Final Chapter - Long Goodbyes
Pada hari terakhir sebelum masuk penjara, Antonio berdiri di depan makam istrinya sambil dijaga oleh para prajurit berzirah. Tidak ada nama dan batu nisan yang pantas, hanya gundukan tanah yang tidak jelas dengan tongkat kayu yang lapuk. Ia menangis, terduduk memeluk makam istrinya.
"Aku minta maaf, Sayang .... Aku minta maaf .... Aku minta maaf .... Tolong maafkan aku ...."
Para prajurit yang melihatnya hanya terdiam, tetap berdiri tegak. Saat waktunya habis, Antonio ditarik. Pria itu masih tidak bisa melepaskan dirinya. Bahunya terasa berat, seperti batu yang longsor. Ia terbenam pada gundukan tanah itu. Air matanya lekat dengan kayu lapuk yang menjadi penanda ketiadaan istrinya dan bibirnya menyatu dengan tanah yang mungkin sudah dijejaki langkah kaki dan kotoran sapi berkali-kali. Pakaiannya menyapu gundukan tanah itu, membuat semuanya kotor. Tapi pikir Antonio, kotornya tubuhnya adalah pertanda bahwa ia masih seorang manusia. Pada senja yang tenang itu, Antonio menghapus air matanya dengan lega.
Aku ucapkan selamat tinggal yang panjang kepadamu, Aline. Semoga kita bisa bertemu di kehidupan yang lain. Dengan keadaan bahagia. Bersama putri kita.
***
Malam hari tiba. Antonio masih memiliki permintaan terakhir yang belum dituruti: berpamitan kepada Mira dan Julietta.
Dari balik jendela kecil kereta kudanya, Antonio melihat Edinvers bernapas untuk terakhir kalinya. Ibu kota Kerajaan Envera itu hampir tidak berubah sejak puluhan tahun lalu. Atau mungkin, kehidupanlah yang sebenarnya tidak berubah. Orang-orang datang dan pergi. Orang-orang mencintai dan disakiti. Orang-orang bergembira dan bersedih. Orang-orang bangkit dan jatuh. Orang-orang akan mengenalnya dan kemudian melupakannya.
Bak tata surya, semua orang di tempat itu berputar pada porosnya dan berevolusi pada orbitnya masing-masing. Bak alam semesta, setiap hal memiliki perannya masing-masing. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. Dan bagi Antonio, garis edarnya adalah kehidupan seorang pria yang dikutuk oleh kekuatan sentuhan emas.
Mira dan Julietta terkejut ketika Antonio menginjakkan kakinya di istana setelah dua tahun lamanya. Tubuh pria itu kurus sekali, kulitnya mengendur, wajahnya mengeriput, tatapan matanya kosong, dan rambutnya berantakan. Dia tidak terlihat lagi seperti Antonio yang namanya dielu-elukan oleh rakyat sebagai pahlawan dan pemburu iblis terkuat.
"Selamat malam, Yang Mulia." Antonio menghampiri mereka berdua dengan langkah yang ringkih.
Mira berlari memeluk tubuh Antonio, diikuti oleh Julietta.
"Kami merindukanmu," ucap Mira sambil terisak.
Antonio menatap Julietta yang tampak buruk wajahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa kau menatapku begitu?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya terharu. Bagi kami berdua, kau itu masih pemimpin kami. Tidak akan pernah berubah."
Ketiganya hanyut di dalam pelukan hangat. Mereka pun melanjutkan malam dengan hidangan teh di bawah pohon besar dekat air mancur di taman istana sambil menikmati bulan sabit. Antonio mulai bercerita tentang segala sesuatu yang terjadi padanya selama dua tahun ke belakang, disusul Mira yang berkeluh kesah perihal tugasnya mengatur kerajaan yang ternyata jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan, dan Julietta yang berbisik bahwa ia masih menyimpan relik kubus suci milik bangsa elf di dalam istana. Tidak sadar, waktu terus berlalu dan malam semakin larut. Percakapan mereka harus segera terhenti.
Antonio berdiri sambil merogoh sakunya dengan susah payah. "Aku punya hadiah kecil untukmu, Mira. Tolong dijaga baik-baik." Ia mengeluarkan sebuah rajutan benang dengan gambar bunga amarilis di tengahnya. Kain itu hanya sebesar dua kali telapak tangan orang dewasa, tetapi bahan yang digunakan bukan bahan murahan.
"Kau merajut ini sendiri?" Mira mengusap-usap kain itu.
"Tentu saja tidak. Tanganku 'kan buntung. Itu adalah hasil karya Vin selama dia berada di rumah sakit."
"Vin yang membuat ini? Ketika ingatannya menghilang?" Mira bertanya dengan ragu.
"Benar. Aku pun tidak percaya. Tapi aku sadar, mungkin kain itulah yang menjadi bukti dari perjalanan hidup kita bertiga. Bunga amarilis. Kita disatukan oleh cantik merahnya dan harum baunya. Dan tidak hanya kita bertiga saja yang disatukan oleh bunga itu. Semua orang yang berada di dalam serikat Hunter, aliansi, dan seluruh masyarakat yang ikut berperang melawan iblis di Edinvers malam itu juga. Kita semua bertemu karena alasan yang sama. Bunga amarilis."
Mira tersenyum, bibirnya gemetar, dan ia menitikkan air mata. "Si penyair itu memang serbabisa, ya."
"Aku juga tidak paham. Dia begitu berbakat."
"Kau tidak memiliki puisi-puisi Vin yang tertimbun di rumahnya?"
"Sudah kuberikan kepada para penyair di seantero Edinvers. Aku berpesan kepada mereka untuk terus menyebutkan nama Vin setiap mereka menampilkan puisi-puisi itu. Jiwa Vin akan terus hidup, seperti yang dia inginkan semasa hidupnya. Seorang abadi dengan tulisannya."
"Andai saja kita bisa menjadi abadi seperti Vin." Mira bangkit menghapus air matanya. "Sepertinya Vin adalah yang paling hebat di antara kita bertiga, ya?"
Antonio diam sambil tersenyum, tanda setuju.
Tidak lama setelah itu, para prajurit berzirah datang menjemput ke taman istana, tanda bahwa waktunya sudah habis. Antonio mengembuskan napas panjang. Di matanya tampak sedikit ketakutan. Akan tetapi, ia melepaskan segalanya, menatap Mira dan Julietta dengan penuh harap.
"Sebagai rakyat kalian, aku cuma bisa berharap yang terbaik untuk kerajaan ini. Kalau kalian sempat bertemu dengan Osamu atau rekan-rekan kita yang lain, tolong sampaikan salamku pada mereka. Aku sama sekali tidak sempat bertemu dengan mereka karena harus mencari makam istriku. Aku ...."
Mira dan Julietta melangkahkan kaki, memeluk Antonio untuk terakhir kalinya. "Terima kasih," ucap mereka berdua bersamaan.
Antonio menatap lilin yang mulai habis di tengah-tengah meja. "Aku tidak akan pernah melupakan kalian."
Pelukan mereka bertiga kandas. Antonio ditarik dan kedua tangannya dirantai oleh para prajurit berzirah. Ia digiring menuju kereta kudanya, dan tetap tersenyum di sepanjang langkahnya. Ia melambaikan tangan kepada Mira dan Julietta, berseru dari kejauhan ketika hampir menghilang, "Panjang umur sang ratu!"
Antonio pergi.
"Antonio itu, menurutmu pria seperti apa dia?" Julietta memecah keheningan.
"Hm?" Mira menoleh bingung.
"Kau lebih dulu bertemu dengannya dibandingkan aku, bukan? Dan persahabatan kalian tampak erat sekali. Pria seperti apa sebenarnya dia?"
"Bagaimana menjelaskannya, ya?" Mira menyilangkan kedua tangannya. "Antonio itu seperti bulan."
"Maksudnya?"
"Cahayanya rapuh. Dia akan bersinar dengan terang ketika malam saja, tetapi ketika pagi tiba dia akan tertidur. Dia akan menjadi kuat dan gagah ketika malam saja, tetapi ketika pagi tiba dia akan menangis, meratapi semua dosa yang pernah dia perbuat. Akan tetapi, Antonio yang kulihat barusan adalah Antonio yang berbeda. Dia berani berjalan dengan kondisi telanjang. Dia melepaskan semua yang dia punya, memberikan segalanya kepada orang yang menurutnya berhak mendapatkan itu, dan pergi sebagai perkamen bersih di jalan hidupnya yang baru."
Julietta mengangguk-angguk. "Kedengarannya luar biasa. Harus kuakui, dia memang hebat. Menurutmu, apakah dia akan bahagia setelah ini? Mendekam di penjara selama puluhan tahun bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika dia masih bisa melihat dunia luar lagi, dia pasti sudah tua bangka dan tidak ada siapa pun yang mau menolongnya. Jika dia tidak bisa melihat dunia luar lagi, dia akan mati sebagai narapidana yang tidak bebas di dalam penjara. Bagaimana menurutmu, Mira?"
"Aku tidak berpikir demikian. Aku memang tidak bisa menjamin bahwa Antonio akan bahagia setelah dia masuk penjara, tetapi ada satu hal yang aku percaya."
Mira berhenti. Ia menatap kejauhan ke semak belukar dengan sebuah pot berisi bunga amarilis yang mekar dengan cantik di tengah-tengahnya.
"Antonio adalah kebebasan."
***
The Golden Touch
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top