Untold Chapter - Kisah Antonio Genga Bagian 9
Catatan Penulis: Sangat disarankan untuk membaca ulang Chapter 0 sebelum membaca chapter ini karena chapter ini adalah sambungan langsung dari Chapter 0.
***
Dengan ujung pedang yang sudah menyayat lehernya, Antonio hanya butuh sedikit dorongan lagi untuk mengakhiri hidupnya. Ia terduduk sambil menggenggam pedangnya dengan gemetaran tatkala air hujan membasahi tubuhnya yang bersandar di balkon. Antonio mendongakkan kepalanya, menatap titik-titik air yang menusuk kulitnya seperti jarum, tanpa memejamkan mata sekalipun.
Rasa sakit pada lehernya membuat seluruh tubuhnya terjaga. Ia dapat merasakan itu betul-betul merasuk hingga ke dalam. Perlahan air mata jatuh. Semua kegelapan yang menyelimuti tempat itu seakan-akan bertanya kepada Antonio: "Kenapa kau menangis?" Dan Antonio tidak bisa menjawabnya.
Semua hal tiba-tiba berubah kelam bagi Antonio. Semua hal yang dialaminya saat ini terasa tidak nyata: rasa sakitnya, rasa sedihnya, air hujan, dan gemuruh petir. Atau, ia tidak ingin memercayai bahwa itu semua adalah nyata. Antonio mendorong pedangnya sedikit lebih kuat, tetapi ketika rasa sakit itu menggigit teramat parah, Antonio cepat-cepat melempar pedangnya. Ia menjerit, meringis kesakitan menutupi lehernya, yang dari sana mengalir darah segar.
Antonio kembali menyobek tirai dari jendela balkon dan menggunakan itu untuk menutup lukanya. Ia terkapar, tubuhnya menyentuh lantai yang penuh oleh darah dari pria tua yang baru saja ia penggal kepalanya. Ketika petir menyambar, Antonio baru sadar, apa yang ia lakukan adalah sebuah dosa.
Sudah berkali-kali Antonio mendengar kasus pembantaian manusia. Ia tahu betul apa yang terjadi ketika manusia mati. Ia bahkan mengetahui apa yang bisa menyebabkan seorang manusia dikatakan mati: jantungnya berhenti berdetak, kepalanya dipenggal, kehabisan darah, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, menyaksikan itu tepat di depan matanya, ditambah fakta bahwa ialah orang yang melakukan pembantaian itu membuat jiwa Antonio berantakan. Semuanya terlihat mengerikan. Saking mengerikannya, sekali lagi, Antonio berusaha merayu otaknya untuk memercayai bahwa itu semua tidak nyata.
Ketika hujan sudah reda, Antonio mengira-ngira bahwa bahwa waktu dini hari sudah lewat dan yang akan menghampirinya saat ini adalah fajar. Bau udara segar dapat Antonio endus di tengah-tengah busuk dan anyirnya balkon itu. Mata Antonio dapat menangkap cahaya kemerahan dari langit. Ia ingin tidur, tetapi kepalanya tidak memperbolehkannya. Ia dipaksa untuk terus berpikir tatkala segala penyesalan, ketakutan, dan bayang-bayang hukuman Tuhan menggema di lorong lain kepalanya.
Antonio bangkit dan masuk kembali ke dalam. Ia masih menutupi lehernya sambil terus memaksa tubuhnya berjalan menuruni anak tangga. Seluruh barang jarahan yang ia masukkan ke tas dan karung sudah menunggu dengan rapi, begitu pula dengan tubuh enam anggota Keluarga Wolfgang lain yang sudah tercerai-berai.
Di saat sinar matahari menusuk masuk melewati jendela, Antonio bisa melihat semuanya dengan jelas. Ia membunuh manusia-manusia itu. Ia melihat tubuh mungil anak-anak serta tubuh besar para orang dewasa yang berantakan dadanya dan berhamburan isi perutnya; darah mereka menggenang di mana-mana, mulai dipijaki lalat. Pikirannya yang semrawut dan matanya yang sudah tidak kuat lagi terbuka membawanya pada kondisi yang memilukan. Antonio mulai berhalusinasi. Ia melihat mayat-mayat tanpa kepala itu bangkit dan menghampirinya. Mereka menangis, tetapi Antonio tidak tahu dari mana tangisan itu berasal. Ia mencoba berlari, tetapi ketika kakinya bergerak, lantai terasa begitu licin. Otak Antonio sekarang berbalik merayu pemiliknya, berkata bahwa segala keanehan yang terjadi padanya saat ini adalah kenyataan.
Antonio mencoba melawan sugestinya sendiri, berkata bahwa ia hanya kelelahan. Akan tetapi, semakin lama kejadian-kejadian itu menjadi semakin nyata. Antonio tergelincir dan menabrak sebuah batu besar. Tas yang ia gendong putus dan menghamburkan seluruh isinya—emas, perhiasan, serta barang-barang antik yang tidak terhitung nilainya.
Antonio berusaha sekuat tenaga untuk lanjut berlari pada tanah yang licin, tetapi tiba-tiba saja batu itu mengikutinya dan berkata, "Kau akan hidup di dalam penyesalan selama-lamanya." Sepasang mata dan satu mulut besar muncul pada batu itu. "Semua orang akan membencimu. Kau adalah pembunuh."
Antonio menggendong barang jarahannya dan kembali berlari, tetapi batu itu tidak henti-hentinya mengikuti. "Kau akan mati dengan penuh penyiksaan. Kau akan membusuk di neraka," katanya. Antonio membelalak dan mempercepat kakinya. "Berhentilah mengikutiku!" teriak Antonio. Dan batu itu kembali berkata, "Tujuh orang yang kaubunuh bersama temanmu itu akan terus menghantuimu."
Seketika itu juga batu tersebut menghilang dan Antonio tersandung sesuatu sampai terjerembab. Ketika ia mengangkat kepalanya, dilihatnya tubuh Cendric yang tidak berdaya di atas batu-batu tajam. Tulang belakang pria muda itu patah, rusuknya remuk, dan wajahnya berlumuran darah karena menghantam bebatuan. Antonio menatap tubuh Cendric dalam-dalam dan mencoba bertanya, "Kau tidak apa-apa, sobat?"
Cendric tersentak. Kedua matanya terbuka, tetapi yang tampak di sana hanyalah putih. Mulutnya yang berbusa berkata, "Kau pikir kau bisa menguasai dunia? Antonio, kau pikir kau bisa menguasai dunia?"
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah mati, dan kau seharusnya menyusulku. Memangnya kau pikir kenapa banyak pembunuh mengakhiri hidup mereka setelah membantai para korbannya? Itu karena mereka tidak kuat hidup di dalam penyesalan. Jiwa-jiwa tidak berdosa itu akan terus menghantuimu ke mana pun kau pergi. Kau tidak akan pernah bisa lepas dari itu. Antonio, kau adalah pembunuh. Kau berhak untuk mati."
Telinga Antonio seperti terbakar ketika mendengar ucapan Cendric. Ia menggenggam pundak sahabatnya itu dan berbicara padanya dengan nada rendah. "Aku bukan pembunuh," Antonio berusaha berbohong pada dirinya sendiri, "aku melakukan semua ini demi istri dan putriku."
Cendric tidak menjawab. Ia kembali seperti semula: tulang belakangnya patah, rusuknya remuk, dan wajahnya berlumuran darah karena menghantam bebatuan.
Antonio menatap itu, menyadari bahwa sahabatnya benar-benar sudah mati. Di dalam hatinya yang berkecamuk, Antonio marah. Ia memukul inti jiwanya dan berusaha memohon keadilan padanya.
"Katakan padaku, kenapa Cendric tidak terbang?!" teriaknya sambil mengangkat kerahnya sendiri.
Suara di dalam kepalanya menjawab, "Cendric bukanlah kebebasan."
"Cendric bukanlah kebebasan?"
"Mati atau tidak, dia akan tetap hidup di dalam penyesalan dan rasa takut, baik di dunia maupun di akhirat."
Antonio melepas kerahnya, menyadari bahwa matahari menjadi semakin tinggi. Ia berada di tengah hutan di samping mayat Cendric. Ia kembali mengangkat barang jarahannya yang semakin sedikit karena sebagian besar jatuh di jalan ketika ia berlari. Ia menampar pipinya dan berlari kembali. "Ini semua hanya halusinasiku," ujarnya. Antonio naik ke atas kudanya dan berjalan menuju rumahnya di Kota Aeron.
Di sepanjang perjalanan lukanya menjadi semakin parah, membuat kepalanya berdenyut tidak keruan menandakan bahwa dirinya sendiri sudah tidak kuat lagi. Beberapa kantong koin jatuh, disusul oleh sebuah gading berwarna emas. Antonio tidak memedulikan itu dan terus memacu kudanya.
Ketika ia berjalan melewati sungai, beberapa iblis menghampirinya. Antonio yang ketakutan langsung menutup mata dan melindungi dirinya dengan tangannya yang lemah. Saat membuka mata, sembilan orang yang menunggangi kuda tengah berjalan bersama dirinya.
"Jadi itu aku," kata seseorang yang berada di bagian paling depan, "akulah iblisnya."
Orang-orang di belakangnya mengikuti:
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
"Jadi itu aku, akulah iblisnya."
Telinga Antonio berdenging mendengar ucapan kesembilan orang itu. Ia pun mengucek matanya, berusaha memastikan siapa orang-orang yang mengelilinginya ini. Ketika ia berhasil melintasi sungai, wajah kesembilan orang tersebut dapat terlihat dengan jelas. Antonio berpikir, wajah-wajah tersebut tidaklah asing baginya. Ia kemudian terkejut sampai terpeleset dari kudanya saat menyadari bahwa sembilan orang yang berjalan bersamanya itu adalah dirinya sendiri.
Di saat Antonio membentur tanah, kesembilan orang berkuda itu menghilang. Sama halnya dengan batu-batuan berharga dengan warna beragam dan batang-batang emas murni hasil jarahannya. Kini, tidak ada lagi barang jarahan yang tersisa. Tangan Antonio kosong. Meski begitu, Antonio tetap menunggangi kudanya untuk menuju Aeron.
Ketika Antonio sampai di depan rumahnya dan turun dari kudanya, ia bisa melihat tujuh anggota Keluarga Wolfgang sudah menunggu di depan pintu. Mereka berjejer seperti rakyat miskin yang menagih janji-janji rajanya. Antonio menerobos barisan itu dengan tangannya, mengaburkan mereka semua. Ketika ia membuka pintu, ia justru berjalan ke luar. Awalnya ia bingung, tetapi ia segera menyesuaikan diri dengan kondisi itu.
Kepalanya menoleh ke kanan, tepat di mana kursi kayu panjangnya berada. Di sana terbaring Aline dan Cleopatra—terjebak di alam mimpi. Antonio menghampiri mereka perlahan-lahan, menatap mereka, dan mengecup dahi mereka satu per satu.
"Aku minta maaf."
Sesaat setelah itu, matahari menunjukkan wajah penuhnya. Antonio pergi dengan hanya berbekal pedang. Entah apa yang menyambar pikiran Antonio pada malam itu. Janji berupa nafkah dan obat tidak bisa ia penuhi. Itu karena dirinya tidak pernah kembali pada dua orang perempuan yang setia menunggunya pulang.
Pulang—bukan hanya kembali, tetapi hadir.
Sejak kejadian malam itu, Antonio tidak pernah bisa hidup dengan tenang lagi. Segala halusinasi yang dialaminya menjadi semakin parah dan kepalanya tidak berhenti mengucapkan hal-hal bodoh. Berkali-kali ia memikirkan kata-kata Cendric tentang para pembunuh yang mengakhiri hidup mereka sendiri, dan berkali-kali pula Antonio mencoba mengakhiri hidupnya. Akan tetapi, ia terlalu pengecut untuk benar-benar melakukan itu.
Hari demi hari penuh kesedihan telah Antonio lalui, dan akhirnya ia sadar, semua ini adalah bayaran yang harus diterima olehnya.
Hidup dengan penuh penyesalan dan rasa takut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top