Untold Chapter - Kisah Antonio Genga Bagian 7

"Mau berapa kali lagi kau mengayunkan pedangmu?" tanya Aline. Ia duduk di bangku kecil di bawah pohon, memperhatikan Antonio yang bertelanjang dada bersimbah peluh di bawah sinar matahari.

Meski kakinya sudah tidak kuat lagi berdiri dan kepalanya pening terbakar panas, Antonio tetap bergeming. Kedua lengannya terus bergerak naik-turun, begitu pula dadanya, dan mulutnya mengatur sirkulasi napasnya.

Antonio melampaui intensitas latihan berpedangnya selama beberapa bulan ke belakang. Selain terus mengayunkan pedang dan menebas pepohonan, ia juga melatih daya tahan tubuhnya dengan set latihan stamina, berlari melintasi gunung tanpa henti selama beberapa minggu. Jauh sebelum itu, ia sempat mengasingkan diri dan bermeditasi untuk memantapkan fokusnya pada latihan-latihan yang akan dilakukannya. Walaupun sekarang Antonio lebih bisa memprioritaskan waktunya untuk kembali mengantar barang dan berburu iblis bersama Cendric, latihan superkeras yang dilakukan olehnya masih belum berhenti.

"Aku tidak akan berhenti sampai aku tumbang," tandas Antonio, yang tersungkur beberapa saat kemudian.

"Akhir-akhir ini kau terlalu memaksakan dirimu." Aline cepat-cepat menghampiri Antonio, ia menyeka keringat itu dengan kain. "Kenapa?"

"Aku butuh uang."

Aline menatap sekujur tubuh Antonio yang memar dengan tatapan pilu. Pria itu tampak lemas sekali, napasnya tidak keru-keruan. Penampilannya secara umum terlihat berbeda. Terlalu banyak usaha yang dilakukan olehnya sehingga banyak orang mulai meragukannya. Apa yang telah Antonio lakukan hanya akan membahayakan dirinya jika ia tidak memutuskan untuk beristirahat sejenak atau bahkan berhenti.

"Kenapa kau memaksakan dirimu? Aku butuh jawaban jujur."

"Tidak ada alasan lain selain uang, Aline," jawab Antonio, pulas di pangkuan Aline.

"Apakah karena aku?"

Hening. Daun-daun berguguran tertiup angin.

"Aku ... ingin mencapai semua tujuanku."

"Jika kau membutuhkan uang, aku bisa membantumu. Aku sudah mengatakan itu berulang kali. Aku menerimamu dan aku bersedia membantumu. Kau tidak perlu mengembalikan apa pun padaku."

"Ini bukan soal uangnya."

"Lantas apa?"

"Harga diriku sebagai seorang lelaki. Sebagai seorang lelaki, aku harus bisa mencapai apa yang aku inginkan dengan kerja keras. Akulah yang harus menjadi pelindung bagi diriku sendiri. Aku tidak boleh jatuh, aku tidak boleh cengeng, atau aku akan disebut sebagai lelaki yang gagal."

Aline mengembuskan napas panjang dan membelai rambut Antonio. "Tapi kau tidak perlu memaksakan dirimu sampai sejauh ini. Meminta pertolongan kepada orang lain tidak akan membuatmu menjadi lelaki yang gagal."

"Tapi itu akan membuatku terlihat lemah. Laki-laki tidak boleh lemah."

"Siapa yang bilang itu akan membuatmu terlihat lemah? Tidak sama sekali."

Antonio mendongakkan kepalanya dan menatap Aline dengan tajam. "Aku tidak setuju dengan kata-katamu."

"Kenapa? Kenapa kau begitu berapi-api dengan segala ucapanmu? Kenapa kau begitu ingin mencapai semua tujuanmu secepatnya? Itu tidak mungkin terjadi. Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki masanya masing-masing."

"Aku takut."

Aline terdiam. Matanya menatap wajah Antonio. Wajah yang baru pertama kali ia lihat dari pria itu.

"Aku takut kehabisan waktu." Tatapan Antonio kosong. "Rasanya, semua hal yang ada di hidupku berlalu dengan cepat sekali. Aku bahkan tidak sempat menikmati kebahagiaan dan akhirnya kesengsaraan datang. Ketika aku melihat ke samping, orang-orang sedang berjalan untuk mengejar hidup mereka masing-masing, dan aku masih terdiam di sini untuk menikmati momen yang berlalu dengan cepat itu."

"Lalu apa yang kauinginkan?"

"Aku ingin rasa takut yang ada di dalam diriku ini menghilang sepenuhnya sehingga aku tidak perlu waswas melihat jarum jam lagi. Aku ingin menjadi kuat agar aku bisa terus dipandang, berjalan pada jalur yang sama dengan orang-orang, dan bahagia selamanya."

"Itu mustahil, Antonio. Kau tidak bisa bercahaya selamanya. Sudah kubilang, segala sesuatu di alam semesta ini memiliki masanya masing-masing. Suatu hari nanti, wajahku tidak akan cantik lagi. Mungkin kau tidak cinta lagi padaku. Suatu hari nanti, kau tidak akan tampan dan gagah lagi. Bisa saja kau jatuh, terperosok ke dalam jurang yang dalam dan gelap, tak bisa pergi tanpa penyesalan. Dan ketika suatu hari nanti tiba masanya di mana semua hal di dunia ini menua, ketiadaan makna adalah satu-satunya hal yang akan menghampiri kita."

"Oh, Aline. Ucapanmu terdengar manis sekali, mirip seperti putri kerajaan."

Aline tertawa kecil. "Memangnya aku terlihat seperti itu? Aku hanya perempuan jelata."

"Tentu saja kau terlihat seperti itu. Kau itu cantik, cerdas, dan pekerja keras. Aku benar-benar kagum padamu karena kau dapat hidup mandiri di kala kedua orang tuamu sudah tiada. Persis, sama seperti putri kerajaan yang nantinya meneruskan mahkota ayahnya."

"Itu tidak benar. Aku terlahir dari keluarga petani. Menjadi pedagang yang keliling dari kota ke kota adalah satu-satunya jalan agar aku bisa bertahan hidup setelah ladang kami hancur karena perang. Dan di tengah perjalanan itu aku sering sekali terjatuh. Sebagian besar waktu, aku menangis di gubukku, bertanya mengapa barang daganganku tidak laku. Aku bertanya apakah ada yang salah dengan cara belajarku, dan kepada siapa lagi aku harus bergantung. Aku tidak sekuat yang kaubayangkan, Antonio."

"Sama halnya denganku," Antonio menyelinap masuk, "aku tidak sekuat yang kaupikirkan, Aline. Kau melihatku sebagai Hunter yang mentereng, kuat menghadapi segala halang rintang, dan hidup bermandikan kesejahteraan. Tetapi di luar sana, aku takut. Apa yang harus aku makan esok pagi, apa yang harus aku lakukan untuk bertahan hidup, dan apa yang harus aku lakukan pada hidupku sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berulang di dalam kepalaku. Aku tidak punya siapa-siapa untuk menuntunku."

"Sejak awal, aku tidak pernah melihatmu sebagai seseorang yang kuat. Kau adalah seorang laki-laki yang rapuh, Antonio."

Antonio terdiam.

"Dan aku adalah seorang perempuan yang rapuh," lanjut Aline. "Aku rasa, alasan itu sudah cukup untuk membuat kita bersama." Ia menempelkan kedua telapak tangannya pada pipi Antonio, mendekatkan wajahnya pada Antonio dan kemudian berkata, "Jangan pernah menjauh dariku."

"Jangan pernah menjauh dariku juga, Aline."

Napas mereka berdua saling berkecamuk di tengah-tengah semilir angin. Dekat. Hangat. Awalnya mereka dilahap kebingungan, tetapi sebuah perasaan dingin yang perlahan bermekaran di dada mereka mengenyahkan itu semua.

Mereka berdua tenggelam. Seakan-akan waktu berhenti. Meski singkat, rasanya terus membekas sepanjang jalan membentang.

Tak pernah Antonio rasakan sentuhan selembut itu oleh tangan seorang wanita, dan tak pernah pula ia rasakan bibir semanis itu bertengger pada bibirnya. Rasanya jiwanya keluar dan bersatu dengan jiwa wanita di hadapannya. Sebuah perasaan yang tak akan pernah bisa ia gambarkan. Tak pernah ia tahu bahwa cinta tak hanya sekadar nafsu. Dan tak pernah ia jumpai sesuatu yang begitu indah selain perasaannya kepada Aline.


Malam itu kau hanya mengedipkan mata,

tetapi yang jatuh dariku untukmu adalah cinta.

Aline, kita berdua sama.

Manusia, manusia yang rapuh.


—Antonio, 1482

***

Kembali pada malam hari di mana wagon Antonio dan Cendric membawa rombongan orang dari Amonte menuju Wedderska. Setelah pertarungan melawan iblis kelelawar, tiba-tiba saja Antonio, Cendric, dan Aline menjadi trio yang kompak. Mereka berkelana untuk mengantarkan barang, orang, dan berburu iblis untuk mendapatkan koin. Dalam kurun waktu lima bulan, tumbuh benih-benih cinta di antara Antonio dan Aline. Sementara Cendric yang tahu bahwa ia hanya akan menjadi pengganggu di antara mereka berdua pergi menjauh (dan mendekat kembali jika uang memanggil).

Apa yang membuat Antonio jatuh hati pada wanita itu bukanlah parasnya yang cantik. Jika dibandingkan dengan banyak wanita penggoda di luar sana, Aline bahkan tidak masuk dalam level "sedap dipandang". Antonio dapat dengan mudah menggaet wanita-wanita penggoda itu dan menjadikan mereka kekasihnya, tetapi ia tidak mau melakukan itu. Baginya, itu bukan soal kecantikan.

Apa yang membuat Antonio jatuh hati pada wanita itu juga bukan kekayaannya. Aline bukanlah orang yang kaya akan uang, tetapi Antonio jatuh pada kekayaan hatinya. Wanita itu cerdas dan berpikiran luas, juga baik serta perhatian. Benar-benar yang ia cari selama ini.

Apa yang membuat Antonio jatuh hati pada wanita itu juga bukan kesempurnaannya. Ia sadar bahwa dirinya sendiri memiliki banyak kekurangan di balik kelebihannya, dan pasti Aline juga begitu. Satu kalimat yang terus membekas di dalam kepala Antonio adalah ucapan Aline pada suatu malam bulan purnama:

"Manusia adalah makhluk paling sempurna sekaligus paling tidak sempurna di muka bumi."

Antonio sadar bahwa ia dan Aline sudah ditakdirkan untuk bertemu. Mereka berdua saling jatuh cinta karena mereka adalah manusia: manusia yang sama-sama rapuh.

Di dalam pelukan-pelukan hangat kala hujan deras melanda, Antonio berkata kepada Aline, "Akankah kita hidup bahagia?"

"Apa itu bahagia?"

Antonio selalu tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Aline dan memilih untuk diam.

"Jangan biarkan pikiranmu terjebak berlarut-larut untuk memikirkan hari esok."

"Kenapa begitu?" tanya Antonio.

"Karena kita hanya punya hari ini, dan harus hidup untuk hari ini. Hari ini saja. Daripada memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk dapat membayar sewa tempat tinggal bulan depan, yang tentunya wajib dipikirkan, lebih baik kita berpikir bagaimana caranya pulang tanpa kebasahan."

Antonio memikirkan ucapan Aline tersebut.

"Satu-satunya pilihan adalah dengan menunggu sampai hujannya reda, bukan?"

"Betul sekali!" Aline menjawab dengan semangat. "Begitulah cara dunia bekerja. Dengan begitu, kau bisa melihat keindahan di setiap langkahnya. Dan menurutku, itulah definisi kebahagiaan!"

Mereka menunggu hujannya reda sampai terlelap. Di saat semuanya sudah berlalu, fajar menyingsing. Aline terduduk sambil bersandar pada tembok, sementara Antonio tertidur pulas di pangkuannya. Sinar matahari menembak mereka berdua. Seorang pria renta mengusir mereka dengan seikat gandum hasil panennya, dan tertidur di sana menggantikan mereka.

***

Pertengahan tahun 1483, Antonio melangsungkan pernikahannya dengan Aline. Hari itu adalah hari paling bahagia dalam kehidupan Antonio. Setelah sekian lama hidup luntang-lantung tanpa arah dan tujuan, ia akhirnya menemukan tempat untuk bisa merasakan aman dan nyaman. Tempat yang dipenuhi dengan kehangatan, sebab ia tidak akan berjalan sendirian di bawah hujan lagi.

"Malam itu kau hanya mengedipkan mata, tetapi yang jatuh dariku untukmu adalah cinta," ujar Antonio di hadapan Aline sambil menggenggam tangannya.

"Apa itu?" Aline kebingungan. Hal tersebut membuat tamu undangan yang datang tertawa.

"Itu adalah puisi yang aku tulis untukmu."

Aline tersenyum, meletakkan telapak tangannya pada dada Antonio. "Manusia rapuh seperti kita ... sering sekali terjatuh, ya?"

***

Tahun 1485. Malam itu adalah malam yang diselimuti hujan deras. Langit menangis, memekik, sambil menggaruk-garuk tanah karena rasa sakit yang diterimanya. Aline hampir memecahkan pita suaranya di saat kepala manusia mungil itu keluar dari tubuhnya. Semuanya gelap barang sesaat, tetapi kegelapan itu disambut oleh suara tangis.

Seorang anak perempuan, batin Antonio.

Ia menatap manusia yang teramat kecil itu dengan berkaca-kaca. Kedua tangannya kemudian menangkap bayi berkelamin perempuan itu dengan hati-hati. Antonio tidak dapat membendung air matanya lagi. Ia berhasil, pikirnya. Setelah sebagian besar hidupnya dipenuhi rasa sakit, akhirnya ia bisa merasakan kebahagiaan.

Kebahagiaan tiada tara: seorang ayah yang menggendong anak perempuannya.

Antonio terus meneteskan air mata, tidak dapat menerima fakta bahwa manusia yang menangis di tangannya saat ini adalah darah dagingnya. Aku menciptakan manusia. Aku menciptakan manusia. Aku menciptakan manusia. Kata-kata tersebut terus diulangi oleh Antonio di dalam kepalanya.

"Apa nama yang akan kauberikan padanya?" tanya Aline. Tubuhnya lemas dan matanya sayu.

Antonio terdiam sejenak. Ia memandangi mata bayi itu dalam-dalam sebelum akhirnya sebuah nama keluar dari mulutnya:

"Cleopatra Marigold."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top