Untold Chapter - Kisah Antonio Genga Bagian 2
Setelah dititipkan kepada kakeknya selama dua tahun lamanya, Antonio memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya di Kota Amonte. Ketika ia pulang, ia disambut oleh ibunya, Anastasia, dengan pelukan erat yang begitu hangat.
"Mama minta maaf tentang apa yang sudah terjadi padamu selama ini, Antonio. Kakekmu selalu bercerita pada Mama kalau kamu sering sekali dikucilkan oleh teman-temanmu."
"Tidak apa-apa, Mama," jawab Antonio dengan nada rendah. "Aku sudah berubah. Aku belajar banyak dari Kakek hingga napas terakhirnya."
Mendengar itu, Anastasia hanya bisa menitikkan air mata. "Mama merindukanmu, Antonio."
Antonio memejamkan matanya dan membalas pelukan itu. "Aku juga. Aku benar-benar rindu sama Mama."
Dua tahun lalu, ibu Antonio membawanya pergi ke Randera untuk dititipkan pada kakeknya. Antonio sama sekali tidak mengerti apa alasannya. Satu-satunya hal yang ia ingat adalah ibunya sempat menangis saat bercerita kepada kakeknya tentang perihal yang memaksanya membawa putranya pergi. Rasa kantuk yang datang membuat Antonio terlelap, tidak sempat mendengar apa yang sebenarnya dikatakan oleh ibunya.
"Tapi kau tahu, Anastasia," ujar Otto, "hidupku tidak akan lama lagi. Aku bisa terbunuh di medan pertempuran sewaktu-waktu. Kau tidak bisa menitipkan Antonio selamanya padaku."
"Aku tahu." Anastasia tampak mencoba menahan air matanya. "Tapi aku tidak bisa membiarkan Antonio menghabiskan masa kecilnya di dalam neraka. Biarkan aku saja yang mengalami itu semua. Aku akan tetap mengirimi kalian uang dengan kurir. Jangan khawatir."
"Anastasia ...."
Tangis Anastasia pecah.
"Kau bisa tinggal di sini."
"Tidak. Jika aku tinggal di sini bersama kalian, aku akan kehilangan pekerjaanku di kota, dan aku tidak akan bisa mendapatkan uang."
Sejak malam itu, Antonio tidak pernah lagi terbangun di sebelah ibunya.
***
Pada suatu malam, festival budaya besar-besaran diadakan di Amonte. Barisan dwarf dengan kostum berwarna-warni dan topi kerucut panjang berjalan berbarengan. Derap langkah kaki mereka terdengar padu dan konstan. Semua orang melihat itu sambil bertepuk tangan dan menyoraki mereka. Di sebuah panggung besar di jantung kota, naik raja para manusia—Hansen Triton Alexander—yang kemudian duduk bersama dengan raja para kerdil—Milton Anvaera Rubetera. Mereka berdua berjabat tangan, diiringi oleh suara terompet dan alunan musik.
Acara dibuka dengan pertunjukan drama oleh para manusia dan dwarf, bercerita tentang sekelompok orang yang berusaha mengalahkan para iblis. Setelah pertunjukan drama tersebut selesai, kembang api ditembakkan untuk memeriahkan suasana. Antonio melompat-lompat untuk melihat itu sebab ia diimpit oleh belasan orang lainnya yang menghalangi pandangannya. Antonio menyusup di antara kaki orang-orang untuk mencari jalan keluar. Tak jarang ia disepak karena dianggap mengganggu, tetapi ia tetap tidak menyerah. Saat hampir kehabisan napas, Antonio berhasil keluar dari keramaian itu.
Antonio berlari menjauh dari pusat kota, menabrak banyak sekali kios makanan dan pernak-pernik. Banyak orang berjalan dengan kostum aneh, beberapa dari mereka membuatnya takut. Ia semakin tidak tahan ketika melihat ada beberapa manusia berbadan tinggi yang mengenakan kostum orc dengan wajah busuk. Mereka memainkan pertunjukan drama mereka sendiri di sudut kota, sambil terus menggaungkan ujaran kebencian.
"Kami adalah para iblis!" seru lelaki yang berkostum orc itu, sementara kawan-kawan manusianya berteriak ketakutan tatkala tubuh mereka diinjak-injak. Kemudian datanglah beberapa orang dengan aksesoris telinga panjang. Mereka berteriak, "Manusia dan orc adalah makhluk lemah! Mereka buruk rupa dan tidak dapat hidup dalam waktu yang lama! Kami, para elf, adalah makhluk paling sempurna di muka bumi!"
Para orc dan manusia tidak terima. Mereka tidak saling bergandengan tangan, tetapi saling melontarkan kata-kata pedas kepada para elf. "Kalian telinga panjang adalah sekumpulan orang yang hanya digerakkan oleh hawa nafsu! Kami lebih superior dibandingkan kalian!"
Setelah itu, mereka semua berkelahi. Entah kenapa orang-orang itu tampak tidak menunjukkan keraguan ketika melakukannya. Bunyi pukulan dan tendangan terdengar begitu nyata, serta teriakan rasa sakit dan darah yang mengalir dari lubang tubuh mereka. Para penonton yang melihat itu pun bertepuk tangan dan berkata bahwa pertunjukan ini jauh lebih menarik daripada pertunjukan di panggung utama. Manusia, orc, dan elf yang diperankan oleh kelompok drama independen itu berhasil menjalankan peran mereka dengan baik. Mereka babak belur karena ulah mereka sendiri dan saling meludah pada wajah satu sama lain.
Antonio sampai di rumah setelah menyaksikan segala kekacauan di kota. "Pergi ke festival budaya di kota bukan ide yang baik untuk anak-anak sepertiku," ujarnya terengah-engah sambil menyandarkan diri pada tembok kamar. Ia mengintip dari balik jendela. Suara kembang api, langkah kaki, dan gema percakapan masih dapat terdengar. Ramai sekali, seperti sebuah ombak yang menghantam pantai, lalu menggema sebelum kembali lagi ke lautan.
Antonio yang kelelahan pun tertidur. Entah pada pukul berapa, ia terbangun. Ia sadar bahwa suara-suara dari pusat kota sudah menghilang, itu tandanya malam sudah larut. Ia pergi ke kamar ibunya dan tidak mendapati siapa-siapa di sana. Ia memiringkan kepalanya pada lemari kecil yang ada di kamar itu, kemudian duduk di atas ranjang.
Antonio berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya. Rahasia apa yang disembunyikan olehnya padanya sehingga ia harus dititipkan kepada kakeknya selama dua tahun lamanya. Ibunya sama sekali tidak pernah bercerita kepadanya tentang kenapa ayahnya jarang pulang ke rumah. Dia hanya berkata bahwa ayahnya sedang melakukan sebuah pekerjaan suci untuk kehidupan keluarganya, dan dengan polosnya, Antonio memercayai itu. Setelah terjebak di dalam lingkaran pertanyaan itu, Antonio kecil tidak dapat memejamkan matanya kembali. Ia terbaring di atas ranjang ibunya, dan mengusap-usapkan kepalanya di sana.
"Harum sekali," gumamnya. "Kenapa harum sekali?"
Sesaat setelah itu, Antonio bisa mendengar pintu depan terbuka. Ia cepat-cepat menghampiri pintu dan melihat ibunya sedang dituntun oleh seorang pria yang tidak ia kenal. "Mama, siapa pria ini?" tanya Antonio.
Tubuh ibunya tampak lemas, dia tidak bisa berjalan dengan baik sehingga harus dibantu oleh orang lain. Awalnya Antonio tidak merasa aneh, tetapi ketika pria itu tidak menghiraukannya dan membawa ibunya masuk ke kamar, ia mulai bertanya-tanya.
"Paman, apa yang kaulakukan?"
"Tidurlah, bocah," gertak pria itu. "Kota terlalu ramai sampai aku tidak bisa memesan kamar di penginapan. Aku akan memakai kamar ibumu, ya. Jangan ganggu. Aku sudah membayar dia untuk bermain denganku semalaman penuh."
Anastasia menggampar pria itu. "Jangan berkata yang macam-macam pada putraku!" Ia melepaskan rangkulan pria itu dan beranjak menuju Antonio. "Antonio, kamu tadi bersenang-senang di festival?" tanyanya dengan senyuman yang layu.
Antonio terdiam dengan ekspresi yang sama: layu. "Mama, apa yang terjadi padamu?" Ia menggenggam pundak ibunya dengan lembut. Kedua matanya melihat pakaian ibunya yang berantakan dan ketika matanya pergi ke bawah, ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Apa ini, Mama? Kenapa pahamu berdarah? Ada darah yang mengalir dari balik rokmu."
"Tidak apa-apa, Antonio." Anastasia mengembalikan pandangan Antonio ke atas. "Mama baik-baik saja, kok. Tadi Mama cuma terjatuh. Kamu tidak usah khawatir."
"Tapi, Mama." Tergambar ketakutan dari suara Antonio. "Keadaan Mama terlihat buruk sekali."
Anastasia terpaku menatap wajah putranya untuk beberapa saat. Satu-satunya hal yang ia tunjukkan adalah senyuman. "Tidak apa-apa. Mama baik-baik saja," ujarnya dengan suara parau. "Mama sedang bekerja, jadi kamu tidak perlu khawatir. Ayo, Mama akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu." Ia menggiring Antonio masuk ke kamar. Sebelum itu, ia menatap pria yang masih berdiri di sana dengan tajam. "Beri aku waktu sebentar. Aku mau menidurkan putraku."
Pria itu menjawab, "Cepatlah."
Antonio dibaringkan di atas ranjang, ditutupi selimut, kemudian dipeluk oleh ibunya.
"Mama, aku tidak kedinginan," ucap Antonio, tetapi ibunya tetap memeluknya dengan erat. Perlahan, Antonio dapat melihat air mata mengalir dari sudut mata ibunya yang sedang terpejam. Dari sana meluncur sebuah teriakan tanpa suara yang sarat akan kesakitan. Antonio bisa melihat dan mendengar itu. "Mama, kau baik-baik saja?"
Anastasia tertawa kecil. "Mama cuma kedinginan."
"Mama tidak perlu menyanyikan aku lagu pengantar tidur lagi. Aku sudah besar. Aku bisa pergi tidur sendiri."
Anastasia mengusap-usap kepala Antonio dan mengecupnya dengan lembut. "Mama melakukan segalanya buat kamu. Itu sakit, tapi Mama akan terus berjuang. Itu karena Mama menyayangi kamu."
Antonio menatap langit-langit kamarnya, masih terjaga, dengan mata yang terbuka lebar. "Aku tidak mengerti maksud Mama," celetuknya polos.
"Kamu akan mengerti nanti, ketika kamu sudah memiliki seseorang yang merupakan darah dagingmu sendiri. Kamu akan melakukan apa pun, bahkan mencelupkan diri di jurang terdalam neraka, demi kebahagiaan mereka."
Lagi-lagi Antonio berkata, "Aku tidak mengerti maksud Mama."
Tidak menjawab, Anastasia mengeratkan pelukannya pada Antonio. Itu berlangsung lama sekali, sekitar tiga puluh menit. Ia menyadari bahwa Antonio sudah terlelap. Ia menghapus air matanya dan beranjak keluar, mengunci kamar itu. Di waktu yang bersamaan, Antonio terbangun dan mengangkat selimutnya karena merasa gerah. Ia berjalan dengan pelan menuju pintu dan berusaha menggapainya. Ketika ia sadar bahwa pintu itu dikunci dari luar, tidak ada yang bisa dilakukan selain diam. Antonio kembali ke ranjangnya dan menatap langit-langit.
Pada momen itu pikiran Antonio kosong. Ia tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi di depan matanya. Pertanyaan terkait apa yang terjadi pada ibunya dan siapa pria yang membantu ibunya berjalan itu pun tidak ia hiraukan lagi. Antonio berusaha sekuat tenaga untuk tertidur, tetapi tidak bisa. Akhirnya, ia menghadapkan tubuhnya ke kanan untuk melihat pedangnya yang tertidur rapi di dalam sarungnya. "Kau tidur nyenyak sekali, ya," bisiknya.
Keheningan di tengah malam itu tiba-tiba pecah ketika ia mendengar teriakan dari kamar ibunya. Antonio yang panik lantas bergegas menuju pintu, kemudian menariknya dengan sekuat tenaga, tetapi hasilnya nihil. Antonio berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang sempit sambil menggigit jarinya. Ia bisa mendengar lecutan cambuk yang diiringi oleh rintihan ibunya, tetapi setelah itu ia juga bisa mendengar geraman pria itu—lembut dan rendah. Antonio menempelkan telinganya pada tembok untuk membantunya mendengar lebih jelas suara-suara itu. Di sana ia mendengar suara kulit yang saling bersentuhan. Aneh, pikirnya. Itu terdengar seperti dorongan, atau tamparan, yang terjadi terus-menerus.
Antonio kembali ke atas ranjangnya, meringkuk, berpikir dengan gemetaran. Apa yang terjadi pada Mama? Aku takut sekali.
Teriakan ibunya terdengar sekali lagi—melengking—dan kemudian diikuti oleh tawa rendah pria itu. Terdengar suara lirih dari sana: "Sudah ada berapa pria yang bermain denganmu hari ini, manis? Aku adalah yang membayar paling mahal, bukan? Jangan malu-malu begitu. Berdarahlah untukku."
Antonio dibuat bingung sekali lagi. Pada akhirnya, ketika suara-suara itu menghilang, ia terlelap karena kelelahan.
***
Fajar pun tiba. Antonio bangkit dari ranjangnya dan mendapati pintu kamarnya sudah terbuka. Ia bisa mendengar suara orang berteriak dari ruang tengah. Antonio segara beranjak menuju ke sana. Di sana ia melihat seorang pria bertubuh besar berdiri sambil memegang botol bir yang sudah pecah. Pria itu berbeda dengan pria tadi malam. Setelah pria itu berbicara, Antonio akhirnya menyadari bahwa pria itu adalah ayahnya.
"Papa?"
Pria itu menoleh pelan ketika mendengar suara Antonio. Matanya menatap Antonio dengan tajam tapi penuh kebingungan. "Kenapa dia ada di sini?" tanyanya pada Anastasia yang terduduk di sudut ruangan dengan kepala yang berdarah-darah. "Kenapa dia ada di sini?!"
"Hentikan, Luis," ucap Anastasia dengan suara lemah. "Jangan sentuh Antonio. Kumohon."
"Papa, Mama, apa yang terjadi?" Antonio berdiri di sana dengan sejuta tanya.
Luis menghampiri Antonio dan berkata kepadanya, "Ikut aku. Kita akan pergi ke tempat suci."
"HENTIKAN!" Anastasia bangun dan menghantam kepala Luis dengan potongan kayu. Ia meraih Antonio dan mendekapnya kuat-kuat. "Tidak apa-apa, Antonio. Semuanya baik-baik saja."
Luis memegangi kepalanya dan menatap Anastasia dengan penuh kebencian. "Dasar wanita tidak berguna!" katanya. "Mau sampai kapan kau terus membenciku? Hampir semua kebutuhan kalian ditanggung olehku. Uang yang aku dapatkan sebagai seorang bandit jauh lebih banyak dibandingkan kau, Anastasia."
"Persetan dengan pekerjaan dan ibadahmu itu!" teriak Anastasia. "Kau membunuh, merampok, dan pergi ke kuil kotor itu untuk mengorbankan segala apa yang kau punya kepada iblis. Kau adalah seorang pendosa."
Luis menarik Antonio dari Anastasia. Ia menendang dada wanita itu hingga dia tersungkur, dilanjut dengan menginjak perutnya sampai wanita itu terbatuk-batuk. "Kau tidak pernah berkaca pada dirimu sendiri, ya? Kau pikir siapa dirimu? Dasar pelacur!"
Antonio berdiri dengan sempoyongan. Yang ada di ruangan itu hanyalah kata-kata yang saling bersahutan dari ayah dan ibunya, tetapi itu bekerja seperti pedang panas yang menusuk gendang telinganya dan membuat kepalanya pening. Ia mundur perlahan-lahan sampai akhirnya menabrak tembok. Bergerak dengan instingnya, Antonio berjalan ke kamar dan mengambil pedangnya, lalu kembali ke ruang tengah.
"Sudah kubilang sejak awal pernikahan kita," Luis menarik rambut Anastasia untuk mengangkatnya berdiri, "aku akan menyembah iblis demi kesejahteraan keluarga kita. Jika kau tidak suka, silakan. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin menceraikanmu. Kau adalah wanita paling cantik di kerajaan ini."
Anastasia berusaha membebaskan rambutnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk memukul dada Luis. Itu tidak terlalu berguna, Anastasia terlalu lemah untuk melawan.
"Wanita yang menjual tubuhnya kepada ratusan pria di luar sana, berani-beraninya kau berbicara soal dosa di hadapanku? Kita berdua sudah ditakdirkan untuk hidup kekal di neraka."
"Ka-kami tidak ... membutuhkanmu ...," ucap Anastasia terbata-bata. "Aku bisa menghidupi ... diriku sendiri ... dan ... Antonio ...."
"Wanita yang naif." Luis menyarangkan tinjuan keras pada perut Anastasia.
Air mata mengalir deras di pipi Anastasia. Ia terus mencoba melepaskan rambutnya dari genggaman Luis. Antonio masih terdiam di tepi. Ia melihat semua kejadian itu dengan kesadaran penuh; matanya terbuka lebar; emosinya bercampur aduk. Pedang kesayangannya sudah berada pada genggamannya, dan saat ini, pedang itu sedang tidak tertidur di dalam sarungnya.
"Fakta paling buruk darimu, wahai pelacur," Luis menolehkan kepalanya kepada Antonio, "adalah bahwa Antonio bukan anak kandungku."
"DIAM!" Anastasia memukul-mukul dada Luis dan menendang-nendang kakinya, tetapi tetap tidak ada yang terjadi.
"Kira-kira benih pria mana yang tumbuh menjadi dirimu, Antonio?" tanya Luis dengan penuh penekanan. "Aku tidak pernah memberi wanita ini benih. Dia benar-benar seorang pendosa sampai berani mengandung anak dari pria selain suaminya. Dan mungkin, ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk bilang padamu, Antonio."
Antonio terbelalak menatap ayahnya.
"Aku tidak pernah menganggapmu sebagai anakku."
Ruang tengah menjadi hening bagi Antonio. Ia merasa seluruh ruangan itu berubah putih, kemudian menjadi gelap. Segala sesuatunya dilahap oleh ketidakpastian, yang kemudian berubah menjadi sesuatu yang dingin yang menusuk dadanya. Itu sakit, membuatnya tidak bisa bergerak. Kakinya terpaku di lantai ketika tangannya mengeras pada pedangnya. Antonio melihat setitik cahaya, dan suara di dalam kepalanya berkata, Tebas.
Ia berlari, melompat tinggi, dan mengayunkan pedangnya. Seketika ruangan itu kembali seperti semula: meja makan, kursi, tembok, lantai kayu, lilin, dan cangkir—semuanya berada pada orbit mereka masing-masing. Antonio bisa mendengar ibunya terjatuh ke lantai, diikuti oleh teriakan histeris. Perlahan Antonio menundukkan kepalanya, menatap darah yang mengucur deras membanjiri lantai, dan entah kenapa kepala ayahnya yang menggelinding itu terlihat buruk sekali.
"APA YANG KAULAKUKAN, ANTONIO?!" teriak Anastasia dengan suara yang pecah. Ia menarik-narik rambutnya sendiri, tidak henti-henti berteriak, mundur dan menekuk tubuhnya di bawah meja makan karena ketakutan.
"Mama, apa yang baru saja terjadi?" Antonio masih berdiri dengan lemah di tengah ruangan. Ia masih menggenggam pedangnya, dan tatapannya pada ibunya sangatlah polos.
"Habislah kita. Habislah kita. Habislah kita." Anastasia gemetaran. Ia meletakkan kepalanya di lantai, dan air liurnya membanjiri lantai. "Tuhan akan menghukum kita. Bagaimana ini, Antonio?!"
"A-aku tidak tahu, Mama. Apa yang harus aku lakukan?"
Anastasia tampak menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah, berpikir di dalam kepanikan. Matanya tidak berkedip sekali pun, terus menatap tubuh suaminya yang sudah tergeletak tidak berdaya di hadapannya. Ia menggigil, bukan karena kedinginan tapi ketakutan. "Tuhan tidak mungkin menghukum kita, bukan? Iya, bukan?"
Antonio menoleh, bingung. "Apa maksud Mama?"
"Kamu sudah membunuh seorang iblis, Antonio. Tuhan pasti akan memberimu pahala untuk itu."
"Iblis?" Antonio menatap kepala ayahnya. "Papa adalah iblis?"
"Ayahmu adalah iblis!" Suara Anastasia kini berubah menjadi lebih berat dan tergesa-gesa. Detak jantungnya kian tidak menentu dan napasnya memburu. Ia merangkul Antonio dan menariknya dengan kasar. "Kita harus pergi dari sini. Tidak ada yang boleh tahu soal ini."
"Kita harus pergi? Pergi ke mana, Mama?"
"Ke tempat di mana Tuhan tidak akan menemukan pendosa seperti kita."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top