Untold Chapter - Kisah Antonio Genga Bagian 10
Siang itu langit berwarna kelabu. Gagak-gagak beterbangan meramaikan suasana meski pohon-pohon yang berdiri di sekitar jalan itu sudah tidak berdaun lagi. Wagon itu berjalan pelan sembari membawa beberapa pengungsi akibat serangan iblis pada bulan purnama yang lalu. Salah satu di antaranya adalah seorang pria muda berkepala botak yang tubuhnya kurus sekali, dibalut jubah hitam panjang. Antonio.
"Hei, sobat. Kau punya korek api?" tanya seorang pria.
Antonio hanya menggeleng dan pria itu melenguh.
Banyak waktu berlalu semenjak berita tentang pembunuhan Keluarga Wolfgang menyebar ke seantero Kerajaan Vontera. Sekitar enam tahun lalu, ketika kabar tersebut sampai ke telinga para saudagar kaya di Amonte, serikat detektif langsung diturunkan untuk mengusut kasus tersebut, bersama dengan Pasukan Bumi Biru Kerajaan Vontera.
Kerugian dari peristiwa itu ditaksir mencapai 8.000.000 Von; beberapa barang berharga milik Keluarga Wolfgang berhasil ditemukan di sepanjang Hutan Calmera menuju Aeron. Ada delapan korban jiwa dalam kejadian malam hari itu, dan salah satunya adalah seorang pemuda yang tewas diduga karena bunuh diri.
Kecepatan dalam penanganan kasus tersebut memaksa Antonio mengganti keseluruhan identitasnya dan kabur dari Amonte. Hari di mana ia pergi meninggalkan rumahnya, ia sama sekali tidak tahu ke mana harus melangkah. Membuatnya kelaparan sampai tidak ada orang yang dapat mengenalinya. Rambutnya ia pangkas habis dan sampai detik ini ia menggunakan gaya rambut itu agar tidak ada yang mengingat "Antonio si rambut hitam" lagi. Selain itu, ia juga mengganti namanya. Antonio Genga sudah tidak ada lagi. Sekarang, ia adalah Antonio Midas da Silva.
Setelah kabur tanpa arah dan tujuan, Antonio memantapkan hatinya untuk menetap di Wedderska dan menjadi Hunter lepas. Ia mengumpulkan uang untuk biaya hidupnya, sembari terus berlarian ke sana kemari. Tidak sampai dua tahun, penyelidikan terkait pembunuhan Keluarga Wolfgang merambat ke Kota Wedderska. Hal tersebut membuat Antonio harus meninggalkan kota itu.
Di Hasfijy, ia menjadi sedikit lebih stabil karena bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi temannya. Valen namanya, seorang pedagang keliling berusia kepala tiga. Mereka berdua bekerja sama dalam sebuah tim dengan cukup baik untuk membasmi para iblis yang ada. Itu berlangsung sekitar delapan bulan sampai akhirnya Valen menawarkan pendaftaran sebuah guild Hunter kepada Antonio dan Antonio menolaknya.
Selepas tawaran tersebut, pertemanan mereka menjadi sedikit renggang dan Antonio mulai menjauh perlahan-lahan. Ia hidup dan mengatur segala kebutuhannya sendiri. Itu bukan sebuah masalah besar bagi Antonio, mengingat ia sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil. Akan tetapi, di sebuah kota di mana tidak ada orang yang mengenalnya dan kota yang ditempati oleh orang-orang dari ras yang berbeda darinya, Antonio kesulitan meminta bantuan.
Pada tahun kesembilan setelah kepergiannya dari rumah, Antonio memutuskan untuk berjalan kembali mencari penghidupan. Setiap desa dan kota yang ia kunjungi tahu bahwa pihak kerajaan sedang mencari pembunuh Keluarga Wolfgang. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain lari dan bersembunyi. Semuanya benar-benar gelap bagi Antonio, tidak ada yang menuntunnya berjalan.
Antonio pergi lagi ke utara, kali ini ia singgah di sebuah desa bernama Jonova, desa kecil yang diisi oleh para dwarf pembasmi iblis. Di sanalah ia bertemu dengan Emerald Jenkins dan Ruby Jenkins, beserta anak mereka, Milos Djokster.
Pada masa itu, luka penyesalan di hati Antonio masih menganga. Hangatnya desa itu dan sentuhan lembut dari Keluarga Jenkins belum juga membuatnya luluh dan mengakui bahwa segala sesuatu yang dilakukannya adalah salah. Ia masih menyendok sup seperti orang pada umumnya, mengunyah makanan seperti orang pada umumnya, dan menebas iblis seperti orang pada umumnya. Tidak ada yang berubah darinya, hanya hatinya. Dulu hangat, sekarang dingin. Hati seorang pembunuh.
Antonio tidak pernah tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa bahwa selama sembilan tahun ke belakang ia tidak mengalami perubahan apa-apa di dalam hidupnya. Ia hanya berlari, berlari, dan berlari untuk menghindari segala masalah. Ia tidak belajar apa-apa. Semua hal yang dilakukannya menjadi tidak bermakna lagi. Itulah yang Antonio pikir saat itu sebelum akhirnya perlahan-lahan lukanya tertutup bersama dengan kehangatan Keluarga Jenkins.
Emerald Jenkins, sang kepala keluarga, adalah seorang pria yang bijaksana. Ia mengajari Antonio banyak sekali hal tentang kehidupan meski Antonio tidak pernah meminta itu. Ia berkata, "Umurmu tak muda lagi, dan aku tahu kau sepertinya sedang butuh tuntunan untuk melanjutkan hidup."
Antonio belajar menjadi Hunter yang lebih kuat bersama Paman Jenkins. Setidaknya ia punya tujuan hidup sekarang: menjadi seorang Hunter yang bisa menyelamatkan orang banyak. Selain latihan berpedang, hal yang diajarkan oleh Paman Jenkins kepada Antonio adalah astronomi. Percakapan tentang topik itu berlangsung epik, tetapi sampai kini Antonio tak pernah bisa mencernanya.
Beberapa konsep filosofis diterima oleh Antonio, termasuk saran-saran dari Paman Jenkins tentang menghadapi permasalahan hidup dengan menggunakan alam semesta sebagai analoginya. Suatu waktu ia pernah berkata, "Kalian para manusia, aku kagum kepada kalian."
"Kenapa begitu?" tanya Antonio.
"Kalian adalah makhluk paling sempurna, dan saking sempurnanya kalian, kalian menjadi tidak sempurna."
Kata-kata itu aneh, tetapi membekas di kepala Antonio. Apakah manusia benar-benar sempurna? Ia tidak pernah mengetahui jawabannya. Dan, mungkin, ketidaktahuannya itu yang membuktikan pertanyaan itu. Bahwa manusia itu makhluk paling sempurna dengan segala kerumitan pikiran mereka, dan saking rumitnya hal tersebut, manusia menjadi tidak sempurna. Mereka kerap kali dimakan oleh pikiran mereka sendiri dan kemudian mati.
Antonio mengembara lagi ketika ia sadar ia tidak bisa terus merepotkan Keluarga Jenkins dengan membiayai seorang pria dewasa luntang-lantung yang tidak punya masa depan. Akhirnya, ia memberanikan diri pergi ke kota paling besar di Benua Merlin, Edinvers. Pada satu kesempatan matanya bertambat pada seorang wanita muda yang tampak anggun dengan gaun putihnya. Ia berdiri di atas panggung di hadapan banyak orang sambil memegang perkamen lusuh dan dibacanya isi perkamen itu keras-keras.
Oh, Tuhan kami. Apakah itu surga atau neraka
yang sedang menghampiri kota kami?
Apakah engkau sedang murka kepada kami
sebab kami acapkali meninggalkan perintahmu?
Oh, Tuhan kami. Hari di mana hasil panen akan kembali
dan hari di mana tawa bengis para Hunter berkumandang,
kapankah ia akan tiba?
Oh, Tuhan kami. Kami akan menunggu mukjizatmu.
Ketika hari itu tiba maka kami akan bergembira
dan mengubah hidup kami selama-lamanya,
berhenti dari segala dosa dan menghampirimu.
Amin.
Antonio terlalu terkesima untuk berbicara. Puisi yang dilantunkan wanita muda itu sangatlah indah, menyentuh kisah para hamba yang lelah tapi tak pernah berhenti berharap kepada Tuhan mereka. Andai saja aku memiliki harapan seperti kalian, wahai orang-orang beriman, batin Antonio. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya. Sejak saat itu, ia mulai memanjangkan rambutnya kembali. Sekarang, ia lebih berani dan membiarkannya lebat seperti mahkota para wanita.
Tahun berikutnya, Antonio sudah cukup mampu untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Ia menjalani hidup yang lebih santai dibandingkan beberapa tahun lalu sebab desas-desus tentang peristiwa pembunuhan Keluarga Wolfgang sudah tidak terdengar lagi. Ia beranjak menuju barat untuk mencari pengalaman, dan tetap menjalani hidupnya yang menyedihkan (kali ini dengan lebih lapang dada).
Penyesalan dan rasa takut itu masih ada di sana, dan Antonio tidak melupakan itu. Ia justru menerima itu sebagai dosanya dan menempatkan diri sebagai seorang pendosa yang tahu betul bahwa suatu saat nanti hari penghakiman akan menghampirinya. Entah itu di dunia atau di neraka, Antonio akan menerima itu.
Sudah lama sekali semenjak Antonio membaca buku-buku sastra. Itu karena ia berpikir, sastra tidak akan membantunya hidup melewati masa-masa penuh kegelapan ini. Ia lebih memilih untuk mengayunkan pedang daripada membaca ribuan untaian kata yang selalu dihiperbolakan agar terlihat menawan. Namun, gejolak terjadi di dalam diri Antonio. Ia masih melihat keindahan di sana dan tidak bisa menahan dirinya untuk pergi melihat penampilan puisi di pusat kota dan nyanyian kegembiraan para penyair di bar untuk menyambut para prajurit yang pulang berperang.
Suatu ketika, di sebuah desa dekat pantai Antonio bertemu dengan seorang remaja laki-laki yang terbang menggunakan sampannya untuk menatap langit. Antonio menyipitkan matanya untuk melihat remaja itu dan meneriakinya, "Awas jatuh!"
Benar saja, remaja laki-laki itu jatuh. Antonio cepat-cepat mengambil posisi dan menangkap tubuh remaja itu. Di sana terpampang wajah lugu yang nakal dan pemberontak. Antonio menurunkan remaja itu dan bertanya kepadanya, "Kenapa kau terlihat begitu gembira?"
"Aku bebas!"
"Bebas?" Antonio kebingungan.
"Aku bisa terbang melihat burung-burung di langit! Aku bisa menyentuh awan! Aku bisa melihat matahari secara langsung! Aku bisa pergi berlayar tanpa perlu takut hujan badai! Aku bisa pergi ke sana kemari sendirian! Aku bisa ini! Aku bisa itu! Aku bisa melakukan segalanya! Ini berkat Vitae milikku, Mountain Boat, yang menemaniku!"
Antonio membungkukkan badannya untuk berbicara dengan remaja itu. "Siapa namamu?"
"Namaku Vincentius Ardemagni, penyair paling tersohor di Benua Merlin. Kau bisa memanggilku Vin."
"Kau seorang penyair?" Antonio menaikkan satu alisnya. "Kedengarannya hebat."
"Hm! Hm!" Vin mengangguk-angguk. "Maukah kau terbang bersamaku? Aku akan mengajakmu ke rumahku nanti!"
Pada momen itu Antonio terdiam sejenak. Siapa remaja yang penuh dengan harapan ini? Dari segala sesuatu yang pernah ia baca dan pahami, pertemuan dua insan bukan merupakan suatu kebetulan. Seluruh hal di dunia ini sudah diatur oleh benang takdir. Ketika hari-hari terus berlalu, benang-benang itu akan berjalan dengan sendirinya untuk mencari pasangan mereka dan mulai merajut sebuah kain yang indah. Antonio tahu, pertemuannya dengan remaja itu bukan sebuah kebetulan. Ada sebuah rencana yang sudah disiapkan oleh sang Empunya Dunia, dan yang perlu dilakukannya adalah merajut benang itu.
"Siapa namamu, Paman?" tanya Vin.
"Antonio ... Genga."
"Baiklah, Paman Antonio Genga, ayo naik ke sampanku!" Vin dengan cepat menggandeng tangan Antonio dan menariknya ke atas sampan. Setelahnya, Vin menidurkan dayungnya dan mengangkatnya untuk menerbangkan sampannya.
Di atas langit yang cerah pada siang itu, Antonio bisa melihat desa di dekat pantai. Semua orang menjalankan aktivitas mereka masing-masing: mencuci baju, menjemur ikan, memandikan sapi, mencangkul tanah, mengasah pedang, bermain kartu, tertidur pulas, dan kegiatan-kegiatan manusia lainnya. Antonio mulai menyadari bahwa semua orang memiliki kisah mereka masing-masing.
Antonio, Cendric, Aline, Cleopatra, Wolfgang, Valen, Jenkins, dan Vin—semuanya memiliki kisah yang berbeda. Semua kisah itu dihimpun pada benang takdir, dan ketika masanya tiba, mereka akan saling merajut untuk membentuk suatu mahakarya: kisah baru yang takkan pernah terpikirkan sebelumnya. Momen ketika Antonio disengat sinar matahari, berpegangan dengan panik karena sampan itu semakin kencang, ia menghirup udara segar. Luka di hatinya hampir tertutup sempurna. Kini, yang harus ia lakukan adalah mencari cara agar penyesalan dan rasa takut bisa benar-benar hilang dari kepalanya.
Menatap Vin yang sedang tertawa puas, Antonio berkata di dalam hatinya:
Vin adalah kebebasan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top