HASIL FASE KETIGA
Masa perburuan sepanjang empat bulan dari fase ketiga The Hunt for the Holy Coins telah mencapai babak akhir. Seluruh Hunter bergerak bagaikan barisan semut menuju kota terdekat untuk menukarkan kepala iblis hasil buruan mereka, kemudian pergi ke tempat pulang paling pasti: Edinvers.
Sebelum kembali ke ibu kota, Antonio memutuskan untuk mampir ke Lonesome untuk membeli sarung tangan baru. Ia mungkin akan tinggal di sana beberapa hari sambil mengisi ulang persediaan. Namun, sesuatu terjadi pada kota itu. Kota yang dipenuhi oleh seni dan pengetahuan kini murung. Ia menangis tanpa suara dengan langit kelabu sebagai atapnya. Setiap bangunan yang ada di jalanan kota mengalami kerusakan yang cukup parah. Antonio tidak terlalu yakin, apakah itu akibat dari serangan iblis pada purnama enam bulan lalu atau bukan. Yang bertengger pada setiap lampu jalan atau genting rumah adalah gagak hitam yang dipenuhi angkara, juga bercak-bercak merah di setiap batuan yang menyusun jalanan.
Melangkah di jalanan kota yang sepi, Antonio tidak henti-hentinya mendengar teriakan minta tolong. Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri dan tidak melihat apa-apa. Antonio kembali berjalan, ditemuinya sebuah gentong besar yang teramat kotor. Antonio mendekati gentong itu dan alangkah terkejutnya ia ketika tahu bahwa gentong itu diisi oleh beberapa tubuh manusia utuh yang saling berimpit dan meremukkan satu sama lain.
Antonio menjauhi gentong tersebut, menghunus pedangnya, mengawasi sekitar. Ia akhirnya menyadari sesuatu yang aneh. Lonesome begitu sepi, tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang aneh pada sebuah kota yang dahulu dipenuhi warna dan kegembiraan; ia tampak seperti gelandangan atau para budak yang ditarik secara paksa oleh prajurit berzirah.
Ketika derap langkah kaki menghampiri, Antonio membalikkan badannya. Pedangnya menangkis serangan kapak seorang orc dan mendorongnya menjauh. Antonio memutar pedangnya, mengambil ancang-ancang. "Apa yang terjadi pada kota ini?" tanyanya.
"Manusia tidak boleh lagi masuk ke kota ini! Ini adalah perintah Ratu Qana!" Orc itu melesat mengayunkan kapaknya.
Antonio menghindar, membalas dengan dorongan. "Ratu Qana? Ratu para orc?"
Orc itu tidak menjawab dan tetap mengayunkan kapaknya hanya untuk terus dihindari oleh Antonio. Desingan dan dentang senjata mereka berpadu. Antonio masih kuat menopang kedua tubuhnya ketika kedua tangannya menggenggam pedangnya dengan kokoh, sementara orc itu sudah mulai kehabisan napas sebab ia bertarung tanpa aturan.
Tanpa basa-basi lagi Antonio langsung memotong tangan orc itu, membiarkannya terkapar dan merintih di tanah. Setelahnya, Antonio membuka kain keras yang membalut tangan kirinya, menempelkan telapak tangannya pada luka di tangan orc itu. Lukanya tertutup, berubah menjadi emas. Antonio berdiri, memasukkan pedangnya. "Apa yang terjadi pada kota ini?" tanyanya kembali.
Orc itu menjawab, "Lonesome telah diduduki oleh orc."
Antonio menaikkan sebelah alisnya. "Di mana semua orang?"
"Kami membunuhnya. Manusia, elf, dwarf. Mereka semua telah mati!"
Antonio mengepalkan tangannya, menghantamkannya kepada orc itu hingga pipinya diselimuti bercak emas. Orc itu bangkit dan terus menggertak Antonio, "Masuk ke dalam kota ini berarti mati! Apalagi manusia sepertimu. Memangnya apa yang bisa kaulakukan di tengah-tengah kami para orc dengan dirimu sendiri? Manusia adalah makhluk yang lemah! Kami semua jauh lebih kuat dari kalian!"
Antonio mengembuskan napas panjang. Ia membunyikan jari-jari pada tangan kirinya, lalu membelai rambut orc itu dengan lembut. "Tapi kalian para orc adalah makhluk paling bodoh," ujarnya. "Seekor tikus yang sudah terlilit di dalam jebakan sudah sepatutnya terdiam dan tidak merengek seakan-akan mereka kuat." Antonio sedikit terkejut karena ia melihat cambuk emas transparan keluar dari telapak tangannya, mengikat setiap helai rambut orc itu. Momen itu terjadi sekelebat saja, dan semuanya kembali menjadi normal.
Rambut orc itu berubah menjadi emas. Ia berteriak kesakitan dan terpaku di tanah karena kepalanya menjadi berat. "Bunuh saja aku kalau kau mau."
"Aku tidak akan membunuh siapa pun." Antonio menutup tangan kirinya, menahan diri, masih berpikir tentang cambuk emas transparan yang baru saja keluar dari tangannya. "Ini adalah sebuah perang dan aku telah masuk ke dalam wilayah musuh. Maka dari itu, aku harus mundur."
Orc itu memanggil Antonio yang berjalan menjauh, "Kembali! Aku akan membunuhmu!"
Antonio melirik dengan tajam, tidak berkata apa-apa, dan melanjutkan perjalanannya. Karena tadi ia masuk melalui gerbang timur, sekarang ia harus keluar lewat gerbang utara agar lebih dekat dengan jalan utama menuju Edinvers. Di sepanjang perjalanan, Antonio menjumpai pemandangan yang sama: suram, penuh dengan gagak, dan bercak-bercak merah di tanah. Perlahan pemandangan hitam-putih itu menjadi berwarna, tetapi warna itu tidak membuat hatinya tergerak sama sekali.
Puluhan tubuh manusia tanpa busana terkulai di sepanjang jalan menuju gerbang utara. Leher mereka patah dijerat tali, lidah mereka menjulur keluar, bibir mereka membiru—berbusa. Bau busuk yang menyelimuti jalan itu membuat Antonio mual. Ia serbasalah: ia harus menutup mulutnya agar tidak muntah, tetapi sentuhan emasnya akan membinasakan dirinya sendiri. Alhasil, ia terus berjalan dan menghadapi segala kengerian itu sambil termuntah-muntah di tengah jalan. Ingus dan air mata Antonio banjir tatkala ia menatap puluhan gagak terbang menjauh—takut pada dirinya—di saat mereka sedang menikmati santapan makan siang: gerobak kayu penuh dengan kepala manusia, elf, dan dwarf yang setiap dari mereka keluar bola matanya dan menjulur lidahnya. Warna kepala-kepala itu pucat, dan yang menghuni setiap lapisan kulit mereka yang tercabik-cabik hanya lalat dan belatung.
Antonio sempat terjatuh. Isi perutnya sudah kosong, tetapi bau di jalan itu terus memaksa dirinya mengeluarkan segala isi dari perutnya. Ia menenggak persedian air terakhir yang tersisa di tasnya, mungkin sekitar dua cangkir kecil; terbatuk, kemudian bangkit kembali.
Tombak berkepala manusia menggantikan tiang jalan berkepala bendera yang biasanya berkibar ditiup angin; usus mereka bergelimpangan; darah menggenang di mana-mana. Ketika bertemu dengan perempatan—diisi oleh bundaran air mancur—Antonio sempat berhenti memperhatikan jasad wanita yang terbujur kaku di atas sebuah bangku panjang bersama anak laki-lakinya.
"Ibu dan anak yang malang."
Antonio menundukkan kepalanya untuk menatap mereka. Leher mereka digorok oleh kapak besar, darahnya masih segar. Antonio cepat-cepat membuang pandangan untuk menahan dorongan perutnya. Ketika ia melihat sekitar, setiap dari empat jalan pada perempatan itu menunjukkan lukisan yang sama: mayat manusia, elf, dan dwarf. Itu adalah sebuah mimpi buruk.
Apa yang terjadi pada dunia ini ketika aku pergi ke semesta lain? batin Antonio saking bingungnya. Semua hal yang ia saksikan sekarang adalah skenario yang lebih buruk dari skenario terburuk. Melihat pembantaian di Lonesome yang sepertinya sudah berlangsung selama beberapa hari ini, Antonio tidak dapat membayangkan bagaimana ricuhnya ibu kota.
***
27 November 1504.
ORC TELAH MENGUASAI KOTA LONESOME!
PEMBANTAIAN TELAH TERJADI DI KOTA LONESOME!
BUNUH SEMUA ORC!
HENTIKAN THE HUNT FOR THE HOLY COINS SEKARANG JUGA!
Itu adalah tulisan-tulisan yang terpampang pada perkamen-perkamen yang ditempel di papan pengumuman di seluruh penjuru Edinvers. Antonio menyipitkan matanya untuk membaca kronologi penyerangan dan pembantaian itu. Pasukan orc dari Kutsakha dipimpin oleh ratu mereka, Qana Yamzeii, berlayar ke Merlin dan menundukkan Lonesome. Pemerintah kota digulingkan dengan penyerangan besar-besaran dan kemudian prajurit keamanan kota dipukul mundur. Seluruh penghuni kota dibunuh secara membabi buta, hanya ada segelintir orang saja yang selamat dan berhasil membawa pesan ke Edinvers.
"Gila sekali!" kata Antonio, tanpa sadar suaranya meninggi. Di tengah keramaian kota, ia tidak bisa fokus pada apa pun. Edinvers menjadi ramai sekali, berbeda jauh dengan ketika fase kedua usai. Semuanya hampir sama dengan hari di mana pendaftaran turnamen dibuka, tetapi kali ini Edinvers dipenuhi oleh teriakan rasa sakit yang lebih keras dan obor dengan api yang lebih tinggi.
Di bundaran air mancur pusat kota, Antonio bisa melihat sebuah panggung besar yang dijejaki oleh Jenderal Fairnburne, pemimpin Pasukan Bulan Penuh Kerajaan Envera. Setiap manusia yang memenuhi bundaran air mancur itu mengangkat tangan mereka bersama-sama—mengepal—kemudian berteriak, "Kami butuh keadilan!" ketika di sisi lain, ada orc yang sedang ditendang dan dipukuli di sudut kota, serta elf yang disundut mulutnya dengan rokok karena melawan manusia.
Kota Edinvers yang ramah dan juga kokoh kini telah berubah menjadi sebuah papan catur yang setiap bagiannya hanya diisi oleh warna gelap. Bukan hitam, tetapi gelap. Gelap berarti tidak akan ada cahaya yang dapat menembusnya, sebagaimana pada siang itu awan menutup matahari dan membiarkan Edinvers bernapas dengan suara mereka sendiri. Penuh kekacauan.
Dengan bantuan Vitae pengeras suara miliknya Jenderal Fairnburne berkata, "Wahai rakyat Kerajaan Envera yang aku cintai. Di sini berdiri jenderal kalian, Vector Fairnburne, yang akan berbicara mengenai perintah terbaru Raja William terkait pembebasan kota seni dan pengetahuan, kota kebanggaan kita semua, Lonesome."
Di tengah-tengah pidato yang diselingi oleh gema tidak terima itu, Antonio berusaha menembus lautan manusia yang menghadang. Di sudut bangunan besar di dekat air mancur itu ia menemukan beberapa kepala elf dan orc tergantung seperti sebuah aksesori. Tidak ada satu pun manusia di tempat itu yang berteriak atau terperanjat karena itu. Mereka malah bersorak dengan keras ketika setiap dari elf dan orc yang selalu bertentangan dengan mereka akhirnya mati. "Maka kulit kami para manusialah yang nyata di dunia ini! Telinga panjang dan kulit hijau tidak boleh hidup di muka bumi!" teriak mereka.
Antonio menolehkan kepalanya sekali lagi sebelum ia melanjutkan perjalanan untuk menukarkan kepala iblisnya di markas Old School. Didengarnya sebuah seruan dari Jenderal Fairnburne:
"RAJA WILLIAM TELAH MENETAPKAN ELF DAN ORC SEBAGAI MUSUH BERSAMA! KITA DIPERBOLEHKAN UNTUK MEMBUNUH MEREKA!"
Gemuruh seperti sapuan ombak dan kemelut halilintar terjadi di bundaran air mancur. Teriakan senang dan haru bercampur menjadi satu, memeluk langit Edinvers yang pada siang itu suram, sekarang disinari lagi oleh matahari. Dengan mata terbelalak Antonio menatap Jenderal Fairburne yang mulai turun dari panggungnya. Di dalam hatinya ia berkata, Ini benar-benar gila!
Sampailah Antonio di markas Old School. Matanya yang sudah berkunang-kunang mengantarkannya untuk duduk di kursi dan melepaskan segala beban berat yang ia pikul, kemudian menghela napas panjang—ingin mengembuskannya dengan santai, tetapi malah terbatuk karena ia hanya minum sedikit sekali dalam beberapa hari. "Di luar kondisinya benar-benar mengerikan. Tidakkah kalian melihatnya?"
"Kau tampak seperti orang sekarat, pak tua," ucap suara seorang pria muda.
Antonio membuka matanya, mendapati Vin, Mira, dan Julietta ada di tempat itu. Tidak ketinggalan Resepsionis tentunya.
"Sang pahlawan! Sang pahlawan itu sendiri!" ujar Resepsionis dengan senang. "Aku sudah menunggumu lama sekali, Tuan Midas. Kau tahu, orang-orang Edinvers memujimu akhir-akhir ini."
"Karena apa?" tanya Antonio.
"Karena kau telah menyelamatkan Lonesome dengan membunuh dua iblis tingkat atas enam bulan lalu."
Antonio berdecak. "Mereka baru sadar setelah kehilangan kota mereka. Sialan."
"Aku tidak tahu ternyata kau orang yang begitu kuat, Antonio." Julietta masuk ke dalam percakapan. "Aku pikir kau hanya seorang pria yang tidak punya siapa-siapa untuk berpegang."
"Jangan pernah sekali-sekali kau meremehkan pria yang kesepian ini, Julietta!" Mira membela Antonio. "Dia adalah pemburu iblis terkuat yang pernah bertarung denganku."
"Oohh ...." Julietta mengangkat kedua alisnya, menatap Antonio dan Mira. "Jadi hubungan kalian berdua sudah dekat sekali, ya. Hm. Hm."
"Hentikan, Jul." Antonio melambaikan tangannya. "Sudah kubilang padamu malam itu, aku sudah punya istri dan seorang putri."
"Jul? Apakah itu panggilan sayang untukku?"
"Tidak. Jangan memperburuk suasana." Antonio melenguh. "Aku menyingkat namamu, sebagaimana aku memanggil Vincentius dengan Vin."
Mira bingung. "Kapan kau memberi tahu Julietta kalau kau punya istri dan putri? Malam ... kapan?"
"Kau tidak perlu tahu, adik kecil." Julietta mendekatkan bibirnya pada telinga Mira dan berbisik, "Itu adalah malam yang menyenangkan."
Antonio hanya menepuk wajahnya sambil menggelengkan kepala. "Padahal malam itu kita tidak berbuat apa-apa. Jangan mengarang cerita, Julietta."
Mira semakin bingung dibuatnya. "Memangnya kalian berbuat apa?" tanyanya dengan polos.
"Di mana Ludwig dan Muezza?"
"Entahlah," sahut Julietta, "dua gendut itu bilang mereka sedang berjalan-jalan di kota."
Antonio menatap ketus. "Pria gendut itu ayahmu, lho. Mantan pangeran."
Julietta terkekeh. "Aku pun juga mantan putri kerajaan."
Setelah menukarkan 12 kepala iblisnya yang tersisa dengan harga 80 Von, Antonio memamerkan sarung tangan barunya. Meski sarung tangan itu jauh dari kata sempurna, setidaknya ia masih memiliki pakaian sementara untuk tangannya agar tidak mengubah apa-apa yang ia sentuh atau dekati menjadi emas. Baru dikepalkan beberapa kali, bagian dalam sarung tangan itu sudah mulai mengeras.
"Dasar sarung tangan murah," gerutu Antonio. Apakah Golden Touch-ku bertambah kuat? Itu sebabnya cambuk transparan tadi keluar dari telapak tanganku?
Kemudian mereka berbincang sambil ditemani teh hangat. Antonio sempat menyinggung tempat itu yang sedikit berbeda. Resepsionis menjawab bahwa itu adalah perintah dari bosnya, Osamu, untuk merenovasi markas itu. Tiga tim yang dikirim Old School dalam turnamen mencatatkan rekam jejak yang cukup baik, khususnya tim utama. Besar kemungkinan akan ada banyak orang yang ingin mendaftar ke guild Old School setelah turnamennya berakhir. Maka dari itu, perubahan diperlukan, mengingat Old School adalah guild Hunter terbesar di Edinvers.
Mira kemudian melanjutkan percakapan itu menuju kesehariannya sebagai putri kerajaan. Julietta yang sudah lama sekali tidak merasakan itu hanya bisa berkaca-kaca sambil memeluk adik sepupunya itu dan mengelus-elus kepalanya. Dengan segala harap ia berkata, "Jadilah ratu yang baik." Dan Mira menjawab, "Tentu saja."
Vin, yang baru pulih ingatannya, hanya bengong. Ia mengerjap-ngerjapkan mata melihat orang-orang itu berbincang di depannya. Kepalanya masih berusaha mencerna segala kekacauan yang terjadi, ditambah fakta bahwa ia tertidur selama enam bulan, atau bisa dikatakan hidupnya lompat sejauh enam bulan ke depan. Ia tampak seperti orang linglung. Satu-satunya hal yang masih membuatnya hidup saat ini adalah menulis syair. Dan pada momen itu, ketika "Keluarga Amaryllis" berkumpul di markas Old School, Vin melanjutkan kisah Raja Midas dan Sentuhan Emas yang sudah mangkrak selama berbulan-bulan.
Antonio, masih terduduk dengan lemah, menatap Vin yang mulai menghitam wajahnya karena arang. "Aku senang kau telah kembali," ujarnya sambil tersenyum, dan Vin menoleh dengan bingung. "Tidak apa-apa. Lanjutkan saja tulisanmu," tambahnya.
***
Keesokan harinya, fase ketiga The Hunt for the Holy Coins resmi selesai. Gemuruh terjadi di Edinvers tiada henti. Setiap orang yang menatap papan klasemen berteriak dengan penuh semangat. Koin yang sudah mereka taruh di meja judi akhirnya pulang dengan berlipat ganda. Di Edinvers, penikmat turnamen dibagi menjadi dua: Pro Amadeus dan Anti Amadeus. Kelompok Pro Amadeus kalah pada hari itu karena pada akhirnya, setelah tiga fase perlombaan, Amadeus tidak bertengger di posisi pertama klasemen individu.
Dua nama yang merebut posisi teratas dari Amadeus adalah Antonio Midas da Silva dan Julietta.
"Ini adalah sebuah keajaiban!" teriak orang-orang itu, karena turnamen ini akan menjadi semakin seru setelah ini. Fase keempat yang hanya berlangsung selama tiga minggu akan menjadi arena pertempuran habis-habisan. Tidak hanya melawan iblis, tetapi melawan sesama mereka untuk saling berebut koin suci.
"Kita berhasil, Midas!" teriak Mira sambil melompat dan meremas jubah Antonio. Ia tersenyum lebar menatap nama Antonio yang berada pada posisi pertama, sementara namanya berada pada posisi kesembilan.
"Tidak buruk." Julietta menatap Antonio sambil mengangguk-angguk, mengetahui dirinya berada pada posisi kedua. "Aku akan berusaha lebih keras di fase terakhir."
Ketika pundaknya ditepuk oleh dua wanita itu, Antonio hanya termenung menatap papan klasemen. Tubuhnya membeku melihat nama yang tak asing baginya bertengger di klasemen tersebut.
Klasemen individu peringkat 10: Cleopatra Marigold—anak perempuannya, dari tim Wolfgang.
***
| HASIL FASE KETIGA |
Klasemen Per Fase (Individu):
Hadiah Individu untuk 10 Besar di Fase Ketiga:
Klasemen Keseluruhan (Tim) Sementara:
Catatan Penulis:
1.) Julietta mengambil semua koin suci yang dimiliki oleh ayahnya (26 koin) dan ditambah dengan perolehan koinnya sendiri pada fase ini (20 koin) menjadi 46 koin. Ludwig mengundurkan diri dari turnamen karena ingin fokus mengamankan relik kubus suci. Dengan begitu, anggota tim Ode to Joy yang tersisa hanya Julietta.
2.) Koin suci yang didapatkan oleh Antonio selama fase ketiga sebenarnya hanya empat keping, tetapi ia merebut koin milik Guskar dan Magnus yang berjumlah 54 keping (totalnya jadi 58 koin). Hal ini menyebabkan posisi Amaryllis naik drastis dan posisi Sadrathafighre turun drastis.
3.) Vin mendapatkan satu koin suci. Bagaimana bisa? Ketika ia dirawat di rumah sakit, seorang Hunter yang sudah sekarat memberikan koinnya kepada Vin. Tiga hari setelahnya, Hunter tersebut meninggal.
Amaryllis berhasil menerobos ke peringkat 3 klasemen keseluruhan!
Turnamen semakin ketat. Semua tim yang tersisa memiliki kesempatan yang sama untuk menjuarai turnamen ini. Mari kita nikmati kejutan-kejutan terakhir dan mari kita lihat siapa yang akan jadi juaranya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top