fabian? Kamu pasti sudah melihat ini, 'kan?"

Lelaki tersebut memandang dua tulisan tangan Berbahasa Arab dari sebuah halaman yang diperlihatkan oleh Sura. Ia sempat melihatnya saat membaca di rumah, namun sayangnya ia tidak terpikirkan untuk membuka laman penterjemah. "Entahlah. Kurasa nama orang?" 

"Yuafiq dan hadha jamil. Konteksnya, 'kan, di kutipan ini Noemie lagi muji sebuah taman. Kebetulan tamannya itu di Kensington Garden dan bundaku setuju kalau Kensington Garden itu bagus." Sura merespon sembari membuka halaman berikutnya. Kali ini ia menunjukkan sebuah tulisan tangan Ibrani. "Mau mencoba lagi, Fabian? Kali ini aku yang menulisnya setelah bundaku memberikannya."

Fabian hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih."

"Sura, bagaimana kamu bisa belajar bahasa asing semudah itu?" tanya Rayan sembari mengeluarkan buku bacaannya dari tasnya. 

Sura memikirkan jawaban. Sebenarnya tidak banyak orang yang bertanya soal bahasa yang ia kuasai—Pak Michael di Cobalt Blue tidak termasuk karena beliau memang Hebrew and Yiddish speaker. Namun, kali ini ada seseorang yang menanyakan bagaimana dirinya bisa menguasai enam bahasa. "Bundaku senang mempelajari bahasa di sela-sela waktunya. Namun ayahku ingin anak-anaknya belajar Bahasa Inggris dan Jerman sebagai bahasa ibu. Ayahku hanya mengatakan bahwa Bahasa Indonesia tidak memiliki aturan bahkan jenis kelamin jadi bisa dipelajari sambil waktu berjalan. Untuk Arab, Ibrani, dan Yiddish, semuanya bundaku yang mengajarkannya. Bahkan dahulu, nini bilang ada nenek sihir yang mengatai aku 'bocah londo' karena aku pas kecil mengobrol dengan bahasa asing. Jadi lebih baik diteruskan saja dan menjadi hal yang berguna juga."

"Kamu bukan orang Belanda, 'kan?" tanya Fabian sembari menaikkan alisnya. Sura menggeleng.

"Ah, Bi, Maksudnya orang Jawa dulu manggil orang Belanda dengan sebutan 'londo'. Sekarang lebih banyak digunakan untuk keturunan Eropa." Rayan membalas tanggapan kawannya itu. "Ibunya Noemie di The Emmerich Siblings pun tidak mau dipanggil Bule atau Londo. Sebenarnya beliau memang tidak perlu memusingkan pendapat orang lain—dia punya segalanya."

"Punya segalanya, tapi kehilangan anak." Sura menambahkan sembari memainkan jemarinya. Ia menyadari bahwa kedua lelaki itu tidak merespon ucapannya. "Ah, meskipun aku selalu speed reading, aku tetap dapat mengingat isi bukunya."

.

.

.

Sesaat Rayan pergi keluar untuk membuat panggilan telepon. Fabian terpikirkan untuk menolehkan pandangannya kepada Sura yang berusaha untuk melahap bagian terakhir dari Deutschland 93 yang ia baca. Sejak pelayan mengantarkan pesanannya dan Rayan beberapa menit yang lalu—dua ice latte dan dua chocolate chip cookie, Fabian hanya membaca buku yang ia beli di Singapura tempo hari hingga pikirannya mulai berinisiatif untuk menarik Sura ke pertanyaannya.

"Sayang."

"Ya?" Tanggapnya tanpa menoleh karena matanya tampak sibuk menyerap kata demi kata dari epilognya Deutschland 93.

"Ibumu pernah ada masalah dengan ibu negara?"

Sura langsung mengangkat wajah dari bagian epilog yang akan ia baca dan menoleh untuk menatap Fabian. Ia melirik sedikit ke arah atas sembari memikirkan jawaban. "Entahlah. Yang jelas, itulah mengapa bundaku tidak pernah masuk ke lingkaran ibu negara dan para istri menterinya. Lagipula bunda juga tidak terlalu pusing soal itu."

Lelaki itu tampak menganggukan kepala. Rayan pun kembali dan menarik kursinya untuk duduk. "Fabian, kamu kembali ke Munich kapan?"

"Sepertinya habis tahun baru. Ada apa, ya?"

"Yuk, makan malam di rumahku. Sura kamu juga ikut, ya!" Rayan mengatakannya dengan penuh bersemangat. "Aku mengatakan pada ayahku bahwa aku bertemu kalian dan beliau mengundang kalian untuk ke rumahku di Menteng pada tanggal 30 nanti."

Fabian menaikkan alisnya saat mendengar ajakannya Rayan. Terutaman saat mendengar tempat yang dimaksud—bukan Istana, namun kediaman pribadi keluarganya Rayan. Pikirannya melayang kepada pertemuannya beberapa tahun yang lalu dengan ibunya Rayan. "Ini tidak ada ibumu, 'kan?"

"Tenang saja! Pada hari itu, ibuku akan pergi ke Solo, kok." Rayan berusaha untuk meyakinkan. "Tidak perlu formal-formal. Ayo!"

Tampaknya Fabian berusaha melirik Sura agar perempuan itu bersuara, namun Sura memilih untuk menyelesaikan bagian epilog dari bacaannya tersebut.

TBC

yuafiq (arab) : agree

hadha jamil (arab) : that's beautiful

sticky notes di bukunya ada di pinned twitter (at) gemeinschweft part 75 dan save the date-nya ada di part 112. 

nas's notes: GUYS HAAAAI! akhinya aku update narasi lagi dan terima kasih banyak yaaa kalian sudah menunggu updatean aku. Untuk tanggapannya boleh drop di reply part ini atau tellonym aku, ya? Terima kasih sebelumnyaa!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top