Untold Chapter - Kisah Antonio Genga Bagian 1

Tahun 1468.

Antonio kecil berjalan menuruni bukit pada siang itu, mengejar semak yang menggelinding. Itu terdengar sangat berat dan besar, tidak mungkin angin yang menjadi penyebabnya. Antonio tidak ingin berlari sebab takut terjatuh, sehingga ia hanya menapakkan kaki pelan-pelan pada bagian miring bukit itu yang bisa ia jejaki. "Tunggu aku!" katanya. Ia melihat semak itu berputar semakin cepat dan menabrak sebuah batu. Ketika sampai di bawah, Antonio membuka semak itu dan mengagetinya, "Halo! Eh?" Ia terkejut. "Kucing, apa yang kamu lakukan di sini? Kamu kasihan sekali."

Tubuh kucing hitam itu berdarah-darah, dari matanya turun air mata. Ia terlilit di dalam semak itu, bersama dengan duri-duri yang menempel di kulitnya. Melihat Antonio sebagai ancaman, kucing itu mencakar tangan Antonio yang berusaha meraihnya dan lari tunggang-langgang. Antonio memegangi tangannya yang berlumuran darah, lalu mengikuti kucing itu. Jalan yang dilalui oleh kucing itu adalah jalan menuju rumah kakek Antonio, Desa Randera, luar utara Kota Amonte.

Setelah pengejaran yang tidak terlalu lama, akhirnya Antonio tiba di stepa Randera, tempat di mana anak-anak sering menghabiskan waktu ditemani oleh hewan-hewan ternak yang sedang menikmati makan siang. Antonio terkapar di tengah-tengah padang rumput itu, menghirup udara dengan tergagap-gagap. Ia merasa dadanya nyeri sekali—penuh—seperti mau meledak, sampai-sampai ia harus memeganginya dengan kedua telapak tangannya.

"Jantungku, tolong bernapaslah dengan hati-hati!" ujarnya kepada jantung, bukan paru-paru. Antonio bangkit dan terduduk di sana. Ia melihat anak laki-laki sedang bermain bola di kejauhan, anak perempuan sedang bermain-main dengan sapi dan domba. Antonio tidak melihat tanda-tanda kehidupan dari kucing itu.

Angin berembus kencang, menggoyangkan rumput dan juga pepohonan yang ada di sana. Antonio memejamkan matanya sebab debu beterbangan ke sana kemari. Di saat yang bersamaan, angin membawa sebuah suara masuk ke gendang telinganya. "Tolong," panggil suara itu. Antonio tergerak dan mencari ke segala arah. Ia menyipitkan matanya untuk membantunya melihat lebih jauh dan tepat di pagar kayu dekat gubuk jerami ia bisa melihat beberapa bocah laki-laki sedang tertawa lepas.

Antonio berlari menuju gerombolan bocah laki-laki itu. Suara yang baru saja datang, entah kenapa, menariknya ke sana. Ia berteriak, "Apa yang sedang kalian lakukan?!" Kemudian bocah-bocah itu menepi, menyisakan satu orang saja di tengah, bersama seekor kucing hitam yang tampak lemah dan terbatuk-batuk. "Hei! Jangan siksa kucing ini!" Antonio menggeram. Ia menarik tangan bocah laki-laki itu dan memaksanya untuk melepaskan kucing itu.

"Apa yang akan kaulakukan, Antonio?"

"Dia adalah kucingku! Kau tidak boleh menyakitinya!"

"Apa-apaan kau ini? Tidakkah kau lihat dia menjadi lucu kalau begini? Merintih kesakitan meminta pertolongan .... HAH!" Bocah laki-laki itu menendang kucing itu sekali lagi hingga dia terpental.

"Hentikan!"

Antonio menonjok pipi bocah laki-laki itu, tetapi tenaganya tidak terlalu kuat. Bocah itu mengelak dan menghantam siku Antonio hingga berbunyi krek, kemudian meninju wajah Antonio dengan bogem mentah, menghempaskan Antonio ke belakang.

"Kau masih lemah seperti yang lalu-lalu, ya, Antonio." Bocah itu berdiri di atas tubuh Antonio, menarik pakaian Antonio dan mengangkatnya. Ia memerintahkan teman-temannya untuk memegangi Antonio erat-erat. "Selamat datang di arena pertunjukan," ujarnya.

Ia menginjak tubuh kucing itu hingga dia memekik keras sekali. Itu tidak terdengar seperti kucing lagi, melainkan seorang bayi manusia yang menangis kesakitan di bawah tekanan. Antonio berteriak marah, meronta. Akan tetapi, ia terlalu lemah untuk melawan empat bocah laki-laki sekaligus. Antonio melihat tubuh kucing itu diinjak-injak hingga remuk; ia tak bisa membendung air matanya. Suaranya menjadi parau ketika ia berusaha memanggil kucing itu. Kedua telinganya dapat mendengar permintaan tolong tanpa henti dari kucing itu, tetapi ia tidak bisa menyelamatkannya.

Keempat bocah laki-laki itu melepaskan tangan mereka dari Antonio. Spontan Antonio berlari mendorong bocah laki-laki yang masih menginjakkan kakinya pada tubuh kucing itu. Ia menendang selangkangan bocah itu dan menggigit tangannya, mencakarnya, melawan bagaikan seekor kucing.

"Sialan kau, Antonio!"

Bocah itu menghantam tengkuk Antonio dengan sangat keras. Antonio langsung tak sadarkan diri.

Ketika membuka mata, Antonio menyadari bahwa matahari sudah hampir tenggelam. Langit menjadi merah dan sedikit demi sedikit gelap mulai menggantikannya. Ia membangkitkan tubuhnya yang penuh dengan rasa sakit untuk membantunya melihat keadaan sekitar. Para gembala sedang menuntun hewan ternak mereka untuk kembali ke kandang, sementara di sisi lain para pria dewasa baru pulang mengangkut singkong, jagung, dan gandum dari ladang dengan gerobak mereka.

Anak-anak tadi sudah pergi, batin Antonio. Ia menoleh ke kanan dan mendapati tubuh kucing hitam itu sudah tidak berdaya. Awalnya ia hanya terdiam, menatap di dalam keheningan. Perlahan-lahan tubuhnya tergerak untuk menghampiri kucing yang malang itu. Langkah pertama ia lewati, sekujur tubuhnya terasa terbakar; Antonio bisa merasakan tulangnya bergeser. Langkah kedua ia lewati, kakinya oleng dan ia tersungkur; ia menyadari ada luka lebar di sana. Untuk langkah-langkah selanjutnya, ia sudah tidak peduli lagi. Tubuh Antonio remuk redam, menangis dari dalam, tetapi ia tetap memaksanya untuk bergerak.

Kondisi kucing itu tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Dia sudah tidak tertolong. Antonio menangis sesenggukan sambil memeluk tubuh kucing yang direndam genangan darah itu dengan lembut. "Maafkan aku, kucing," ujarnya. "Aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku terlalu lemah. Tapi yang lebih tidak bisa aku lakukan, aku tidak bisa meninggalkanmu. Aku tidak bisa membencimu meski kau menyakitiku. Aku tidak tahu kenapa."

Sesaat kemudian, sesosok pria datang dan menepuk pundak Antonio. "Aku akan membantumu mengubur kucing itu."

"Kakek?"

Pria itu tersenyum, nada suaranya rendah dan rapuh. "Lagi-lagi kau tidak bisa melawan karena kau lemah, ya?"

Antonio masih belum berhenti menangis. "Sama halnya dengan kucing ini. Dia terlalu rapuh, terlalu lemah, sehingga dia mati."

"Angkat kepalamu, Nak. Mari kita berikan tempat istirahat yang layak bagi jiwa yang malang ini."

Antonio mengangguk, meraih tangan kakeknya. Mereka berdua berjalan meninggalkan padang rumput itu, dan langit akhirnya didekap kegelapan.

"Mulai minggu depan, bagaimana kalau Kakek ajari kau berpedang?"

"Berpedang?" Antonio menoleh. "Tapi aku ini terlalu lemah."

"Maka dari itu," kakeknya melepaskan genggaman tangannya, mengusap kepala Antonio, "kau harus bisa berpedang. Belajar berpedang bukan berarti soal memegang pedang, tetapi memegang prinsip. Bahwa untuk bertahan hidup dan bebas dari penindasan, kita harus melawan."

Antonio tidak menjawab lagi. Ia hanya diam sambil terus memeluk kucing itu sampai tiba di tanah kosong dekat pemakaman umum.

***

Seminggu setelahnya, di padang rumput yang sama, Antonio berdiri sambil menggenggam pedang kayu di samping kakeknya. Ia sudah mengayun-ayunkan pedang itu sedari pagi. Kaki dan tangannya sudah tidak kuat lagi dan setelah hitungan ke-99 Antonio pun tumbang.

"Apa yang kaulakukan, Antonio?"

"Aku tidak bisa. Rasanya kaki dan tanganku lumpuh."

"Lalu kau ingin membuat hasil latihanmu dari tadi pagi menjadi sia-sia? Di hari pertama ini, kau berhasil menggenggam pedang, menegakkan kuda-kuda, dan mengayunkan pedang. Tinggal tersisa satu ayunan lagi sebelum 100. Apa kau tidak mau melakukannya, Antonio?"

Antonio terdiam di dalam pertanyaan itu. Dadanya kembang kempis dan ia hampir kehilangan seluruh warna di penglihatannya. Cuaca di padang rumput hari itu panas, dan kakeknya tidak memberi ampun sedikit pun padanya. Antonio berusaha untuk bangkit kembali, tetapi ia tidak bisa. Kakeknya membentak, dan Antonio pun mencoba sekali lagi. Tetap tidak bisa. Ia melihat tangannya gemetaran, lalu beberapa saat kemudian kakinya kram. Dengan memejamkan mata Antonio berkata, "Aku tidak bisa."

Kakeknya lantas membantu Antonio bangkit. Kini ia kembali berdiri dengan kedua kakinya, tetapi genggaman pedangnya dibantu oleh genggaman kakeknya. Itu kuat, keras, dan kokoh. Antonio tidak pernah merasakan sentuhan seperti itu sebelumnya—sebuah sentuhan yang mengerikan sekaligus menenangkan; sebuah sentuhan yang memberikannya kekuatan dan harapan.

"Kau tahu, Antonio," kakeknya berbicara, "di hari pertama ini, kau sudah melakukan lebih dari apa yang seharusnya kaulakukan. Hanya tersisa satu ayunan lagi dan kau tidak bisa melakukannya. Itu tidak menjadi masalah. Kadang kala, manusia memang butuh bantuan orang lain. Kita tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Mau itu di atas atau di bawah, dunia ini dirancang untuk menyatukan jiwa-jiwa manusia. Sebagaimana benang merajut diri mereka sendiri dengan benang lainnya untuk membentuk sebuah kain yang indah." Kakek Antonio mengangkat pedang itu, bersamaan dengan genggaman tangan Antonio. Kemudian, ia menurunkannya perlahan-lahan sembari berkata, "Seratus."

Napas Antonio masih terputus-putus, tetapi tatapannya mantap terpaku pada wajah kakeknya. "Terima kasih, Kakek."

Sejak hari itu, Antonio terus melanjutkan latihannya. Hampir setiap hari ia mengayunkan pedangnya. Pagi, siang, sore, malam—tanpa henti hingga akhirnya ia berhasil menggenggam pedang yang terbuat dari besi. Kakeknya bilang bahwa puncak tertinggi dari seorang pendekar pedang adalah mereka yang bisa menggenggam pedangnya kuat-kuat dan mengayunkannya.

Pada beberapa kesempatan kakeknya mengajak Antonio berburu iblis bersama. Antonio tidak diperintahkan untuk mengayunkan pedang. Ia hanya perlu diam dan mengobservasi: seperti apa perilaku Hunter di medan pertempuran yang nyata. Antonio belajar banyak hal: membaca situasi, arah mata angin, hawa iblis, persebaran iblis, sampai memposisikan diri di tengah pertarungan. Ia juga belajar berkuda, satu keterampilan penting yang harus dimiliki oleh setiap Hunter.

Ketika tiba waktunya Antonio diperbolehkan mengayunkan pedang di medan pertempuran, kakeknya membawanya pergi ke sebuah rawa tempat sarang iblis berada. Dari dalam air muncul iblis katak yang bisa melompat tinggi dan menembakkan racun. Tanpa sedikit pun rasa takut, Antonio membantu kakeknya membasmi iblis-iblis itu. Ketika datang raja dari iblis katak itu, dan mengetahui Antonio tidak bisa melawannya, kakeknya menggunakan kekuatan Vitae miliknya—Gentle Giant—yang bisa membuat tangannya membesar dan memanjang untuk menghantam kepala iblis-iblis itu.

Kemampuan Antonio berkembang pesat dalam kurun waktu beberapa bulan saja. Antonio sekarang bisa menghajar balik bocah laki-laki yang tempo waktu pernah menghajarnya. Akan tetapi, kakeknya bilang, "Kekuatan yang dimiliki oleh seorang pendekar pedang bukanlah untuk melawan orang-orang yang kuat, melainkan untuk melindungi orang-orang yang lemah." Dan sejak saat itu, pandangan Antonio tentang kekuatan berubah.

Suatu ketika, panggilan datang dari istana. Meskipun sudah pensiun, kakek Antonio dipanggil kembali oleh Pasukan Bumi Biru Kerajaan Vontera, kali ini sebagai Hunter pembantu pada ekspedisi bulan purnama. Antonio ingin ikut dalam ekspedisi itu, tetapi kakeknya tidak memperbolehkannya. Kakeknya beralasan, ekspedisi bulan purnama itu sangat berbahaya. Segala macam iblis muncul pada malam itu. Menjadi anggota prajurit kerajaan sekalipun tidak akan menjamin seseorang selamat dari gelombang iblis yang datang nantinya. Antonio tinggal di rumah pada malam itu. Ia melihat kakeknya pergi menaiki kereta kuda bersama dengan beberapa prajurit berzirah.

Lima hari setelahnya, Antonio mendapatkan kabar bahwa kakeknya ditemukan tewas karena kelelahan seusai bertempur melawan gelombang iblis di bawah sinar purnama di garis depan. Antonio berdiri di barisan terdepan untuk melihat peti kakeknya. Ia terdiam di sana, dan meskipun sudah belajar banyak tentang kekuatan, ia tetap saja menangis. Ia meletakkan pedang milik kakeknya di dalam peti, di sebelah lengan raksasa yang selalu melindunginya. Ia merasa lemah dan terpukul, melihat tubuh kakeknya yang memucat dan sudah tidak bergerak lagi. Akan tetapi, Antonio teringat kata-kata kakeknya:

Kau akan sering terluka ketika bertarung, tapi pada akhirnya semua akan sembuh. Pertarungan datang sekali lagi, tapi kali ini kau tak ingin terluka lebih banyak. Kau belajar, mengecilkan peluang akhir dari pertarungan untuk melukaimu sama seperti hari kemarin. Kini kau masih terluka, tapi tak separah sebelumnya. Untuk hari-hari selanjutnya, kau akan memahami pola. Bahwa untuk berkembang kita perlu terluka, dan di tengah perkembangan itu semua hal tidak akan baik-baik saja. Kau masih terluka, terkadang memang tidak seberapa, tapi juga bisa lebih parah dari sebelumnya. Namun, dari sana kau belajar, tentang apa itu luka dan penyembuhan. Titik terbaik kehidupan manusia adalah ketika mereka bisa belajar tentang bagaimana cara menyembuhkan luka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top